Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Sei Beras Sekata Daerah Irigasi Sei Krio Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

TINJAUAN PUSTAKA
1. Jaringan Irigasi
Salah satu faktor dari pada usaha peningkatan produksi pangan khususnya
padi adalah tersedianya air irigasi di sawah-sawah sesuai dengan kebutuhan. Jika
penyediaan air irigasi dilakukan dengan tepat dan benar maka dapat menunjang
peningkatan produksi padi sehingga kebutuhan pangan nasional dapat terpenuhi.
Untuk itu jaringan irigasi, baik saluran pembawa maupun saluran pembuang dan
bangunan irigasinya harus dapat beroperasi dengan baik (Mawardi, 2007).
Menurut Kartasapoetra dan Sutedjo (1994) yang dimaksud dengan
jaringan irigasi yaitu prasarana irigasi yang pada pokoknya terdiri dari bangunan
dan saluran pemberi air pengairan beserta perlengkapannya. Berdasarkan
pengelolaanya dapat dibedakan antara jaringan irigasi utama dan jaringan irigasi
tersier.
1. Jaringan Irigasi Utama
Meliputi bangunan bendung, saluran-saluran primer dan sekunder
termasuk bangunan-bangunan utama dan pelengkap saluran pembawa dan
saluran pembuang. Bangunan utama merupakan bangunan yang mutlak
diperlukan bagi eksploitasi meliputi bangunan pembendung, bangunan
pembagi dan bangunan pengukur.
2. Jaringan Irigasi Tersier
Merupakan jaringan air pengairan di petak tersier, mulai air keluar dari

bangunan ukur tersier, terdiri dari saluran tersier dan kuarter termasuk

Universitas Sumatera Utara

bangunan pembagi tersier dan kuarter, beserta bangunan pelengkap
lainnya yang terdapat di petak tersier.
Dari

segi

konstruksi

jaringan

irigasinya,

Pasandaran

(1991)


mengklasifikasikan sistem irigasi menjadi empat jenis yaitu :
1. Irigasi sederhana
adalah sistem irigasi yang sistem konstruksinya dilakukan dengan
sederhana, tidak dilengkapi dengan pintu pengatur dan alat pengukur
sehingga air irigasinya tidak teratur dan efisiensinya rendah.
2. Irigasi setengah teknis
adalah suatu sistem irigasi dengan konstruksi pintu pengatur dan alat
pengukur pada bangunan pengambilan saja dengan demikian efisiensinya
sedang.
3. Irigasi teknis
adalah suatu sistem irigasi yang dilengkapi alat pengatur dan pengukur air
pada bangunan pengembalian, bangunan bagi dan bangunan sadap
sehingga air terukur dan teratur sampai bangunan bagi dan sadap sehingga
diharapkan efisiensinya tinggi.
4. Irigasi teknis maju
adalah suatu sistem irigasi yang airnya dapat diatur dan terukur pada
seluruh jaringan dan diharapkan efisiensinya tinggi sekali.

Universitas Sumatera Utara


2. Sifat Fisik Tanah
Tekstur Tanah
Tekstur suatu tanah mempunyai suatu pengaruh yang sangat penting
terhadap aliran air pada tanah, sirkulasi udara dan transformasi kimia yang
penting bagi kehidupan tanaman. Petani tidak dapat memodifikasi tekstur tanah
dengan suatu peralatan praktis. Untuk petani irigasi tekstur tanah sangatlah
penting karena tekstur tanah menentukan kedalaman air yang dapat disimpan
dalam suatu kedalaman tanah yang ada (Hansen, ddk, 1992).
Untuk keperluan pertanian berdasarkan ukurannya bahan padatan tanah
terbagi atas 3 partikel atau yang biasa disebut separat penyusun tanah yaitu pasir,
debu dan liat. Tekstur tanah akan mempengaruhi kemampuan tanah untuk
menyimpan dan menghantarkan air, menyimpan dan menyediakan hara tanaman.
(Ismail dan Hadi, 1995).
Pasir memiliki luas permukaan yang kecil sehingga kemampuan
menyimpan air dan zat hara rendah tetapi daya hantar air cepat. Berbeda dengan
tanah liat yang memiliki permukaan yang lebih luas setiap gramnya sehingga
tanah liat memiliki kemampuan menyimpan air dan hara tanaman tinggi
sedangkan daya hantar air lambat dan sirkulasi udara kurang lancar. Sama halnya
seperti tanah debu yang mempunyai kapasitas besar untuk untuk menyimpan air.
Tanah dengan kapasitas terbesar untuk menahan air melawan tarikan gravitasi

adalah tanah liat (Foth, 1994).
Di alam terutama tanah pertanian secara umum teksturnya tidaklah murni
pasir, liat atau lempung, tetapi kebanyakan adalah kombinasi ketiganya. Secara

Universitas Sumatera Utara

lebih rinci tekstur tanah digambarkan dalam segitiga USDA seperti yang terlihat
dalam Gambar 1(Ismail dan Hadi, 1995).

Gambar 1. Segitiga Berstruktur Menunjukan Batas-Batas Kandungan Pasir, Debu
dan Liat (Foth,1994).

Bahan Organik Tanah
Bahan organik adalah pemantap agregat. Bahan organik merupakan salah
satu bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia
maupun segi biologi tanah. Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman
setelah mengalami dekomposisi (Hakim, dkk., 1986).
Tanah tersusun oleh bahan padatan, air dan udara. Bahan padatan ini
meliputi mineral berukuran pasir, debu dan liat serta bahan organik. Bahan
organik bisanya menyusun 5% bobot total tanah. Meskipun hanya sedikit tetapi

memegang peranan penting dalam menentukan kesuburan tanah, baik secara fisik,
kimiawi maupun biologis tanah. Komponen tanah berfungsi sebagai media
tumbuh, maka bahan organik juga berpengaruh secara langsung terhadap

Universitas Sumatera Utara

perkembangan dan pertumbuhan tanaman dan mikrobia tanah sebagai sumber
energi,

hormon,

vitamin

dan

senyawa

perangsang

tumbuh


lainnya

(Hanafiah, 2005).
Terdapat kecenderungan adanya korelasi antara kandungan tanah liat
dengan bahan organik pada tanah. Penyediaan air dan hara yang terkombinasi
lebih besar mendukung produksi bahan organik yang lebih banyak pada tanah
yang bertesktur lebih halus. Adanya tanaman juga akan meningkatkan akumulasi
bahan organik pada tanah karena sisa-sisa tanaman akan diurai oleh jasad renik
menjadi bahan organik (Foth, 1994).
Adanya bahan organik dalam tanah akan memperbaiki sifat fisik, kimia
dan biologi tanah seperti meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang dapat
melepas asam organik yang tersedia dalam tanah, meningkatkan total ruang pori
tanah, menurunkan kepadatan tanah yang dapat menyebabkan kemampuan
mengikat air dalam tanah tinggi. (Susanto, 2005).
Kerapatan Massa (Bulk Density)
Kerapatan Massa (Bulk Density) adalah perbandingan dari massa tanah
kering dengan volume total tanah (termasuk volume tanah dan pori)
(Hillel, 1971). Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah dimana semakin
padat suatu tanah, maka semakin tinggi bulk density-nya artinya semakin sulit

meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman (Hardjowigeno, 2007).
Bila dinyatakan dalam gram per sentimeter kubik, kerapatan massa pada
permukaan tanah liat yang berbutr-butir biasanya berkisar 1,0-1,3. Tanah
permukaan yang bertekstur kasar biasanya akan berkisar 1,3-1,8. Perkembangan

Universitas Sumatera Utara

yang lebih besar dari struktur pada tanah permukaan yang bertekstur halus
menjadi penyebab lebih rendahnya kerapatan massa dibandingkan tanah yang
berpasir. Tanah organik memiliki nilai kerapatan massa yang rendah jika
dibandingkan dengan tanah mineral. Variasi-variasi yang ada tergantung pada
keadaan bahan organik dan kandungan air pada waktu pengambilan cuplikan
untuk menentukan kerapatan massa (Foth, 1994).
Kerapatan massa tanah dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

ρb =

Ms
Vt


................................................................................................................(1)

dimana:
ρb

= Kerapatan massa (gr/cm3)

Ms

= Massa tanah kering (gr)

Vt

= Volume total tanah (volume ring) (cm3).

Kerapatan Partikel (Particle Density)
Kerapatan partikel didefinisikan sebagai berat tanah kering persatuan
volume partikel-partikel (padat) tanah (jadi tidak termasuk pori tanah). Jelasnya
yang dimaksud tanah disini adalah volume tanahnya saja dan tidak termasuk
volume ruang pori yang terdapat diantara ruang pori (Hardjowigeno, 2007).

Kandungan bahan organic di dalam tanah sangat mempengaruhi kerapatan
butiran tanah. Semakin banyak kandungan bahan organik maka akan semakin
kecil nilai kerapatan partikelnya (Hanafiah, 2005).
Tanah permukaan (top soil) biasanya mempunyai kerapatan yang lebih
kecil dari sub-soil karena tanah permukaan banyak mengandung bahan organik.

Universitas Sumatera Utara

Oleh karena itu particle density setiap tanah merupakan suatu tetapan dan tidak
bervariasi menurut jumlah partikel. Untuk kebanyakan tanah mineral particle
density-nya rata-rata sekitar 2,6 g/cc (Foth, 1994).
Kerapatan partikel tanah dapat dihitung persamaan sebagai berikut:

ρs =

Ms
Vs

.............................................................................................................(2)


dimana : ρs

= Kerapatan massa (gr/cm3)

Ms

= Massa tanah kering (gr)

Vs

= Volume partikel tanah (cm3).

Porositas Tanah
Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang pori kosong) yang dapat
ditempati oleh udara dan air, serta merupakan indikator kondisi drainase dan
aerasi tanah. Tanah – tanah pasir memiliki pori-pori kasar lebih banyak daripada
tanah liat. Tanah yang banyak mengandung pori-pori sulit menahan air sehingga
tanahnya mudah kekeringan. Tanah liat mempunyai pori total lebih tinggi dari
pada tanah pasir (Hardjowigeno, 2007).
Kerapatan massa berbanding terbalik dengan porositas tanah, bila

kerapatan massa tanah rendah maka porositas tinggi dan sebaliknya bila kerapatan
massa tanah tinggi maka porositas rendah. Pengelolaan lahan juga turut
mempengaruhi proses pemadatan tanah. Dimana partikel halus akan mengisi pori
tanah sehingga kerapatan massa akan semakin besar (Monde, 2010).
Sistem perakaran merupakan faktor lain yang diduga berpengaruh
terhadap tinggi rendahnya nilai porositas tanah. Sistem perakaran tanaman akan

Universitas Sumatera Utara

melakukan pentrasi secara vertikal dan lateral untuk menyerap unsur hara. Secara
tidak langsung akar-akar tanaman akan mengikat butir-butir tanah, sehingga tanah
menjadi remah (Saribun, 2007).
Pada penjelasan kerapatan massa, ditunjukkan bahwa tanah permukaan
berpasir mempunyai kerapatan massa yang lebih besar daripada tanah liat. Hal ini
berarti bahwa tanah berpasir memiliki lebih sedikit volume yang diduduki ruang
pori. Meskipun demikian, pengalaman kita sehari-hari mengajarkan kita bahwa air
biasanya bergerak lebih cepat melalui tanah berpasir dibandingkan melalui tanah
liat. Penjelasan yang kelihatanya bertentangan ini terletak pada ukuran pori-pori
yang terdapat pada masing-masing tanah. Ruang pori total pada tanah berpasir
mungkin rendah, tetapi sebagian besar tersusun dari pori-pori besar yang sangat
efisien untuk pergerakan air dan udara. Persentase volume yang diisi oleh
pori-pori kecil pada tanah berpasir adalah rendah yang menjadi penyebab
rendahnya kapasitas penahanan air. Sebaliknya, tanah permukaan yang betekstur
halus mempunyai ruang pori total yang lebih banyak dan relatif sebagian besar
tersusun dari pori-pori kecil sehingga tanah memiliki kapasitas menahan air yang
tinggi (Foth, 1994).
Porositas tanah dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
ρb

Porositas Tanah = (1 - ρs ) x 100% ....................................................................(3)
Dimana: ρb = kerapatan massa (gr/cm3)
ρs = kerapatan partikel (gr/cm3).

Universitas Sumatera Utara

3. Debit Air
Agar penyaluran air pengairan ke suatu areal lahan pertanaman dapat
diatur dengan sebaik-baiknya (dalam arti tidak berlebihan atau agar dapat
dimanfaatkan se-efisien mungkin, dengan mengingat kepentingan areal lahan
pertanaman

lainnya)

maka

dalam

pelaksanaanya

perlu

dilakukan

pengukuran-pengukuran debit air. Dengan distribusi kendali, dengan bantuan
pengukuran-pengukuran tersebut, maka masalah kebutuhan air pengairan selalu
dapat diatasi tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat petani pemakai air
pengairan. Untuk memenuhi kebutuhan air pengairan (irigasi bagi lahan-lahan
pertanian), debit air di daerah bendung harus lebih dari cukup untuk di salurkan ke
saluran-saluran (induk-sekunder-tersier) yang telah disiapkan di lahan-lahan
pertanaman (Kertasapoetra dan Sutedjo, 1994).
Debit air adalah suatu koefisien yang menyatakan banyaknya air yang
mengalir dari suatu sumber persatuan waktu, biasanya diukur dalam satuan liter
per detik. Pengukuran debit dapat dilakukan dengan berbagai cara antara
lain:
1. Pengukuran debit dengan bendung
2. Pengukuran debit berdasarkan kerapatan larutan obat
3. Pengukuran kecepatan aliran dan luas penampang melintang, dalam hal ini
untuk mengukur kecepatan arus digunakan pelampung atau pengukur arus
dengan kincir
4. Pengukuran dengan menggunakan alat-alat tertentu seperti pengukuran
arus magnetis dan pengukuran arus gelombang supersonis
(Dumiary, 1992).

Universitas Sumatera Utara

Pada dasarnya pengukuran debit adalah pengukuran luas penampang basah
dan kecepatan aliran. Rumus yang biasa digunakan sebagai berikut:
Q = v x A .....................................................................................(4)
dimana:

Q = debit air (m3/detik)
v = kecepatan aliran (m/detik)
A = luas penampang aliran (m2)

(Soewarno, 1991).
Pengukuran debit air dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung, dapat dilakukan dengan beberapa metode dan alat-alat pengukur,
sehingga dalam pelaksanaanya tidak mengalami kesulitan. Pengukuran kecepatan
aliran dengan pelampung (float method) dapat dengan mudah dilakukan walaupun
keadaan permukaan air sungai tinggi dan selain itu karena dalam pelaksanaanya
tidak dipengaruhi oleh kotoran atau kayu-kayuan yang terhanyutkan, maka cara
inilah yang sering digunakan. Tempat yang sebaiknya dipilih untuk pengukuran
kecepatan aliran yaitu bagian sungai atau saluran yang lurus dengan dimensi
seragam, sehingga lebar permukaan air dapat dibagi kedalam beberapa bagian
dengan jarak lebar antara 0,25 m sampai 3 m atau lebih tergantung lebar
permukaan. Pada setiap bagian lebar tadi diapungkan suatu pelampung, waktu
mengalirnya dicatat/diukur dengan stopwatch, dengan cara demikian dihitung
kecepatan aliran dan selanjutnya diadakan perhitungan debit yaitu: kecepatan
aliran x luas penampang melintangnya. Kecepatan rata-rata aliran pada
penampang bagian sungai atau saluran yang diukur adalah kecepatan pelampung
permukaan dikalikan dengan koefisien 0,70 atau 0,90 tergantung dari keadaan
sungai saluran dan arah angin, koefisien yang sering digunakan 0,8. Alat ukur arus

Universitas Sumatera Utara

(current meter) biasanya digunakan untuk mengukur aliran pada air rendah
sehingga kurang bermanfaat jika digunakan untuk pengukuran kecepatan aliran
pada keadaan air sungai sedang membanjir karena hasilnya akan kurang teliti
(Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).
Debit air juga dapat diukur secara langsung dengan menggunakan sekat
ukur tipe Cipolleti atau Thomson (Segitiga 90o). Persamaan Cipolleti yang
menunjukkan pengaliran adalah:
Q = 0.0186 LH3/2 ..............................................................(5)
Dimana Q dalam liter tiap detik, L dan H adalah dalam sentimeter. Untuk sekat
ukur segitiga 90o (tipe Thomsom) persamaannya adalah:
Q = 0.0138H5/2..................................................................(6)
di mana Q adalah debit (liter per detik) dan H adalah tinggi muka air (sentimeter).
Sekat ukur segitiga 90o (tipe Thomson) baik digunakan untuk pengukuran aliran
yang tidak lebih dari 112 l/det atau aliran dengan debit relatif kecil, selain itu
sekat ukur segitiga 90o (tipe Thomson) juga sangat mudah konstruksi dan
pengaplikasiannya (Lenka, 1991).
Pada alat pengukur Thomson seperti halnya alat pengukur Cipoletti harus
dipasang tegak lurus pada sumbu saluran pengukur. Pemasangan alat pengukur ini
harus betul-betul mendatar, dengan sudut siku-siku di sebelah bawah
(Soekarto dan Hartoyo, 1981).
4. Kehilangan Air
Agar suatu areal lahan pertanian mendapatkan air pengairan yang cukup,
maka dalam memperkirakan kebutuhan airnya perlu diperhatikan berbagai faktor
yang berpengaruh atas kebutuhan dan ketersediaan airnya seperti: jenis dan sifat

Universitas Sumatera Utara

tanah, macam dan jenis tanaman, keadaan iklim, keadaan topografi, luas areal
pertanaman

dan

kehilangan

air

selama

pengairan

dan

penyalurannya

(Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994). Kehilangan air pada tiap ruas pengukuran
debit masuk sampai debit keluar diperhitungkan sebagai selisih antara debit
masuk dan debit keluar (Tim Penelitian Water Management IPB, 1993).
Biaya awal yang rendah merupakan keuntungan utama dari saluran tanah,
namun kerugiannya adalah kehilangan air yang besar akibat rembesan, kecepatan
yang rendah sehingga potongan melintangnya relatif besar, terjadi kerusakan
akibat gerusan dan injakan hewan, merupakan media tumbuh yang seusai untuk
rumput sehingga menahan kecepatan air (Hansen, dkk, 1992).
Menurut Surnadi (1985) kehilangan air pada saluran-saluran irigasi
meliputi komponen kehilangan air melalui evapotranspirasi, perkolasi, rembesan
dan bocoran. Selain itu besarnya kehilangan air pada saluran dipengaruhi oleh
musim, jenis tanah, keadaan dan panjang saluran serta dipengaruhi oleh
karakteristik saluran.
Pada perkolasi, perembesan dan bocoran dimana salurannya hanya terbuat
dari tanah (tanpa dilapisi dengan bahan penguat seperti tembok dan lain-lain)
umumnya

relatif

besar

dan

perlu

diperhatikan

dengan

sebaik-baiknya

(Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994). Menurut Direktorat Jendral Pengairan (2010)
pada umumnya kehilangan air di jaringan irigasi dapat dibagi-bagi sebagai berikut
12.5 - 20 % di petak tersier, antara bangunan sadap tersier dan sawah, 5 -10 % di
saluran sekunder dan 5 -10 % di saluran utama.

Universitas Sumatera Utara

Kehilangan air yang disebabkan karakteristik saluran mengakibatkan
berkurangnya jumlah air yang dimanfaatkan bagi pertumbuhan tanaman dan
rendahnya efisiensi pengairan. Dalam usaha peningkatan efisiensi pengairan,
penggunaan air pengairan perlu dilakukan pencegahan terjadinya kerusakan
saluran secara periodik maupun dapat menggunakan bahan kedap air untuk
pelapisan dasar dinding saluran (Wigati dan Zahab, 2005).
Evapotranspirasi
Semua jenis tanaman memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya.
Masing-masing tanaman berbeda-beda kebutuhan airnya. Hanya sebagian kecil air
saja yang tertinggal di dalam tubuh tumbuh-tumbuhan, sebagian besar air setelah
diserap lewat akar-akar dan dahan-dahan ditranspirasikan lewat daun. Dalam
kondisi medan (field condition) tidak mungkin membedakan antara evaporasi
dengan transpirasi jika tanahnya ditutup oleh tumbuh-tumbuhan. Kedua proses
tersebut

evaporasi

dan

transpirasi

saling

berkaitan

sehingga

disebut

evapotranspirasi (Soemarto, 1995).
Evapotranspirasi merupakan kehilangan air melalui proses penguapan dari
tumbuh-tumbuhan

yang banyaknya berbeda-beda tergantung dari

kadar

kelembaban tanah dan jenis tumbuhan. Pada daerah saluran yang tidak dilapisi
dimana

banyak

tumbuh

berbagai

tumbuh-tumbuhan

air,

terjadinya

evapotranspirasi dikatakan selalu besar. Jika air yang tersedia dalam tanah cukup
banyak

maka

evapotranspirasi

disebut

evapotranspirasi

potensial.

Evapotranspirasi merupakan faktor dasar untuk menentukan kebutuhan air dalam

Universitas Sumatera Utara

rencana pengairan bagi lahan-lahan pertanian dan merupakan proses penting
dalam siklus hidrologi (Kartasoeputra dan Sutedjo, 1994).
Menurut Michael (1978) salah satu metode yang digunakan untuk
menentukan nilai kebutuhan air tanaman adalah dengan menggunakan metode
Blaney-Criddle. Blaney dan Criddle meneliti besarnya kebutuhan air tanaman
dengan menghubungkan temperatur bulanan rata-rata dengan jam siang hari
bulanan.
Hubungan yang dikembangkan oleh Blaney-Criddle dapat dinyatakan
sebagai berikut:
U=

K p (45,7t+813)
100

………………………………….(7)

dimana:
U

= Evapotranspirasi bulanan (mm)

K

= Koefisien tanaman bulanan

t

= Suhu rata-rata bulanan (oC)

p

= persentase bulanan jam hari-hari terang dalam setahun

(Soemarto, 1995)
K = Kt x Kc
Kt = 0,0311t +0,240......................................................(8)
dimana:
Kc = koefisien tanaman bulanan
Kt = Koefisien suhu
(Kartasoeputra dan Sutedjo, 1994).

Universitas Sumatera Utara

Perkolasi
Daya perkolasi adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan, yang
besarnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dalam zona tidak jenuh, yang terletak di
antara permukaan tanah dengan permukaan air tanah (Soemarto, 1994). Selain itu
perkolasi atau resapan air kedalam tanah merupakan penjenuhan yang dipengaruhi
oleh tekstur tanah, permeabilitas, tebal top soil dan letak pengukuran air tanah
(semakin tinggi letak muka air tanah semakin rendah perkolasi nya)
(Samadiyono, 2010).
Salah satu cara menentukan laju perkolasi di lapangan adalah dengan
metode silinder. Pengukuran dengan metode silinder yaitu dengan membenamkan
pipa ke tanah sedalam 30-40 cm, lalu diisi air setinggi 10 cm (h1)
(Harianto, 1987 dalam Sutanto 2006).
Laju perkolasi dihitung dengan rumus:
P=
dimana:
P

h 1 −h 2
t 1 −t 2

mm/hari .......................................................(9)

= Laju Perkolasi (mm/hari)

h1-h2 = Beda tinggi air dalam silinder waktu t1 dan t2 (mm)
t1-t2

= Selisih waktu pengamatan air dalam pipa (hari).

Perkolasi dapat berlangsung secara vertikal dan horizontal. Perkolasi yang
berlangsung secara vertikal merupakan kehilangan air ke lapisan yang lebih dalam
sedangkan yang berlangsung secara horizontal merupakan kehilangan air ke arah
samping seperti melalui pematang-pematang lahan persawahan. Tekstur tanah
seperti tanah bertekstur liat, lempung dan lempung berpasir sangat mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

besar kecilnya perkolasi. Pada tanah bertekstur liat (menurut hasil penyelidikan
Jepang, laju perkolasi mencapai 13 mm/hari dan pada tanah bertekstur pasir
mencapai 26,9 mm/hari). Hasil penyelidikan selanjutnya, pada tanah bertekstur
lempung berpasir laju perkolasi mencapai 3-6 mm/hari, pada tanah lempung laju
perkolasi mencapai 2-3 mm/hari dan pada tanah lempung berliat mencapai antara
1-2 mm/hari (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).
Rembesan
Perembesan air dan kebocoran air di saluran pengairan pada umumnya
berlangsung ke samping (horizontal) terutama terjadi pada saluran-saluran
pengairan yang dibangun pada tanah-tanah tanpa dilapisi tembok, sedang pada
saluran yang dilapisi (kecuali kalau keadaanya retak-retak) kehilangan air
sehubungan dengan terjadinya perembesan dan kebocoran tidak terjadi
(Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).
Besar rembesan dihitung dengan menggunakan rumus:
Rembesan = (Kehilangan Air) – (P + E)............................................................(10)
dimana: Rembesan dan Kehilangan Air (mm/hari)
P = Perkolsi (mm/hari)
E = Evapotranspirasi (mm/hari).
5. Efisiensi Irigasi
Ketepatgunaan pengairan (efisiensi) adalah suatu upaya pemakaian yang
benar-benar sesuai bagi keperluan budidaya tanaman dengan jumlah debit air
yang tersedia atau dialirkan sampai di lahan-lahan pertanaman, sehingga
pertumbuhan tanamanan dapat terjamin dengan baik dengan mencukupkan air

Universitas Sumatera Utara

pengairan yang tersedia itu. Ketepatgunaan penyaluran air pengairan (efisiensi)
ditunjukkan dengan terpenuhnya angka persentase air pengairan yang telah
ditentukan untuk sampai di areal pertanian dari air yang dialirkan ke saluran
pengairan. Ketepatgunaan penyaluran ini termasuk juga apa yang telah
diperhitungkan dengan kehilangan-kehilangan selama penyaluran (evaporasi,
perembesan dan bocoran) (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).
Konsep efisiensi pemberian air irigasi yang paling awal untuk
mengevaluasi kehilangan air adalah efesiensi saluran pembawa air. Kebanyakan
air irigasi kemudian datang dari pintu pengambilan dari sungai atau waduk.
Kehilangan yang terjadi pada waktu air disalurkan sering berlebihan. Efisiensi
saluran pembawa yang diformulasikan untuk mengevaluasi kehilangan tersebut
dinyatakan sebagai berikut:
EC = 100 x

Wf
Wr

......................................................................................(11)

Dimana EC = Efisiensi saluran pembawa air
Wf = Air yang disalurkan ke sawah
Wr = Air yang diambil sungai atau waduk
(Hansen, dkk, 1992).
6. Rancangan Saluran
Dalam merancang saluran, faktor-faktor yang perlu di perhatikan adalah:
1. Debit
Debit adalah nilai yang menyatakan banyaknya air yang mengalir
persatuan waktu. Besarnya debit air dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara

Q=vxA
dimana: Q = Debit (m3/det)
v = Kecepatan rata-rata (m/det)
A = Luas Penampang (m2).
2. Kecepatan Aliran
Kecepatan aliran diukur melalui aliran permukaan yang dikenal sebagai
kecepatan aliran permukaan. Kecepatan aliran tidak sama pada setiap
kedalaman saluran atau sungai. Oleh sebab itu untuk menghitung kecepatan
rata-rata digunakan kedalaman 0,6D, dimana D adalah kedalaman air di saluran
atau sungai. Kecepatan aliran rata-rata dapat dihitung dengan menggunakan
rumus persamaan Chezy dan Manning.
a) Kecepatan rata-rata oleh Chezy

dimana:

V = C x √RS....................................................................(12)

V

= Kecepatan aliran (m/det)

R

= Kedalaman rata-rata hidrolik

S

= Kemiringan saluran

Persamaan Bazin
C

=

87

1+� .........................................................................(13)
√R

dimana, K = konstansa Bazin

R = kedalaman rata-rata hidrolik

Universitas Sumatera Utara

b) Kecepatan rata-rata oleh Manning
V=

1
N

R2/3 . S1/2 ...............................................................(14)

dimana:
N

= Koefisisen kekasaran (lihat pada Tebel 1)

R

= Kedalaman rata-rata hidrolik

S

= Kemiringan saluran

Tabel 1. Nilai Koefisien Kekasaran
No
Material
1
Tanah
2
Batu
3
Beton

N
0,0225
0,02
0,013-0,018

Sumber: Basak,1999.

Ketentuan:
a). Jika nilai K tidak diberikan maka dapat diasumsikan sebagai berikut:
untuk saluran tidak disemen K = 1,30-1,75
untuk saluran yang disemen K = 0,45-0,85
b). Jika nilai N tidak diberikan maka dapat diasumsikan sebagai berikut:
untuk saluran tidak disemen K = 0,0225
untuk saluran yang disemen K = 0,333.
3. Kecepatan Aliran Kritis
Kecepatan aliran kritis adalah kecepatan aliran yang tidak menimbulkan
pengendapan atau penggerusan di saluran. Kennedy menggeluarkan persamaan
kecepatan aliran sebagai berikut:
V0= 0,546 x D0,64.............................................................(15)
dimana D adalah kedalaman saluran.

Universitas Sumatera Utara

Rasio kecepatan aliran kritis adalah perbandingan antara kecepatan
rata-rata aliran terhadap kecepatan kritis.
Rkk =

V
V0

atau m =

V
V0

Jika m = 1, tidak terjadi pengendapan atau penggerusan
m > 1, terjadi penggerusan
m < 1, terjadi pengendapan
(Basak, 1999).
4. Kemiringan Saluran
Breaking taping merupakan salah satu metode pengukuran kemiringan
yang menggunakan pembagian pengukuran tinggi menjadi beberapa tahap.
Pada pekerjaan breaking taping dilakukan pengukuran jarak vertikal antara
garis bidik dengan permukaan titik bidik selanjutnya. Alat yang biasa
digunakan adalah waterpass, pacak dan tape. Prosedur pengukurannya adalah
ditentukan titik yang berjarak 30 m, kemudian jarak pengukuran dibagi
masing-masing dengan jarak 5 m. Letakan pacak pada stasiun pertama
kemudian ditarik tape dari dasar stasiun selanjutnya menuju pacak pada stasiun
pertama, posisi tape harus benar horizontal (gunakan waterpass untuk
membuat tape benar-benar pada posisi horizontal). Kemudian diukur tinggi
permukaan tanah dan ujung tape pada stasiun pertama. Pengukuran tersebut
dilanjutkan pada stasiun berikutnya sampai stasiun terakhir. Dihitung besar
kemiringan dengan rumus:
Kemiringan =

Beda Tinggi
Jarak Horizontal

x 100 % ................................................(16)

Universitas Sumatera Utara

5. Penampang Melintang Saluran
Ada beberapa bentuk penampang melintang saluran yang umum yaitu
penampang berganda, penampang tunggal trapesium, dan penampang tunggal
persegi. Potongan melintang saluran yang paling ekonomis adalah saluran yang
dapat melewatkan debit maksimum untuk luas penampang basah, kekasaran
dan kemiringan dasar tertentu. Faktor yang terpenting dalam menentukan
pilihan

bentuk

penampang

saluran

adalah

pertimbangan

ekonomi

(Suripin, 2004).
Untuk ukuran saluran menurut Hansen, dkk (1992) lebar dasar saluran
dapat kurang dari kedalamanya atau dapat sepuluh kali atau lebih dari
kedalamanya.

Namun

potongan

melintang

hidrolik

terbaik

adalah

θ

B = 2D tan 2, dimana θ adalah sudut antara kemiringan tepi dan horizontal.
Hubungan ini juga dipakai pada saluran yang diberi lapisan.
6. Kedalaman Hidrolik
Kedalaman hidrolik adalah perbandingan antara penampang aliran dengan
parimeter basah saluran. Persamaan kedalaman hidrolik adalah sebagai berikut:
R=

A
Pw

.......................................................................................(17)

dimana A adalah Penampang melintang saluran dan Pw adalah Parimeter
basah (Basak,1999).
Penampang melintang saluran dan parimeter basah tergantung pada bentuk
saluran:
- Saluran berbentuk persegi panjang
A =bxy

Universitas Sumatera Utara

Pw = b + 2y
dimana b = lebar saluran
y = kedalaman aliran
-

Saluran berbentuk trapesium
A = (b + zy)y
Pw = b + 2y (�(1 + z)2
dimana b = lebar dasar
y = kedalaman aliran
m = kemiringan dinding saluran

-

Saluran berbentuk segitiga
A = zy2
Pw = 2y√1 + � 2

(Chow, 1997).

Universitas Sumatera Utara