CONTOH MAKALAH PROFESI GURU PENGEMBANGAN (1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Saat ini dunia pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi “kritis” baik dilihat dari sudut internal kepentingan pembangunan bangsa maupun secara eksternal dalam kaitan dengan kompetisi antar bangsa. Fakta menunjukkan bahwa kualitas pendidikan nasional masih rendah dan jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara- negara lain. Berbagai kritikan tajam yang berasal dari berbagai sudut pandang terus ditujukan kepada dunia pendidikan nasional dengan berbagai alasan dan kepentingan. Bahkan ada beberapa pihak yang menuding bahwa krisis nasional sekarang ini bersumber

dari pendidikan dan lebih jauh ditudingkan sebagai kesalahan guru. Benarkah ada unsur POSH TERBARU “salah” pada guru? Mungkin “ya” dan mungkin “tidak” tergantung dari sudut mana

Contoh Surat Perjanjian Lengkap yang Baik dan

memandang dan menilainya. Namun yang pasti ialah bahwa kondisi guru saat ini Benar Terbaru 2016 bersumber dari pola-pola bangsa ini memperlakukan guru. Meskipun diakui guru sebagai

Contoh Surat Pengunduran Diri Resign Kerja Yang

unsur penting dalam pembangunan bangsa, namun secara ironis guru belum memperoleh Baik dan Benar penghargaan yang wajar sesuai dengan martabat serta hak-hak azasinya. Hal itu tercermin

Contoh Daftar Pustaka Yang Baik dan Benar

dari belum adanya jaminan kepastian dan perlindungan bagi para guru dalam pelaksanaan

Terbaru 2016

Terbaru 2016

tugas dan perolehan hak-haknya sebagai pribadi, tenaga kependidikan, dan warga negara. Siapapun mulai dari presiden, wakil rakyat, para pejabat, dan semua warga Kumpulan Contoh Cover Makalah dan Skripsi

Lengkap Yang Baik dan Benar Terbaru 2016

masyarakat sangat setuju bahwa kualitas pendidikan kita harus dirtingkatkan untuk mengejar ketertinggalannya di dalam tantangan golal. Namun bagaimana upaya itu harus

Contoh Daftar Isi Makalah dan Skripsi yang Baik

dilakukan secara sistemik agar dapat terwujud dengan baik. Tulisan ini akan dan Benar mengemukakan satu pandangan bahwa upaya mencapai pendidikan berkualitas harus

Contoh Kata Pengantar Makalah dan Skripsi yang

dimulai dengan guru yang berkualitas. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa Baik dan Benar memperhitungkan guru secara nyata, hanya akan menghasilkan satu fatamorgana atau

Contoh Daftar Riwayat Hidup Yang Baik dan Baik

sesuatu yang semu dan tipuan belaka. Jika kita renungi masalah pembangunan pendidikan di Indonesia, sungguh Contoh CV (Curriculum Vitae) Bahasa Inggris

Yang Baik dan Benar Terbaru 2016

mengundang kita semua untuk dapat mencermati betapa pendidikan di Indonesia baru sekedar mampu memberikan dampak langsung pendidikan yang diwujudkan dengan Kumpulan Contoh CV (Curriculum Vitae) Yang

ijazah, tetapi belum sampai memberikan dampak pengiring pengajaran yang indikatornya Baik dan Benar Terbaru 2016 adanya kemampuan daya saing sumberdaya manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan

Contoh Surat Lamaran Kerja Yang Baik dan Benar

dunia usaha maupun tuntutan dunia industry, apalagi persaingan dalam kancah percaturan Terbaru dunia.

Contoh Surat Kuasa | Format Pembuatan Surat

Sehubungan dengan itu bahasan berikut akan menyampaikan hal-hal yang Kuasa berkaitan dengan makna kualitas pendidikan, posisi guru dalam pendidikan, masalah dan

Contoh Surat Izin Tidak Masuk Sekolah Yang Baik

kendala, serta upaya membangun pendidikan guru yang ideal. Bahasannya baru dan Benar merupakan pikiran awal yang masih harus dikaji dan dikembangkan lebih lanjut

berdasarkan kajian sumber-sumber empiris dari berbagai penelitian dan pengalaman nyata Contoh Surat Pembaca Yang Baik dan Benar baik dalam maupun luar negeri. Dalam ketidaksempurnaan ini ibarat setitik air di tengah

Contoh Surat Penawaran Yang Baik dan Benar |

samudera luas, namun semoga memberi manfaat dan sumbangsih bagi kaum guru dan Contoh Surat Penawaran Barang dunia pendidikan pada umumnya.

Contoh Surat Resmi Yang Baik dan Benar

B. Tujuan POST TERPOPULER

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Rukun Iman dan Penjelasannya Memahami makna kualitas pendidikan

2. Memahami posisi guru dalam pendidikan Rukun Islam dan Penjelasannya

3. Memahami masalah pendidikan Contoh Surat Resmi Yang Baik dan Benar

4. Memahami peluang dan tantangan yang profesional

Contoh Daftar Isi Makalah dan Skripsi yang Baik

5. Memahami upaya membangun pendidikan guru yang profesional

dan Benar

PENGERTIAN NEGARA DAN UNSUR NEGARA SIFAT DAN TUJUAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015

BAB II PEMBAHASAN

INFO ASIK

A. Makna Kualitas Pendidikan www.teoripendidikan.com/2015/02/contoh-makalah-profesi-gurupengembangan.html

Contoh Proposal Usaha Yang Baik dan Benar 2/24

A. Makna Kualitas Pendidikan Contoh Proposal Usaha Yang Baik dan Benar Dalam konsep yang lebih luas, kualitas pendidikan mempunyai makna sebagai

suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan. Kualitas pendidikan yang Contoh Karya Ilmiah tentang Bahaya Merokok menyangkut proses dan atau hasil ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria

Contoh Proposal Kegiatan Yang Baik dan

tertentu. Proses pendidikan merupakan suatu keseluruhan aktivitas pelaksanaan

Benar

pendidikan dalam berbagai dimensi baik internal maupun eksternal, baik kebijakan maupun oprasional, baik edukatif maupun manajerial, baik pada tingkatan makro

Contoh Proposal Kegiatan Sekolah Yang Baik

(nasional), regional, institusional, maupun instruksional dan individual; baik pendidikan

dan Benar

dalam jalur sekolah maupun luar sekolah, dsb. Dalam bahasan ini proses pendidikan yang

PEDOMAN PENULISAN KARYA ILMIAH YANG

dimaksud adalah proses pendidikan Proses pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh

BAIK DAN BENAR 2015

berbagai faktor yang saling terkait. Kualitas pendidikan bukan terletak pada besar atau kecilnya sekolah, negeri atau swasta, kaya atau miskin, permanen atau tidak, di kota atau LABEL di desa, gratis atau membayar, fasilitas yang “wah dan keren”, guru sarjana atau bukan,

Alquran

Artikel

berpakaian seragam atau tidak. Faktor-faktor yang menentukan kualitas proses pendidikan suatu sekolah adalah terletak pada unsur-unsur dinamis yang ada di dalam artikel kesehatan

sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Salah satu unsurnya ialah

contoh angket

Contoh CV

guru sebagai pelaku terdepan dalam pelaksanaan pendidikan di tingkat institusional dan

contoh permohonan

instruksional.

Dalam konteks yang lebih luas, hasil pendidikan mencakup tiga jenjang yaitu: Cover Makalah produk, efek, dan dampak. Hasil pendidikan yang berupa “produk”, adalah wujud hasil

Contoh Surat

Daftar Pustaka

DAKWAH

yang dicapai pada akhir satu proses pendidikan, misalnya akhir satu proses instruksional,

farmasi

INFORMATIKA

akhir semester, akhir tahun ajaran, akhir jenjang pendidikan, dan sebagainya. Wujudnya dinyatakan dalam satu satuan ukuran tertentu seperti angka, grade, peringkat, indeks Kata Pengantar

prestasi, yudisium, UN, dan sebagainya sebagai gambaran kualitas hasil pendidikan dalam

lamaran pekerjaan

periode tertentu. Hasil pendidikan berupa “efek”, adalah perubahan lebih lanjut terhadap

Makalah Ekonomi

keseluruhan kepribadian peserta didik sebagai akibat perolehan produk dari proses pendidikan (pembelajaran) dari satu periode tertentu. Perolehan produk pendidikan yang

Makalah Kesehatan

dinyatakan dalam bentuk hasil belajar seperti angka dalam rapor, dan sebagainya,

Materi Pendidikan

seharusnya memberikan pengaruh (efek) terhadap perubahan keseluruhan

sejarah

SKRIPSI

perilaku/kepribadian peserta didik seperti dalam pemahaman diri, cara berfikir, sikap, nilai, dan kualitas kepribadian lainnya. Selanjutnya hasil pendidikan yang berupa

soal ulangan

sosial -budaya

“dampak”, adalah berupa pengaruh lebih lanjut hasil pendidikan berupa produk dan efek yang diperoleh peserta didik terhadap kondisi dan lingkungannya baik di dalam keluarga ataupun masyarakat secara keseluruhan.

B. Posisi Guru Dalam Pendidikan Setiap tahun ajaran baru dimulai, guru-guru Sekolah Dasar Kelas I dengan rajin mengajari peserta didiknya untuk menguasai dan dapat membawakan “Hymne Guru” agar pada saat upacara dan kesempatan-kesempatan lain mereka dapat ikut B. Posisi Guru Dalam Pendidikan Setiap tahun ajaran baru dimulai, guru-guru Sekolah Dasar Kelas I dengan rajin mengajari peserta didiknya untuk menguasai dan dapat membawakan “Hymne Guru” agar pada saat upacara dan kesempatan-kesempatan lain mereka dapat ikut

Sejalan dengan itu, kesadaran dan kepedulian para guru, calon guru, sebagian masyarakat dan pejabat pemerintah terhadap perbaikan nasib guru serta upaya mengangkat citra dan martabat guru dirasakan semakin kuat. Kesadaran itu tumbuh melihat kenyataan bahwa imbalan yang diterima oleh para guru belum layak dibandingkan dengan beban tugas yang dipikulnya dan standar kehidupan yang sepantasnya diperoleh sesuai dengan predikatnya sebagai pendidik generasi bangsa.

Dalam menjalankan tugasnya, guru tidak jarang pula mendapatkan perlakuan- perlakuan yang kurang pada tempatnya. Misalnya pemotongan gaji untuk sesuatu yang sebenarnya kurang perlu dan pengurusan kenaikan pangkat yang dipersulit oleh orang- orang tertentu di atasnya.

Kalangan yang peduli itu kemudian melihat kembali lirik Hymne Guru, menyimak kata demi kata, kalimat demi kalimat, serta merenungkan makna eksplisit maupum implisitnya. Ditemukan bahwa hingga baris kedua terakhir, tidak ada masalah. Memang demikianlah guru adanya. Hanya ada saja, tidak ada masalah. Pertama, tidak ditemukan kata, kalimat, atau makna baik secara eksplisit maupun implisit yang mengarah pada kesejahteraan dan perlindungan terhadap diri dan profesinya sebagai guru sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kedua, kandungan yang ditekankan di dalamnya lebih pada pengabdian dan pengorbanan para guru untuk peserta didik dan bangsanya, dan untuk itu mereka dihargai dan dijunjung tinggi. Tetapi, penghargaan itu baru penghargaan moral berupa pengakuan atas jasa-jasanya. Bagaimana dengan penghargaan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan? Ketiga, begitu menginjak baris terakhiryang dapat diibaratkan sebagai klimaksnya atau “gong”nya, ada sesuatu yang mengganggu guru adalah kalimat “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.

Memang semua julukan tersebut dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat dan kehormatan guru. Sebutan itu lebih dimaksudkan sebagai simbol pengabdian guru yang tanpa tanda pamrih dan ikhlas. Sekalipun bekerja seharian untuk mendidik murid- muridnya dalam rentang waktu belasan bahkan puluhan tahun, para guru tetap setia. Mereka tidak mengharapkan ada kalungan medali atau kelak dimakamkan di taman makam pahlawan, sekalipun sebagian anak didinya kemudian menjadi presiden, menteri, guru besar, jenderal, dan konglomerat.

Di pihak lain, julukan guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa bisa tidak Di pihak lain, julukan guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa bisa tidak

Jawaban klise yang sering mereka dengar bila mereka dengan penuh kerendahan hati, rasa hormat, dan harapan (juga do’a kepada Alla Swt) mengungkapkan isi hatinya yang berkaitan dengan nasibnya adalah “Siapa menyuruh Saudara jadi guru”, “Mengapa anda memilih pekerjaan guru?”, atau “Tetap menjadi guru atau mundur, take in or leave if”. Sungguh jawaban seperti ini tidak empatik yang membuat guru panas dingin, tidak tahu kepada siapa lagi mereka mesti mengadu untuk menyampaikan isi hatinya.

Itulah kesan, citra, dan implikasi yang timbul dari julukan guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Orang sinistik malah menyebut penggunaan julukan tersebut dalam Hymne Guru yang semula berkonsentrasi dan bermaksud baik, berubah menjadi ibarat sebuah nyanyian kematian bagi profesi keguruan.

Sesuai dengan judulnya, “guru” merupakan subyek yang menjadi fokus bahasan ini, karena siapapun sependapat bahwa guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan khususnya di tingkat insitusional dan instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk, karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan, yaitu guru. “No teacher no education, no education no economic and social development”. Demikian prinsip dasar yang diterapkan dalam pembangunan pendidikan di Vietnam berdasarkan amanat Bapak bangsanya, yaitu Ho Chi Minh. Guru menjadi titik sentral dan awal dari semua pembangunan pendidikan. Di Indonesia guru masih belum mendapatkan posisi yang seharusnya dalam kebijakan dan program-program pendidikan. Saatnya kini membuat kebijakan dengan paradigma baru, yaitu membangun pendidikan dengan memulainya dari subyek “guru”. Tanpa itu semua dikhawatirkan mutu pendidikan tidak sampai pada cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengembangan sumber daya manusia.

Dalam kenyataan, guru belum memperoleh haknya untuk dapat mengajar secara profesional dan efektif, Hal itu tercermin dari kondisi saat ini yang mencakup jumlah yang kurang sehingga harus bekerja melebihi lingkup tugasnya, mutu yang belum sesuai dengan tuntutan, distribusi yang kurang merata, kesejahteraan yang amat tidak menunjang, dan manajemen yang tidak kondusif. Semua itu merupakan cerminan adanya pelanggaran hak azasi guru. Hak azasi guru proteksi dari pemerintah dan masyarakat melalui perundang- undangan yang mengatur pendidikan antara lain Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus segera diimplementasikan pada tatanan operasional dan manajerial

www.teoripendidikan.com/2015/02/contoh-makalah-profesi-gurupengembangan.html mulai di tingkat nasional, regional, institusional, sampai tingkat instruksional.

mulai di tingkat nasional, regional, institusional, sampai tingkat instruksional. Peran guru dalam peningkatan mutu pendidikan dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu:

1. Guru sebagai Pribadi Kinerja peran guru dalam kaitan dengan mutu pendidikan harus dimulai dengan dirinya sendiri. Sebagai pribadi, guru merupakan perwujudan diri dengan seluruh keunikan karakteristik yang sesuai dengan posisinya sebagai pemangku profesi keguruan. Kepribadian merupakan landasan utama bagi perwujudan diri sebagai guru yang efektif baik dalam melaksanakan tugas profesionalnya di lingkungan pendidikan dan di lingkungan kehidupan lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa seorang guru harus mampu mewujudkan pribadi yang efektif untuk dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai guru. Untuk itu, ia harus mengenal dirinya sendiri dan mampu mengembangkannya ke arah terwujudnya pribadi yang sehat dan paripurna (fully functioning person).

2. Peran Guru di Keluarga Dalam kaitan dengan keluarga, guru merupakan unsur keluarga sebagai pengelola (suami atau isteri), sebagai anak, dan sebagai pendidik dalam keluarga. Hal ini mengandung makna bahwa guru sebagai unsur keluarga berperan untuk membangun keluarga yang kokoh sehingga menjadi fondasi bagi kinerjanya dalam melaksanakan fungsi guru sebagai unsur pendidikan. Untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang kokoh perlu ditopang antara lain oleh: landasan keagamaan yang kokoh, penyesuaian pernikahan yang sehat, suasana hubungan inter dan antar keluarga yang harmonis, kesejahteraan ekonomi yang memadai, dan pola-pola pendidikan keluarga yang efektif.

3. Peran Guru di Sekolah Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial. Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan tugas-tugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta didik melalui keteladanan, penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik. Dengan perkembangan dan tuntutan yang berkembang dewasa ini, peran-peran guru mengalami perluasan, yaitu sebagai pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi peserta didik untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sebagai latihan untuk mencapai hasil pembelajaran optimal. Sebagai konselor, guru menciptakan satu situasi interaksi di mana peserta didik melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dengan memperhatikan kondisi setiap peserta didik dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru 3. Peran Guru di Sekolah Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial. Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan tugas-tugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta didik melalui keteladanan, penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik. Dengan perkembangan dan tuntutan yang berkembang dewasa ini, peran-peran guru mengalami perluasan, yaitu sebagai pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi peserta didik untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sebagai latihan untuk mencapai hasil pembelajaran optimal. Sebagai konselor, guru menciptakan satu situasi interaksi di mana peserta didik melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dengan memperhatikan kondisi setiap peserta didik dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru

Hamzah Uno (2008), posisi dan peran guru yang dikaitkan dengan konsep pendidikan berbasis lingkungan dalam proses pembelajaran, dimana guru harus menempatkan diri sebagai:

a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi, pelaksana, dan pengontrol kegiatan belajar peserta didik.

b. Fasilitator belajar, dalam arti guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta didik dalam melakukan kegiatan belajarnya memalui upaya dalam berbagai bentuk.

c. Moderator belajar, dalam arti guru sebagai pengatur arus kegiatan belajar peserta didik.

d. Motivator belajar, dalam arti guru sebagai pendorong peserta didik agar mau melakukan kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus menciptakan kondisi kelas yang merangsang peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok.

e. Evaluator belajar, dalam arti guru sebagai penilai yang objektif dan komprehensif.

4. Peran Guru di Masyarakat Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara keseluruhan, guru merupakan unsur strategis sebagai anggota, agen, dan pendidik masyarakat. Sebagai anggota masyarakat guru berperan sebagai teladan bagi bagi masyarakat di sekitarnya baik kehidupan pribadinya maupun kehidupan keluarganya. Sebagai agen masyarakat, guru berperan sebagai mediator (penengah) antara masyarakat dengan dunia pendidikan khususnya di sekolah. Dalam kaitan ini, guru akan membawa dan mengembangkan berbagai upaya pendidikan di sekolah ke dalam kehidupan di masyarakat, dan juga membawa kehidupan di masyarakat ke sekolah. Selanjutnya, sebagai pendidik masyarakat, bersama unsur masyarakat lainnya guru berperan mengembangkan berbagai upaya pendidikan yang dapat menunjang pencapaian hasil pendidikan yang bermutu.

C. Masalah Pendidikan Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, C. Masalah Pendidikan Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan,

1. Kuantitas, Kualitas, dan Distribusi. Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. Dari aspek penyebarannya, masih terdapat ketidakseimbangan penyebaran guru antar sekolah dan antar daerah. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SMA, masih terdapat ketidaksepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus diajarkan.

2. Kesejahteraan Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah (1) kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya, (2) kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan guru menurut jenjang dan jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara, dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak misalnya di sekolah yang kekurangan guru, akan tetapi imbalannya sama saja atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.

3. Manajemen Guru Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma pendidikan antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dan sebagainya. Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurangterpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu birokratis

www.teoripendidikan.com/2015/02/contoh-makalah-profesi-gurupengembangan.html dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” www.teoripendidikan.com/2015/02/contoh-makalah-profesi-gurupengembangan.html dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan”

4. Penghargaan terhadap guru Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil, terbuka, non- diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri, sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.

5. Pendidikan guru Sistem pendidikan guru baik prajabatan maupun dalam jabatan masih belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi ajar. Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang ada dewasa ini masih terisolasi dengan sub-sistem manajemen lainnya seperti rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, penggajian, dan pembinaan profesi. Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun kesepadannya dengan kebutuhan nyata.

Sebagai unsur yang berada di garda terdepan pendidikan, begitu banyak sebutan sanjungan yang diberikan kepada guru seperti “Guru yang digugu dan ditiru”, “Guru pejabat mulia”, “pahlawan tanpa tanda jasa”, “guru sebagai jabatan profesional”, “guru sebagai sumber teladan”, “guru sebagai pengukir masa depan bangsa”, dan sebagainya. Tentunya ungkapan-ungkapan tersebut merupakan upaya untuk memotivasi para guru dalam melaksanakan tugasnya, meskipun dalam kenyataannya banyak yang mempersepsi ungkapan-ungkapan tersebut justru merupakan sanjungan yang tidak sesuai dengan realitas sehingga membuat guru tersandung. Guru dipandang memiliki prestise terhormat, akan tetapi sebagai profesi yang rendah dengan imbalan yang tidak memadai.

Dengan posisi yang sangat strategis di garda terdepan pendidikan, seharusnya www.teoripendidikan.com/2015/02/contoh-makalah-profesi-gurupengembangan.html guru mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam hal pembinaan profesional dan Dengan posisi yang sangat strategis di garda terdepan pendidikan, seharusnya www.teoripendidikan.com/2015/02/contoh-makalah-profesi-gurupengembangan.html guru mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam hal pembinaan profesional dan

1. Terisolasi Penataan struktur ruang kelas tempat guru bertugas membuat guru bekerja secara individual dan berada di lingkungan kerja yang terisolasi. Selama guru melakukan aktivitas instruksional, pihak lain tidak mengamatinya termasuk para supervisor (pengawas). Guru beraktivitas tanpa memperoleh umpan balik dari kinerjanya sehingga sulit bagi mereka untuk memperoleh informasi balikan. Guru lain pun tidak dapat mengamati kinerja guru tersebut sehingga sulit untuk terjadi proses berbagai pengalaman. Mungkin hal ini berbeda dengan mereka yang bekerja dalam suasana kerja yang terbuka seperti di pabrik, di lapangan, di rumah sakit, dan sebagainya. Mereka yang bekerja di lingkungan kerja seperti di rumah sakit, para petugas baik professional, seperti dokter maupun para professional, seperti asisten, perawat, dan sebagainya dapat saling mengamati kinerja masing-masing. Petugas senior dapat membimbing yang senior terutama pemula, demikian juga tenaga paramedis. Situasi seperti ini dapat memberikan pengaruh konstruktif bagi perkembangan profesi, namun hal seperti itu tidak dijumpai dalam lingkungan kerja guru. Kepala sekolah, pengawas, atau pejabat pendidikan jarang yang melakukan pengawasan dan pembinaan yang bersifat mengembangkan. Mereka lebih banyak membahas hal-hal yang bersifat administratif.

2. Dilema Psikologis Kondisi penataan lingkungan kerja seperti dikemukakan di atas, membuat guru secara terus menerus tanpa putus senantiasa berhadapan dengan tantangan psikologis. Setiap hari guru melaksanakan tugasnya dengan perilaku mengajar seperti mengecek kehadiran siswa, memperhatikan siswa satu persatu, menyampaikan materi, mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan siswa, menulis, membacakan, memeriksa pekerjaan, melakukan teguran, memberikan pujian, dsb. Kalau guru SD sebagai guru kelas hal itu dilakukan mulai dari pelajaran yang satu ke pelajaran berikutnya sampai akhir waktu. Kalau guru mata pelajaran seperti di SMP atau SMA rangkaian perilaku itu dilakukan dari satu kelas ke kelas lainnya hingga berakhir jam pelajaran. Cukup banyak jumlah siswa yang harus dihadapi setiap hari dengan berbagai ragam kepribadian mulai dari yang menyenangkan sampai ke yang menjengkelkan, mulai dari yang cerdas sampai yang lambat, dan begitu banyak macam pola tingkah laku siswa yang berasal dari berbagai latar 2. Dilema Psikologis Kondisi penataan lingkungan kerja seperti dikemukakan di atas, membuat guru secara terus menerus tanpa putus senantiasa berhadapan dengan tantangan psikologis. Setiap hari guru melaksanakan tugasnya dengan perilaku mengajar seperti mengecek kehadiran siswa, memperhatikan siswa satu persatu, menyampaikan materi, mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan siswa, menulis, membacakan, memeriksa pekerjaan, melakukan teguran, memberikan pujian, dsb. Kalau guru SD sebagai guru kelas hal itu dilakukan mulai dari pelajaran yang satu ke pelajaran berikutnya sampai akhir waktu. Kalau guru mata pelajaran seperti di SMP atau SMA rangkaian perilaku itu dilakukan dari satu kelas ke kelas lainnya hingga berakhir jam pelajaran. Cukup banyak jumlah siswa yang harus dihadapi setiap hari dengan berbagai ragam kepribadian mulai dari yang menyenangkan sampai ke yang menjengkelkan, mulai dari yang cerdas sampai yang lambat, dan begitu banyak macam pola tingkah laku siswa yang berasal dari berbagai latar

Dilema psikologis yang dihadapi guru tidak hanya berhadapan dengan siswa, namun dengan pihak orang tua, pihak kepala sekolah, dan birokrasi pendidikan. Orang tua memberikan tuntutan tertentu menurut kehendak dan perasaannya. Pihak kepala sekolah dan birokrasi lainnya lebih banyak menuntut hal-hal yang bersifat administratif. Belum lagi tantangan yang bersifat sosial, ekonomi, kultural, dan bahkan politik cukup memberikan tekanan psikologis. Guru dituntut berperilaku ideal normatif namun berbagai kendala ekonomis membuat mereka berada dalam situasi konflik. Kondisi keluarga seperti tuntutan kebutuhan hidup yang menyangkut sandang, pangan, dan papan, kebutuhan pendidikan, kesehatan, sosial, dan sebagainya makin menambah panjangnya deretan daftar tantangan dilema psikologis bagi guru.

3. Rutinitas Situasi lingkungan kerja sebagaimana dikemukakan di atas, membawa guru pada pola-pola rutin. Semua aktivitas guru seolah-oleh sudah dipolakan sedemikian rupa sehingga aktivitas guru terpasung dengan hal-hal yang rutin. Kurikulum dan silabus serta jadwal mengajar setiap hari, jadwal mingguan, bulanan, bahkan tahunan, semuanya sudah diatur secara administratif. Sedikit sekali guru berpeluang untuk dapat mengatur dirinya sendiri di luar ketentuan yang rutin. Bahkan di masa lalu hal-hal yang sebenarnya menjadi tugas otonomi guru sudah diatur dari atas seperti buku pelajaran, materi, metode mengajar, soal tes, persiapan mengajar, serta juklak dan juknis lainnya. Kondisi rutinitas itu dapat menghambat perkembangan kreativitas dan profesi guru, disamping memberikan dampak psikologis seperti kebosanan, apatis, pasif, reaktif, mekanis, dan sebagainya.

4. Kendala Guru Pemula Situasi lingkungan kerja seperti telah disebutkan di atas akan banyak menimbulkan kendala bagi para guru pemula. Untuk memulai melaksanakan tugas dakam lingkungan yang baru guru pmula memerlukan orientasi unmtuk mengenal situasi baru dalam mempersiapkan diri untuk memulai melaksanakan tugas. Dalam kenyataan jarang sekali guru memperoleh bantuan untuk memulai tugasnya. Guru-guru yang sudah ada terlebih dahulu atau guru senior kurang banyak membantu. Dari pihak kedinasan dan birokrasi jarang ditemukan adanya program orientasi awal masa tugas bagi pemula. Program yang disebut pendidikan dan pelatihan prajabatan lebih banyak berkenaan dengan berbagai hal yang bersifat administratif kepegawaian.

Kondisi seperti itu agak berbeda dibandingkan dengan lingkungan kerja profesi

Kondisi seperti itu agak berbeda dibandingkan dengan lingkungan kerja profesi CONTOH MAKALAH PROFESI GURU|PENGEMBANGAN PROFESI GURU | TEORI PENDIDIKAN lain seperti di bidang hukum, kesehatan, pemerintahan, bisnis, dan sebagainya. Dalam lingkungan tersebut para pemula telah disiapkan program yang secara bertahap membantu untuk secara bertahap dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Lingkungan kerja guru dengan kondisi seperti itu menjadi kendala untuk memulai tugasnya. Para pemula harus berupaya sendiri dalam melaksanakan tugas dan melakukan penyesuaian diri dalam berbagai aspek. Dampak psikologis yang mungkin timbul adalah rasa terasing yang kemudian berkembang menjada rasa kurang betah dan menurunnya motivasi kerja. Pada gilirannya keadaan seperti itu berpengaruh terhadap efektiivitas kerja guru secara keseluruhan.

5. Karir Tak Berjenjang Banyak profesi bergengsi seperti di bidang hukum, kedokteran, sains, rekayasa, dan sebagainya menetapkan secara jelas transisi dari sejak mahasiswa lulus ke jabatan profesional. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dilakukan secara berjenjang melalui seleksi yang cukup ketat dengan kriteria yang jelas. Ketika memulai bertugas pada tahap awal dimulai dengan magang kepada yang lebih senior dan terus secara berhjenjang sampai pada posisin tertinggi. Dalam jabatan guru hal itu tidak terjadi secara jelas dan terprogram. Begitu lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan langsung terjun ke dunianya laksana anak itik yang langsung berenang. Dan seterusnya sejak mulai sampai akhir masa jabatan tidak pernah terjadi seleksi karir yang berjenjang. Dengan begitu guru pemula sama saja dengan guru yang sudah puluhan tahun bekerja, yang membedakannya hanyalah gaji yang diterima dan pangkat yang semakin tinggi.

Memang ada ketentuan penjenjangan jabatan guru mulai dari guru pratama sampai ke guru utama dengan kriteria perolehan angka kredit. Namun, dalam pelaksanaannya lebih banyak berupa ketentuan administratif ketimbang penjenjangan profesional. Di Perguruan Tinggi para dosen cukup jelas ketentuan aturan penjenjangan dan pelaksanaannya. Misalnya seorang asisten ahli tidak diberi wewenang untuk mengajar secara mandiri dan membimbing skripsi.

6. Kurang Dialog Mengenai Pengajaran Pada umumnya di sekolah para guru jarang melakukan dialog atau diskusi berkenaan dengan pengajaran baik antar sesama guru maupun dengan supervisornya seperti kepala sekolah atau pengawas. Kalaupun terjadi pertemuan antara pejabat Departemen, Dinas, pengawas atau Kepala Sekolah, pembicaraan lebih banyak bersifat top down dan sedikit menyinggung dialog mengenai pengajaran. Hal-hal yang dibahas lebih banyak bersifat informatif yang berkenaan dengan berbagai peraturan, ketentuan administratif, atau perintah. Kalau terjadi dialog sesama guru pada waktu istirahat atau waktu luang, lebih banyak obrolan santai membicarakan masalah-masalah pribadi, kesejahteraan, keluarga, lingkungan, dan sebagainya. Ada satu bentuk forum yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan dialog instruksional yaitu apa yang disebut

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sayangnya forum ini lebih banyak berbentuk kepanjangan kedinasan yang sekali lagi lebih banyak mengarah ke hal-hal administratif.

7. Kurang Keterlibatan Dalam Pengambilan Keputusan Kurikulum Sekolah dan Pengajaran. Jika guru kurang kesempatan berdialog dengan sesama guru, tidak saling melihat satu dengan lain dalam proses pengajaran, dan guru cukup berkinerja dalam kelas, maka tidak heran apabila guru kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan kurikulum dan pengajaran. Keadaan ini jelas sangat kurang menguntungkan guru sebagai unsur pendidikan yang berada di garda terdepan pendidikan.

Keputusan pendidikan termasuk kurikulum dan pengajaran lebih banyak ditetapkan dari atas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang seolah- olah sebuah resep yang harus dilaksanakan. Kalau saja inovasi mengenai penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang akan melibatkan guru dalam pelaksanaannya, maka ini satu langkah baik untuk memberikan peluang bagi guru untuk mewujudkan otonomi pedagogisnya. Masalahnya, apakah guru sudah siap, dan apakah ada pembinaan sistematis?

D. Peluang dan Tantangan Pendidikan yang Profesional Sebagai satu bentuk reformasi dan inovasi, kelahirannya akan memberikan peluang sekaligus tantangan yang akan dihadapi oleh subyek-subyek terkait. Pertama; bagi para Guru

Sebagai peluang, guru akan memperoleh jaminan dalam mewujudkan otonomi pedagogis yang merupakan hak azasinya sebagai unsur utama pendidikan sehingga dapat berkinerja secara profesional dan lebih optimal dengan dukungan kualitas kesejahteraan dan perlindungan hukum yang memadai. Di samping itu guru berpeluang untuk memperoleh jaminan sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajibannya dalam suasana lingkungan kerja yang kondusif dalam pengembangan karir baik profesi maupun pribadi. Semua peluang tersebut apabila dapat terwujud akan membuat para guru berkinerja secara profesional dengan dukungan kesejahteraan yang memadai dan dalam lingkungan kerja yang kondusif, serta jaminan kepastian karir yang lebih prospektif. Namun semua peluang itu tidak serta merta akan terwujud karena guru ditantang untuk mampu berkinerja sesuai dengan tuntutan undang-undang. Guru harus memenuhi standar profesi baik dalam bentuk kualifikasi maupun kompetensi sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang dan harus senantiasa meningkatkan mutu profesionalnya melalui berbagai cara dan kesempatan. Guru ditantang untuk dapat melaksanakan semua tuntutan undang-undang berkenaan dengan kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi. Hak untuk memperoleh kesejahteraan dan jaminan hanya mungkin terwujud apabila yang bersangkutan mampu memenuhi kewajibannya sebagai tantangan dari Sebagai peluang, guru akan memperoleh jaminan dalam mewujudkan otonomi pedagogis yang merupakan hak azasinya sebagai unsur utama pendidikan sehingga dapat berkinerja secara profesional dan lebih optimal dengan dukungan kualitas kesejahteraan dan perlindungan hukum yang memadai. Di samping itu guru berpeluang untuk memperoleh jaminan sebagai warga negara dengan segala hak dan kewajibannya dalam suasana lingkungan kerja yang kondusif dalam pengembangan karir baik profesi maupun pribadi. Semua peluang tersebut apabila dapat terwujud akan membuat para guru berkinerja secara profesional dengan dukungan kesejahteraan yang memadai dan dalam lingkungan kerja yang kondusif, serta jaminan kepastian karir yang lebih prospektif. Namun semua peluang itu tidak serta merta akan terwujud karena guru ditantang untuk mampu berkinerja sesuai dengan tuntutan undang-undang. Guru harus memenuhi standar profesi baik dalam bentuk kualifikasi maupun kompetensi sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang dan harus senantiasa meningkatkan mutu profesionalnya melalui berbagai cara dan kesempatan. Guru ditantang untuk dapat melaksanakan semua tuntutan undang-undang berkenaan dengan kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi. Hak untuk memperoleh kesejahteraan dan jaminan hanya mungkin terwujud apabila yang bersangkutan mampu memenuhi kewajibannya sebagai tantangan dari

Tantangan guru profesional dalam era globalisasi, antara lain: (1) Perkembangan Teknologi Informasi Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan.

Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar. Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber belajar lain terutama fasilitas internet yang telah menjadi “sekolah maya”.

Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan datang,

keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain. Teknologi informasi hanya mungkin keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain. Teknologi informasi hanya mungkin

Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan. Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita. (2) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan

Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigm desentralistik. Sejak diundangkan UU Nomor 22 tahun1999 tentang Pemerintah Daerah maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo dalam Jalal dan Supriyadi (2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya. Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif. Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai

kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan bagi dirinya atau kelompoknya. (Karsidi, 2004) Desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah. Kurikulum dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada bagian yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, seperti PKN, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum; (3) Kandungan minimal konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar; (4) Standarstandar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan. Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harusdibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.