Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB II

(1)

BAB II

Diakonia adalah Tugas Gereja

2.1. Gereja

Gereja hidup ditengah masyarakat. Gereja kita kenal sebagai persekutuan orang percaya kepada anugerah keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus membawa keselamatan sebagai anugerah kepada seluruh manusia. Allah yang menyatakan diri-Nya melalui Yesus Kristus membebaskan manusia dari dosa, dengan tawaran anugerah keselamatan. Keselamatan itu akan menjadi realita yang benar-benar menyelamatkan apabila manusia memberikan tanggapan dengan beriman kepada Allah. Manusia yang menerima tawaran anugerah keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus berkumpul membentuk sebuah persekutuan yang disebut gereja.

Ada beberapa pendapat mengenai gereja, di antaranya gereja merupakan kehidupan bersama manusia yang secara konkret telah mengalami keselamatan sesuai dengan keberadaannya didunia. Ada juga yang berpendapat bahwa gereja ialah kehidupan bersama orang-orang percaya yang mempunyai tugas untuk mengungkapkan dan menjalani kehidupan selama mereka hidup bergereja dan dalam kehidupan sehari-hari.

Keberadaan gereja dan orang Kristen yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan sebagai anggota masyarakat tidaklah terlepas dari masalah kemiskinan yang menyebabkan ketimpangan nilai-nilai atau norma-norma kesejahteraan tersebut. Dalam keterlibatannya mengatasi masalah kemiskinan, gereja dan orang Kristen tidaklah cukup hanya memahami apa arti kemiskinan dan siapa yang miskin (orang miskin) saja, tetapi gereja dan orang Kristen harus merangkul mereka dan mengangkat hakekat dan martabat mereka yang berada dalam kondisi


(2)

hidup miskin. Dengan kata lain kesadaran etis gereja dan orang kristen terhadap masalah kemiskinan harus disertai dengan tindakan konkret atau tanggung jawab etis terhadap orang miskin, atau membantu meringankan beban berat yang membuat mereka menderita.1

Secara etimologi, kata gereja berasal dari bahasa Yunani “Ekklesia” yang artinya mereka yang dipanggil keluar. Dengan menggunakan pengertian ini, maka yang tergabung dalam persekutuan ini adalah orang-orang pilihan yang sudah dipanggil keluar dari lingkungannya yang gelap. Tetapi pada saat yang sama, mereka yang sudah dipanggil keluar tersebut kembali diutus ke dalam dunia, kedalam lingkungannya untuk menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14). Itu berarti Allah memanggil umat pilihanNya bukan untuk dijadikan umat simpanan-Nya atau menjadi suatu umat yang diisolirkan dari lingkungan masyarakat sekitarnya (eksklusif). Pemanggilan Allah atas umat-Nya ini untuk dijadikan garam dan terang bagi kegelapan dan ketawaran yang masih ada di sekitarnya.2 Oleh sebab itu, adanya pemberitaan Firman Allah yang benar; penyelenggaraan sakramen yang kudus dan penegakan disiplin, tetapi juga harus menjadi gereja bagi orang lain. Garam dan terang tidak berfungsi bagi dirinya sendiri, garam dan terang selalu berfungsi bagi yang lain. Bagaimana gereja dapat menjadi gereja bagi orang lain? Melalui pemenuhan tugas pelayanan yang telah Allah mandatkan kepada gereja.

Mandat ini merupakan Missio Dei dari pada Allah. Missio Dei memberitakan kabar baik bahwa Allah adalah Allah untuk semua manusia, ini jangan dipersempit menjadi bahwa Allah hanya untuk orang kristen. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang menanggapi atau menjawab panggilan Allah dalam iman untuk ikut mengambil bagian dalam karya

1

Yonky Karman, Diakonia Transformatif Gereja Sebagai Struktur Mediasi, Civis Volume 02 No. 01 Februari 2010 2

Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis bagi Pekerjaan OrangKristen dalam Masyarakat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993), hl. 139


(3)

penyelamatan Allah melalui Kristus. Gereja kemudian menjadi persekutuan orang-orang yang mengikut Yesus; persekutuan murid-murid Yesus. Sebagai persekutuan pengikut Yesus, gereja sering digambarkan sebagai tubuh Kristus. Gambaran itu mengandung arti bahwa Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja. Kepala dari tubuh itu, ingin menggunakan gereja untuk menyatakan dirinya serta merta.

Bersama dengan Koinonia dan Marturia, Diakonia adalah Tri-tugas gereja yang menjadi satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelayanan gereja ini harus dilaksanakan secara terpadu dan bersamaan sehingga menjadi pelayanan gereja yang holistik. Karena itu membahas diakonia tidak dapat dipisahkan dari pelayanan gereja yang sering kita kenal sebagai tugas panggilan gereja. Itu berarti diakonia gereja adalah bagian integral dari pelayanan utuh atau menyeluruh gereja Tuhan di dalam dunia ini.

Pelayanan yang utuh pada hakekatnya menghubungkan secara tepat dan benar tiga sisi tugas panggilan gereja yaitu Koinonia (Persekutuan), Marturia (Kesaksian) dan Diakonia (Pelayanan). Dalam Mark. 3:14-15, hal itu nyata, dimana Yesus menetapkan 12 murid (bentuk persekutuan) untuk menyertai Yesus dan diutus memberitakan Injil (Marturia) dan diberi-Nya kuasa untuk mengusir setan (Diakonia). Ketiga tugas panggilan ini harus saling terkait, karena persekutuan gereja harus terarah keluar yaitu Persekutuan yang bersaksi dan melayani. Oleh karena itu pelayanan utuh dari Gereja dapat dirumuskan sebagai berikut: “Gereja yang seutuhnya memberitakan Injil yang seutuhnya tentang Kristus yang seutuhnya bagi manusia dan dunia seutuhnya”. Gereja seutuhnya artinya tidak terlepas satu dengan yang lain, dan selalu dalam kebersamaan dengan pihak lain. Injil seutuhnya artinya Injil bukan hanya tentang keselamatan jiwa tetapi juga tentang keadilan, kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan.


(4)

2.2. Diakonia dalam Gereja

Pada dasarnya pelayanan adalah membagikan hak yang disediakan Tuhan bagi setiap orang baik lahir maupun batin.3Pelayanan didasari oleh satu kesadaran bahwa oleh Tuhan setiap insan yang lahir dan hidup di dunia ini diberi hak dan bekal untuk hidup, serta kewajiban dan tanggung jawab yang sama dengan yang lain. Pada dasarnya kehidupan manusia tidak lepas dari keterbatasan dan ketergantungan, sehingga di dalam kehidupan manusia tersebut terjadilah interaksi timbal-balik antar manusia, yang saling menopang dan mengatasi keterbatasannya.

Menurut pemahaman kristiani, pelayanan merupakan aktivitas untuk merefleksi dan melanjutkan akta Allah dalam Yesus Kristus untuk mengasihi dunia ini, dan pelayanan adalah konsekuensi dari pelayanan dan keselamatan Kristus kepada umatNya (bnd Mat 25:31-40). Dalam kenyataan yang lebih konkret, pelayanan merupakan suatu kesadaran etis dari manusia yaitu bahwa dirinya secara langsung maupun tidak langsung hidup dari orang lain, dengan orang lain dan untuk orang lain. Oleh sebab itu dalam pelayanan tersebut terkandung rasa tanggung jawab dan perhatian terhadap keberadaan dan kesejahteraan hidup orang lain.

Secara harafiah kata “diakonia” berarti “memberi pertolongan atau pelayanan”. Kata ini berasal dari kata Yunani diakonia (pelayanan), diakonien (melayani), dan diakonos (pelayanan). Dalam Perjanjian Baru di samping kata-kata ini terdapat lima kata lain untuk “melayani”, masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-terjemahan Alkitab kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata “melayani”.

Di samping diakonien dalam PB ditemukan kata-kata berikut ini:

Douleuein: melayani sebagai budak kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan dari orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru menjadi

3


(5)

manusia jika ia dalam keadaan bebas. PB mula-mula memakai kata ini dalam arti biasa sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Di samping itu, kata ini juga mendapat arti religius.

Latreuein: melayani untuk uang. Kata benda latreia (pelayan yang diupah) juga dipakai dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dari PL, yaitu Septuaginta (LXX), kata ini kurang lebih terdapat 90 kali, pada umumnya untuk melayani Tuhan Allah dan khususnya untuk pelayan persembahan.

Leitourgein: dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayan umum bagi kesejahteraan rakyat dan negara. Dalam LXX arti sosial-politik ini terutama dipakai di lingkungan kuil-kuil. Dalam PB (khususnya surat Ibrani) kata ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam Besar Yesus Kristus. Kemudian dalam Roma 15:27 dan 2 Korintus 9:12 kata ini dipakai untuk kolekte dari orang Kristen asal kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang miskin di Yerusalem. Dari kata inilah berasal kata “liturgi”, yaitu suatu tata ibadah dalam pertemuan jemaat.

Therapeuein: menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin. Contoh: seorang pelayan kandang kuda melayani kuda, dalam arti ini mengurusnya. Therapeuein

di tempat lain juga dipakai sebagai sinonim dari “menyembuhkan”

Hupéretein: menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa pekerjaan itu dilakukan. Hupéretés berarti sipelaksana memperhatikan instruksi si pemberi kerja. Menurut Matius 5:25, kata ini berarti “pelayan hukum”. Menurut Lukas 4:16 dst, artinya adalah seorang fungsionaris di rumah ibadah sebagai pembantu kepala rumah ibadah. Lukas 1:2 menunjukkan bahwa para saksi mata dari penampilan Yesus bersedia menyebarluaskan berita tentang Dia.


(6)

Kata pelayanan dalam bahasa Inggris: Ministry, Service; dalam Bahasa Yunani

διακονεω. Kata ini muncul 36 kali dalam Perjanjian Baru (21 kali dalam Injil Sinoptik; 3 kali

dalam Yohanes; 8 kali dalam tulisan Paulus; 1 kali dalam Ibrani; 3 kali dalam 1 Petrus) dengan arti:

a) Pelayanan (Mrk. 1:31, Luk.17:8, Kis. 6:1-2).4 Ketika jumlah murid gereja mula-mula semakin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani dikarenakan pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan di dalam pelayanan sehari-hari, sehingga kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan mengatakan bahwa mereka tidak merasa puas karena mereka melalaikan Firman Allah untuk melayani meja. Menurut para rasul bahwa melalaikan pelayanan meja sama artinya melalaikan Firman Allah. Pelayanan meja merupakan bagian Firman Allah yang harus dikerjakan dan menjadi tanggung jawab gereja (Kis. 4:35; 11:28-29; 1 Tim. 3:3-16). Gereja mula-mula memperhatikan dua macam pelayanan, yaitu: pelayanan spiritual yaitu pelayanan Firman Allah dan doa (Kis. 6:4) dan pelayanan material yaitu pelayanan meja (Kis. 6:1-2).

b) Arti yang lebih luas yaitu muncul dalam Matius 25:44; Markus 1:13; 15:41; Lukas 8:3. Ketiga, Pelayanan proklamasi Injil (Kis. 6:4; 20:24; 2 Kor. 4:1; 6:3; 11:8). Kecuali arti di atas, di dalam Perjanjian Baru kata pelayanan juga berhubungan dengan pelayanan proklamasi Injil. Kisah Para Rasul 6:4 “Dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan firman.” Lebih jelas Paulus berkata “Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan

4

Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia – Suatu pendekatan pada Etika Kristen Dasar, BPK Gunung Mulia (Jakarta:2007), 195


(7)

menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah (Kis. 20:24 dan 2 Kor. 4:1).

Istilah diakonia dipopulerkan dalam era Perjanjian Baru. Dua kata yang berhubungan erat dengan diakonia yaitu diakoneim dan diakonos. Diakoniem berarti melayani; dan diakonos berarti pelayan. Pada mulanya diakonia bermakna pelayanan secara terbatas pada pelayanan firman. Dalam perkembangannya, keduanya sering digunakan dalam berbagai konteks, misalnya

a. Dalam 2 Korintus 5:18-19 ; diakonia digunakan dalam konteks pelayanan perdamaian yaitu pelayanan yang dilakukan oleh Allah di dalam dan melalui diri Yesus Kristus untuk mendamaikan diri-Nya dengan manusia. Jadi Yesus Kristus adalah diakonos perdamaian. b. Dalam Wahyu 2:19 ; diakonia digunakan dalam konteks tugas atau pekerjaan yang harus

dikerjakan oleh orang-orang percaya. Pelaksanaan tugas tersebut dikaitkan dengan kesabaran, iman, dan ketekunan.

c. Dalam Kolose 4:17; diakonia digunakan dalam konteks tugas pelayanan yang diterima dari Tuhan. Berdasarkan konteks-konteks yang dikemukakan di atas, perlu dilakukan pembatasan pemahaman. Pembatasan ini berfungsi sebagai titik tolak pembahasan selanjutnya dan sekaligus menyatukan pemahaman bersama. Dilihat dari pemakaian awal dan pemakaian dalam beberapa konteks di atas dapat dikatakan bahwa diakonia adalah tugas pelayanan dari Allah untuk kesejahteraan manusia. Sekalipun tidak menggunakan kata diakonia, melalui peristiwa pembagian roti kepada lima ribu orang (Yoh. 6:1-15; Mat. 14:13-21), Yesus Kristus memperlihatkan aspek kesejahteraan fisik dari pelayanan yang dilakukanNya. Hal ini mengindikasikan bahwa kecukupan pangan merupakan tugas yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh murid-murid. Kata Yesus, “Tidak perlu mereka pergi kamu harus memberikan mereka makan. Penggunaan


(8)

kata harus menggambarkan sikap Yesus terhadap pelayanan kesejahteraan (Diakonia). Orang-orang yang datang kepada-Nya tidak cukup dilayani dengan khotbah yang menyenangkan secara spiritual tetapi juga perlu dikenyangkan secara material.

Karl Marx salah seorang Filsuf Jerman mengelompokkan masyarakat dalam dua golongan yang berdasarkan kemiskinan dan kekayaan, yaitu proletar dan borjuis. Kaum proletar

ialah para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik, dan kaum borjuis ialah kaum pemilik modal yang merupakan tuan-tuan dari kaum proletar. Pikiran Marx berangkat dari konsep ekonomi tentang pemilik modal dan pekerjanya.5 Ditambah dengan pembagian kerja yang bersifat mental dan manual, ada kemungkinan besar bahwa para anggota kelas pekerja yang mayoritas akan mengalami sejenis alienasi dari pekerjaan mereka, dan dengan demikian menciptakan

dehumanisasi (pengabaian hak asasi manusia) dan kegelisahan. Tetapi mereka yang memiliki alat-alat produksi tidak bisa menanggung kehilangan kontrol terhadap situasi mereka yang lebih unggul dan mengguntungkan, kelas yang dominan harus merekonstruksi system-sistem kepercayaan mengenai masalah-masalah yang paling penting (Tuhan, alam semesta, kemanusiaan, moralitas, dsb) dan mengkomunikasikannya kepada massa agar mereka tetap dapat dikuasai.6

Jika dibandingkan dengan perspektif Alkitab, maka Stott mengatakan bahwa: sejumlah studi penelitian terhadap materi Alkitab telah dilakukan dan dipublikasikan. Studi ini difokuskan pada Perjanjian Lama, di mana serangkaian kata untuk kemiskinan, yang datangnya dari akar kata Ibrani, muncul lebih dari 200 kali. Cara mengelompokkannya bisa bermacam-macam. Tapi perbedaan prinsip yang terkandung dalam masing-masing kata itu ada 3. Pertama, ditinjau dari

5

Frans Magniz-Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama (Jakarta; 203), 265-266 6

David K. Naugle, Wawasan Dunia-Sejarah Sebuah konsep (Sebuah Pandangan Kristen), Penerbit Momentum (Surabaya:2010), 286-287


(9)

segi ekonomi, ada orang yang miskin karena ketiadaan materi mereka yang terkucil sama sekali dari segala kebutuhan hidup primer. Kedua, ditinjau dari segi sosial, ada orang yang miskin akibat penindasan, yang merupakan korban ketidakadilan, dan tidak berdaya. Ketiga, ditinjau dari segi spiritual, ada orang miskin yang rendah hati, yang sadar akan ketidakberdayaannya dan mengharapkan pertolongan dari Allah semata-mata. Dalam masing-masing kasus ini Allah tampil sebagai yang datang menjumpai mereka untuk membela mereka, sesuai dengan sifat unik-Nya, bahwa ‘Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu’.7

Ketika analisa dilakukan bardasarkan apa yang diungkapkan dalam Perjanjian Baru, maka Verne H. Fletcher mengemukakan bahwa: salah satu unsur yang mengesankan dalam penginjilan adalah ketekunan-Nya untuk mendahulukan kaum miskin dan telantar. Walaupun, seperti yang ditekankan, Yesus sangat bersifat terbuka terhadap setiap orang yang di jumpai-Nya, namun tidak dapat di sangkal bahwa Ia memusatkan kepedulian-Nya khususnya kepada golongan rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa ia memihak kepada rakyat jelata.8 Verne H. Fletcher menjelaskan bahwa: dalam melukiskan gambaran Yesus, kita jangan lupa ia bukan hanya menyamakan diri dengan orang rendahan dan terbuang, tetapi Ia juga berlaku sebagai pelayan mereka.

Khusus tentang relasi antara pemberitaan Injil dan kepedulian terhadap kehidupan sosial, menurut John Stott bahwa, umat Kristen tidak hanya diajarkan untuk menaikkan doa syafaat bagi situasi sosial, namun harus mendemonstrasikan kuasa Injil, malalui aksi sosial. Sebab baik

7

Ibid, 307-308 8

Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia – Suatu pendekatan pada Etika Kristen Dasar, BPK Gunung Mulia (Jakarta:2007), 271


(10)

pemberitaan Injil dan aksi sosial merupakan dua mata rantai yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.9

Kasih kita kepada sesama harus diwujudkan dalam suatu keprihatinan yang terpadu terhadap keseluruhan kebutuhan rohani dan sosial. Itulah sebabnya pelayanan Yesus selalu diungkapkan oleh dua perkataan yang diapit dalam tanda kurung yaitu perkataan dan perbuatan. Pemberitaan Injil dan perbuatan sosial adalah ibarat sepasang sayap burung atau mata gunting, yang mustahil bisa berfungsi kalau hanya terdiri dari satu. Tapi, pemberitaan Injil selaku pendahuluan aksi sosial harus kita lihat dari dua segi. Pertama, Injil itu mengubah manusia setiap orang Kristen harus mampu menggemakan ucapan Paulus: “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, dan Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya” (Roma 1:16). Buktinya kita lihat dalam kehidupan kita sendiri dan dalam kehidupan orang lain. Karena dosa pada dasarnya pumpunan pada diri sendiri, maka salah satu unsur hakiki penyelamatan ialah pentransformasikan ‘diri sendiri’ menjadi ‘bukan diri sendiri’.

Iman membawa kepada kasih dan kasih membawa kepada pelayanan. Jadi aksi sosial,sebagai pelayanan kasih terhadap orang-orang yang menderita kekurangan, harus meupakan hasil yang tidak pelak lagi dari iman yang menyelamatkan, meskipun harus kita akui bahwa ini tidak selamanya begitu. Dengan demikian, kita tetap berpendapat bahwa pemberitaan Injil merupakan peranti utama bagi terjadinya perubahan sosial. Sebab Injil mengubah manusia, dan manusia yang sudah berubah dapat mengubah masyarakat.10

Konsep yang dikemukakan diatas berlatar belakang situasi yang terjadi ketika masyarakat Palestina, khususnya ketika dikuasai oleh Raja Herodes dan Pilatus, yakni selama masa

9

Ibid, 292 10


(11)

pelayanan Yesus dimana situasi Bangsa Yahudi penuh ketegangan sosial, sebab Raja Herodes yang disebut Agung selama pemerintahannya ia terkenal bengis yang memerintah melalui pembunuhan, penipuan, dan kecurangan. Ia seorang yang haus akan kemasyuran dan kejayaan, dengan cara memeras penduduk negerinya dengan perpajakan yang berat. Di samping itu, Herodes menggusur dan merampas area tanah yang sangat luas – sebagian menjadi milik pribadi, sebagian dijual kepada para tuan tanah yang kaya.

Yang mengesankan yakni melalui dia pemulihan Bait Allah yang megah di Yerusalem diwujudkan. Itulah sebabnya ia meninggal maka muncullah kerusuhan dan pemberontakan yang dipimpin oleh Yudas dari Galilea, namun kemudia pemberontakan itu dikalahkan dan kemudian dua ribu pembangkang disalibkan sepanjang jalan raya. Peristiwa itu tidak jauh dari Nasaret, tempat Yesus dibesarkan. Usia-Nya pada saat itu diperkirakan menjelang sepuluh tahun, sehingga tentunya Yesus mendengar berita tersebut dan kemudian menyaksikan barisan salib itu.11

Itulah sebabnya Fletcher mengungkapkan bahwa: analisa sosial atas masyarakat Palestina pada awal abad pertama menunjukkan bahwa, di samping golongan kaya dan golongan sedang yang keduanya relatif kecil, kebanyakan penduduk sedang mengalami keadaan buruk. Tentang mayoritas yang miskin itu, dapat dibedakan antara sebagian yang dapat menyambung hidupnya saja, dan bagian yang lain yang sama sekali melarat, yaitu yang tidak punya apa-apa. Kedua kategori orang miskin tersebut digambarkan dalam parable Yesus tentang “Bendahara yang tidak jujur” yang ketika akan dipecat jabatannya mempertimbangkan kedua pilihan yang tersedia: “Apakah yang aku perbuat? Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu” (Luk. 16:3).

11

Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia – Suatu pendekatan pada Etika Kristen Dasar, BPK Gunung Mulia (Jakarta:2007), 273


(12)

Penderitaan seperti yang dilukiskan di atas bergandeng dengan harapan akan penyelamatan Ilahi. Suasana yang terjadi terungkap dalam beberapa ucapan pada Injil Lukas: “orang banyak sedang menanti dan berharap” (3:15) dan “orang-orang menyangka bahwa Kerajaan Allah segera tampak” (19:11). Tentunya bukan hanya rakyat jelata yang berharap, tetapi seluruh bangsa dan pengharapan itu sejak beberapa abad, mulai dalam masa pembuangan. Peristiwa semacam itu lazimnya dinantilan sebagai hari pembalasan Allah terhadap musuh-musuh kaum Yahudi.

Selain kemerdekaan politik juga tercakup harapan akan kesejahteraan sosial: utang piutang ditiadakan, perkebunan besar dibagi-bagikan dan para budak di bebaskan. Harapan itu berkisar pada Sang Mesias, seorang pahlawan yang sama seperti Raja Daud, yang akan bertindak sebagai wakil Allah dan membimbing bangsa Yahudi menuju hari kemenangan. Oleh karena harapan mesias, tidak mengagetkan kalau kuasa Romawi menganggap setiap pengaku Mesias sebagai musuh politik yang dicurigai merancang pemberontakan, dan oleh karena itu perlu disalibkan.12 Itulah sebabnya, tidak heran jika David J. Bosch memberikan judul dalam sub-sub bukunya tentang Injil Lukas dengan “Injil bagi Kaum Miskin dan Orang Kaya”.13 Menurut Bosch, Lukas sebagai penginjil bagi kaum kaya, sebab Lukas berbicara tentang bagaimana si kaya harus bersikap terhadap si miskin.14

Melihat kondisi yang ada di dalam sejarah orang Yahudi dan sikap Yesus terhadap dua golongan kemiskinan, gereja harus memproklamirkan kabar baik tentang Kerajaan itu kepada orang-orang miskin secara materi, menyambut mereka dalam persekutuannya, dan mengambil bagian dalam problema-problema mereka. Memang, keprihatinan oleh para penulis Alkitab, dan

12

Ibid, 239-240 13

David Bosch, Transformasi Misi Kristen, BPK Gunung Mulia (Jakarta:2005),153 14


(13)

lebih khusus lagi oleh Yesus sendiri, telah membuat beberapa pemikir kontemporer berbicara tentang “kecondongan” Allah memihak kepada mereka.15

Gereja harus memusatkan misinya pada pangkal kemiskinan itu, dan harus memusatkan misinya pada pangkal kemelaratan itu, dan dari situ bergerak “menuju ke pinggiran”, kepada mereka “terhadap setiap orang berdosa”, dengan kata-kata lain kepada orang-orang miskin dan tertindas.16 Lagi pula gereja tidak boleh mentolerir kemiskinan material di antara umat-Nya. Jika Yesus mengatakan, “orang-orang miskin selalu ada padamu” (Mrk 14:7), maka Ia sekali-kali bukannya menyetujui adanya kemiskinan secara permanen. Dalam ucapan itu menggema Perjanjian Lama, “orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negri itu” (Ul 15:11). Namun ini maksudnya bukan sebagai alasan berpuas diri, melainkan sebagai dorongan untuk bermurah hati, sehingga menghasilkan “maka tidak akan ada orang miskin di antaramu” (Ul 15:4).

Apabila ada suatu komunitas di dunia ini, dalam nama keadilan dijamin bagi yang tertindas, orang miskin dilepaskan dari kemiskinan dan kebutuhan material terpenuhi akibat berbagai sumber daya, maka komunitas itu adalah masyarakat baru Yesus. Itu terjadi di Yerusalem sesudah Pentakosta, takkala “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka”, seperti yang diutarakan Lukas kepada kita dalam Kis 4:34, dan itu dapat (dan seharusnya) berulang lagi pada masa kini. Bagaimana kita dapat membiarkan saudara-saudara kita sendiri dalam keluarga Allah menderita kekurangan?17

15

Ibid, 316 16

Ibid, 317 17


(14)

2.3. Bentuk-bentuk Diakonia Gereja

Diakonia sebagai pelayanan kasih tidak lagi menjadi monopoli kegiatan institusi gereja, tetapi telah dilakukan oleh lembaga pelayanan Kristen dan LSM. Bentuk dan cara diakonia yang dilakukan oleh organisasi sosial Kristen telah berkembang lebih maju dan cepat daripada dilakukan oleh institusi gereja. Bicara tentang pelayanan gereja dalam pemberdayaan anggotanya, bahkan sampai menyentuh kepentingan masyarakat luas, serta membangun kualitas kehidupan manusia yang lebih baik, dapat digolongkan dalam tiga model pendekatan pelayanan karitatif, reformatif dan transformatif.

a) Diakonia Karitatif

Diakonia karitatif merupakan bentuk diakonia yang paling tua yang dipraktekkan oleh gereja dan pekerja sosial.18 Diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang miskin, menghibur orang sakit dan perbuatan amal kebajikan lainnya. Model ini mendapat dukungan gereja (terutama sebaelum tahun 1950), karena dapat memberi manfaat yang dapat terlihat langsung, tidak ada resiko, sebab akan didukung oleh penguasa, memberikan penampilan yang baik terhadap si pemberi, memusatkan perhatian pada hubungan pribadi, misalnya merespon beasiswa/bantuan uang untuk anak, bisa digunakan untuk menarik seorang yang dibantu untuk menjadi anggota gereja (WWC-1982), menciptakan hubungan subjek-objek (ketergantungannya) dan status quo.

Diakonia karitatif merupakan produk dan perkembangan dari industrialisasi di Eropa dan Amerika Utara (abad ke-19), disebarkan oleh misi dan zending selama masa penjajahan dan didukung oleh pemerintah penjajah namun sangat dikecam oleh golongan nasionalis dan

18


(15)

kelomok agama lainnya di negeri jajahan. Menurut Woodward (Romanyshyn 1971:6), diakonia karitatif cenderung mempertahankan status quo, ideologi, dan teologinya, karena kemiskinan tidak terhindarkan, karena situasi dan ketidakmampuan yang bersangkutan, percaya bahwa melalui kerja keras seseorang dapat memperbaiki kesejahteraannya, bukan perubahan sosial, mendesak perlunya tanggung jawab moral dari yang kaya untuk melakukan amal demi mengurangi kemiskinan, pembenaran penggunaan “sebagian kecil kekayaan yang terbatas” untuk mereka yang miskin, dan menganggap harta milik mereka adalah halal dan sebagai pemberian Allah.

Tidak dapat disangkal bahwa diakonia karitatif memiliki kelemahan. Tetapi di dalam kehidupan sehari-hari, diakonia karitatif tidak dapat dihindari. Dalam kehidupan gereja, diakonia karitatif masih tetap dibutuhkan oleh gereja khususnya dalam situasi darurat sebelum memberikan pelayanan diakonia reformatif bahkan lebih lagi diakonia transformatif.

b) Diakonia Reformatif

Diakonia reformatif ini lebih menekankan pada aspek pembangunan, pendekatan yang dilakukan adalah dengan community development, seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, dan koperasi. Karakteristik diakonia ini dapat dilihat sebagai berikut, pertama, lebih berorientasi pada pembangunan lembaga-lembaga formal, tanpa perombakan struktur dan sistem yang ada, kedua, sudah menggunakan analisis sosial-kultural, namun tidak menggunakan analisis struktural, dan yang ketiga, pendekatan pelayanan ini masih bersifat


(16)

top-down, dalam model ini masyarakat belum sepenuhnya menjadi pelaku sejarah yang menentukan masa depannya sendiri.19

Diakonia karitatif sering digambarkan sebagai tindakan belas kasihan pada orang yang lapar dengan memberi sepotong ikan, sedangkan diakonia reformatif sering digambarkan dengan menolong orang lapar dengan memberi alat pancing dan mengajar memancing. Dari desa hingga ibu kota, bahkan mancanegara, para pemipin mulai berbicara tentang pembangunan. Sejak tahun 1967, tidak ada kata yang lebih indah dari kata pembangunan.20

Diakonia pembangunan atau reformatif bisa dikatakan tidak mampu menyelesaikan kemiskian rakyat, sebab ia hanya memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan modal dan teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan, yaitu ketidakadilan dan pemerataan.21

c) Diakonia Transformatif

Pada pembahasan sebelumnya diakonia karitatif digambarkan sebagai pelayanan memberikan ikan pada orang yang lapar, sedangkan diakonia reformatif atau pembangunan adalah pelayanan memberikan pancing dan mengajarkan memancing, maka diakonia transformatif atau pembebasan digambarkan sebagai pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan. Pemberian pancing dan keterampilan memancing tidaklah berguna bila sungai-sungai dan laut sudah dimonopoli oleh orang-orang yang serakah. Rakyat kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan semangat berjuang, perlu dilayani, yaitu dengan menyadarkan hak-hak mereka. Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk percaya pada diri sendiri.22

19

Kornelis P. Patola, Diakonia Transformatif: Bentuk Kepedulian Umat Allah, Majalah LINK Jubilee School, Vol 4, 2008.

20

Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hal, 113 21

Ibid, 114 22


(17)

Bahkan kenyataannya dibeberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang yang kaya dan yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk kebutuhan jangka panjang muncul sebagai alternatif ketiga menjawab permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan. Sejarah lahirnya dipelopori oleh gereja Amerika Latin mencari jawaban atas kemiskinan yang sangat parah di sana.

Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta roti (menghapus mental ketergantungan); juga tidak cukup, hanya diberi pancing atau pacul, karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana mereka dapat mengali dan mengolah tanah? Bila tanah dan laut dikuasai kaum pemilik modal yang mempunyai kapital? Karena itu berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan perberdayaan bagi mereka. Pendekatan yang dilakukan adalah pola

Community Organization (CO) dengan pendekatan pengorganisasian komunitas untuk dapat merancang dan merencanakan hidup mereka sendiri. Peran gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal.

Teolog pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang gereja) dan merefleksikan gereja secara kontekstual. Teologi pembebasan adalah kata majemuk yang terdiri dari kata teologi dan pembebasan. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia serta alam, sedangkan kata pembebasan adalah reaksi dari istilah pembangunan yang kemudian menjadi ideologi perkembangan ekonomi yang cenderung liberal dan kapitalistik. Jadi, teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah kongkrit yang terjadi di sekitarnya. Titik berangkat teologi pembebasan ala Gutierrez adalah gereja dan


(18)

hubungannya dengan dunia di Amerika Latin. Guna memindahkannya ke dunianya, gereja memerlukan sebuah pemahaman baru dalam sifat dasar dan misinya. Dan dengan pemahaman ini pula fungsi pembebasan gereja tampak dalam tiga tingkatan, yaitu pembebasan politik yang mengakomodasi golongan miskin dan tertindas; pembebasan sebagai sebuah pemahaman akan sejarah, dengan orang menyadari dan dapat melihat masa depannya secara bertanggungjawab; dan pembebasan oleh Kristus dari dosa, akar dari segala kebobrokan hubungan manusia, ketidakadilan dan penindasan.23

Secara teoritis diakonia adalah bagian dari tri tugas panggilan gereja yang harus direncanakan dan dilaksanakan seimbang dengan tugas panggilan lainnya. Tugas panggilan diakonia lebih cenderung melayani sesama dalam pergumulan sosialnya. Dari ketiga model diakonia di atas, menurut saya diakonia transformatif-lah yang paling menyentuh akar permasalahan, karena diakonia model ini tidak membuat si miskin menjadi ketergantungan atau hanya sekedar dapat bertahan hidup, di dalam situasi dan keadaan hidup yang penuh dengan penderitaan dan ketidakadilan.

Model ini dapat membantu gereja mengakomodir masalah kemiskinan dan ketidak merataan yang terjadi, besar ataupun kecil dampak yang dihasilkan. Sehingga mereka yang tertindas dan yang tidak mendapatkan keadilan dapat bangkit untuk menata kehidupan kembali secara mandiri, dan menentang segala praktek-praktek ketidakadilan dan penindasan yang diatur di dalam sebuah sistem.

Dalam uraian diatas, ketiga model diakonia tersebut pastinya mempunyai kekuatan maupun juga kelemahan. Namun tidak dapat disangkal bahwa ketiga model diakonia ini masih tetap dibutuhkan oleh gereja. Diakonia karitatif dibutuhkan dalam keadaan darurat sebelum memberikan pelayanan yang lebih lagi seperti diakonia reformatif dan juga transformatif. Begitu

23


(19)

juga dengan model diakonia reformatif, gereja masih tetap membutuhkan model diakonia ini khususnya dalam membangun sumber daya manusia (SDM) jemaat.


(1)

2.3. Bentuk-bentuk Diakonia Gereja

Diakonia sebagai pelayanan kasih tidak lagi menjadi monopoli kegiatan institusi gereja, tetapi telah dilakukan oleh lembaga pelayanan Kristen dan LSM. Bentuk dan cara diakonia yang dilakukan oleh organisasi sosial Kristen telah berkembang lebih maju dan cepat daripada dilakukan oleh institusi gereja. Bicara tentang pelayanan gereja dalam pemberdayaan anggotanya, bahkan sampai menyentuh kepentingan masyarakat luas, serta membangun kualitas kehidupan manusia yang lebih baik, dapat digolongkan dalam tiga model pendekatan pelayanan karitatif, reformatif dan transformatif.

a) Diakonia Karitatif

Diakonia karitatif merupakan bentuk diakonia yang paling tua yang dipraktekkan oleh gereja dan pekerja sosial.18 Diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang miskin, menghibur orang sakit dan perbuatan amal kebajikan lainnya. Model ini mendapat dukungan gereja (terutama sebaelum tahun 1950), karena dapat memberi manfaat yang dapat terlihat langsung, tidak ada resiko, sebab akan didukung oleh penguasa, memberikan penampilan yang baik terhadap si pemberi, memusatkan perhatian pada hubungan pribadi, misalnya merespon beasiswa/bantuan uang untuk anak, bisa digunakan untuk menarik seorang yang dibantu untuk menjadi anggota gereja (WWC-1982), menciptakan hubungan subjek-objek (ketergantungannya) dan status quo.

Diakonia karitatif merupakan produk dan perkembangan dari industrialisasi di Eropa dan Amerika Utara (abad ke-19), disebarkan oleh misi dan zending selama masa penjajahan dan didukung oleh pemerintah penjajah namun sangat dikecam oleh golongan nasionalis dan

18


(2)

kelomok agama lainnya di negeri jajahan. Menurut Woodward (Romanyshyn 1971:6), diakonia karitatif cenderung mempertahankan status quo, ideologi, dan teologinya, karena kemiskinan tidak terhindarkan, karena situasi dan ketidakmampuan yang bersangkutan, percaya bahwa melalui kerja keras seseorang dapat memperbaiki kesejahteraannya, bukan perubahan sosial, mendesak perlunya tanggung jawab moral dari yang kaya untuk melakukan amal demi mengurangi kemiskinan, pembenaran penggunaan “sebagian kecil kekayaan yang terbatas” untuk mereka yang miskin, dan menganggap harta milik mereka adalah halal dan sebagai pemberian Allah.

Tidak dapat disangkal bahwa diakonia karitatif memiliki kelemahan. Tetapi di dalam kehidupan sehari-hari, diakonia karitatif tidak dapat dihindari. Dalam kehidupan gereja, diakonia karitatif masih tetap dibutuhkan oleh gereja khususnya dalam situasi darurat sebelum memberikan pelayanan diakonia reformatif bahkan lebih lagi diakonia transformatif.

b) Diakonia Reformatif

Diakonia reformatif ini lebih menekankan pada aspek pembangunan, pendekatan yang dilakukan adalah dengan community development, seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, dan koperasi. Karakteristik diakonia ini dapat dilihat sebagai berikut, pertama, lebih berorientasi pada pembangunan lembaga-lembaga formal, tanpa perombakan struktur dan sistem yang ada, kedua, sudah menggunakan analisis sosial-kultural, namun tidak menggunakan analisis struktural, dan yang ketiga, pendekatan pelayanan ini masih bersifat


(3)

top-down, dalam model ini masyarakat belum sepenuhnya menjadi pelaku sejarah yang menentukan masa depannya sendiri.19

Diakonia karitatif sering digambarkan sebagai tindakan belas kasihan pada orang yang lapar dengan memberi sepotong ikan, sedangkan diakonia reformatif sering digambarkan dengan menolong orang lapar dengan memberi alat pancing dan mengajar memancing. Dari desa hingga ibu kota, bahkan mancanegara, para pemipin mulai berbicara tentang pembangunan. Sejak tahun 1967, tidak ada kata yang lebih indah dari kata pembangunan.20

Diakonia pembangunan atau reformatif bisa dikatakan tidak mampu menyelesaikan kemiskian rakyat, sebab ia hanya memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan modal dan teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan, yaitu ketidakadilan dan pemerataan.21

c) Diakonia Transformatif

Pada pembahasan sebelumnya diakonia karitatif digambarkan sebagai pelayanan memberikan ikan pada orang yang lapar, sedangkan diakonia reformatif atau pembangunan adalah pelayanan memberikan pancing dan mengajarkan memancing, maka diakonia transformatif atau pembebasan digambarkan sebagai pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan. Pemberian pancing dan keterampilan memancing tidaklah berguna bila sungai-sungai dan laut sudah dimonopoli oleh orang-orang yang serakah. Rakyat kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan semangat berjuang, perlu dilayani, yaitu dengan menyadarkan hak-hak mereka. Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk percaya pada diri sendiri.22

19

Kornelis P. Patola, Diakonia Transformatif: Bentuk Kepedulian Umat Allah, Majalah LINK Jubilee School, Vol 4, 2008.

20

Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hal, 113

21

Ibid, 114

22


(4)

Bahkan kenyataannya dibeberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang yang kaya dan yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk kebutuhan jangka panjang muncul sebagai alternatif ketiga menjawab permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan. Sejarah lahirnya dipelopori oleh gereja Amerika Latin mencari jawaban atas kemiskinan yang sangat parah di sana.

Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta roti (menghapus mental ketergantungan); juga tidak cukup, hanya diberi pancing atau pacul, karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana mereka dapat mengali dan mengolah tanah? Bila tanah dan laut dikuasai kaum pemilik modal yang mempunyai kapital? Karena itu berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan perberdayaan bagi mereka. Pendekatan yang dilakukan adalah pola

Community Organization (CO) dengan pendekatan pengorganisasian komunitas untuk dapat

merancang dan merencanakan hidup mereka sendiri. Peran gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal.

Teolog pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang gereja) dan merefleksikan gereja secara kontekstual. Teologi pembebasan adalah kata majemuk yang terdiri dari kata teologi dan pembebasan. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia serta alam, sedangkan kata pembebasan adalah reaksi dari istilah pembangunan yang kemudian menjadi ideologi perkembangan ekonomi yang cenderung liberal dan kapitalistik. Jadi, teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah kongkrit yang terjadi di sekitarnya. Titik berangkat teologi pembebasan ala Gutierrez adalah gereja dan


(5)

hubungannya dengan dunia di Amerika Latin. Guna memindahkannya ke dunianya, gereja memerlukan sebuah pemahaman baru dalam sifat dasar dan misinya. Dan dengan pemahaman ini pula fungsi pembebasan gereja tampak dalam tiga tingkatan, yaitu pembebasan politik yang mengakomodasi golongan miskin dan tertindas; pembebasan sebagai sebuah pemahaman akan sejarah, dengan orang menyadari dan dapat melihat masa depannya secara bertanggungjawab; dan pembebasan oleh Kristus dari dosa, akar dari segala kebobrokan hubungan manusia, ketidakadilan dan penindasan.23

Secara teoritis diakonia adalah bagian dari tri tugas panggilan gereja yang harus direncanakan dan dilaksanakan seimbang dengan tugas panggilan lainnya. Tugas panggilan diakonia lebih cenderung melayani sesama dalam pergumulan sosialnya. Dari ketiga model diakonia di atas, menurut saya diakonia transformatif-lah yang paling menyentuh akar permasalahan, karena diakonia model ini tidak membuat si miskin menjadi ketergantungan atau hanya sekedar dapat bertahan hidup, di dalam situasi dan keadaan hidup yang penuh dengan penderitaan dan ketidakadilan.

Model ini dapat membantu gereja mengakomodir masalah kemiskinan dan ketidak merataan yang terjadi, besar ataupun kecil dampak yang dihasilkan. Sehingga mereka yang tertindas dan yang tidak mendapatkan keadilan dapat bangkit untuk menata kehidupan kembali secara mandiri, dan menentang segala praktek-praktek ketidakadilan dan penindasan yang diatur di dalam sebuah sistem.

Dalam uraian diatas, ketiga model diakonia tersebut pastinya mempunyai kekuatan maupun juga kelemahan. Namun tidak dapat disangkal bahwa ketiga model diakonia ini masih tetap dibutuhkan oleh gereja. Diakonia karitatif dibutuhkan dalam keadaan darurat sebelum memberikan pelayanan yang lebih lagi seperti diakonia reformatif dan juga transformatif. Begitu

23


(6)

juga dengan model diakonia reformatif, gereja masih tetap membutuhkan model diakonia ini khususnya dalam membangun sumber daya manusia (SDM) jemaat.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Warung Tiberias (Suatu Studi Kasus tentang Aspek Pelayanan Diakonia di Lingkungan Warga Jemaat GKI Salatiga) T1 712005079 BAB I

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Warung Tiberias (Suatu Studi Kasus tentang Aspek Pelayanan Diakonia di Lingkungan Warga Jemaat GKI Salatiga) T1 712005079 BAB II

0 4 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Warung Tiberias (Suatu Studi Kasus tentang Aspek Pelayanan Diakonia di Lingkungan Warga Jemaat GKI Salatiga) T1 712005079 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Warung Tiberias (Suatu Studi Kasus tentang Aspek Pelayanan Diakonia di Lingkungan Warga Jemaat GKI Salatiga) T1 712005079 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia

0 1 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB II

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketidakaktifan Warga Sidi Baru dalam Pelayanan di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga dari Prespektif Sosio-Teologis T1 712011008 BAB II

0 1 7