Modifikasi Struktur Senyawa Etil Pmetoksisinamat Melalui Proses Nitrasi- Esterifikasi dengan 1-Butanol Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ETIL

P-METOKSISINAMAT MELALUI PROSES

NITRASI-ESTERIFIKASI DENGAN 1-BUTANOL SERTA UJI

AKTIVITAS SEBAGAI ANTIINFLAMASI

SKRIPSI

INDAH NUNIK NUGRAINI 1111102000101

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA JUNI 2015


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ETIL

P-METOKSISINAMAT MELALUI PROSES

NITRASI-ESTERIFIKASI DENGAN 1-BUTANOL SERTA UJI

AKTIVITAS SEBAGAI ANTIINFLAMASI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

INDAH NUNIK NUGRAINI 1111102000101

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA JUNI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

Nama : Indah Nunik Nugraini

Program Studi : Strata-1-Farmasi

Judul : Modifikasi Struktur Senyawa Etil P-metoksisinamat Melalui Proses Nitrasi-Esterifikasi dengan 1-Butanol Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi

Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan salah satu metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman kencur (Kaempferia galanga Linn) dalam jumlah yang relatif besar dan memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan modifikasi struktur senyawa etil p-metoksisinamat dan melihat pengaruh hasil modifikasi terhadap aktivitas antiinflamasinya. Modifikasi senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS) melalui proses nitrasi-esterifikasi dengan 1-butanol telah dilakukan untuk mengeksplorasi lebih jauh hubungan struktur aktivitas senyawa turunan EPMS terhadap antiinflamasi. Sebelum dimodifikasi, EPMS terlebih dahulu diubah menjadi asam p-metoksisinamat (APMS) melalui reaksi hidrolisis. Modifikasi senyawa APMS dilakukan secara dua tahap, pertama melalui reaksi nitrasi dengan asam nitrat 65 % untuk memasukkan gugus NO2

pada cincin benzen dan yang kedua melalui reaksi esterifikasi dengan 1-butanol untuk mensubstitusi gugus karboksilat dengan 4 rantai karbon sehingga menghasilkan senyawa butil 4-metoksi 6-nitrosinamat dengan rendemen 10,7241 %. Berdasarkan uji aktivitas antiinflamasi yang dilakukan dengan menggunakan metode inhibisi denaturasi protein BSA didapatkan bahwa senyawa butil 4-metoksi 6-nitrosinamat aktif sebagai agen antiinflamasi pada konsentrasi 0,1-10 ppm, namun aktivitas antiinflamasinya tidak lebih tinggi dari pada etil p-metoksisinamat. Sementara, senyawa APMS tidak memiliki aktivitas antiinflamasi. Dengan demikian, hubungan struktur aktivitas antiinflamasi terhadap senyawa hasil modifikasi menunjukkan bahwa gugus ester pada turunan senyawa EPMS memiliki peran penting terhadap aktivitas antiinflamasi.

Kata kunci : Etil p-metoksisinamat, asam p-metoksisinamat, nitrasi, esterifikasi, Bovine Serum Albumin.


(7)

Name : Indah Nunik Nugraini

Programme Study : Strata-1-Pharmacy

Title : Modification of Ethyl P-methoxycinnamate Compound Through Nitration-Esterification Process with 1-Butanol and Antiinflammatory Activity Test

Ethyl p-metoxycinnamate (EPMC) is one of secondary metabolite which is found in kencur (Kaempferia galanga Linn) in relatively large quantity and has antiinflammatory activity. The aims of this study were to modify ethyl p -metoxycinnamate acid structure and determine the modification effect toward its antiinflammatory activity. Modification of ethyl p-methoxycinnamate compound through nitration-esterification process with 1-Butanol had been done to explore structure activity relationship against the antiinflammatory. Before being modified, EPMC was converted to be p-metoxycinnamate acid (PMCA) by hidrolysis reaction. In this research, there are two processes of reaction to modify PMCA. First, nitration of PMCA with nitric acid 65 % to subtitute NO2 group in benzene

ring, and the second is esterification with 1-butanol to subtitute carboxylate group with esther 4 carbon chain produces butyl 4-methoxy 6-nitrocinnamate compound in 10,7241 % yield. Based on antiinflammatory activity assays using inhibition of bovine serum albumine (BSA) denaturation method found that butyl 4-methoxy 6-nitrocinnamate was active as an inflammatory agent, however its anti-inflammatory activity was not higher than ethyl p-metoxycinnamate. While, the p -metoxycinnamate acid compound did not have anti-inflammatory activity. Thus, the relationship of anti-inflammatory activity toward modified compound indicates that the ester group in EPMC derivatives have an important role in anti-inflammatory activity.

Key word : Ethyl p-methoxycinnamate, p-methoxycinnamate acid, nitration, estherification, Bovine Serum Albumin.


(8)

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-Metoksisinamat Melalui Proses Nitrasi-Esterifikasi Dengan 1-Butanol Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam

rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. sebagai Pembimbing I sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga, dan dukungan moral maupun material selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.

2. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt. sebagai Pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan masukan terhadap proses penulisan skripsi. 3. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. atas dedikasi dan profesionalitas beliau sebagai ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sartiman Winarto Hidayat dan Ibuunda Siti Nurhasanah yang selalu ikhlas memberikan dukungan moral,


(9)

7. Kakak Sigit Sulistyawan yang selalu memberikan semangat dan Adik Adji Setia Negara yang selalu tersenyum memberikan keceriaan dan semangat untuk meraih cita.

8. Kakak-kakak dan teman-teman seperjuangan di Laboratorium PHA, Kingdom EPMS: Kak Ivo, Kak Fikri, Nova, Indri, Ali, Aziz, Reza, Sutar, Mida, Aditya, dan Bahtiar atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan. 9. Teman-teman di Program Studi Farmasi 2011: Nindya, Elsa, Puji, Subhan,

Andis, Annisa, Aditya, Fitri, Beryl serta teman-teman Farmasi 2011 beng-beng atas semangat dan kebersamaan kita selama perkuliahan berlangsung. 10.Teman-teman BEM FKIK 2012-2014 dan FUN (FKIK Untuk Negeri)

sebagai keluarga kecil yang selalu memberikan doa dan semangat kebersamaan selama masa kuliah.

11.Arif Setiyawan yang selalu hadir memberi semangat dan dukungan tanpa henti, yang selalu menemani suka duka, yang selalu memotivasi dan menginspirasi.

12.Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan penulisan.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis nantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 30 Juni 2015 Penulis


(10)

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Indah Nunik Nugraini

NIM : 1111102000101

Program Studi : Strata-1 Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi

demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :

MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ETIL P-METOKSISINAMAT

MELALUI PROSES NITRASI-ESTERIFIKASI DENGAN 1-BUTANOL SERTA UJI AKTIVITAS SEBAGAI ANTIINFLAMASI

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 30 Juni 2015

Yang menyatakan,

(Indah Nunik Nugraini) Yang menyatakan,


(11)

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... x

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR ISTILAH ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 4

1.5Hipotesis ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tumbuhan Kencur ... 6

2.1.1 Klasifikasi ... 7

2.1.2 Tempat Tumbuh ... 7

2.1.3 Kandungan Kimia Kaempferia galanga L. ... 7

2.1.4 Manfaat Kaempferia galanga L. ... 9

2.2 Senyawa Etil p-metoksisinamat ... 9

2.2.1 Isolasi Senyawa Etil p-Metoksisinamat ... 10

2.3 Hidrolisis ... 11

2.4 Nitrasi ... 14

2.5 Esterifikasi ... 16

2.6 Spesifikasi Asam Nitrat dan Etanolamin ...18

2.6.1 Asam Nitrat ... 18

2.6.2 1-Butanol ... 18

2.7 Gelombang Mikro ... 19

2.7.1 Prinsip Umum ... 19

2.7.2 Mekanisme Pemanasan ... 19

2.7.3 Instrumentasi Oven Gelombang Mikro ... 20

2.8 Identifikasi ... 21

2.8.1 Kromatografi ... 21

a. Kromatografi Lapis Tipis ... 21

b. Kromatografi Kolom ... 23

2.8.2 Spektrofotometri ... 24


(12)

2.9.1 Definisi Inflamasi ... 28

2.9.2 Mekanisme Inflamasi ... 29

2.9.3 Obat-Obat Antiinflamasi ... 30

a. Antiinflamasi Steroid ... 30

b. Antiinflamasi Non Steroid ... 30

2.9.4 Natrium Diklofenak ... 31

2.10 Uji Antiinflamasi ... 31

2.10.1 Bovine Serum Albumin (BSA) ... 32

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 34

3.1 Tempat dan Waktu ... 34

3.1.1 Tempat ... 34

3.1.2 Waktu ... 34

3.2 Alat dan Bahan ... 34

3.2.1 Alat ... 34

3.2.2 Bahan ... 34

3.3 Prosedur Penelitian ... 35

3.3.1 Modifikasi Etil p-metoksisinamat ... 35

a. Hidrolisis Etil p-metoksisinamat ... 35

b. Nitrasi Asam p-metoksisinamat ... 35

c. Esterifikasi Senyawa Hasil Reaksi Nitrasi ... 36

3.3.2 Pemurnian dengan Kromatografi Kolom ... 36

3.3.3 Identifikasi Senyawa ... 36

a. Identifikasi Organoleptis ... 36

b. Pengukuran Titik Leleh ... 36

c. Identifikasi senyawa menggunakan FTIR ... 37

d. Identifikasi senyawa menggunakan GCMS ... 37

e. Identifikasi senyawa menggunakan H1-NMR dan C13 -NMR ... 37

3.3.4 Uji In Vitro Antiinflamasi ... 37

a. Pembuatan Reagen untuk Uji Antiinflamasi ... 37

b. Pengujian Aktivitas Senyawa Hasil Modifikasi Terhadap Denaturasi BSA ... 39

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1 Modifikasi Struktur Asam p-metoksisinamat ... 41

4.1.1 Reaksi Hidrolisis Etil p-metoksisinamat ... 42

4.1.2 Reaksi Nitrasi Asam p-metoksisinamat ... 45

4.1.3 Reaksi Esterifikasi Senyawa Hasil Nitrasi ... 46

4.2 Identifikasi Senyawa Hasil Modifikasi... 49

4.2.1 Senyawa Hasil Hidrolisis Etil p-metoksisinamat ... 50

4.2.2 Hasil Nitrasi APMS ... 52

4.2.3 Senyawa Hasil Esterifikasi (Senyawa B) ... 53

4.3 Pengujian Aktivitas Antiinflamasi dan Hubungan Struktur Aktivitas Senyawa Hasil Modifikasi ... 58


(13)

5.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN ... 69


(14)

✂ ✁ Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 2.10 Gambar 2.11 Gambar 2.12 Gambar 2.13 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 4.16 Gambar 4.17 Gambar 4.18 Gambar 4.19 Gambar 4.20

Struktur Senyawa dari (a) beta-sitosterol (b) etil p-metoksisinamat (c) pentadekan (d) asam tridekanoat ... Jalur sikimat untuk menghasilkan etil p-metoksisinamat ... Prisnsip Reaksi Hidrolisis ... Mekanisme Reaksi Hidrolisis pada Ester ... Mekanisme Reaksi Hidrolisis Ester dengan Katalis Basa ... Mekanisme Hidrolisis Etil p-metoksisinamat ... Struktur Asam p-metoksisinamat ... Mekanisme Reaksi Nitrasi dengan HNO3 dan H2SO4 pada Senyawa

Aromatik ... Struktur Senyawa 1-Butanol ... Instrumentasi Oven Microwave ... Skema Kromatografi Lapis Tipis... Mekanisme Inflamasi ... Mekanisme Reaksi Hidrolisis EPMS ... Pola Spot KLT Hasil Hidrolis ... Reaksi Nitrasi APMS ... Residu Hasil Penyaringan pada Reaksi Nitrasi APMS ... Reaksi Esterifikasi Senyawa Hasil Nitrasi ... Pola Spot KLT Setelah Reaksi Esterifikasi ... KLT Senyawa Hasil Esterifikasi Setelah Pemurnian ... Identifikasi Senyawa Modifikasi dengan KLT ... Senyawa Hasil Hidrolisis EPMS ... Pola Fragmentasi GCMS Asam p-metoksisinamat ... Struktur Asam p-metoksisinamat ... Hasil Reaksi Nitrasi yang Mengandung Senyawa A ... Pola KLT Hasil Reaksi Nitrasi APMS ... Senyawa B ... Spektrum IR Senyawa B ... Fragmentasi GCMS Senyawa B ... Pola Kromatogram GCMS Senyawa B ... Spektrum H-NMR Senyawa B ... Struktur Senyawa Hasil Esterifikasi dan Etil 4-metoksi 6-nitro sinamat ... Grafik Persen Inhibisi Denaturasi Protein BSA ...

8 11 11 12 13 13 14 15 19 21 23 29 43 44 45 46 47 48 49 49 50 51 52 52 53 53 54 55 56 56 57 60


(15)

✂ ✁ Tabel 4.1

Tabel 4.2

Tabel 4.3

Spektrum IR Senyawa Esterifikasi Hasil Nitrasi ... Data Pergeseran Kimia (!) Spektrum 1H-NMR Senyawa Hasil Esterifikasi... Hasil Uji Aktivitas Antiinflamasi ...

55

57 59


(16)

✂ ✁

Lampiran 1. Kerangka Penelitian ...69

Lampiran 2. Skema Identifikasi Senyawa Hasil Modifikasi ... 70

Lampiran 3. Alat dan Bahan Penelitian ... 71

Lampiran 4. Alur Kerja Reaksi Esterifikasi ... 73

Lampiran 5. Perhitungan Reaksi ... 75

Lampiran 6. Optimasi Reaksi Hidrolisis ... 76

Lampiran 7. Optimasi Reaksi Nitrasi ... 77

Lampiran 8. Optimasi Reaksi Esterifikasi ... 78

Lampiran 9. Gambar Senyawa ... 79

Lampiran 10. Spektrum GCMS Asam p-metoksisinamat ... 80

Lampiran 11. Spektrum IR Hasil Esterifikasi ... 82

Lampiran 12. Spektrum GCMS Hasil Esterifikasi ... 83

Lampiran 13. Spektrum H1-NMR Hasil Esterifikasi ... 85

Lampiran 14. Spektrum C13-NMR Hasil Esterifikasi ... 89

Lampiran 15. Hasil Perhitungan Uji Antiinflamasi ... 93


(17)

✂ ✁

DAFTAR ISTILAH

APMS Asam p-metoksisinamat

COX Cyclooxigenase (Siklooksigenase) DSC Differential Scanning Calorimeter EPMS Etil p-metoksisinamat

g Gram

GCMS Gas Chromatography Mass Spectrofotometry IC Inhibitor Concentration

IR Infra Red

KLT Kromatografi Lapis Tipis

MIC Minimum Inhibitor Concentration NMR Nuclear Magnetic Resonance UV Ultra Violet


(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara megabiodiversity yang kaya akan tanaman obat, dan sangat potensial untuk dikembangkan, namun pengelolaannya belum dilakukan secara maksimal. Kekayaan alam flora di Indonesia meliputi 30.000 jenis tumbuhan dari total 40.000 jenis tumbuhan di dunia. 940 jenis diantaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat (jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat di Asia). Namun berdasarkan hasil penelitian, dari sekian banyak jenis tanaman obat, baru 20-22% yang dibudidayakan. Sedangkan sekitar 78% diperoleh melalui pengambilan langsung (eksplorasi) dari hutan (Masyhud, 2010).

Butuh adanya strategi untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku obat dari tanaman. Termasuk diantaranya adalah upaya untuk meningkatkan penelitian dan pengembangan terhadap potensi alam Indonesia terkait isolasi, sintesis, maupun modifikasi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil dan aktivitas obat yang lebih baik dengan biaya yang layak secara ekonomi, kemudian berkembang untuk mendapatkan obat dengan efek samping yang minimal (aman digunakan), bekerja selektif, masa kerja lebih lama, dan meningkatkan kenyaman pemakaian obat (Kemristek RI, 2009)

Kencur (Kaempferia galanga L) sebagai salah satu tanaman obat memiliki prospek baik untuk dikembangkan. Salah satu alasan pengembangan tanaman kencur adalah kandungan bahan aktif yang beragam dan cukup tinggi yang mampu mencegah maupun mengobati berbagai penyakit (Siswanto et al., 2010).

Adapun berbagai pengujian aktivitas terhadap ekstrak kencur telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Ekstrak minyak atsiri kencur telah diteliti memiliki aktivitas antibakteri dan antijamur (Tewtrakul et al.,


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2005). Ekstrak etanol rimpang kencur memiliki daya hambat yang baik terhadap jamur Trichophyton mentagrophytes dan Cryptococcus

neoformans yang merupakan jamur penyabab penyakit kurap pada kulit dan

penyakit paru (Gholib, 2009). Selain itu, ekstrak etanol kencur dapat berperan sebagai antiinflamasi dan analgesik (Vittalrao, 2011) dan sebagai penyembuh luka (Tara, 2006).

Umar et al. (2012) telah meneliti kandungan yang terdapat dalam ekstrak kencur. Adapun senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak kencur adalah etil p-metoksisinamat (80,05%), beta-sitosterol (9,88%), asam propionate (4,7%), pentadekan (2,08%), asam tridekanoat (1,81%), dan 1,21-docosadiene (1,47%). Menurut data tersebut, jelas bahwa etil p-metoksisinamat adalah komponen utama (major coumpound) dalam ekstrak kencur.

Etil p-metoksisinamat berperan penting terhadap berbagai aktivitas yang dimiliki oleh tanaman kencur. Dalam studi in vitro, etil p-metoksisinamat secara non-selektif mampu menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2, dengan masing-masng nilai IC50 1,12 μM dan 0,83 μM. Hasil ini memvalidasi aktivitas antiinflamasi kencur yang dihasilkan oleh penghambatan COX-1 dan COX-2 (Umar et al., 2012). Penelitian terbaru oleh Ju Ko et al. (2014) menunjukkan bahwa etil p-metoksisinamat mampu menghambat pembentukan melanin sehingga memungkinkan untuk menjadi salah satu alternatif pengobatan pada kasus hiperpigmentasi.

Senyawa etil p-metoksisinamat, yang merupakan salah satu senyawa utama dalam rimpang kencur, telah mendorong para ahli kimia medisinal untuk melakukan pengembangan terhadap senyawa tersebut. Diantaranya, sintesis oktil p-metoksisinamat sebagai sunblock melalui reaksi transesterifikasi (Suzana, 2011), modifikasi etil p-metoksisinamat sebagai agen kemopreventif pada fibrosarkoma tikus (Ekowati et al., 2012), dan modifikasi etil p-metoksisinamat melalui reaksi hidrolisis dapat menghilangkan aktivitas antiinflamasi (Mufidah, 2014).


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Salah satu hal yang mendasari penulis untuk melakukan modifikasi terhadap senyawa etil p-metoksisinamat adalah karena senyawa turunan sinamat tersebut mempunyai gugus fungsi reaktif seperti olefin dan ester yang mudah ditransformasikan menjadi gugus fungsi lain, sehingga senyawa etil p-metoksisinamat merupakan senyawa yang potensial sebagai bahan dasar sintesis (Surbakti, 2008). Selain itu, senyawa etil p-metoksisinamat juga relatif mudah diisolasi dari ekstrak tanaman kencur.

Bentuk modifikasi yang akan dilakukan adalah dengan menambahkan gugus nitro (NO2) pada cincin benzen etil p-metoksisinamat melalui reaksi nitrasi dan mensubstitusi gugus karboksilat dengan gugus butil ester melalui reaksi esterifikasi menggunakan 1-butanol. Pemilihan reaksi didasarkan pada teori bahwa penambahan gugus NO2 dan rantai karbon pada bagian ester menunjukkan efek induksi negatif yang dapat mempengaruhi keelektronegatifan suatu senyawa dengan demikian akan memberikan perubahan sifat kimia fisika senyawa dan mempengaruhi aktivitas biologisnya (Siswandono, 2008), sehingga ini menjadi menarik untuk dilakukan.

Menurut penelitian sebelumnya oleh Rakesh et al., (2015) menunjukkan bahwa turunan senyawa modifikasi quinazolinone yang memiliki gugus Cl dan NO2 mampu menghasilkan agen antiinflamasi yang lebih baik dari aspirin (Rakesh et al., 2015). Sedangkan, penambahan gugus butil melalui reaksi esterifikasi dapat meningkatkan lipofilisitas senyawa, dengan demikian akan terjadi perbedaan polaritas yang mungkin dapat mempengaruhi aktivitas antiinlamasi. Inilah dasar yang memperkuat pemilihan reaksi nitrasi-esterifikasi dalam penelitian ini.

Penelitian modifikasi struktur EPMS melalui reaksi nitrasi telah dilakukan oleh Mufidah (2014), namun hal tersebut menyebabkan terjadinya degradasi sinamat. Selain itu, peneliti telah melakukan studi pendahuluan reaksi nitrasi dari asam p-metoksisinamat. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan turunan asam dari etil p-metoksisinamat sebagai starting material.


(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Uji antiinflamasi hasil modifikasi senyawa dilakukan secara in vitro menggunakan metode inhibisi denaturasi Bovine Serum Albumine (BSA). Pengujian ini dipilih karena mudah, hanya menggunakan sampel dalam jumlah sedikit, memiliki waktu analisis yang cepat dan merupakan uji pendahuluan yang dilakukan sebagai skrining awal aktivitas antiinflamasi (Mufidah, 2014).

1.2. Rumusan Masalah

a. Apakah gugus fungsi pada senyawa etil p-metoksisinamat dapat ditransformasi melalui reaksi nitrasi-esterifikasi dengan 1-butanol? b. Bagaimana hubungan struktur senyawa hasil transformasi gugus fungsi

etil p-metoksisinamat terhadap aktivitas antiinflamasi?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Melakukan modifikasi struktur senyawa etil p-metoksisinamat melalui reaksi nitrasi-esterifikasi.

b. Menganalisis hubungan struktur aktivitas antiinflamasi senyawa hasil modifikasi yang dihasilkan dari transformasi gugus fungsi etil p-metoksisinamat.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Mendapatkan senyawa turunan etil p-metoksisinamat yang diharapkan mampu memberikan informasi baru mengenai hubungan struktur aktivitas senyawa turunan etil p-metoksisinamat sebagai agen antiinflamasi.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi untuk proses modifikasi struktur dan uji aktivitas dari senyawa etil p-metoksisinamat lebih lanjut.


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1.5. Hipotesis

Penambahan gugus nitro dan butil ester pada senyawa etil p-metoksisinamat akan memberikan pengaruh terhadap aktivitas antiinflamasi.


(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.1 Tumbuhan Kencur

Gambar 2.1 Rimpang kencur (Kaempferia galanga L)

Tumbuhan kencur (Kaempferia galanga L) diperkirakan berasal dari India. Meskipun demikian, kencur sudah menyebar luas di berbagai negara terutama di benua Asia (Rukmana, 1994). Kencur merupakan tanaman tropis yang banyak tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang dipelihara. Bagian tanaman yang sering digunakan adalah rimpang yang mempunyai aroma yang khas dan lembut sehingga mudah membedakannya dengan jenis Zingiberaceae lain.

Daun kencur berbentuk bulat lebar, tumbuh mendatar diatas permukaan tanah dengan jumlah daun tiga sampai empat helai. Permukaan daun sebelah atas berwarna hijau sedangkan sebelah bawah berwarna hijau pucat. Panjang daun berukuran 10-12 cm dengan lebar 8-10 cm mempunyai sirip daun yang tipis dari pangkal tanpa tulang induk daun yang nyata (Backer, 1986).

Rimpang kencur terdapat di dalam tanah bergerombol dan bercabang-cabang dengan induk rimpang di tengah. Kulit ari berwarna coklat dan bagian dalam putih berair dengan aroma yang tajam. Rimpang yang masih muda berwarna putih kekuningan dengan kandungan air yang lebih banyak dan rimpang yang lebih tua ditumbuhi akar pada ruas rimpang berwarna putih kekuningan (Backer, 1986).


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bunga kencur berwarna putih berbau harum terdiri dari empat helai daun mahkota. Tangkai bunga berdaun kecil-kecil sepanjang 2-3 cm, tidak bercabang, dapat tumbuh lebih dari satu tangkai, panjang tangkai 5-7 cm berbentuk bulat dan beruas-ruas. Putik menonjol ke atas berukuran 1-1,5 cm, tangkai sari berbentuk corong pendek. Bunga kencur termasuk ke dalam bunga majemuk sempurna (lengkap), karena mempunyai bunga jantan, bunga betina, mahkota, dan kelopak bunga yang terletak dalam satu anak bunga (Haryudi, 2008).

2.1.1 Klasifikasi (USDA) Kingdom : Plantae

Subkingdom : Trecheobionta Super divisi : Spematophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub Kelas : Commenlinidae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Kaempferia

Spesies : Kaempferia galanga Linn.

2.1.2 Tempat Tumbuh

Kencur merupakan temu kecil yang tumbuh subur di daerah dataran rendah atau pegunungan yang tanahnya gembur (Armando, 2009). Produksi, mutu, dan kandungan bahan aktif di dalam rimpang kencur ditentukan oleh varietas cara budidaya dan lingkungan tempat tumbuhnya (Muhlisah, 1999).

Kencur dapat tumbuh di berbagai tempat di dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian daerah antara 80 – 700 m dari permukaan laut. Tanaman ini menghendaki tanah yang subur dan gembur. Kencur tumbuh lebih baik pada tempat yang sedikit terlindung (Syukur, Hernani, 2001). Tumbuhan kencur yang ditanam


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pada ketinggian lebih dari 600 m dpl. mempunyai resiko pertumbuhan yang kurang baik. Selain itu, peta curah hujan di Jawa menunjukkan bahwa kencur dapat beradaptasi di daerah yang basah (9 bulan basah) maupun yang sedang (5-6 bulan basah dan 5-6 bulan kering) dan mencakup areal kira-kira 60% dari luas pulau Jawa (Roemantyo, 1996).

2.1.3 Kandungan Kimia Kaempferia galanga L.

Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Umar et al. (2012), kandungan senyawa kimia dalam ekstrak kencur adalah asam propionat (4,71%), pantadekan (2,08%), asam tridekanoat (1,81%), 1,21-docosadiene (1,47%), beta-sitosterol (9,88 %), dan etil p-metoksisinamat sebagai komponen terbesar (80,05%). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Tewtrakul et al. (2005) juga dipaparkan bahwa terdapat kandungan α-pinen, kamphen, karvon, benzen, eukaliptol, borneol, dan metil sinamat dalam tanaman kencur.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2.2 Struktur Senyawa dari (a) beta-sitosterol (b) etil p-metoksisinamat (c) pentadekan (d) asam tridekanoat


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.1.4 Manfaat Kaempferia galanga L.

Kencur merupakan jenis tanaman obat potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku minuman untuk kesehatan, obat-obatan dan penyedap masakan, serta dapat juga dimanfaatkan sebagai kosmetik (Haryudin et al., 2008). Dalam ramuan obat tradisional (jamu) kencur dipakai sebagai obat luar (topikal) maupun obat dalam (oral). Jamu yang mengandung kencur digunakan untuk pengobatan antara lain antiinflamasi, antimikroba, analgesik dan antipiretik (Suwito, 2005).

2.2 Senyawa Etil p-metoksisinamat

Etil p–metoksisinamat (C12H14O3) termasuk turunan asam sinamat, dimana asam sinamat adalah turunan senyawa fenil propanoat. Senyawa EPMS berbentuk kristal berwarna putih dengan berat molekul 206,24 g/mol dan memiliki titik lebur 55-56oC (Bangun, 2011). EPMS sebelumnya dimanfaatkan sebagai bahan tabir surya (Windono et al., 1997), namun dewasa ini telah diteliti lebih lanjut bahwa EPMS merupakan senyawa isolat kencur yang memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi non selektif menghambat COX-1 dan COX-2 secara in vitro. Etil p-metoksisinamat (EPMS) mampu menghambat induksi edema karagenan pada tikus dengan MIC 100 mg/kg dan juga berdasarkan hasil uji in vitro EPMS secara non-selektif menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2 dengan nilai IC 50 masing-masing 1,12 μM dan 0,83 μM (Umar et al., 2012).

Etil p-metoksisinamat adalah salah satu produk alam yang terdapat pada kencur (Kaempferia galanga) dalam jumlah yang relatif besar. Isolasi dan pemurnian etil p-metoksisinamat dapat dilakukan dengan mudah, selain itu etil p-metoksisinamat mempunyai gugus fungsi yang reaktif sehingga sangat mudah ditransformasikan menjadi gugus fungsi lain (Barus, 2009). EPMS merupakan salah satu senyawa turunan asam sinamat dengan demikian jalur biosintesis senyawa EPMS adalah melalui jalur biosintesis asam sikhimat.


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.3 Jalur sikimat untuk menghasilkan etil p-metoksisinamat

2.2.1 Isolasi Senyawa Etil p-metoksisinamat

EPMS termasuk ke dalam senyawa ester yang mengandung cincin benzene dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polar sehingga dalam ekstraksinya dapat menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat, metanol, air dan heksan. Dalam ekstrasi suatu senyawa yang harus diperhatikan adalah


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kepolaran antara pelarut dengan senyawa yang diekstrak, keduanya harus memiliki kepolaran yang sama atau mendekati sama. EPMS adalah suatu ester yang mengandung cincin benzen dan gugus metoksi yang bersifat non polar dan mengandung gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat agak polar menyebabkan senyawa ini mampu larut dalam beberapa pelarut dengan kepolaran bervariasi. Hasil penelitian pada pemilihan pelarut pada suhu kamar didapat bahwa heksan adalah pelarut yang paling sesuai ditandai dengan persen hasil isolasi tertinggi yaitu 2,111 % yang diikuti dengan etanol yatu 1,434 %, dan etil asetat 0,542% sedangkan dengan aquades tidak terdapat kristal (Taufikkurohmah et al., 2008).

2.3 Hidrolisis

Hidrolisis adalah perubahan atau transformasi kimia dimana molekul organik berupa RX akan bereaksi dengan air menghasilkan sebuah struktur dengan ikatan kovalen OH seperti dijelaskan pada gambar 2.4. Hidrolisis adalah contoh dari kelas reaksi terbesar dalam reaksi kimia disebut sebagai reaksi perpindahan nukleofilik di mana nukleofil menyerang atom elektrofilik. Proses hidrolitik mencakup beberapa jenis mekasnime reaksi yang dapat didefinisikan oleh jenis pusat reaksi dimana terjadi hidrolisis. Mekanisme reaksi yang paling sering ditemui adalah substitusi nukleofilik, baik secara langsung maupun tidak langsung dan eliminasi-adisi nukleofilik (Larson and Weber, 1994).

Gambar 2.4 Prisnsip Reaksi Hidrolisis (Larson and Weber, 1994)

Reaksi hidrolisis dapat terjadi dengan katalis basa atau asam, mekanisme reaksi hidrolisis sendiri dikelompokkan berdasarkan tipe reaksi dasar seperti substitusi nukleofilik, gugus fungsi yang ditransformasikan dengan reaksi substitusi nukleofilik, substitusi asil nukleofilik, gugus fungsi yang ditransformasikan dengan reaksi substitusi asil nukleofilik. Hidrolisis


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk turunan asam karboksilat masuk ke dalam kategori yakni gugus fungsi yang ditransformasikan dengan reaksi substitusi asil nukleofilik.

Mekanisme hidrolisis pada gambar 2.5 diinisiasi oleh protonasi pada karbon oksigen. Protonasi menyebabkan keadaan terpolarisasi pada gugus karbonil melepaskan elektron dari karbon sehingga bersifat lebih elektrofilik dan akan menerima penambahan nukleofilik dari air (Larson and Weber, 1994).

Gambar 2.5 Mekanisme Reaksi Hidrolisis pada Ester (Larson and Weber, 1994)

Hidrolisis ester dengan katalis basa melalui mekanisme penambahan nukleofilik OH (Gambar 2.6) secara langsung kepada gugus karbonil. Hidrolisis ester berkatalis basa terjadi karena ion OH merupakan nukleofil yang lebih kuat dibandingkan air (Larson and Weber, 1994).


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.6 Mekanisme Reaksi Hidrolisis Ester dengan Katalis Basa

(Larson and Weber, 1994)

Hidrolisis terhadap EPMS telah dilakukan sebelumnya oleh Mufidah (2014) dengan mereaksikan etil p-metoksisinamat dengan NaOH sebagai katalis basa dan etanol p.a sebagai pelarut sehingga menghasilkan senyawa asam karboksilat. Asam p-metoksisinamat, yang merupakan hasil hidrolisis EPMS, sama sekali tidak memiliki aktivitas antiinflamasi, kebalikannya senyawa tersebut diduga menginduksi terjadinya denaturasi protein sebagaimana ditunjukkan pada konsentrasi 40 ppm nilai inhibisinya adalah -254,84%.


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Senyawa hasil hidrolisis etil p-metoksisinamat memiliki karakteristik berikut (Mufidah, 2014):

 Warna : Putih

 Bau : Tidak berbau

 Bentuk : Serbuk

 Titik leleh :172-176oC

 Nilai entalpi (H) : 89,3 J/g

Gambar 2.8 Struktur Asam p-metoksisinamat (Mufidah, 2014)

2.4 Nitrasi

Nitrasi merupakan reaksi substitusi atom H pada benzen oleh gugus nitro (NO2). Reaksi ini terjadi dengan mereaksikan benzen dengan asam nitrat (HNO3) pekat dengan bantuan H2SO4 sebagai katalis atau larutan HNO3 dalam suasana asam asetat glasial. Mekanisme reaksi nitrasi terhadap benzene ditunjukkan pada Gambar 2.7.

Nitrasi dari benzen awalnya dipengaruhi oleh pembentukan elektrofilik kuat yaitu ion nitronium, yang mana ini terjadi karena interaksi antara 2 asam kuat yaitu asam sulfat dan asam nitrat. Asam sulfat lebih kuat dan dapat memprotonasi asam nitrat pada gugus OH sehingga molekul dari air dapat berpisah. Selanjutnya benzene menyerang muatan positif atom nitrogen dari elektrofil, yang mana ikatan N=O lepas pada waktu yang sama. Hal ini diikuti dengan lepasnya proton untuk menstabilkan gugus aromatik (Lynnb, 2012).


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.9 Mekanisme Reaksi Nitrasi dengan HNO3 dan H2SO4 pada Senyawa

Aromatik (Khoirunni’mah, 2012)

Reaksi ini berlangsung dengan penggantian satu atau lebih gugus nitro (-NO2) menjadi molekul yang reaktif. Gugus nitro akan menyerang karbon membentuk nitro aromatik atau nitro parafin. Jika menyerang nitrogen membentuk nitramin dan bila menyerang oksigen membentuk nitrat ester. Pasa proses nitrasi masuknya gugus (-NO2) ke dalam senyawa dapat terjadi dengan menggantikan kedudukan beberapa atom atau gugus yang ada dalam senyawa. Umumnya nitrasi yang banyak dijumpai adalah nitrasi –NO2 menggantikan atom H (Yulianto, 2010).

Metode reaksi nitrasi dengan menggunakan iradiasi microwave baru-baru ini mulai menjadi perhatian para ahli. Metode “Cold Microwave” biasa digunakan untuk reaksi nitrasi karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu waktu reaksi yang cepat, reaksi nitrasi dapat berlangsung tanpa adanya asam sulfat, dan dapat memberikan hasil yang lebih spesifik (single product) akibat dari reagen yang didinginkan terlebih dahulu sebelum pencampuran (Bose,2009).

Nitrating agent merupakan reaktan elektrofilik, dimana reaksi akan

terjadi pada atom karbon dari cincin aromatik yang mempunyai kepadatan elektron terbesar. Gugus NO2 yang masuk dapat membentuk posisi ortho,


(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Subtituen meta menyebabkan kepadatan elektron menjadi lebih besar dibandingkan substituen ortho dan para, sehingga yield produk nitrasi akan didominasi isomer meta (Yulianto, 2010).

2.5 Esterifikasi

Reaksi esterifikasi asam karboksilat adalah reaksi pembentukan ester dengan bahan dasar asam karboksilat. Ester asam karboksilat ini merupakan suatu senyawa yang mengandung gugus –COOR dengan R yang berbentuk alkil maupun aril (Fessenden & Fessenden, 2006).

Katalis memainkan peranan penting terhadap keberlangsungan reaksi esterifikasi. Katalis yang digunakan dalam reaksi esterifikasi dapat berupa katalis asam atau katalis basa dan berlangsung secara reversibel (Supardjan, 2004). Untuk memperoleh rendemen tinggi dari ester tersebut, kesetimbangan harus digeser ke arah sisi ester dengan menambahkan salah satu pereaksi secara berlebih. Kereaktifan asam karboksilat hanya memainkan peranan kecil dalam laju pembentukan ester (Fessenden & Fessenden, 2006).

Kereaktifan asam karboksilat terhadap esterifikasi:

Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Reaksi Esterifikasi

Reaksi esterifikasi dipengaruhi oleh beberapa variabel. Variabel-variabel yang dimaksud antara lain (Hakim dan Irawan, 2010):

a. Waktu Reaksi

Semakin lama waktu reaksi maka kemungkinan kontak antar zat semakin besar sehingga akan menghasilkan konversi yang besar. Jika kesetimbangan reaksi sudah tercapai maka dengan bertambahnya waktu reaksi tidak akan menguntungkan karena tidak memperbesar hasil.


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Perbandingan Zat Pereaksi

Dikarenakan sifatnya yang reversibel, maka salah satu reaktan harus dibuat berlebih agar optimal dalam pembentukan produk ester yang diinginkan.

c. Pengadukan

Pengadukan akan menambah ferkuensi tumbukan antara molekul zat pereaksi dengan zat yang bereaksi semakin baik sehingga mempercepat reaksi dan reaksi terjadi sempurna. Hal ini sesuai dengan persamaan Arrhenius :

Keterangan:

k = Konstanta laju reaksi

A = Faktor frekuensi atau faktor pre-eksponensial Ea = Energi Aktivasi (kL/mol)

R = Tetapan gas universal (0,0821 atm/mol.K atau 8,314 J/mol.K) T = Temperatur atau suhu (K)

Semakin besar tumbukan, maka semakin besar pula harga konstanta laju reaksi, sehingga reaksi dapat berjalan lebih optimal.

d. Suhu

Dikarenakan sifat dari reaksi yang isotermis, maka suhu dapat mempengaruhi harga konstanta laju reaksi. Semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka semakin banyak konversi yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan persamaan Arrhenius, bila suhu naik maka harga k semakin besar, sehingga reaksi berjalan cepat dan hasil konversi semakin besar.

e. Katalisator

Sifat reaksi esterifikasi yang lambat membutuhkan katalisator agar berjalan lebih cepat. Katalisator berfungsi untuk mengurangi energi aktivasi pada suatu reaksi, sehingga pada suhu tertentu harga konstanta laju reaksi semakin besar.


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.6 Spesifikasi Asam Nitrat dan 1-Butanol

2.6.1 Asam Nitrat Sifat Fisika:

Rumus kimia : HNO3

Berat molekul : 63,012 g/mol

Bentuk (30oC, 1 atm) : cair

Titik didih : 83,4 oC

Titik leleh : -41,59oC

Densitas (20oC) : 1,502 g/mL

Kelarutan (dalam 100 bagian)

- Air dingin : tak terhingga

- Air panas : tak terhingga

Meledak dalam solvent etanol

Viskositas (25oC) : 0,761 Cp Panas peleburan (Hfus) : 10,48 Kj/mol Panas pembentukan (Hf) : -174,10 Kj/mol Panas penguapan (25oC) : 39,04 Kj/mol Energi bebas pembentukan (25oC) : -80,71 Kj/mol

Entropy (25oC) : 155,60 J/molK

(Kirk Orthmer, 1996., Yulianto, 2010)

Sifat Kimia

Asam Nitrat adalah suatu asam monobasa yang kuat, yang mudah bereaksi dengan alkali, oksida dan senyawa basa dalam bentuk garam. Asam nitrat merupakan senyawa yang berperan yang berperan dalam proses nitrasi, yaitu sebagai nitrating agent. Komponen yang dinitrasi adalah benzen, baik dengan adanya asam sulfat ataupun tidak.


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.6.2 1-Butanol

Sifat Fisika

Rumus kimia : C4H10O

Organoleptis : tak berwarna, cairan kental, bau khas

Berat molekul : 74,12 g/mol

Bentuk (30oC, 1 atm) : cair

Titik didih : 117,73 oC

Massa jenis : 0,811 g/mL

Kelarutan dalam air pada 3OoC : 7,1 % berat

(Halimatuddahliana, 2004)

Sifat Kimia

1-Butanol merupakan senyawa organik yang memiliki ikatan hidrogen sehingga senyawa ini mempunyai titik didih yang tinggi (Halimatuddahliana, 2004).

Gambar 2.12 Struktur Senyawa 1-Butanol

2.7 Gelombang Mikro 2.7.1 Prinsip Umum

Gelombang mikro merupakan gelombang elektromagnet. Gelombang elektromagnet itu sendiri merupakan suatu gelombang yang tidak memerlukan medium perambatan, dengan kecepatan rambat 3X108 m/detik. Gelombang elektromagnet terdiri dari komponen medan listrik (E) dan medan magnet (B) yang saling tegak lurus. Gelombang ini memiliki daerah frekuensi yang sangat besar, yaitu 109-1022 Hz. Sebagian besar spektrum gelombang mikro digunakan untuk keperluan telekomunikasi (Kappe, 2003).


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.7.2 Mekanisme Pemanasan

Pemanasan suatu materi dengan menggunakan gelombang elektromagnetik berfrekuensi tinggi ditimbulkan dari interaksi komponen medan listrik gelombang elektromagnetik dengan partikel yang memiliki muatan dalam materi sehingga menghasilkan polarisasi dipolar. Selain itu, terdapat faktor konduksi yang berperan dalam pemanasan terutama pada suhu tinggi (Chem-team, 2004).

Fenomena yang berperan dalam pemanasan dengan gelombang mikro adalah adanya konduksi ion. Dalam pengaruh suatu medan listrik, ion-ion yang terdapat dalam sampel yang dipanaskan akan bergerak dan saling bergesekan sehingga menimbulkan panas. Migrasi ion ini dipengaruhi oleh ukuran muatan dan konduktivitas ion terlarut. Faktor yang mempengaruhi konduksi ion adalah konsentrasi, mobilitas ion, dan temperatur larutan (Neas, E.D & M.J. Collins, 1988).

2.7.3 Instrumentasi Oven Gelombang Mikro (Belinda, 2011)

Instrumentasi gelombang mikro yang digunakan untuk pemanasan terdiri dari enam komponen utama, yaitu:

 Magnetron, merupakan tabung hampa elektronik penghasil gelombang mikro. Fungsinya adalah memancarkan gelombang mikro ke sebuah kincir yang terbuat dari logam yang disebut stirrer.

 Pengarah gelombang (wave guide)

Cavity, merupakan tempat dimana sampel akan diiradiasi

dengan gelombang mikro. Berdasarkan jenis cavity, instrumen gelombang mikro terdiri dari dua macam reaktor utama, yaitu

reactor monomade/single mode dan multimode.

Stirrer, alat ini akan berputar selama magnetron memancarkan

gelombang mikro sehingga gelombang tersebut terpancarkan dan terdistribusi secara merata ke dalam ruang pemanasan dari oven gelombang mikro.


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  Sirkulator

Turntable

Gambar 2.11 Instrumentasi Oven Microwave (Belinda, 2011)

2.8 Identifikasi

2.8.1 Kromatografi

Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses nitrasi migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Dengan demikian masing-masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan dengan metode analitik (Departemen Kesehatan, 1995).

a. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan ditotolkan dalam bentuk bercak atau pita (awal). Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan).


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl Egon dalam Khoirunni’mah, 2012).

Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi lapis tipis adalah yang paling banyak digunakan untuk analisis obat di laboratorium farmasi. Metode ini hanya memerlukan investasi kecil untuk perlengkapan dan menggunakan waktu yang singkat untuk menyelesaikan analisis (15-60 menit), memerlukan jumlah cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 g). Selain itu, hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan ruangan minimum, dan penanganannya sederhana (Stahl Egon dalam Khoirunni’mah, 2012).

Prinsip KLT yaitu perpindahan analit pada fase diam karena pengaruh fase gerak. Proses ini disebut elusi. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efeisiensi dan resolusinya. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan ke atas (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun

(descending) (Rohman, 2007).

Menurut Farmakope Indonesia IV, tatalaksana identifikasi senyawa dengan KLT adalah sebagai berikut: Totolkan larutan uji dan larutan baku menurut cara yang tertera pada masing-masing monografi dengan jarak antara lebih kurang 1,5 cm dan lebih kurang 2 cm dari tepi bawah lempeng, dan biarkan mengering (tepi bawah lempeng adalah bagian lempeng yang pertama kali dilalui oleh alat saat membuat lapisan pada waktu melapiskan zat penjerap). Beri tanda pada jarak 10 cm hingga 15 cm di atas titik penotolan. Tempatkan lempeng pada rak penyangga hingga tempat penotolan terletak di sebelah bawah, dan masukkan rak ke


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam bejana kromatografi. Pelarut dalam bejana harus mencapai tepi bawah lapisan penjerap tetapi titik penotolan jangan sampai terendam. Letakkan tutup bejana pada tempatnya dan biarkan sistem hingga pelarut merambat 10 cm hingga 15 cm di atas titik penotolan, umumya diperlukan waktu lebih kurang 15 menit hingga 1 jam. Keluarkan lempeng dari bejana, buat tanda batas rambat pelarut, keringkan lempeng di udara dan amati bercak mula-mula dengan cahaya ultraviolet gelombang pendek (254 nm) dan kemudian dengan cahaya ultraviolet gelombang panjang (365 nm). Ukur dan catat jarak tiap bercak yang diamati. Tentukan harga Rf untuk bercak utama. Jika diperlukan, semprot bercak dengan pereaksi tertentu, amati dan bandingkan kromatogram zat uji dengan kromatogram baku pembanding (Departemen Kesehatan, 1995).

Gambar 2.12 Skema Kromatografi Lapis Tipis (Mufidah, 2014) b. Kromatografi Kolom

Tujuan kromatografi kolom adalah memisahkan komponen cuplikan menjadi pita atau fraksi yang lebih sederhana, ketika cuplikan itu bergerak melalui kolom. Zat penyerap dalam keadaan kering atau bubur, dimampatkan ke dalam tabung kaca atau


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tabung kuwarsa dengan ukuran tertentu dan mempunyai lubang pengalir tertentu dengan ukuran tertentu (Departemen Kesehatan, 1979).

Zat penjerap atau fase diam yang digunakan bisa berupa aluminium oksida yang telah diaktifkan, silika gel, tanah diatome terkalsinasi, atau tanah silika yang dimurnikan dalam keadaan kering atau dalam campuran air, dimampatkan ke dalam tabung kromatografi kaca atau kuarsa. Zat uji yang dilarutkan dalam jumlah kecil pelarut, dituangkan ke dalam kolom dan dibiarkan mengalir ke dalam zat penjerap. Zat berkhasiat diadsorpsi dari larutan secara kuantitatif oleh bahan penjerap berupa pita sempit pada permukaan atas kolom. Dengan penambahan pelarut lebih lanjut melalui kolom, oleh gaya gravitasi atau dengan memberi tekanan, masing-masing zat bergerak turun dalam kolom dengan kecepatan tertentu, sehingga terjadi pemisahan dan diperoleh kromatogram (Departemen Kesehatan, 1995).

Fraksi yang diperoeh dari kolom kromatografi ditampung dan dimonitor dengan kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi yang memiliki pola kromatogram yang sama digabung kemudian pelarutnya diauapkan sehingga akan diperoleh beberapa fraksi. Noda pada plat KLT dideteksi dengan lampu UV panjang gelombang 254/365 nm untuk senyawa-senyawa yang mempunyai gugus kromofor, dengan penampak noda seperti larutan iod, FeCl3, dan H2SO4 dalam metanol 10% (Stahl, 1969).

2.8.2 Spektrofotometri

Spektrofotometri merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri serapan ultraviolet, cahaya tampak, infamerah dan serapan atom (Departemen Kesehatan, 1995).


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta a. Spektrofotometri IR

Spektrofotometri inframerah merupakan alat untuk merekam spektrum di daerah inframerah terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik di daerah 4000 cm-1 hingga 625 cm-1 (lebih kurang 2,5 πm hingga 16πm) dan suatu metode untuk mengukur perbandingan intensitas perbandingan cahaya yang ditransmisikan cahaya datang (Departemen Kesehatan, 1995).

Setiap molekul memiliki karakteristik spektrum inframereah yang berbeda-beda baik dalam posisi maupun intensitas pita absorbsinya. Spektrum yang diperoleh merupakan hubungan antara bilangan gelombang (cm-1) dan persen transmitan. Spektrum IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi (Departemen Kesehatan, 1995).

Absorpsi molekul pada inframerah terjadi ketika molekul tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Suatu molekul hanya menyerap frekuensi (energi) tertentu dari radiasi inframerah. Kegunaan spektroskopi IR adalah sebagai sidik jari suatu molekul dan untuk menentukan informasi struktural dari suatu molekul. Absorpsi dari tiap tipe ikatan (N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-O, C-C, C=C, dan sebagainya) umumnya ditemukan hanya dalam porsi yang sedikit dari area vibrasi inframerah. Rentang kecil dari absorpsi dapat didefinisikan untuk tiap ikatan (Pavia et al., 2001).

b. Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara radiasi elektromagnetik panjang geombang tertentu yang sempit dan mendekati monokromatik, dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa molekul selalu mengabsorpsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi cahaya tersebut sama dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut. Elektron yang terikat dan elektron yang tidak terikat akan tereksitasi pada suatu


(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

daerah frekuensi yang sesuai dengan cahaya ultraviolet dan cahaya tampak (UV-Vis) (Roth et al., 1994).

Spektrum absorpsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 880 nm dan dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi daerah bagian ultraviolet (190-380 nm), spektrum Vis (Visible) bagian sinat tampak (380-780 nm).

Prinsip spektroskopi absorpsi adalah semakin besar angka meolekul yang mampu menyerap cahaya dari panjang gelombang yang diberikan, semakin besar perluasan absorpsi cahaya. Selan itu, semakin efektif suatu molekul menyerap cahaya dari panjang gelombang yang diberikan, semakin besar perluasan absorpsi (Pavia et al., 2001).

Pengukuran dengan alat spektrofotometer UV-Vis didasarkan pada hubungan antara berkas radiasi elektromagnetik yang ditransmisikan (diteruskan) atau yang diabsorpsi dengan tebalnya cuplikan dengan konsentrasi dari komponen penyerap. Hubungan tersebut diyatakan dalam Hukum Lambert-Beer (Sastroamidjojo, 1985):

A = a . b . c Keterangan :

A= Serapan a = Daya serap b = Tebal kuvet

c = Konsentrasi larutan

Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spektrum yang mana alat tersebut dirancang untuk beroperasi.


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita sempit panjang gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.

3. Wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet).

4. Detektor, yang berupa transduser yang merubah energi cahaya menjadi suatu sinyal listrik.

5. Amplifier (pengganda) dan rangkaian yang perubah energi

cahaya menjadi suatu sinyal listrik.

6. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya sinyal listrik yang ditangkap.

c. Spektrofotometri Resonansi Magnetik

Resonansi magnetik nuklir (Nuclear Magnetic Resonance) adalah metode spektrofotometri yang bahkan lebih penting bagi ahli kimia organik dari spektrofotometri inframerah. Banyak inti dapat dipelajari dengan teknik NMR, tetapi hidrogen dan karbon yang paling umum tersedia. Jika spektrofotometri inframerah (IR) digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi, NMR memberikan informasi mengenai jumlah atom magnetis yang berbeda dari jenis yang dipelajari (Mufidah, 2014).

NMR dapat menentukan jumlah masing-masing jenis yang berbeda dari inti hidrogen serta memperoleh informasi mengenai sifat dasar dari lingkungan terdekat dari masing-masing jenis. Informasi yang sama dapat ditentukan untuk inti karbon. Kombinasi IR dan data NMR seringkali cukup untuk menentukan secara benar struktur molekul yang tidak diketahui (Pavia et al., 2008).

Prinsip dasar spektroskopi NMR yakni inti dari setiap isotop tertentu memiliki gerakan berputar di sekililing sumbunya. Perputaran patrikel berenergi atau sirkulasinya, menimbulkan kejadian megnetis sepanjang sumbu magnetisnya dapat sejajar atau melawan medan magnet (Willard at al., 1988).


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Instrumen NMR terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut (Willard et al., 1988):

a. Magnet

Merupakan suatu alat tambahan yang berguna untuk menstabilkan medan magnet.

b. Probe sampel

Tempat meletakkan sampel dan tempat terjadinya resonansi. c. Sumber dan detektor radiasi radioaktif

Merekam perubahan magnetisasi sampel dan peluruhannya yang disebabkan oleh pengaruh waktu.

d. Rekorder data

Memberikan informasi berupa sinyal yang dikirim ke suatu komputer untuk diproses, diakumulasi lalu ditransformasikan secara otomatis (Atta-ur-Rahman, 1986., Willards et al., 1988).

2.9 Inflamasi

2.9.1 Definisi Inflamasi

Inflamasi adalah reaksi kompleks dalam jaringan ikat vaskular yang terjadi karena rangasangan eksogen dan endogen. Inflamasi merupakan respon normal, pelindung terhadap cedera jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia berbahaya atau agen mikrobiologis, yang berupaya menonaktifkan atau menghancurkan organisme asing, menghilangkan iritasi yang merupakan tahap pertama perbaikan jaringan (Sen et al., 2010).

Proses inflamasi biasanya mereda pada proses penyelesaian atau penyembuhan, tetapi kadang-kadang berubah menjadi radang yang parah, yang mungkin jauh lebih buruk dari penyakit ini dan dalam kasus ekstrim juga dapat berakibat fatal. Kemerahan, suhu yang meningkat, pembengkakan, nyeri, dan hilangnya fungsi adalah tanda klasik dari inflamasi. Inflamasi dapat diprovokasi oleh berbagai agen berbahaya, bahan asing, toksin, infeksi, bahan kimia, patogen, reaksi kekebalan tubuh, dan luka fisik (Sen et al., 2010).


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.9.2 Mekanisme Inflamasi

Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan mengakibatkan kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel, maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang diantaranya adalah asam arakidonat. Setelah asam arakidonat tersebut bebas, kemudian akan diaktifkan oleh beberapa enzim, diantaranya siklooksigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut merubah asam arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisme menajdi leukotrien, prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Bagian prostaglandin dan leukotrien bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan (Katzung, 2006).

Gambar 2.13 Mekanisme Inflamasi (Katzung, 2006)

LTB4 LTC4/D4/E4

Aktivasi/atraksi fagosit

Modulasi leukosit

Inflamasi

Lipooksigenase Siklooksigenase

Prostaglandin Prostasiklin Tromboksan Leukotrien

Rangsangan

Gangguan membran sel

Fosfolipid

Asam arakhidonat

Fosfolipase Kortikosteroid


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.9.3 Obat-Obat Antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara. Salah satunya ialah menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Obat antiinflamasi sangat efektif menghilangkan rasa nyeri dan dan pembengkakan akibat adanya inflamasi dengan menekan produksi prostaglandin dan metabolisme asam arakidonat dengan cara penghambatan siklooksigenase dan lipooksigenase pada kaskade inflamasi sehingga fungsi otot dan sendi membaik (Setyarini, 2009).

Berdasarkan mekanisme kerjanya obat-obatan antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Antiinflamasi Steroid

Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fosfolipase, suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakidonat dari membran lipid. Termasuk golongan obat ini adalah: prednison, hidrokortison, deksametason, dan betametason (Katzung, 2006).

b. Antiinflamasi Non Steroid (AINS)

Obat AINS bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin menjadi terganggu. Termasuk golongan obat ini adalah: aspirin, ibuprofen, indometasin, diklofenak, fenil butazon, dan piroksikam (Katzung, 2006).

Efek samping utama yang dimiliki oleh obat antiinflamasi non steroid (AINS) adalah iritasi lambung yang mengarah pada pembentukan ulkus lambung (Chatterjee et al., 2012).


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.9.4 Natrium Diklofenak

Natrium dikofenak merupakan obat antiinflamasi non steroid yang termasuk ke dalam kelompok preverencially selective COX

inhibitor. Obat ini bekerja menghambat aktivitas enzim

siklooksigenase yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan salah satu mediator inflamasi (Kertia, 2009). Natrium diklofenak merupakan turunan fenilasetat yang daya antiradangnya paling kuat dengan efek samping yang kurang dibandingkan dengan obat lainnya (seperti indometasin, piroksikam) (Tjay, 2002). Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan terikat 99% pada protein plasma dengan jumlah obat yang mengalami efek lintas pertama sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, Na diklofenak diakumulasi di cairan sinovilia yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Efek samping yang lazim terjadi ialah mual, gastritis, eritema kulit, dan sakit kepala. Dosis orang dewasa 100-500 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis (Gunawan, 2008).

2.10 Uji Antiinflamasi

Beberapa metode in vitro dapat digunakan dalam mengetahui potensi atau aktivitas antiinflamasi dari suatu obat, kandungan kimia dan preparat herbal. Teknik-teknik yang bisa digunakan antara lain adalah pelepasan fosforilasi oksidatif (ATP biogenesis terkait dengan respirasi), penghambatan denaturasi protein, stabilisasi membran eritrosit, stabilisasi membran lisosomal, tes fibrinolitik dan agregasi trombosit (Oyedapo et al., 2010). Selain itu uji antiinflamasi secara in vitro juga bisa dilakukan dengan melihat efek inhibisi pada siklooksigenase menggunakan kit khusus uji skrining siklooksigenase (Umar et al., 2012).


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam pengembangan AINS, prinsip denaturasi dalam uji antiinflamasi sering digunakan seperti pada uji antiinflamasi dengan albumin telur (Chandra, 2012) dan uji dengan bovine serum albumin (BSA) (Williams et al., 2008). Denaturasi protein pada jaringan adalah salah satu penyebab penyakit inflamasi dan atritis. Produksi dari antigen-auto pada penyakit atritis dapat mengakibatkan denaturasi protein secara in vivo. Oleh karena itu, penggunaan suatu agen tertentu yang bisa mencegah denaturasi protein akan bermanfaat pada pengembangan obat antiinflamasi (Chatterjee et al., 2012).

Denaturasi protein adalah sebuah proses dimana protein kehilangan struktur tersier dan struktur sekunder oleh senyawa eksternal, seperti asam kuat atau basa kuat, garam anorganik terkonsentrasi, pelarut organik, dan pemanasan. Pada umumnya protein kehilangan fungsi biologisnya ketika didenaturasi. Misalnya, enzim kehilangan aktivitas mereka karena substrat tidak dapat lagi mengikat pada gugus aktifnya (Verma et al., 2011).

Beberapa AINS seperti indometasin, ibufenak, asam flufenamik, dan asam salisilat memiliki kemampuan dalam mencegah denaturasi BSA yang dipanaskan pada pH patologis yakni 6,2-6,5. Selain itu beberapa ekstrak dan komponen murni tumbuhan seperti ekstrak Boehmeria jamaicensis (Urb), fenil propanoid, eugenol, polisulfid, dibenzil trisulfid dapat menghambat denaturasi BSA, memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan merupakan kandidat obat antiinflamasi. Pada uji BSA, jika senyawa sampel menghambat denaturasi dengan persen inhibisi > 20% maka dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi dan layak untuk dikembangkan lebih lanjut (Williams et al., 2008).

2.10.1 Bovine Serum Albumine (BSA)

Albumin memiliki berat molekul relatif rendah, yang larut dalam air, mudah mengkristal, dan mengandung asam amino. BSA adalah rantai polipepetida tunggal yang terdiri dari sekitar 583 residu asam amino dan tidak ada karbohidrat di pH 5-7


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengandung 17 jembatan rantai disulfida dan 1 kelompok sulfihidril. Serbuk BSA disimpan pada suhu 2-8oC. Stabilitas larutan BSA sangat baik. Bahkan, albumin sering digunakan sebagai stabilisator untuk protein terlarut lainnya (misalnya, enzim labil). Namun, albumin mudah digumpalkan oleh pemanasan. Ketika dipanaskan sampai 50oC atau di atasnya, albumin cukup pesat membentuk agregat hidrofobik yang tidak kembali ke monomer pada saat pendinginan. Pada suhu yang lebih rendah agregasi juga terjadi, tetapi pada tingkat yang relatif lebih lambat (www.sigma-aldrich.com).


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1 Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Obat dan Pangan Halal, Laboratorium Kimia Obat, dan Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.1.2 Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan Juni 2015.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Digital water bath (SB-100 Eyela), spektrometri IR (Shimadzu),

spektrofotometer UV-Vis (Hitachi), Spektrometri 1H-NMR (500 Hz, JEOL), Differential Scanning Calorimeter (Shimadzu), refrigerator,

Gas Chromatography Mass Spectrometer (GCMS QP2010

Shimadzu), vacuum rotary evaporator (SB-1000 Eyela), timbangan analitik, Plat aluminium TLC silica gel 60 F254 (Merck),

microwave, erlenmeyer, gelas piala, rak, labu reaksi, statif, penangas,

corong, pipet eppendorf, blender, termometer, chamber KLT, mikropipet, batang pengaduk, pinset, spatula, pH meter, pengaduk magnetik, kertas saring, kapas, aluminium foil, vial, dan botol.

3.2.2 Bahan

Senyawa etil p-metoksisinamat yang merupakan isolat dari tanaman kencur (Kaempferia galanga L.), natrium hidroksida (Merck), asam klorida 15%, asam nitrat p.a (JT Baker), asam sulfat 98% (Merck), Bovine Serum Albumin (Sigma), silika gel 60 (0,063-0,200 mm) (Merck), metanol p.a (Merck), etanol p.a (Merck) dan


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

natrium klorida (Merck), 1-butanol (Merck). Pelarut dan bahan pembantu lain seperti aquades, etil asetat, n-heksan, metanol, dan air es.

3. 3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Modifikasi Senyawa Asam p-metoksisinamat a. Hidrolisis Etil p-metoksisinamat

Metode hidrolisis etil p-metoksisinamat mengacu pada cara kerja yang telah dilakukan oleh Mufidah (2014) dengan modifikasi. Sebanyak 1,5 g (0,036 mol) NaOH dilarutkan dengan 100 mL etanol p.a dalam gelas kimia dengan pengadukan menggunakan pengaduk magnetik sambil dipanaskan di atas hot

plate dengan suhu 60-70oC. Kemudian ditambahkan senyawa

EPMS sebanyak 5 g (0,024 mmol) ke dalamnya. Proses hidrolisis dilakukan selama 3 jam. Pengecekan reaksi dilakukan dengan menggunakan KLT dengan eluen heksan-etil asetat (4:1). Hasil reaksi dilarutkan dengan 200 mL aquades hingga larut sempurna, kemudian ditambahkan 15% HCl untuk membentuk endapan hingga tidak ada lagi endapan putih yang terbentuk atau pH filtrat mencapai 4. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan kertas saring untuk mendapatkan endapan/residu tersebut. Residu yang didapatkan merupakan senyawa hasil hidrolisis yang kemudian dikeringanginkan.

b. Nitrasi Asam p-metoksisinamat

Metode nitrasi mengacu pada cara kerja yang telah dilakukan oleh Bose (2006) dengan modifikasi. Sebanyak 2,5 gram (0,014 mol) APMS dilarutkan dengan 10 mL (0,22 mol) HNO3 65% yang telah didinginkan dalam erlenmeyer yang berada dalam gelas kimia berisi es sehingga membentuk ice jacket. Kemudian diiradiasi dengan menggunakan microwave oven 450 watt selama 2 menit. Setelah itu ditambahkan 100 mL aquades untuk memisahkan sisa asam nitrat dan produk yang terbentuk,


(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kemudian disaring dengan kertas saring lalu dikeringanginkan. Pengecekan terhadap hasil reaksi dilakukan dengan menggunakan KLT dengan perbandingan pelarut etil asetat – heksan (2:3)

c. Esterifikasi Senyawa Hasil Reaksi Nitrasi

Sebanyak 500 mg senyawa hasil nitrasi dilarutkan dalam 50 mL (0,547 mol) 1-butanol pro analisys dalam erlenmeyer sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer dan dipanaskan pada suhu 90oC hingga larut sempurna. Setelah itu ditambahkan 0,2 mL (4 mmol) asam sulfat 98%. Kemudian diiradiasi dengan menggunakan microwave oven 300 watt selama 30 menit dalam erlenmeyer tertutup. Kemudian dilakukan pengecekan terhadap hasil reaksi dengan menggunakan KLT dengan perbandingan pelarut 1 etil asetat : 4 heksan (Indriyani, 2015).

3.3.2 Pemurnian dengan Kromatografi Kolom

Pemurnian senyawa hasil modifikasi dilakukan dengan menggunakan metode pemisahan kromatografi kolom. Sistem kromatografi yang digunakan adalah kromatografi kolom fase normal, dimana silika gel 60 yang bersifat polar bertindak sebagai fase diam. Pelarut yang digunakan adalah pelarut heksan 100% hingga heksan-etil asetat dengan perbandingan 9:1.

3.3.3 Identifikasi Senyawa

a. Identifikasi Organoleptis

Senyawa yang didapat baik senyawa murni asam p-metoksisinamat maupun senyawa hasil modifikasi kemudian diidentifikasi warna, bentuk dan bau.

b. Pengukuran Titik Leleh

Senyawa murni asam p-metoksisinamat diidentifikasi titik lelehnya menggunakan alat apparatus melting point dan DSC.


(54)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta c. Identifikasi senyawa menggunakan FTIR

Sedikit sampel padat (kira-kira 1 – 2 mg), kemudian ditambahkan bubuk KBr murni (kira-kira 200 mg) dan diaduk hingga rata. Kemudian sampel yang terbentuk diambil dan kemudian ditempatkan dalam tempat sampel pada alat spektrofotometri inframerah untuk dianalisis (Hidayati, 2012).

d. Identifikasi senyawa menggunakan GCMS

Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25 mm ID x 0,25 μm); suhu awal 70 ºC selama 2 menit, dinaikkan ke suhu 285 ºC dengan kecepatan 20 ºC/menit selama 20 menit. Suhu MSD 285 ºC. Kecepatan aliran 1,2 mL/menit dengan split 1:100. Parameter scanning dilakukan dari massa paling rendah yakni 35 sampai paling tinggi 550 (Umar et al., 2012).

e. Identifikasi senyawa menggunakan H1-NMR dan C13-NMR

Sedikit sampel padat (kira-kira 10 mg), kemudian dilarutkan dalam pelarut bebas proton (khusus NMR), setelah dilarutkan kemudian dimasukkan ke dalam tabung khusus NMR untuk kemudian dianalisis.

3.3.4 Uji In Vitro Antiinflamasi (Williams et al., 2008) a. Pembuatan Reagen untuk Uji Antiinflamasi

1. Larutan TBS (Tris Buffer Saline) pH 6.3

Sebanyak 1,21 g Tris base dan 8,7 NaCl dilarutkan dalam 1000 mL aquades. Kemudian pH diatur sampai 6,3 menggunakan asam asetat glasial (Mohan, 2003).

2. Penyiapan variat konsentrasi Natrium diklofenak sebagai kontrol positif

Pembuatan larutan induk sebesar 10.000 ppm Natrium Diklofenak dengan pelarut metanol. Pembuatan larutan induk dilakukan dengan melarutkan 50 mg Natrium diklofenak dalam 5 mL metanol. Kemudian dilakukan pengenceran dari


(55)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

larutan induk sehingga didapatkan seri konsentrasi 1.000, 100, dan 10 ppm. Selanjutnya dilakukan pengenceran dari larutan induk, yaitu:

 1.000 ppm: Sebanyak 500 μL dari larutan induk ditambahkan dengan 4.500 μL metanol.

 100 ppm: Sebanyak 50 μL dari larutan induk ditambahkan dengan 4.950 μL metanol.

 10 ppm: Sebanyak 5 μL dari larutan induk ditambahkan dengan 4.995 μL metanol.

3. Penyiapan variat konsentrasi EPMS, APMS, dan senyawa hasil modifikasi (sampel)

Pembuatan larutan induk sebesar 10.000 ppm EPMS, APMS, dan senyawa hasil modifikasi dengan pelarut metanol. Pembuatan larutan induk dilakukan dengan melarutkan 50 mg EPMS, APMS, dan senyawa hasil modifikasi dalam 5 mL metanol. Kemudian dilakukan pengenceran dari larutan induk sehingga didapatkan seri konsentrasi 1.000, 100, dan 10 ppm. Selanjutnya dilakukan pengenceran dari larutan induk, yaitu:

 1.000 ppm: Sebanyak 500 μL dari larutan induk ditambahkan dengan 4.500 μL metanol.

 100 ppm: Sebanyak 50 μL dari larutan induk ditambahkan dengan 4.950 μL metanol.

 10 ppm: Sebanyak 5 μL dari larutan induk ditambahkan dengan 4.995 μL metanol.

4. Pembuatan BSA 0,2% (w/v)

Sebanyak 0,5 g BSA dilarutkan dalam Tris Buffer Saline (TBS) 250 mL pH 6,3 (Williams et al., 2008).


(56)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Pengujian Aktivitas Senyawa Hasil Modifikasi Terhadap

Denaturasi BSA

1. Pembuatan Larutan Uji

Sebanyak 5 mL larutan uji terdiri dari 50 μL larutan sampel yang kemudian ditambah dengan 4.950 μL BSA. Larutan uji dibuat berbagai macam konsentrasi, yaitu:

 100 ppm: Sebanyak 50 μL dari larutan sampel 10.000 ppm ditambahkan dengan 4.950 μL larutan BSA.

 10 ppm: Sebanyak 50 μL dari larutan sampel 1.000 ppm ditambahkan dengan 4.950 μL larutan BSA.

 1 ppm: Sebanyak 50 μL dari larutan sampel 100 ppm ditambahkan dengan 4.950 μL larutan BSA.

 0,1 ppm: Sebanyak 50 μL dari larutan sampel 10 ppm ditambahkan dengan 4.950 μL larutan BSA.

2. Pembuatan Larutan Kontrol Negatif

Sebanyak 5 mL larutan kontrol negatif terdiri dari 50 μL metanol pro analisis yang kemudian ditambah dengan 4.950 μL BSA.

3. Pembuatan Larutan Kontrol Positif

Sebanyak 5 mL larutan kontrol positif terdiri dari 50 μL larutan Natrium diklofenak yang kemudian ditambah dengan 4.950 μL BSA. Larutan kontrol positif dibuat berbagai macam konsentrasi, yaitu:

 100 ppm: Sebanyak 50 μL dari larutan kontrol positif 10.000 ppm ditambahkan dengan 4.950 μL larutan BSA.

 10 ppm: Sebanyak 50 μL dari larutan kontrol positif 1.000 ppm ditambahkan dengan 4.950 μL larutan BSA.

 1 ppm: Sebanyak 50 μL dari larutan kontrol positif 100 ppm ditambahkan dengan 4.950 μL larutan BSA.


(57)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  0,1 ppm: Sebanyak 50 μL dari larutan kontrol positif 10

ppm ditambahkan dengan 4.950 μL larutan BSA. Masing-masing larutan dihomogenkan dengan menggunakan vortex kemudian diinkubasi selama 30 menit di suhu ruang (27ºC). Setelah itu dipanaskan selama 5 menit pada suhu 72 ºC, lalu didiamkan pada suhu ruang selama 25 menit dan diukur turbiditasnya dengan spektrofotometer UV-Vis (HITACHI) pada gelombang 660 nm.

Presentase inhibisi dari denaturasi atau presipitasi BSA dikalkulasikan dengan rumus berikut:

% inhibisi =

x 100 % Pengujian aktivitas Natrium diklofenak, EPMS, APMS, dan senyawa hasil modifikasi terhadap denaturasi BSA dilakukan secara triplo dan dilakukan penghitungan standar deviasi terhadap tiap konsentrasi yang digunakan.


(58)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada penelitian ini dilakukan modifikasi senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS) melalui reaksi nitrasi dan esterifikasi. Sebelum proses modifikasi, senyawa etil p-metoksisinamat harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi asam p-metoksisinamat. Tujuan modifikasi tersebut adalah untuk melihat adanya pengaruh penambahan gugus nitro dan rantai karbon pada bagian ester dari EPMS terhadap aktivitas antiinflamasinya. Metode pengujian aktivitas antiinflamasi dengan menggunakan Bovine Serum Albumin telah dipilih untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi senyawa hasil modifikasi dengan prinsip inhibisi denaturasi protein.

4.1 Modifikasi Struktur Etil p-metoksisinamat

Modifikasi struktur etil p-metoksisinamat belum banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Pada penelitian ini, EPMS pertama-tama diubah terlebih dahulu menjadi asam p-metoksisinamat. Hal ini dilakukan karena pada uji pendahuluan menunjukkan bahwa apabila reaksi nitrasi EPMS dilakukan secara langsung, maka akan menghasilkan beberapa senyawa yang memiliki kepolaran yang sama sehingga akan menyulitkan proses pemisahan senyawa yang diinginkan (Indriyani, 2015). Selain itu, proses nitrasi langsung terhadap EPMS dapat menyebabkan terjadinya degradasi sinamat (Mufidah, 2014).

APMS sangat berbeda dengan EPMS ditinjau dari aktivitas antiinflamasinya karena APMS sama sekali tidak aktif sebagai agen antiinflamasi dan cenderung menginduksi terjadinya proses inflamasi (Mufidah, 2014), sedangkan studi aktivitas antiinflamasi EPMS secara in

vitro menunjukkan bahwa etil p-metoksisinamat mampu menghambat

aktivitas COX-1 dan COX-2 secara non-selektif, dengan masing-masing nilai IC50 1,12 μM dan 0,83 μM (Umar et al., 2012).

Tahap awal penelitian ini adalah mengubah EPMS menjadi APMS melalui proses hidrolisis. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan reaksi nitrasi terhadap APMS dengan menggunakan HNO3 sebagai nitrating agent.


(59)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Setelah itu dilakukan reaksi esterifikasi dengan menggunakan 1-butanol agar mensubstitusi gugus karboksilat menjadi gugus ester yang memiliki empat rantai karbon.

Pemilihan reaksi tersebut didasarkan pada teori bahwa penambahan gugus NO2 pada cincin benzen dan rantai karbon pada bagian ester menunjukkan efek induksi negatif yang dapat mempengaruhi keelektronegatifan suatu senyawa, dengan demikian akan memberikan perubahan sifat kimia fisika senyawa dan mempengaruhi aktivitas biologisnya (Siswandono, 2008). Sehingga senyawa hasil modifikasi yang didapatkan akan mempunyai aktivitas antiinflamasi yang berbeda dengan senyawa induknya. Senyawa tersebut dapat memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan senyawa EPMS, ataupun senyawa APMS yang digunakan sebagai starting material.

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Rakesh et al. (2015) menunjukkan bahwa turunan senyawa modifikasi quinazolinone yang memiliki gugus Cl dan NO2 mampu menghasilkan agen antiinflamasi yang lebih baik dari aspirin. Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Halen et al. (2009) menunjukkan bahwa gugus fungsi NO dalam struktur senyawa antiinflamasi telah diketahui berperan dalam mempertahankan aliran darah mukosa lambung dan mencegah kepatuhan leukosit pada endotel vaskular sirkulasi splanknikus (salah satu peritiwa paling awal setelah pemberian AINS) sehingga dapat mengurangi efek merugikan dari COX-1 dan cedera mukosa tidak terjadi. Sedangkan penambahan gugus karbon melalui reaksi esterifikasi mampu meningkatkan sifat lipofilisitas senyawa (Siswandono, 2008).

4.1.1. Reaksi Hidrolisis Etil p-metoksisinamat

Reaksi hidrolisis EPMS merupakan tahap awal pada rangkaian proses modifikasi untuk menghasilkan APMS yang berperan sebagai

starting material. Hidrolisis terhadap EPMS telah dilakukan


(60)

p-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

metoksisinamat dengan NaOH sebagai katalis basa dan etanol p.a sebagai pelarut sehingga menghasilkan senyawa asam karboksilat. Mekanisme reaksi hidrolisis diinisiasi oleh protonasi pada karbonil oksigen. Larson dan Weber (1994) menyebutkan bahwa protonasi dapat menyebabkan keadaan terpolarisasi pada gugus karbonil sehingga melepaskan proton dari karbon menyebabkan kondisi yang bersifat lebih elektrofilik dan lebih mudah menerima nukleofilik OH (Indriyani, 2015).

Gambar 4.1 Mekanisme Reaksi Hidrolisis EPMS (Aulia, 2015)

Pada reaksi ini, proses hidrolisis dilakukan dengan menggunakan metode penelitian Mufidah (2014) yang telah dimodifikasi. NaOH sebanyak 1,5 gram (0,0375 mol) dilarutkan dengan 100 mL etanol pro analisys hingga larut sempurna dengan menggunakan bantuan magnetic stirrer di atas hot plate, kemudian ditambahkan EPMS sebanyak 5 gram (0,024 mol). Campuran tersebut selanjutnya dipanaskan pada suhu 60oC selama 5 jam sampai terbentuk koloid berwarna putih. Hasil reaksi dimonitor setiap selang waktu 15 menit sampai terbentuk spot APMS dan tidak ada lagi spot EPMS yang tersisa dengan menggunakan kromatografi lapis tipis seperti yang terlihat pada gambar berikut.


(61)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 4.2 Pola Spot KLT Hasil Hidrolis

Keterangan: 1) APMS, 2) EPMS

Tahapan hidrolisis yang dimodifikasi dari metode yang dilakukan oleh Mufidah (2014) adalah adanya proses pemanasan. Proses pemanasan ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat proses reaksi hidrolisis sehingga produk yang diharapkan akan terbentuk dalam waktu yang lebih singkat. Berbeda dengan Mufidah (2014) yang melakukan proses hidrolisis EPMS tanpa proses pemanasan berlangsung selama 32 jam, proses reaksi yang telah dimodifikasi hanya membutuhkan waktu 5 jam. Hal ini terjadi karena adanya pemanasan akan meningkatkan energi kinetik sehingga reaksi berlangsung lebih cepat.

Ketika reaksi ini selesai, kemudian dilakukan proses pencucian dengan menggunakan 200 mL aquades hingga diperoleh larutan yang bening atau kekuningan dan tidak keruh (lihat lampiran). Pada fase ini, APMS yang telah terbentuk berada dalam kondisi terlarut, oleh karena itu kemudian ditambahkan HCl 15 % untuk mengikat ion Na+ sehingga terbentuk endapan putih APMS yang dapat disaring. Penambahan HCl terus dilakukan hingga tidak ada lagi endapan putih yang terbentuk. Residu endapan putih yang terbentuk kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring dan

1 2 4 Heksan : 1 Etil asetat


(62)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dikeringanginkan sehingga didapatkan serbuk berwarna putih (Gambar 4.9).

Persen rendemen reaksi hidrolisis yaitu: % rendemen =

X 100 % = 85,744 %

4.1.2. Reaksi Hasil Nitrasi Asam p-metoksisinamat

Reaksi nitrasi yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk menambahkan gugus NO2 pada cincin benzen APMS. Reaksi ini terjadi dengan mereaksikan APMS sebanyak 2,5 gram (0,014 mol) dengan 10 mL (0,22 mol) asam nitrat (HNO3) 65% dengan metode

Cold Microwave”. Metode reaksi nitrasi ini merujuk pada penelitian

yang telah dilakukan oleh Bose (2006). Pada metode tersebut, kondisi dan pereaksi yang digunakan harus berada dalam kondisi dingin (dalam suhu -15oC). Oleh karena itu, asam nitrat yang digunakan harus didinginkan terlebih dahulu di dalam refrigerator kemudian dicampurkan ke dalam erlenmeyer berisi APMS yang berada dalam

beaker glass berisi es yang membungkus erlenmeyer tersebut

membentuk ice jacket. Segera setelah proses pencampuran dilakukan, kemudian dimasukkan ke dalam microwave 450 watt selama 2 menit.

Gambar 4.3 Reaksi Nitrasi APMS

Setelah reaksi selesai berlangsung, kemudian ditambahkan 100 mL aquades untuk melarutkan sisa asam yang tidak diperlukan. Senyawa hasil nitrasi yang terbentuk tidak akan larut dengan aquades dan akan mengendap sehingga dapat disaring untuk memisahkannya. Setelah disaring menggunakan kertas saring, kemudian residu yang


(1)

(2)

(3)

Etil

p-metoksisinamat

Persen Inhibisi % Inhibisi

Rata-rata

Standar Deviasi

Uji 1 Uji 2 Uji 3

0,1 ppm 32,60 32,8 32,27 32,56 0,27

1 ppm 39,90 40,5 39,98 40,13 0,32

10 ppm 44,40 40,8 42,98 42,73 1,81

100 ppm 55,20 52,4 54,43 54,01 1,45

Asam

p-metoksisinamat

Persen Inhibisi % Inhibisi

Rata-rata

Standar Deviasi

Uji 1 Uji 2 Uji 3

0,1 ppm -0,28 -0,25 -0,7 -0,41 0,25

1 ppm -0,27 -0,22 -0,43 -0,31 0,11

10 ppm -0,32 -0,19 -0,33 -0,28 0,08


(4)

(lanjutan)

Buti 4-metoksi 6-nitrosinamat

Persen Inhibisi % Inhibisi

Rata-rata Standar Deviasi

Uji 1 Uji 2

0,1 ppm 33,07 31,06 32,065 1,42

1 ppm 29,60 28,32 28,960 0,91

10 ppm 24,04 26,48 25,260 1,72

100 ppm -17,89 -16,67 -17,280 0,86

Natrium Diklofenak

Persen Inhibisi % Inhibisi

Rata-rata Standar Deviasi

Uji 1 Uji 2

0,1 ppm 1,84 1,34 1,59 0,36

1 ppm 3,53 2,45 2,99 0,74

10 ppm 26,23 23,63 24,93 1,84


(5)

Natrium Diklofenak

Etil p-metoksisinamat

y = 0.9222x + 6.1198 R² = 0.9786

0 20 40 60 80 100 120

-20 0 20 40 60 80 100 120

y = 0.1662x + 37.742 R² = 0.8178

0 10 20 30 40 50 60


(6)

(lanjutan)

Asam p-metoksisinamat

Butil 4-metoksi 6-nitrosinamat y = 0.0079x - 0.363

R² = 0.9903

-0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

-20 0 20 40 60 80 100 120

y = -0.4789x + 30.554 R² = 0.9976 -20 -10 0 10 20 30 40