Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang Melakukan Euthanasia Ditinjau dari Aspek Medis dan Hukum Pidana

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Suatu keinginan kematian, bagi sebagian besar umat manusia merupakan

suatu hal yang tidak menyenangkan dan mungkin tidak dikehendaki. Manusia
sebagai salah satu ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena dilengkapi dengan
akal, pikiran dan rasa. Dengan menggunakan akal dan pikirannya tersebut
manusia mampu menciptakan teknologi untuk mempermudah dalam menjalankan
aktifitasnya sehari-hari.1 Kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi tersebut

yang semakin pesat perkembangannya dengan banyaknya penemuan-penemuan
yang bermanfaat bagi kepentingan umat manusia, khususnya dalam bidang ilmu
kedokteran banyak penemuan obat-obatan dan alat-alat medis yang serba modern.
Walaupun demikian, manusia tetap tidak dapat melepaskan diri dari berbagai
persoalan yang dialaminya seperti juga halnya Kesehatan, Kelahiran dan

Kematian.2 Berbicara mengenai kematian, kematian secara alamiah, dapat selalu
diterima sebagai suatu hal yang wajar, sebab pada akhirnya manusia akan mati,
tetapi mati yang tidak secara alamiah adalah mati yang tidak diharapkan oleh
manusia itu sendiri.3

Ni Made Puspasutari Ujianti et.al, “Perlindungan Hak Cipta dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia” Jurnal Ker-tha Wicaksana,Vol. 19 No. 1 Januari 2013, (Denpasar: Fakultas
Hukum Universitas Warmadewa 2013), hlm. 41
2
Suwarto,”Euthanasia dan Perkembangannya Dalam KUHP” Vol 27 No2, oktober
2009. Hal 169.
3
Wila Chandarawila,Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung; penerbit Bandar maju
2001) hal. 102.
1

1

Universitas Sumatera Utara


2

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat
Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan Jaringan Tubuh
Manusia, menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paruparu. Konsep mati yang dianut dalam aturan hukum ini tidak bisa lagi
dipertahankan, karena teknologi kedokteran telah memungkinkan jantung dan
paru-paru yang semua berhenti bisa dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan
paru-paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali.4
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1990 mengeluarkan pernyataan
bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi kembali.
Konsep ini dijadikan pernyataan resmi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tersebut
berlandaskan pada alasan bahwa batang otaklah terletak sebagai pusat penggerak
nafas dan jantung. Sehingga apabila batang otak telah mati maka jantung dan
paru-paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-alat penopang.5
Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu
pengetahuan membedakannya kedalam tiga jenis kematian yaitu diantaranaya; 6
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau
tidak dengan pertolongan dokter.

Jenis penggolongan kematian yang ketiga yaitu; Euthanasia, Euthanasia
ini mulai menarik perhatian dan mendapat sorotan dunia, mengapa demikian?
Haryadi, “Masalah Euthanasia Dalam Hubungannya Dengan HAM”, Hal 122.
Ibid.
6
Djoko Prakoso, Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum
Pidana, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984), Hal 10.
4
5

Universitas Sumatera Utara

3

Hal mengenai Euthanasia mulai menjadi suatu pembicaraan dan
perdebatan yang menarik dikalangan ahli berbagai bidang dunia, setelah
diadakannya Konferensi Hukum Sedunia yang diselenggarakan oleh World Peace
Through Law Center di manila (Filipina), tanggal 22 dan 23 Agustus 1977,
dimana dalam konferensi tersebut diadakan Sidang Semu mengenai Hak manusia
untuk mati (the right to die) 7

Hak yang paling utama dari manusia adalah “hak untuk hidup” atau “the
right to life”. Didalam pengertian hak untuk hidup tercakup pula adanya “hak
untuk mati” atau “the right to die” yang telah diakui dunia dengan
dimasukkannya kedalam rumusan Universal Declaration of Human Right oleh
PBB tanggal 10 Desember 1948.8 Mengenai “hak untuk mati”, karena tidak
dicantumkan secara tegas dalam deklarasi dunia, maka masih merupakan
perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli dalam berbagai bidang di dunia.
Ada beberapa Negara yang berpendapat bahwa masalah hidup dan mati itu adalah
merupakan hak dari pada Tuhan Yang Maha Esa, bukan hak daripada manusia.
Pada umumnya pendapat ini didasarkan atas pertimbangan segi religious. Di
samping itu beberapa Negara maju, seperti Amerika Serikat masalah hak untuk
mati, sudah diakui dan bahkan Negara bagian sudah ada mengatur dengan jelas
dalam berbagai perundang-undangan. Walaupun begitu, namun masih diakui pula
bahwa hak untuk mati itu tidak berifat mutlak. Jadi terbatas dalam suatu keadaan
tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat
diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobtan yang diberikan sudah tidak
7
8

Ibid.

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

4

berpotensi lagi. Sehubungan dibicarakan hak untuk hidup dan hak untuk mati
tersebut, akan menyangkut masalah hukum pidana yang disebut sebagai
Euthanasia atau mercy killing.9
Di Indonesia, Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-undang no. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Euthanasia dalam perspektif

HAM

adalah suatu pelanggaran, karena hak untuk hidup seseorang (pasien) haruslah
dilindungi. Dilihat dari segi perundang-undangan saat ini, tidak ada aturan yang
lengkap tentang Euthanasia. Hak untuk menentukan Nasib Sendiri tidak dapat
digunakan sebagai dasar untuk melakukan Euthanasia, karena dalam rumusan
Undang-undang 39 tahun 1999 mengabaikan “hak untuk mati”. Relevansi etika
medis dan hak asasi manusia mengenai dokter, sesuai dengan pengetahuan yang

dimiliki, harus berusaha untuk melindungi dan mempertahankan hidup seorang
pasien.10
Kaidah hukum diperlukan dalam mengatur

hubungan antar manusia

disegala aspek kehidupannya, sehingga tidak mengherankan jika masalah hukum
sering masuk dibidang profesi kesehatan. Dalam melaksanakan profesinya, tenaga
kesehatan tidak dapat melepaskan diri dari lingkup hukum yang berlaku. Hal
tersebut sudah pasti terjadi, mengingat tenaga kesehatan juga manusia biasa yang
tidak luput dari pengaruh-pengaruh negatif, yang masih memungkinkan berbuat
kesalahan dalam menjalankan profesinya. Untuk mengurangi masalah akibat
pengaruh negatif, tenaga kesehatan harus meningkatkan profesionalismenya

9

Ibid Hal 18-19.
Lisnawaty Badu, Euthanasia dan Hak Asasi Manusia. Vol 05, No 01, 2012 Publisher:
Jurusan Ilmu Hukum Universitas Negeri Gorontalo,Hal 1.
10


Universitas Sumatera Utara

5

dengan menambah ilmu dibidangnya secara terus-menerus sesuai dengan
perkembangan zaman, juga meningkatkan keterampilan dan “attitude”.
Pengertian profesionalisme juga dapat dioptimalkan dengan memahami peraturan
perundangan dan hukum yang lain oleh para praktisi bidang kesehatan.11
Sebagai contoh kasus, di Indonesia, Kasus yang terjadi di Indonesia terkait
dengan Euthanasia yaitu kasus Siti Julaeha, seorang pasien wanita yang telah
koma selama setahun. Tidak sadarnya Siti Julaeha sejak manjalani operasi
kandungan di sebuah rumah sakit Jakarta Timur. Suaminya, Rudi Hartono
mengajukan permohonan Euthanasia terhadap istrinya. Menurut pengakuan Rudi
Hartono, pengambilan keputusan Euthanasia merupakan keputusan keluarga
besarnya yang merasa tidak tega melihat istrinya tersiksa terus. Keputusan ini
semakin diperkuat setelah dia mendengar pernyataan seorang dokter Rumah Sakit
Dokter Cipto Mangunkusumo yang menyatakan bahwa istrinya telah mengalami
keadaan vegetatif state, tipis kemungkinan harapan Siti Julaeha untuk sembuh.
Hal tersebut adalah contoh dari Euthanasia yang atas permintaan

dilakukan secara aktif (Euthanasia Aktif) oleh medis. Berbeda dengan Euthanasia
yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap
pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut.
Seorang calon dokter spesialis, menderita kanker ganas atap tenggorok
yang dalam ilmu kedokteran disebut Carsinoma Nasopharinx. Pasien yang juga
seorang dokter masuk dan dirawat dirumah sakit karena pendarahan ber-ulangulang, sehingga sering memerlukan tindakan untuk menghentikan pendarahan dan
11

Sutarno, Hukum Kesehatan, Euthanasia, Keadilan Dan Hukum Positif Di Indonesia,
(Penerbit : Setara Press, Malang 2014) hal.1-2.

Universitas Sumatera Utara

6

transfusi darah karena terjadi kekurangan darah yang berat. Dalam perawatannya,
dia dimasukkan kamar operasi untuk usaha penghentian pendarahan. Setiap
pendarahan hebat menyebabkan pasien ini tidak sadar atau shock, bahkan berkalikali nafas dan jantung berhenti. Karena dokter ahli dari berbagai macam spesialis
selalu siap maka selalu saja jantung yang berhenti tersebut dapat ditolong
sehingga berdenyut kembali. Setelah berkali-kali hal tersebut terjadi dan pasien

selalu berlumuran darah, darah segar selalu dimasukkan untuk penggantinya,
sebagian besar dokter ahli mulai merasa sangat kasihan kepada pasien yang juga
seorang dokter. Akhirnya diadakan rapat kilat dan diambil keputusan bahwa: bila
nanti terjadi henti nafas dan henti jantung lagi tidak akan ditolong, dengan dalih
pasien sudah sangat menderita.12
Proses ini dapat dikatakan sebagai Euthanasia pasif yang tidak diketahui
dan diberitakan kepada masyarakat. Kemudian, salahkah tindakan yang diambil
oleh para dokter ini?
J.E. Sahetapy., membedakan Euthanasia kedalam tiga (3) jenis, yaitu;13
1. Action to permit death to occur; kematian dapat terjadi karena pasien
dengan sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan untuk mati.
Kematian pasien itu terjadi seolah-olah merupakan kerja sama antara si
pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis Euthanasia yang
disebut dalam arti pasif (permission)
2. Failure to take action to prevent death; kematian terjadi karena kelalaian
atau kegagalan dari seorang dokter dalam menggambil suatu tindakan
untuk mencegah adanya kematian.
3. Positive action to cause death; merupakan suatu tindakan yang positif dari
dokter untuk mempercepat terjadinya kematian, jadi berbeda dengan jenis
yang pertama diatas, yang bersifat pasif, maka pada jenis ketiga ini

bersifat aktif (causation)

12
13

Ibid.Hal 4-5.
Djoko Prakoso, Op.cit, Hal 72-75

Universitas Sumatera Utara

7

Antara Euthanasia jenis yang pertama dan ketiga ini, sama-sama
didasarkan atas permintaan/desakan kepada dokter dari si pasien ataupun
keluarganya. Hanya saja pada jenis yang pertama dokter bersifat pasif, sedangkan
pada jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif dalam mengambil tindakan untuk
mempercepat proses terjadinya kematian.14
Pada jenis yang kedua hal tersebut terjadi bilamana dokter akan
mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, akan tetapi ia tidak
mengerjakan sesuatu apa-apa, karena ia tahu bahwa pengobatan yang akan

diberikan kepada pasien itu adalah sia-sia belaka. Jika ia akan memberikan
pengobatan, maka di pandang sebagai suatu tindakan yang tidak berarti, sehingga
sudah tidak ada lagi untuk penyembuhan secara normal. Akhirnya pasien
dibiarkan begitu saja, sampai ajalnya tiba dengan sendirinya. Berdasarkan hal
tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh dokter merupakan
jenis Euthanasia pasif.15
Maka timbul suatu pertanyaan, bagaimana jika yang bersangkutan (pasien)
tidak mampu lagi dapat berkomunikasi dalam bentuk dan dengan cara apapun,
sehingga tidak dapat menyatakan dengan kesungguhan hati?
Berkembangnya ilmu pengetahuan, menjadi tuntunan tersendiri bagi
pelayan kesehatan untuk memberi layanan kesehatan semakin baik dan dengan
keadaan pasien yang kompleks pula, bahkan cenderung kritis. Hal tersebut tidak
lepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan,
terutama yang berhubungan dengan pengobatan dan diagnosis yang tidak dapat
14
15

Ibid, Hal 74
Ibid, Hal 73

Universitas Sumatera Utara

8

luput dari alat-alat modern yang sebelumnya tidak dikenal. Selain itu kesadaran
kaum masyarakat saat ini semakin meningkat seiring dengan derasnya arus
informasi, reformasi, dan kemajuan pendidikan. Kaidah hukum diperlukan dalam
mengatur hubungan antar manusia di segala aspek kehidupannya, sehingga tidak
mengherankan jika akhir-akhir ini masalah hukum sering masuk di bidang profesi
kesehatan. Dalam melaksanakan profesinya, tenaga kesehatan tidak dapat
melepaskan diri dari lingkup hukum yang berlaku.16
Bagi

penyelenggara

kesehatan

ataupun

seorang dokter,

masalah

Euthanasia merupakan suatu dilema yang menempatkan pada posisi yang serba
sulit. Di satu pihak teknologi kedokteran telah semakin maju, sehingga mampu
mempertahankan hidup seseorang (walaupun hidup yang vegetative atau
vegetative state); sedangkan disisi lain, pengetahuan dan kesadaran masyarakat
terhadap hak-hak individu juga berkembang tidak kalah pesat. Dengan demikian,
konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini telah dihadapkan pada
kontradiksi antara etika, moral dan hukum disatu pihak; dengan kemampuan, ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sedemikian majunya, dipihak lain
sehingga mungkin untuk mempertahankan hidup vegetative tadi.17
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dikenal tiga 3
pengertian yang berkaitan dengan Euthanasia, yaitu:18
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan amam, tanpa penderitaan,
untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir;

16

Sutarno, Op.cit, Hal 1
M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Jaman,
(Jakarta; penerbit buku kedokteran EGC, 2007) Hal 180
18
Ibid. Hal 181
17

Universitas Sumatera Utara

9

2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderiataan si sakit dengan
memberikan obat penenang; dan
3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya
Lafal Sumpah Dokter maupun Kode Etik Kedokteran (KODEKI) dengan
jelas melarang dokter untuk melakukan Euthanasia, sebagaimana halnya dengan
abortus provokatus/ pengguguran kandungan. Dari sudut hukum pidana, KUHP
mengatur masalah Euthanasia ini melalui beberapa pasalanya (khususnya pasal
344 KUHP yang sering disebut sebagai “pasal Euthanasia”).19
Persoalan mengenai pengakhiran kehidupan (Euthanasia) semakin
berkembang, namun tidak diimbangi dengan kepastian hukumnya, hal inilah yang
melatar belakangi penulis untuk membahas di dalam penulisan skripsi ini. Negara
kita Indonesia secara tegas menolak Euthanasia. Menurut Farid Anfasal Moeloek
selaku Ketua Hukum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Euthanasia sampai
saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam
masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan Euthanasia tidak sesuai dengan etika
yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum pidana positif di Indonesia.
Selama ini Ikatan Dokter Indonesia telah memberikan rekomendasi kepada
pemerintah untuk tidak melakukan Euthanasia di Indonesia. Memperhatikan
kondisi riil di masyarakat, banyak pasien yang dalam keadaan sangat menderita
maupun keuangan tidak mampu ditanggung lagi oleh keluarga pasien, maka sudah

19

Ibid. Hal 182.

Universitas Sumatera Utara

10

seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk meringankan beban
pengobatan bagi keluarga pasien.
Di Indonesia secara yuridis formal, Euthanasia, baik aktif maupun pasif
belum diatur. Dengan demikian selalu saja menimbulkan polemik dan diskusi
panjang bila ada kasus yang berkaitan dengan Euthanasia. Mulai dari undangundang 23 tahun 1992/ 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-undang no 29
tahun 2004 tentang praktik kedokteran tidak mengatur dengan jelas hal mengenai
Euthanasia, mana yang boleh, yang dilarang, yang diharuskan, maupun
sanksinya. Penggunaan pasal-pasal dalam KUHP untuk kasus Euthanasia tentu
tidak dapat diterapkan begitu saja. Karena pasal-pasal yang mendekati merupakan
pasal-pasal Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.20 Dengan kondisi masyarakat
yang sangat cepat berubah ini, maka perubahan hukumpun harus mengikutinya.
Dapat dikatakan bahwa hukum sering ketinggalan terhadap perubahan
masyarakat, hal ini memang sulit atau bahkan tidak mungkin dihindari, karena
salah satu tugas hukum bersifat mengatur masyarakat tersebut. Dalam hal
tertinggalnya hukum, Soerjono soekanto menyebutkan bahwa tertinggalnya
perkembangan hukum baru terjadi dalam situasi-situasi yang dinamis, yaitu
dimana terjadi perubahan-perubahan sosial yang tidak diikuti dengan perubahanperubahan atau penyesuaian-penyesuaian hukum secara pararel terhadap
perubahan-perubahan sosial tersebut.21

20

Sutarno, Op.Cit, Hal 12
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangaka Pembangunan
Di Indonesia (suatu tujuan secara sosiologis),(Jakarta: UI Press, 198), Hal 160.
21

Universitas Sumatera Utara

11

Philippe Nonet dan Philip Selznick menyatakan bahwa semakin kokoh
suatu teori berpijak pada kenyataan, maka semakin besar pula kekuatannya,
sehingga hukum tidak boleh hanya terpaku pada pandangan yang konvensional,
tetapi harus lebih fleksibel, responsif, dan yang paling penting memiliki semangat
pembaharuan.22
Masalah Euthanasia merupakan masalah yang umum bagi masyarakat
aparat penegak hukum, dokter, dan semua pihak yang bertanggungjawab terhadap
masa depan perkembangan hukum pidana kita. Untuk itu, akan dilihat bagaimana
perkembangan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia.
Di Indonesia, yang menjadi patokan umum dan dasar, sebagai kodifikasi
hukum pidana adalah KUHP, pasal 344 yang menyebutkan;
“barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh,
dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
tetapi baik dalam KUHP maupun hukum positif yang lain belum ada yang
mengatur Euthanasia secara eksplisit, sehingga penerapan hukum positif ini
masih perlu banyak dipikirkan, dengan kata lain sebetulnya dimana tempat
Euthanasia ini dalam hukum positif di Indonesia?.
Kondisi

seperti

tersebut

diatas

menyebabkan

perlunya

diadakan

pengkajian dan penelitian lebih lanjut guna mendapatkan dasar-dasar pengertian
secara yuridis, sosiologis dan filosofis sehingga dapat dipakai bahan rujukan bagi
para ilmuwan bidang hukum pidana dan legislator. Rujukan yang dimaksud

22

Sutarno,Op.Cit.,Hal 13

Universitas Sumatera Utara

12

adalah dalam rangka memikirkan perlunya pengaturan secara khusus perihal
Euthanasia dalam hukum positif Indonesia, selain itu, dapat pula sebagai
pertimbangan para hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan
Euthanasia.23
Hal ini penting, mengingat sampai saat ini belum jelas bagaimana hukum
positif Indonesia dapat diterapkan pada kasus Euthanasia, dan bagaimana
seharusnya hukum positif Indonesia mengatur secara khusus kasus Euthanasia,
karena banyak macam Euthanasia dan tindakan-tindakan sejenis Euthanasia atau
Euthanasia semu yang terjadi. Dengan makin maju dan berkembangnya hukum
kesehatan dan hukum kedokteran di Indonesia, maka hubungan dokter dan pasien
berkembang dari vertikal paternalistik kearah horizontal kontraktual, dan makin
banyaknya macam masalah menyebabkan rumah sakit pemerintah cenderung
berubah dari sifat semula sosial filantropis menjadi sosial ekonomis.24 Keadaankeadaan tersebut diatas menyebabkan makin diperlukan perlindungan hukum
terhadap pasien, tenaga kesehatan yang merupakan pemikiran kearah ius
constentuendum.
Euthanasia menjadi suatu persoalan yang rumit, hal tersebut dikarenakan
menyangkut hak hidup seorang manusia. Apapun alasanya serta tujuannya,
Euthanasia merupakan suatu persoalan dan problematika manusia dengan hukum.
Walaupun manusia diberi kebebasan untuk bertindak dan menetukan sendiri
nasibnya dalam melakukan suatu hal, namun kebebasan tersebut tak serta-merta

23

Ibid.
Benyamin Lumenta, Hospital, Citra, Peran dan Fungsi, Tinjauan Fenomena Social,
(Yogyakarta: kanisius,1989), Hal 69
24

Universitas Sumatera Utara

13

digunakan tanpa melihat aturan serta norma-norma yang ada dalam kehidupan
manusia. Bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang mulia dan mempuyai akal
dan pikiran yang dapat bertidak menurut pengertian hukum. Karena atas keadaankeadaan

tersebut

diatas

maka

penulisan

ini

di

beri

judul:

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER YANG MELAKUKAN
EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK MEDIS DAN HUKUM PIDANA”

Universitas Sumatera Utara

14

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka perumusan
permasalahan yang akan saya bahas di dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana “Euthanasia” ditinjau dari ilmu kedokteran ?
2. Bagaimana perkembangan peraturan tindakan “Euthanasia” dalam hukum
positif Indonesia ?
3. Apakah

pertanggungjawaban

pidana

dapat

diminta

pada

pelaku

“Euthanasia” ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana Eutahanasia menurut pandangan Ilmu
kedokteran Indonesia
2. Untuk mengetahui bagaimana Euthanasia diatur dalam hukum positif Indonesia
3. Dan tujuan yang terakhir adalah bagaimana pertanggungjawaban hukum pidana
Indonesia terhadap pelaku Euthanasia.
Selanjutnya, adapun Manfaat dari penulisan skripsi adalah:
1. Secara teoritis :
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan yang
cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan literature
dalam dunia akademis secara umum. Terlebih dan secara khusus di

Universitas Sumatera Utara

15

dalam bidang hukum dan Hukum Pidana mengenai hal-hal yang
menyangkut tentang Euthanasia.
2. Manfaat secara praktis
Melalui penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan masukan
serta pemahaman yang lebih mendalam bagi para aparat Penegak
Hukum dan Penyelenggara Kesehatan (DOKTER) di Indonesia
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Euthanasia yang kini
masih menjadi pro dan kontra mengenai pelaksanaanya serta
penerapan hukum yang berlaku di Indonesia terhadap Euthanasia ini.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan

penulusuran

dan

pembahasan

skripsi

dengan

judul

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER YANG MELAKUKAN
EUTHANASIA

DITINJAU

DARI

ASPEK

MEDIS

DAN

HUKUM

PIDANA”. penulisan skripsi ini asli dari ide, gagasan dan usaha penulis sendiri
dengan bantuan yang diberikan oleh Dosen Pembimbing penulis. Dengan
menghubungkan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan sumber dan
doktrin yang ada, tanpa ada unsur penjiplakan yang dapat merugikan pihak-pihak
tertentu. Penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas akhir dan
memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

16

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Euthanasia
Kata Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eu” (baik) dan
“thanatos” (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti “kematian yang
baik”. Euthanasia telah banyak dilakukan sejak jaman dahulu dan banyak
memperoleh dukungan dari tokoh-tokoh besar dalam sejarah, seperti PLATO,
yang mendukung suatu tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang
untuk mengakhiri penderitaan dari penyakit yang sedang dialaminya. Aristoteles
yang membenarkan adanya membunuh anak yang berpenyakit dari lahir dan tidak
dapat hidup menjadi manusia yang perkasa, Phytagoras dan kawan-kawan ikut
juga menyokong perlakuan pembunuhan terhadap orang-orang yang lemah mental
dan moral.25 Hippokrates pertama kali menggunakan pengertian dan istilah
Euthanasia pada “sumpah hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi:“saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan
obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”
yang dikenal sebagai sebutan The Hippocratic Oath.26
Euthanasia adalah Euthanathos yang berarti mati dengan baik tanpa
penderitaan, ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita. Hal tersebut
dinyatakan oleh suetonis, seorang penulis dari yunani dalam bukunya yang
berjudul “Vitacae sarum”.27

25

Sutarno,.Op.Cit, Hal 32-33
Ibid.
27
Ibid. Hal 15-16.
26

Universitas Sumatera Utara

17

Kematian yang baik dan lembut adalah terjemahan istilah Euthanasia yang
dijabarkan dari kata Yunani; “eu” (laik/baik) dan “thanatos” (mati). Tampaknya
tidak sedikit defenisi dan pembagian yang diberikan pada Euthanasia tersebut.
Kematian yang lembut tidak memadai sebagai defenisi. Seayun-selangkah dengan
ini misalnya kematian akut karena serangan jantung umumnya dianggap oleh
lingkungan sekelilingnya juga sebagai kematian lembut yang dipilih. Kematian
yang disengaja dibuat rupa-rupanya juga tidak memenuhi kriteria untuk
pembatasan untuk defenisi Euthanasia. Kadang-kadang kematian seperti itu dapat
berlangsung keras dan juga tergolong dasyat dan menyakitkan di dalam situasi
yang sepi dan sunyi seperti halnya pengakhiran kehidupan bunuh diri. Pada
Euthanasia kematian itu bukan hanya lembut, tulus dan mulus karena cara-cara
pengakhiran kehidupan, namun di sini diperlukan bantuan. Dengan demikian
pertolongan pihak lain merupakan faktor yang esensiil. Bahwa manusia adalah
mahkluk sosial dan oleh karena itu tiada henti-hentinya ia akan mencari bantuan
dan perhatian secara simpati dari sekitarnya. Bantuan dan rasa cinta kasih pada
fase kematian ini, demikian pula adanya penyelenggaraan pengakhiran kehidupan
oleh pihak lain, merupakan faktor-faktor yang tidak dapat tiada di dalam
Euthanasia ini.28
Kematian laik adalah demi kepentingan pasien semata-mata dan sama
sekali bukan untuk kenyamanan orang-orang yang sehari-hari berada di sekitarnya
(keluarga, penyelenggara pelayan kesehatan, pengasuh). Dan penyelenggaraan di
sini harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, artinya setelah adanya permintaan
28

F.Tengker,Mengapa Euthanasia?, Kemampuan Medis & Konsekueni Yuridis,
(Bandung,1990, penerbit; NOVA), Hal 4-5.

Universitas Sumatera Utara

18

yang diajukan secara tegas dan berulang-ulang dari pihak yang bersangkutan demi
kepentingannya. Permintaan Euthanasia ini harus didorong oleh keinginan pasien
agar terlepas dari penderitaan melalui satu-satunya jalan yang tersisa ialah:
kematian.29
Menurut study group dari (KNMG) ikatan dokter Belanda, Euthanasia
diartikan dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup
seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Sedangakan
dalam Black’s Law dictionary, euthanasia is “the act or practice of killing or
bringing about the death of a person who suffers from an incurable disease or
condition. Euthansia is sometimes regarded, by law, as second deggre murder,
menslaugher, or criminally negligent bomicide”. Jadi Euthanasia adalah suatu
tindakan atau praktik pembunuhan atau membuat seseorang yang menderita
penyakit yang tidak dapat disembuhkkan menjadi mati.30
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia istilah Euthanasia dipergunakan
dalam 3 pengertian, yaitu:31
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan,
untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri derita dalam hidup seseorang yang sakit dengan sengaja
atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), Euthanasia merupakan
tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan mahkluk, (baik orang atau hewan

29

Ibid.Hal.5
Sutarno, Op.Cit, Hal 16.
31
M. Achadiat, Loc.Cit.

30

Universitas Sumatera Utara

19

piaraan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah
atas dasar kemanusiaan.32
Euthanasia bisa didefenisikan sebagai a good death atau mati dengan
tenang. Hal ini dapat terjadi karena dengan pertolongan dokter atas permintaan
dari pasien ataupun keluarganya sendiri, karena penderitaan yang sangat hebat,
dan tiada akhir, ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien
yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pertolongan
pengobatan yang diperlukan.33
Masalah Euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah suicide atau
bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah suicide yang perlu dibahas adalah
apakah seseorang yang ingin mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk
melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena telah dianggap melakukan suatu
kejahatan.34 Euthanasia dan bunuh diri pada hakikatnya tidak terlalu jauh berbeda
pemahamannnya, yang keduanya mempunyai arti melakukan suatu tindakan
untuk mengakhiri hidup sendiri akibat dari keputus-asaan dan kekecewaan yang
berlarut-larut. Dalam kasus Euthanasia terjadi tindakan untuk meminta atau
memohon menghilangkan nyawa akibat menderita penyakit dan rasa sakit yang
tidak tertanggungkan dan kemungkinan tak mungkin dapat disembuhkan dan
biasanya hal tersebut dilakukan dengan melibatkan seseorang, dalam hal ini ialah
dokter yang menanganinya. Sementara dalam kasus bunuh diri, lebih disebabkan
oleh kekecewaan atau penyesalan hidup baik dalam hal karier, rumah tangga,

32

Ibid.Hal 16
Djoko Prakoso,Op.Cit, Hal 55.
34
. Ibid.Hal 63
33

Universitas Sumatera Utara

20

masalah ekonomi dan sebagainya yang ingin keluar dari derita kehidupan dengan
melakukan berbagai cara untuk menghilangkan nyawa.35
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Euthanasia merupakan suatu
tindakan membunuh pasien atau membiarkan meninggalnya seorang pasien secara
alamiah, dimana pasien tersebut menderita penyakit yang menurut ilmu medis
sudah tidak dapat disembuhkan, dan dengan tujuan tidak memperpanjang
penderitaan sang pasien yang bersangkutan.
Dari pengertian-pengertian tersebut, defenisi konseptual pengertian
Euthanasia seperti yang dirumuskan menurut Study Group dari Iktan Dokter
Belanda adalah:36
“dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup
seorang pasien ataupun sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek
hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan demi
kepentingan pesien sendiri”.
Secara umum Euthanasia pada dasar dan pelaksanaanya dapat dibagi
menjadi 3 jenis, yaitu:37
1. Euthanasia Aktif: adalah serangkaian perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja secara medis melalui intervensi aktif oleh seseorang
petugas kesehatan atau dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup
manusia (pasien). Dengan perkataan lain euthanasia aktif adalah suatu

35

Nina Surteritna dan Rachmat Taufiq Hidayat, Euthanasia untuk Penderita HIV/AIDS,
(diakses dari situs : http//www.pikiran-rakyat.com)
36

Sutarno,op.cit, Hal 16
Dr.Soekidjo Notoatmodjo,Etika & Hukum Kesehatan,Jakarta, (Penerbit : Rineka Cipta),

37

Hal 146

Universitas Sumatera Utara

21

tindakan medis secara sengaja melalui obat atau cara lain sehingga
menyebabkan pasien tersebut meninggal.
Euthanasia aktif ini juga dibedakan atas:
a. Euthanasia Aktif Langsung (direct)
adalah dilakukannya dengan tindakan medik secara terarah yang
diperhitungkan

akan

mengakhiri

hidup

pasien,

yaitu

memperpendek hidup pasien. Jenis Euthanasia ini dikenal juga
sebagai mercy killing.
b. Euthanasia Aktif Tidak Langsung (indirect)
adalah saat dokter dan tenaga kesehatan melakukan tindakan medik
untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya
resiko tersebut dengan memperpendek atau mengakhiri hidup
pasien.38
2. Euthanasia Pasif: adalah menghentikan atau mencabut segala tindakan
atau pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan
hidupnya. Seseorang pasien yang sedang menjalani perawatan, guna
kelangsungan hidupnya dilakukan tindakan medis melalui berbagai
cara termasuk memberikan obat. Apabila tindakan medis ini
diberhentikan, maka sudah barang tentu pasien ini meninggal, oleh
sebab itu, tenaga kesehatan atau dokter ini sesungguhnya melakukan
Euthanasia Pasif.39

38

M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4,
(Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1999). Hal 120
39
Soekidjo,Op.cit, Hal 46.

Universitas Sumatera Utara

22

3.

Auto-Euthansia: pasien menolak secara tegas dan sadar untuk
menerima bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, di mana ia
mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya.40

Berdasarkan

penolakan

tersebut,

pasien

membuat

suatu

codicil

(pernyataan tertulis tangan). Beberapa kalangan menyamakan auto-euthanasia ini
dengan Euthanasia pasif atas permintaan pasien.41
Bila ditinjau dari permintaan, bagi pasien yang sudah sampai pada tahap
terminal, tetapi pasien tersebut mengalami penderitaan yang berkepanjangaan,
maka seorang pasien dapat mengajukan permintaan kepada petugas untuk
mengakhiri hidupnya. Berdasarkan kondisi ini, maka Euthanasia dibedakan
menjadi:42
1. Euthanasia voluntir
Adalah Euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis berdasarkan atas
permintaan si pasien sendiri. Permintaan pasien ini dilakukan dalam
kondisi sadar atau dengan kata lain permintaan pasien secara sadar dan
berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun juga.
2. Euthanasia involuntir
Adalah Euthanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada
pasien yang sudah tidak sadar. Permintaan biasanya dilakukan oleh

40

Ibid.
C.M.Achadiat, Melindungi Pasien dan Dokter, (Jakarta 1996 ,penerbit; Widya
Medika),Hal 49
42
Soekidjo,Op.Cit, Hal 146.
41

Universitas Sumatera Utara

23

keluarga pasien, dengan berbagai alasan, antara lain: biaya perawatan,
kasihan terhadap penderitaan pasien, dan sebagainya.
Kedua jenis pembagian Euthanasia tersebut dapat digabungakan, dengan
demikian dapat dikenal dengan Euthanasia pasif voluntir, pasif involuntir,
Euthanasia aktif voluntir dan aktif involuntir.
Ada yang melihat pelaksanaan Euthanasia dari sudut lain dan
membaginya atas 4 (empat) kategori, yaitu:43
1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud
memperpendek hidup pasien.
2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek
hidup pasien.
3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan
memperpendek hidup pasien.
4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek
hidup pasien.
Antara Euthanasia Aktif dan Euthanasia Pasif, seolah-olah ada perbedaan,
dimana pada euthanasia pasif dokter membiarkan pasien meninggal, sedangkan
pada Euthanasia yang aktif dokter bisa dituduh melakukan pembunuhan. Namun
dalam hal membiarkan meninggal dan membunuh, menurut James F. Childress,
secara moral tidak ada bedanya. Senada dengan childress, Bonnie Steinbock
berpendapat

tidak

ada

bedanya

antara

penghentian

perawatan

untuk

memperpanjang hidup untuk terminasi kehidupan seseorang manusia secara
43

Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Op.cit, Hal 120.

Universitas Sumatera Utara

24

sengaja oleh orang lain, yang berarti antara Euthanasia aktif dan pasif adalah
sama.44
Sedangkan menurut Fletcher tindakan Euthanasia dapat dilakukan melalui
beberapa cara seperti berikut:45
a. Langsung dan sukarela, cara memberi jalan kematian yang dipilih pasien,
tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.
b. Sukarela berarti tidak langsung, cara ini dikerjakan dengan jalan pasien
diberi tahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini
berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan
hidupnya.
c. Langsung tetapi tidak sukarela, cara ini dilakukan tanpa sepengetahuan
pasien, misalnya dengan memberikan dosis lethal pada anak yang lahir
cacat dan.
d. Tidak langsung dan tidak sukarela, cara ini merupakan Euthanasia pasif
yang paling mendekati moral.
Tanpa melihat legalitas, menurut Fred Ameln dalam beberapa literatur
didapatkan beberapa cara untuk mengakhiri hidup:46
a. Hidup diakhiri dengan permintaan sendiri, dilakukan dengan motivasi
kasihan,
b. Hidup diakhiri atas permintaan orang tua/keluarga, dilakukan dengan
motivasi kasihan dengan tindakan aktif,

44

Sutarno, Op.cit, Hal 35-36.
Ibid, Hal 38
46
Ibid.
45

Universitas Sumatera Utara

25

c. Hidup diakhiri tidak atas permintaan, dilakukan dengan motivasi kasihan
dengan membiarkan pasien mati,
d. Hidup diakhiri tidak atas permintaan, dilakukan dengan motivasi kasihan
dengan tindakan aktif
e. Bunuh diri tanpa bantuan, dan
f. Bunuh diri dengan bantuan orang lain.”

2. Pengertian Aspek Medis
Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan,
merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi
peningkatan kesehatan masyarakat, baik secara fisik maupun non-fisik. Dalam
sistem kesehatan nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi
kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauanya sangat luas dan kompleks. Hal ini
sejalan dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional
sebagai:47
A state of complete physical, mental, and social, well being and not merely
the absence of desease or irfirmity.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya masalah
kesehatan menyangkut semua segi kehidupan dan melingkupi sepanjang waktu
kehidupan manusia, baik kehidupan masa lalu, kehidupan sekarang, maupun di
kehidupan masa yang akan datang. Dilihat dari sejarah perkembangannya, telah
terjadi perubahan orientasi nilai dan pemikiran dimaksud selalu berkembang

47

Bahder Johan Nasution,SH, Hukum Kesehatan, Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta
2005, penerbit : rineka cipta), Hal 1-2.

Universitas Sumatera Utara

26

sejalan dengan perkembangan teknologi dan sosial budaya. Kebijakan
pembangunan dibidang kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan
penderita,

secara

berangsur-angsur

berkembang

kearah

kesatuan

upaya

pembangunan kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan peran serta masyarakat
yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan yang mencakup: 48
1. Upaya peningkatan (promotif) ; adalah suatu kegiatan dan/ atau
serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan
kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
2. Upaya pencegahan (preventif) ; adalah suatu kegiatan pencegahan
terhadap suatu masalah kesehatan/ penyakit.
3. Upaya penyembuhan (kuratif) ; adalah suatu kegiataan pengobatan
yang

ditujukan

untuk

penyembuhan

penyakit,

pengurangan

penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian
kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
4. Upaya pemulihan (rehabilitative) ; adalah kegiatan dan/ atau
serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam
masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat
yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuannya
Untuk mewujudkan derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi masyarakat,
diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk
upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan bagi masyarakat. Upaya

48

Ibid.Hal.1-2.

Universitas Sumatera Utara

27

kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dan pendekatan promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitative yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh
dan berkesinambungan.
Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan, telah berkembang dengan pesat dan didukung oleh sarana kesehatan
yang semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa professional
dibidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula.
Berbagai cara perawatan dikembangan sehingga akibatnya juga bertambah besar,
dan kemungkinan untuk melakukan kealahan semakin besar pula. Dalam banyak
hal yang behubungan dengan masalah kesehatan sering ditemui kasus-kasus yang
merugikan pasien. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila profesi kesehatan
ramai diprbincangkan baik di kalangan intelektual maupun masyarakat awam dan
kalangan pemerhati kesehatan.49

3. Pengertian Hukum Positif Indonesia
Hukum positif atau ius constitutum, adalah hukum yang berlaku sekarang
bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu, singkatnya hukum
yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu daerah
tertentu.50 Hukum positif dibuat dengan tujuan untuk menciptakan kepastian
hukum, kedamaian, kejelasan status, kepastian kepemilikan, kepastian hak dan
kewajiaban warga Negara, serta melindungi semua kepentingan yang ada dalam

49

Ibid,Hal 4
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta :bali
pustaka:1989),Hal 73.
50

Universitas Sumatera Utara

28

suatu Negara, seperti kepentingan rakyat, kepentingan Negara, kepentingan warga
Negara asing.
Hukum positif merupakan unsur riil dalam unsur hukum sedangkan ilmu
hukum merupakan suatu idiil. Unsur rill ini terdiri dari manusia, kebudayaan
materil dan lingkungan alam, sedangakan unsur idiil mencakup hasrat susila dan
rasio manusia. Hasrat susila menghasilkan asas-asas hukum, sedangkan rasio
manusia menghasilkan pengertian-pengertian hukum, misalnya subjek hukum,
hak, kewajiaban, dan seterusnya.51
Istilah positif itu berarti kebetulan, ialah menurut bahasa latin yang
dipergunakanoleh rakyat,bukan oleh orang rum asli. Dengan begitu hukum positif
bersifat kebetulan (ia dipengaruhi oleh pelbagai factor kebetulan).
Akan disebutkan beberapa uraian tentang arti kata hukum positif :52
a. Mr.J. Valkhoff menyatakan di dalam E.N.S.I.E (jilid III, hal. 423
dan 434, “hukum positif atau hukum ytang berlaku sungguhsungguh”,”hukum positif kemanusian yang berubah-ubah itu
merupakan suatu tertib yang tegas buat kebaikan umum”, “hukum
positif atau hukum isbat, ialah hukum yang berlaku di dalam
Negara”.
b. Soal hukum positif ditinjau dari sudut wujudnya dan asalnya,
diketemukan didalam karangan L.Bender, “Het Recht” (1948),
hlm. 254: “hukum positif ialah hukum yang disajikan khusus oleh
suatu perbuatan manusia ; oleh sebeb itu, hukum positif itu
didalam wujudnya tergantung pada perbuatan manusia itu sendiri”.
c. Mr. J.H Carpientier Alting, “Grondslagen der Rechtsbedeling”
(1926), mengatakan “perkataan “hukum” di dalam arti positif dan
obyektif harus diartikan sebagai suatu kelompok peraturan yang
merupakan satu rukun ; kelompok peraturan itu menguasai hidup
bersama di dalam masyarakat, ketaatan terhadap peraturanperaturan itu dapatlah dipaksakan oleh suatu kuasa zahiri, maupun
dijamin oleh kemungkinan bahwa pengabaian peraturan-peraturan
51

Purnadi Pubacaraka,Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata
Hukum,(Bandung:Almuni,1985), Hal 14.
52
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta :rajawali press, 1983)
Hal,167-169.

Universitas Sumatera Utara

29

itu dapat mengadakan tindakan-tindakan (secara langsung, maupun
tidak langsung) dari pihak kekusaan zahiri tersebut”. Dalam pada
itu, kedalam defenisi itu dimasukkan unsur “ketaatan”, yakni
ketaatan dengan paksaan.
Maka definisi yang dapat dibulatkan adalah sebagi berikut, hukum positif
adalah suatu penyususnan terhadap hidup kemasyarakatan, yang ditetapkan atas
kuasa masyarakat itu, dan beralaku untuk masyarakat itu; hukum positif terbatas
menurut tempat dan waktu.

4. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya tindak pidana
adalah asas legalitas, sedangkan dasar dipidananya pembuat adalah asas
kesalahan. Ini berarti pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang
dapat dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban
pidana.53
Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban
orang

terhadap

tindak

pidana

yang

dilakukannya.

Tegasnya,

yang

dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya

53

Roeslan Saleh, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana,(Jakarta : aksara baru,
1983),Hal. 75.

Universitas Sumatera Utara

30

merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi
terhadap pelanggaran atau “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.54
Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana
Agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 unsur,
yaitu: 55
a. Adanya Kemampuan bertanggung jawab
b. Kesalahan
c. Tidak Ada alasan pemaaf.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh dunia pada umumnya
tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur adalah
kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab.
a) Mampu bertanggungjawab
Menurut KUHP seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan pidana yang dilakukannya dalam hal :56
1. Karena kurang sempurna akal atau karena sakit berupa akal (Pasal 44
KUHP);
2. Karena belum dewasa (Pasal 45 KUHP).
Mampu bertanggungjawab dalam hal ini adalah mampu menginsyafi sifat
melawan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan

54

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, cetakan kedua (Jakarta: kencana, 2006), Hal.68
55
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan
(malang : UMM Press, 2009), Hal.225.
56
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum,(Bandung:
Alumni, 1982),Hal.44.

Universitas Sumatera Utara

31

kehendaknya. Dalam

hal

kasus

pelanggaran merek maka kemampuan

bertanggungjawab tersebut timbul disebabkan :
1) Seseorang memakai dan menggunakan merek yang sama dengan merek
pihak lain yang telah terdaftar.
2) Memperdagangkan barang atau jasa merek pihak lain yang dipalsukan.
3) Menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa.
4) Seseorang tanpa hak menggunakan tanda yang sama keseluruhan dengan
indikasi geografis milik pihak lain untuk barang atau jasa yang sama.
b) Kesalahan
Kesengajaan dalam hukum pidana dan kealpaan itu dikenal sebagai bentuk
dari kesalahan. Si pelaku telah dianggap bersalah jika ia melakukan perbuatan
pidana yang sifatnya melawan hukum itu dengan sengaja atau karena
kealpaannya.
c) Tidak adanya alasan pemaaf
Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan yang menghapus
kesalahan dari terdakwa.

Universitas Sumatera Utara

32

F. Metode Penulisan
Metode penelitian diperlukan agar penelitian dapat tersusun sistematis dan
terarah. Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai adalah
sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis normative) yang
dinamakan juga dengan penelitian hukum doktriner atau penelitian
kepustakaan terhadap tindak pidana Euthanasia dalam peraturan
perundang-undangan dan terhadap berbagai literatur yang berkaitan
dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penelitian ini dilakukan dengan
cara meneliti berbagai bahan pustaka.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Materi dalam penulisan skripsi ini diambil dari bahan hukum seperti yang
dimaksudkan di bawah ini :
a. Bahan hukum primer, Berbagai dokumen peraturan nasional yang
tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang, Dalam tulisan ini antara lain adalah Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dan PerUndang-undangan :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Universitas Sumatera Utara

33

3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan.
4. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu: Bahan-bahan yang berkaitan erat
dengan bahan hukum primer, dan dapat digunakan untuk
menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang ada.
Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian
tentang Euthanasia, seperti hasil seminar atau makalah para pakar
hukum kesehatan, surat kabar, majalah, dan juga sumber-sumber
dari dunia internet yang tentunya memiliki kaitan erat dengan
persoalan yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, Yang mencakup kamus
bahasa, untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai
alat bantu pengalih bahasa beberapa literatur asing.
3. Analisa Data
Bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan
tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, kemudian akan
dianalisis secara perspektif atau menggunakan analisis perspektif dengan
menggunakan metode-metode sebagai berikut:
Dengan Menggunakan metode Library Research, yaitu mencari dan
mengumpulkan data dari perpustakaan berupa buku-buku, media cetak/

Universitas Sumatera Utara

34

Koran, internet, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan permasalahaan
yang

dibahas di dalam skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

35

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar lebih
mempertegas penguraian isi dari skripsi ini dan memberikan kemudahan bagi
pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan
sistematika serta gambaran itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan
antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut :
BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang
hal-hal mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU
KEDOKTERAN INDONESIA
Pada bagian bab ini akan menyikapi atau membahas mengenai
Euthanasia dalam bidang Ilmu Kedokteran dan Kesehatan
Indonesia.

Yang

diuraikan

berdasarkan

Euthanasia

dalam

pandangan kedokteran yang dilakukan dokter yang bersinggungan
dengan malpraktik medis serta permasalahan yang dihadapi dokter
terhadap permohonan Euthanasia.
BAB III

PENGATURAN TINDAK PIDANA EUTHANASIA DALAM
HUKUM POSITIF DAN RANCANGAN KUHP INDONESIA
Dalam bab ini akan dilihat rujukan terhadap peraturan per-Undangundangan yang berlaku/hukum positif di Indonesia mengenai
pengaturan hukum Euthanasia dengan serta pengaturan Euthanasia
di dalam KUHP dan pengaturan Euthanasia dalam RancanganUU
KUHP Indonesia baru beserta perbandingannya.

Universitas Sumatera Utara

36

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
PELAKU PELAKSANA TINDAK PIDANA EUTHANASIA
Pada bab ini akan di bahas secara mendetail mengenai
pertanggungjawaban hukum terhadap seseorang yang melakukan
tindakan Euthanasia yang bedasarkan Hukum Pidana dan
pertanggungjawaban terhadap etika dan profesi jabatan yang telah
diatur dalam Undang-undang dan ketentuan yang b