Kaedah Hukum Serta Macam Macam Qadhi

KAEDAH HUKUM SERTA MACAM-MACAM QADHI
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum merupakan suatu sistem terpenting dalam rangka menegakkan segala
sesuatu yang bersifat tidak baik atau menyimpang dalam segala aspek seperti
ekonomi, perindustrian, politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
kemasyarakatn. Bahkan dalam hukum pidana pun hukum sangat dipentingkan
keberadaannya guna menjadikan si pelaku jera karena sifat dari hukum adalah
memaksa, dari sifat tersebut menjadikan bagi siapa saja harus menjalankan hukum
atau kesepakatan yang sudah dipositifkan dan diresmikan oleh mereka yang mendapat
kewenangan untuk tugas tersebut. Dari sinilah maka setiap hak manusia akan terjaga
dan sejalan dengan apa yang sudah menjadi haknya.
Demikian hukum yang bersifat memaksa maka terdapat ketegasan bagi para
individu untuk menegakan dan melakukan hukum tersebut jika ada perorangan
maupun lembaga melanggar hukum yang bersifat memkasa tadi maka sanksi akan
dijatuhkan padanya
Untuk berjalannya sistem hukum yang baik dan harmonis sehingga tidak ada
pihak yang merasa dirugikan atau terdzolimi maka diperlukan orang-orang yang
memang berkompeten dan ahli dalam bidang ini.

Orang-orang tersebut diantaranya adalah orang-orang yang pemahamannya
lebih seperti hakim, qadhi yang mampu bersifat adil dan mampu menyelesaikan
masalah suatu perkara yang dipersengketakan antara dua belah pihak.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Sifat dan kaidah Hukum?
2. Macam-macam qadhi?
C.

TUJUAN

1. Menjelaskan sifat dan kaidah hukum
2. Menjelaskan dan menjabarkan macam-macam qadhi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sifat Dan Kaedah Hukum
Yang dimaksud dari sifat dan kaedah hukum di sini adalah kaedah hukum berdasarkan
sifatnya.
Kaedah hukum berdasarkan sifatnya terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Hukum Imperatif

Adalah hukum yang memaksa, bisa diartikan juga merupakan hukum yang dalam
keadaan konkret harus ditaati atau hukum yang tidak boleh ditinggalkan oleh para
pihak dan harus diikuti. Ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa itu berlaku bagi
para pihak yang bersangkutan maupun hakim sehingga hukum itu sendiri harus
diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan mereka sebagai contoh
adalah ketentuan pasal 913 Burgeelijk Wetboek Indonesia (BW) dikutip dari
“Pengantar Ilmu Hukum“ Prof. Dr. Mahmud Marzuki SH, MS. LL. M yang berbunyi:
“Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah suatu bagian dari
harta benda yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut
undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh
menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup maupun
sebagai wasiat”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pewaris dengan testamen sekalipun tidak
dibolehkan untuk mengurangi bagian terkecil dari ahli waris sekecil apapun hal ini
akan terjadi pada kasus kematian seseorang, ketika dia meninggal dan meninggalkan
sebuah harta, katakanlah si mayat punya 3 anak, dan dia juga punya wanita simpanan
uang ia cintai, sebelum meninggal dia telah mewasiatkan seluruh harta bendanya
kepada wanita simpanan tersebut. Karena testamen atau wasiat tersebut bertentangan
dengan ketentuan pasal 913 BW, maka testaman itu tidak dapat dieksekusi. Disini
yang diharuskan terjadi ialah ketiga anak tersebut harus mendapatkan warisan sesuai

dengan pasal 914 BW tentang besarnya legitieme portie yang berhak diterima oleh
ketiga anak tersebut, barulah sisanya kemudian diwariskan kepada wanita simpanan
tersebut.
2. Hukum Fakultatif
Adalah hukum yang mengatur yang bisa diartikan juga sebagai hukum pelengkap
yang artinya dalam keadaan konkret, hukum tersebut dapat dikesampingkan oleh

perjanjian yang diadakan oleh para pihak dan dengan kata lain ini merupakan hukum
secara apiori tidaklah mengikat atau wajib ditaati.
Sebagai contoh dalam pasal 119 KUH Perdata berbunyi, “Mulai saat perkawinan
dilangsungkan, demi hukum, berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami
dan harta kekayaan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawain tidak
diadakannya ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan
atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri”.(dikutip dari “DasarDasar Ilmu Hukum” Ishaq SH. M. Hum).
Jadi, dalam hal ini sebenarnya kedua belah pihak dapat mengesampingkan
peraturan ini, jika kedua belah pihak membuat persetujuan-persetujuan lain yang
sekiranya dapat membuat keduanya saling menyepakati persetujuan atau perjanjian
tersebut misalnya dengan

membuat harta mereka terpisah satu sama lain, atau


sebagainya.
Dari pengertian diatas tentang hukum imperatif (hukum yang memaksa) dan fakultatif
(hukum yang mengatur), kata hukum yang memaksa dan mengatur sebenarnya merupakan
istilah yang digunakan oleh Belanda dalam membentuk Undang-Undang, karena itulah istilah
yang sangat tepat untuk menyebut “hukum yang mengatur dan memaksa” sebagai ketentuanketentuan yang bersifat memaksa dan mengatur hal ini sejalan dengan istilah bahasa inggris
“Mandatory Provision” untuk ketentuan yang bersifat memkaksa, dan “Directory Provision”
untuk ketentuan yang bersifat mengatur. Dan juga kaidah hukum yang isinya perintah dan
larangan

bersifat imperatif, sedangkan

yang

isinya

perkenan

atau


pembolehan

bersifat fakultatif.

B. MACAM-MACAM QADHI
Qadhi secara bahasa berasal dari kata qadha’, yakni menjelaskan hukum syariat dan
berpegang atasnya serta menyelesaikan sengketa. Dengan kata lain qadhi memiliki arti
sebagai orang yang menjelaskan hukum syariat dan berpegang atasnya serta menyelesaikan
sengketa.
Korelasi hakim yang agung dengan prinsip-prinsip Islam yang telah mensyariatkan
adanya tiga kategori hakim, sesuai dengan objek masing-masing yang hendak diadili. Berikut
macam-macam peradilan (qadhi):
1. Qadhi Khusumat (peradilan sengketa)
Qadhi yang berwenang menyelesaikan sengketa (khusumat) yang terjadi di antara
masyarakat, baik dalam perkara mu’amalat maupun ‘uqubat. Di sana ada pihak

penuntut, yang menuntut haknya dan terdakwa sebagai pihak yang dituntut.
Peradilan untuk qadhi khusumat ini membutuhkan mahkamah (ruang sidang).
2. Qadhi Hisbah
Qadhi yang bertugas menyelesaikan penyimpangan-penyimpangan yang dapat

merugikan masyarakat umum, dan mengadili pelanggaran hukum syara’ di luar
mahkamah, bukan karena tuntutan pihak penuntut, tetapi semata-mata karena
pelanggaran. Seperti pelanggaran lalu lintas, parkir di jalan raya, penimbunan
barang, dan lain-lain.
3. Qadhi Madzalim
Qadhi yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan persengketaan yang terjadi
antara rakyat dan negara, baik pegawai, pejabat, pemerintahan atau khalifah,
mengadili sengketa rakyat dengan negara dan atau penyimpangan negara terhdapa
konstitusi dan hukum.
Ketiga kategori ini, merupakan hakim di bidangnya masing-masing. Ketiga kategori ini
menjadi sebuah lembaga yang kemudian dipimpin oleh seorang ketua hakim, yang biasa
disebut qadhi qudhat. Jabatan ketua hakim ini pertama kali dibentuk oleh Khalifah Harun Arrasyid, yang diserahkan kepada Qadhi Qudhat Abu Yusuf.
Karena kedudukannya yang penting dan strategis, maka Islam tidak hanya mengatur
mekanisme peradilannya, tetapi juga membersihkan para pemangkunya dengan berbagai
kriteria. Seperti, Muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu dan adil, dan juga jabatan ini
tidak boleh dijabat oleh perempuan, karena merupakan bagian dari pemerintahan, dan atau
bersentuhan langsung dengan pemerintahan. Bahkan untuk qadhi madzalim harus mujtahid.
Islam juga menetapkan mekanisme yang tegas dan jelas terkait dengan profesi qadhi
ini. Pertama, Islam memberikan jabatan ini hanya kepada mereka yang layak dan ahli takwa.
Kedua, Islam melarang mereka menyibukkan diri dalam aktifitas yang bisa melalaikan

tugasnya, termasuk berbisnis dan sejenisnya. Ketiga, Islam juga melarang mereka menerima
hadiah, hibah dab sejenisnya dari mereka yang mempunyai kepentingan dengan jabatannya.
Keempat, Islam telah menetapkan gaji yang lebih dari cukup, sebagaimana yang diterapkan
Umar kepada qadhinya, agar bisa konsentrasi pada tugasnya dan tidak tergoda oleh
materiyang ditawarkan kepdanya. Kelima, Islam menetapkan akhlak para qadhi, antara lain
harus berwibawa, menjaga muru’ah (harga diri), tidak banyak berinteraksi dengan orang,
senda gurau dengan mereka, menjaga ucapan dan tindak tanduknya.
Selain ketentuan di atas, Islam juga menutup celah lahirnya para qadhi yang korup,
melalui mekanisme peradilan yang baik. Pertama, Islam menetapkan, bahwa keputusan
peradilan bersifat mengikat. Artinya, setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan
harus dilaksanakan, tidak bisa digugat, apalagi diubah, walaupun oleh qadhi yang sama.

Kedua, setiap perkara yang diajukan ke mahkamah harus segera diputuskan, tidak boleh
ditangguhkan, sehingga tidak terjadi penumpukan kasus.
Macam-macam qadhi (hakim) dan amalannya
1. Allah berfirman: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” QS. Shad :

26
2. Dari Buraidah R.A.: bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Qadhi (hakim) terbagi
menjdai tiga bagian, dua di dalam neraka dan satu di surga, seseorang yang
mengetahui kebenaran kemudian dia menghukumi dengannya, maka dia di surga,
seseorang yang menghukumi dengan kebodohannya, maka dia di dalam neraka serta
seseorang yang berbuat dzolim dalam menghukumi, maka dia di neraka.” HR. Abu
Daud dan Ibnu Majah
3. Dari Abu Hurairah RA: bahwasanya Nabi Shallallu’alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang dijadikan seorang hakim di tengah-tengah masyarakat maka
sesungguhnya dia telah disembelih tanpa menguunakan pisau.” HR. Abu Daud dan
Ibnu Majah

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwasannya sifat dan kaedah hukum disini berdasarkan sifatnya terbagi menjadi dua
yaitu yang bersifat memaksa (imperatif) dan yang bersifat mengatur (fakultatif). Jika ada
hukumnya maka ada qodhi yang memutuskan suatu perkara, macam-macam qodhi
diantaranya adalah Qadhi Qudhat, Qadhi Khusumat, Qadhi Hisbah, Qadhi Madzalim.
Dari pembahasan di atas bahwasanya itu hanya terdapat pada zaman dahulu,jika

dibandingkan dengan zaman sekarang sudah tidak ada lagi hanya saja ada bentuk lembaga-

lembaga yang menangani kasus-kasus sengketa dan ada orang yang memberi keputusan atas
kasusu persengketaan tersebut yang biasa disebut Hakim.

Daftar Pustaka
At Tuwajiri, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2009, “Ringkasan Fiqh Islam, Peradilan”
www.slideshare.net/sesukakita/negara-dalam-perspektif-hukum-islam
hukum-supianhadi-hukum.blogspot.com/2012/04/studi-islam-iv-negara-dalamperspektif.html
Suadi, DR. H. Amran, 2014, “Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia”,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada