Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang Melakukan Euthanasia Ditinjau dari Aspek Medis dan Hukum Pidana
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU :
Anny Isfandyrie,Fachrizal Afandi.Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter.Buku ke II,(Jakarta :prestasi pustaka,2006).
A. Gunawan setiardja, manusia dan ilmu. Telaaah Filsafat atas manusia yang menekuni ilmu pengetahuan.cet.3, (semarang:2005).
Adami Chazawi, Stelsel Pidana,Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada,2011).
Benyamin Lumenta, Hospital, citra, peran dan fungsi, tinjauan fenomena social, (Yogyakarta: kanisius,1989)
Bahder Johan Nasution,SH, Hukum Kesehatan, pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta 2005, penerbit : rineka cipta)
Cecep triwibowo, Etika&Hukum Kesehatan, (Indonesia 2014,Nuha Medika), C.M.Achadiat, melindungi pasien dan dokter, (Jakarta 1996,penerbit; Widya
Medika)
,dinamika etika dan hukum kedokteran dalam tantangan zaman, (Jakarta;EGC,2007)
Chairul huda,”dari tiada pidana tanpa kesalahan” menuju kepada “tiada
pertanggungjawaban pidana tanpakesalahan”,(Jakarta, kencana predana media,2006)
CST.Kansil, “pengantar Hukum Kesehatan Indonesia”,(Jakarta 1991,
penerbit, Rineka Cipta)
Djoko Prakoso, Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia hak asasi manusia dan hukum pidana, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984)
Endang Kusumah Astuti, Hubungan Hukum Antara Dokter Dan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis, (Semarang:2003)
F.Tengker , Mengapa Euthanasia?,kemampuan medis & konsukuensi yuridis, (Bandung,1990, penerbit; NOVA)
(2)
,Kematian yang digandrungi, Euthanasia dan Hak menetukan nasib sendiri, (Bandung; Penerbit Nova,1991)
Pelayanan Kesehatan dan Pendemokrasian, (Bandung ; Penerbit Nova, 1991)
Fred Ameln, Kapita selekta hukum kedokteran, (Jakarta :grafikatama jaya, 1991)
Gerson W.bawengan,Hukum pidana di dalam teori dan praktek (cet:2: Jakarta:pradya paramita,1983)
Guwandi,Hospital Law (Emerging doctrines & Jurisprudence), (Jakarta:balai penerbit :Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia,2005)
Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum Kedokteran. Studi tentang Hubungan Hukum dalam Mana Dokter sebagai Salah Satu Pihak, (Jakarta: PT. Aditya Bakti, 1998)
Hasan Basri Saanin Dt Tan pariaman, doktrer ahli jiwa dan pengadilan,
psikiatri forensic Indonesia, cet. 2: (Jakarta; ghalia Indonesia, 1983)
Johnson, Alvin, sosiologi hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta),1994.
Kartono Muhammad, aspek hukum dan etika kedokteran Indonesia, (Jakarta : Grafiti, 1980)
Koeswadji, hermien hadiati, kejahatan terhadap nyawa, asas-asas, kasus dan permasalahannya,(Surabaya:sinar wijaya,1984.)
K.bartens, Etika ,catakan kesepuluh, (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka
Utama.,2007)
Karjadi M, Reglement Indonesia yang dibaharui, (s-1941 no.44), plitea Bogor 1975
Komariah Emong Sapardjaja, ajaran sifat melawan hukum materiel dalam pidana Indonesia, (bandung ;alumni,2002)
Laden Marpaung,Asas,Teori,Praktik Hukum Pidana,(Jakarta:sinar
grafika,2008)
M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4, (Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1999).
Moeljatno, delik-delik percobaan delik-delik penyertaan, (Jakarta: bina aksara, 1985).
(3)
ed.rev., Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta : PT RINEKA CIPTA,2008),
Machmud,sayahrul,penegakan hukum dan perlindungan bagi dokter yang didugamelakukan medical malpraktek, (Bandung:CV Mandar Maju.2008) M. Sholehuddin, system sanksi dalm hukum pidana, ide dasar double track
system & implementasinya, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003) Na. Taadi,s.kep,M.HKes. Hukum kesehatan.,(EGC.2010).
Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Jakarta : Erlangga, 1991),
Purnadi purbacaraka,Soerjono Soekanto,menulusuri sosiologi hukum negara,(Jakarta, CV:Rajawali,1983)
, Sendi-sendi ilmu hukum dan tata hukum,(Bandung: Almuni,1985),
Purbopranoto,Kuntjoro,beberapa catatan hukum tata pemerintahan dan peradilan administrasi Negara,(bandung: alumni,1985)
Roeslan Saleh, beberapa catatan sekitar perbuatan dan kesalahan dalam hukum pidana, (Jakarta : penerbit AKSARA BARU, 1979)
Pikiran-pikiran tentang pertanggungjawaban Pidana (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982)
, perbuatan dan pertanggungjawaban pidana,(Jakarta : aksara baru, 1983)
Rachmat Setiawan,, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Alumni.1982)
Soekidjo Notoatmodjo,Etika & Hukum Kesehatan,Jakarta, (Penerbit : Rineka Cipta)
Sutarno, Hukum Kesehatan, Euthanasia, Keadilan Dan Hukum Positif Di Indonesia, (Penerbit : Setara Press, Malang 2014)
Soerjono Soekanto, beberapa permasalahan hukum dalam kerangaka pembangunan di Indonesia (suatu tujuan secara sosiologis),(Jakarta: UI Press,1998)
Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu bagi Profesi Dokter, edisi 3, (Semarang Universitas Dipenogoro, 2005)
(4)
Soedarto, Suatu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro,(Semarang, 21 Desember 1974)
S.R.Sianturi, Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya. Jakarta:Penerbit Alumni AHAEM-PETEHAEM,19986.
Samil, Ratna suprapti, Kode Ertik Kedokteran Indonesia, Jakarta: fakultas kedokteran universitas Indonesia,1980.
Tongat, dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif
Pembaharuan (malang : UMM Press, 2009)
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta,2008).
Wila chandarawila,supriadi, Hukum kedokteran, (Bandung; penerbit Bandar maju 2001)
W.J. van der Muelen SJ, Ilmu sejarah dan filsafat, (Yogyakarta: kanisius,1987)
Wirjono Prodjodikoro, asas-asas Hukum pidana Indonesia, (Bandung ;PT Eresco,1989)
Yusti probowati Rahayu, dibalik putusan hakim, (sidoarjo:CV. Citramedia,2005)
Y.A. Triana Ohoiwutun,SH,, Bunga rampai hukum kedokteran, tinjauan dari berbagai peraturan perundangan dan UU Praktik Kedokteran,
(malang : bayumedia publishing, 2007)
Zubir Haini, kejahatan terhadap jiwa manusia,tulisan pada pidana islam di Indonesia peluang, prospek dan tantangan,pustaka firdaus,(cetakan pertama,Jakarta 2001)
B. SKRIPSI/ JURNAL/ MAKALAH :
Erwan Adi Priono. 2012, Perbandingan Pengaturan Euthanasia Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Dengan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonsia, Surakarta : Unuversitas Sebelas Maret.
Haryadi, S.H., “masalah euthanasia dalam hubungannya dengan HAM”, hal
(5)
Lilik Purwastuti Yudhaningsih, Tinjauan Yuurudis Euthanasia Dilihat dari Aspek Hukum Pidana,2015.
Mokh. Khoirul Huda. Transaksi Terapeutik sebagai dasar hubungan hukum dokter dan pasien. Dalamperspektif hukum, (Vol.3,November 2003), Hal 1
Ni Made Puspasutari Ujianti et.al, “Perlindungan Hak Cipta dalam Perspektif
Hak Asasi manusia” Jurnal Ker-tha Wicaksana,Vol. 19 No. 1 Januari 2013, (Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Warmadewa 2013), hlm. 4
Nur Hayati – Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan
Kaitannya Dengan Hukum Pidana Lex Jurnalica (Ilmu Hukum) Vol 1, No 2 (2004) Publisher: Lex Jurnalica (Ilmu Hukum)
Suwarto,”euthanasia dan perkembangannya dalam KUHP” Vol 27 No2,
oktober 2009. Hal 169.
C. PERUNDANG-UNDANGAN :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran RUU KUHP beserta penjelasannya.
Lampiran II Naskah Rancangan KUHP Buku II TAHUN 1992. Lampiran II Naskah Rancangan KUHP Buku II TAHUN 2000 Lampiran II Naskah Rancangan KUHP Buku II TAHUN 2005 Lampiran II Naskah Rancangan KUHP Buku II TAHUN 2012
Kode Etik Kedokteran Indonesia-Lampiran III (Declaration of Genewa) Oleh panitia redaksi musyawarah kerja susila kedokteran nasional, Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta,1969.
(6)
Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor 749a/MENKES/PER/PER/IX/1989 Tentang rekam medis.
Tercantum dalam Lampiran SK PB IDI No.23 1/PB/A.4/07/90.
D. WEBSITE :
Wikipedia Indonesia“Euthanasia”,diakses dari situs
(https://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia), diakses pada tanggal 5 juli 2006, jam 23:31
http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/parent/21310 diakses
pada tanggal 30 agustus 2016, jam 19:25
Nina Surteritna dan Rachmat Taufiq Hidayat, Euthanasia untuk Penderita HIV/AIDS, (diakses dari situs : http//www.pikiran-rakyat.com)
(7)
A. Euthanasia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Membahas Euthanasia dalam KUHP Indonesia, maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah apa yang terdapat dalam KUHP Indonesia, khususnya pasal-pasal yang khusus membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati dengan masalah tersebut adalah peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke-2, Bab XIX pasal 344 KUHP.
Didalam pasal 344 KUHP, disebutkan bahwa:
“barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Unsur-unsur Pasal 344 KUHP sebagaimana tersebut diatas adalah:108
1. Barang Siapa
Unsur ini menunjuk pada subjek. Dan dalam hal ini, pelaku tindak pidana adalah manusia sebagai individu yang memenuhi syarat sebagai subjek hukum.
2. Merampas Nyawa Orang Lain
108
Nur Hayati ,Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Kaitannya Dengan Hukum Pidana Lex Jurnalica (Ilmu Hukum) Vol 1, No 2 (2004) Publisher: Lex Jurnalica (Ilmu Hukum)
(8)
Unsur ini menunjuk pada perbuatan pidana yang dilakukan, yaitu menghilangkan jiwa orang lain. Untuk terpenuhinya unsur ini harus terdapat jiwa sesorang yang hilang. Dalam hal ini, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku harus mengakibatkan kematian seseorang.
3. Atas permintaan orang itu sendiri
Unsur ini menunjukkan adanya syarat tambahan untuk terjadinya delik. Dalam hal ini, harus terdapat keinginan mati dari korban. Keinginan tersebut kemudian diwujudkan dalam sebuah permintaan kepada pelaku menghilangkan nyawa korban. Jadi untuk memenuhi unsur ini, korban harus meminta kepada pelaku untuk menghilangkan nyawa.
4. Yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati.
Permintaan korban untuk mati harus disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh. Untuk memenuhi unsur ini. Korban harus mengungkapkan dengan jelas dan sungguh-sunguh keinginannya untuk mati. Pengungkapan tersebut tidak dapat dilakukan dengan isyarat apapun melalui orang lain.
Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan atas permintaan si korban sendiri.
Tindakan memperpendek kehidupan yang dilakukan atas permintaan yang bersangkutan sendiri atau atas permintaan, dapat dihukum dengan hukuman penjara (sekalipun bahwa dapat diajukan dasar-dasar penghapusan hukuman).
(9)
Apa yang sangat dikhawatirkan disni terlihat dengan jelas, bahwa orang-orang dapat nyata-nyata saling membunuh dengan berbagai macam-macam kedok, oleh karena itu walaupun dengan secara sadar melakukan permintaan pengakhiran
kehidupan orang atas permintan orang tersebut tetap dihukum.109
Dalam pasal diatas, kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan
kesungguhan hati” haruslah mendapatkan suatu perhatian , karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukan dapat dipidana berdasarkan pasal 344 KUHP atau tidak. Agar unsur ini tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar atau tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan. Unsur permintaan yang tegas (unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi ataupun oleh alat-alat bukti yang lainnya,
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 295 HIR sebagai berikut ;110
Sebagai upaya bukti menurut undang-undang,hanya diakui ;
1. Kesaksian-kesaksian
2. Surat-surat
3. Pengakuan
4. Isyarat-isyarat.
Dalam Euthanasia, dimana hukum positif Indonesia belum mengaturnya secara eksplisit maka diperlukan penemuan hukum, yang akan memandu penyelesaian masalah pelanggaran hukumnya.
109 Tengker,Kematian Yang Digandrungi,Op.Cit, Hal 152.
110
Karjadi M, Reglement Indonesia Yang Dibaharui, (s-1941 no.44), (Plitea Bogor 1975), Hal 84.
(10)
Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa terdiri dari kejahatan terhadap tubuh atau penganiyayaan yaitu mulai dari pasal 351 sampai dengan pasal 361, dan kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan, mulai pasal 338 sampai dengan pasal 350. Dalam hal Euthanasia, dapat terjadi pelakunya diancam dengan pasal 338 tentang pembunuhan, pasal 340 tentang pembunuhan berencana, pasal 344 tentang pembunuhan yang dilakukan karena permintaan sikorban dan pasal 345 tentang bantuan bunuh diri. KUHP tidak menyebut sama sekali tentang istilah Euthanasia.111
Ditinjau dari sisi hukum, kasus Euthanasia dapat dianggap suatu pembunuhan. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; seseorang dapat dipidana atau dihukum apabila ia menghilangakan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kekurang hati-hatiannya. Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan Euthanasia Aktif terdapat pada pasal 344
KUHP.112
Jadi apabila kita perhatikan pasal 344 KUHP tersebut diatas, agar seseorang dapat dikatakan telah memenuhi pasal tersebut, maka (public prosecutor) penuntut umun/jaksa harus dapat membuktikan adanya unsur “permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”.113
Bagaimana jika yang bersangkutan tidak mampu lagi berkomunikasi dalam bentuk dan cara apapun, sehingga tidak dapat menyatakan dengan kesungguhan hati? Karena kita tahu dalam masalah Euthanasia ini biasanya pasien dalam keadaan mati tidak, hidup pun tidak (In a persistent vegetative
111
Sutarno,Op.cit.Hal 73. 112 Ibid.
113
(11)
state). Sebagai contoh yang popular, adalah yang terjadi di Amerika Serikat,
yaitu kasus Kaaren ann Quinlan, yang telah berada dalam suatu “persistent
vegetative state”. Dalam hal demikian ini apakah seorang dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 344 KUHP ? Kalau dilihat dari perumusan pasal itu, baik dalam konteks penafsiran yang dikenal dalam dunia ilmu hukum, maupun dalam bentuk penafsiran baru, maka pasal 344 ini sulit untuk diterapkan. Apabila akan diterapkan pasal 344 KUHP merasa kesulitan, dapatkah penuntut umum (jaksa) menuntut seorang dokter berdasarkan pasal 340 KUHP dengan pembunuhan
berencana yang menyebutkan bahwa :114
“barang siapa sengaja dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord) dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Ataukah dapat menuntutnya pula berdasarkan pasal 338 KUHP, yakni
pembunuhan biasa (doodslag), yang dinyatakan sebagai berikut :115
“barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Apabila kita perhatikan lebih lanjut, dari ketiga pasal tersebut, yaitu pasal 338, 340 dan 344 KUHP, ketiga-tiganya adalah mengandung makna larangan untuk membunuh. Selanjutnya pasal 338 KUHP merupakan aturan umum daripada perampasan nyawa orang lain. Pasal 340 KUHP ini bisa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana.
114
Ibid.Hal. 75. 115 Ibid.
(12)
Begitu pula bila diperhatikan dengan lebih lanjut, bahwa pasal 344 KUHP, mengandung makna perampasan nyawa atau pembunuhan sebagaimana diatur
dalam pasal 338 KUHP, pada pasal 344 KUHP ditambahkan pula unsur “atas
permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati.” Jadi masalah Euthanasia ini dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 dan pasal 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, yang merupakan sistem pemberian pidana jugaa terjadi satu perbuatan pidana yang masuk dalam beberapa pengaturan hukum. Concursus idealis ini
diatur dalaam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa :116
1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 ayat (2) KUHP ini mengandung asas Lex specialis de rogat legi generali, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang khusus akan mendesak atau mengalahkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum. Yang dimaksudkan
sebagai peraturan khusus disini adalah ;117
116 Ibid.Hal 76.
(13)
“peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsur-unsur yang termuat dalam peraturan pidana yang umum, akan tetapi juga memuat peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalaam peraturan-peraturan pidana umum.”
Bedasarkan hal tersebut bahwa masalah Euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum, yaitu pasal 338 dan 344 KUHP, maka yang dapat diterapkan adalah pasal 344 KUHP. Apabil tidak terdapat asas Lex specialis derogate legi generali yang disebutkan dalam pasal 63 (2) KUHP itu, maka peraturan pemidanaan yang dipakai adalah pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana penjara pada pasal 338 yaitu 15 tahun, lebih berat dari pada ancaman pidana yang terdapat pada pasal 344 KUHP yang hanya 12 tahun. Hal ini dapat dimengerti karena dalam concursus idealis akan diterapkan sistem absorbs, yang sebagaimana yang disebutkan pada pasal 63 (1) KUHP, yang memilih ancaman pidananya yang terberat. Oleh sebab itu, di dalam KUHP kita, hanya ada satu pasal saja yang mengatur tentang masalah Euthanasia, yaitu pasal
344 KUHP.118
Ketentuan ini harus diingat oleh kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat banyak alasan yang kuat untuk membantu pasien, namun ancaman pidana ini harus tetap dihadapinya. Namun dalam hal berat ringannya pidana yang diputuskan oleh hakim akan terdapat disparitas yang cukup beragam, jika ini ditetapkan pada kasus Euthanasia. Hal ini dapat dimengerti, bahwa menurut
Diamond, terjadinya disparitas pidana karena:119
118 Ibid.Hal.78.
119
Yusti probowati Rahayu, dibalik putusan hakim, (Sidoarjo:CV. Citramedia,2005), Hal 45.
(14)
a. Tidak konsistennya barang bukti persidangan yang disebabkan rendahnya kredibilitas saksi dan perbedaan persepsi hakim terhadap bukti persidangan.
b. Tidak ada standar proses pembuatan putusan.
Akan lain halnya bila pembunuhan itu dilaksanakan dengan sengaja, seperti yang dirumuskan pada pasal 338 KUHP atau bahkan direncanakan terlebih dahulu seperti yang tercantum dalam pasal 340 KUHP.
Dalam hal Euthanasia Aktif langsung dimana permintaanya oleh karena suatu hal misalnya karena pasien sudah tidak sadar dalam jangka waktu yang lama, dilakukan oleh keluarga pasien, maka pasal 338 atau bahkan pasal 340
dapat diancamkan kepada dokter yang melakukannya.120
Dalam naskah rancangan KUHP 1992 pasal 445 mengenai Merampas Nyawa, pembunuhan atas permintaan sendiri:
“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarga dalam hal orang itu sendiri tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”.
Dalam penjelasannya pasal ini menunjuk pada bentuk Euthanasia aktif. Tidak dirumuskan bentuk Euthanasia pasif, oleh karena dunia kedokteran dan masyarakat tidak menganggap hal itu sebagai suatu perbuatan anti social.
Meskipun ada kata-kata “atas permintaan orang itu sendiri dengan jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati” namun perbuatan itu tetap diancam dengan
120 Sutarno.Op.cit.hal.74.
(15)
pidana. Hal ini untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya si pembuat justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul
suatu permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan.121
Ancaman pidana di sini paling lama sembilan tahun. Ancaman pidana ini tidak ditujukan terhadap hilangnya kehidupan seseorang, melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun orang tersebut sudah sangat menderita, baik secara fisik maupun rohani. Ternyata motif dari si pelaku untuk melaksanakan perbuatan itu, tidak ada hubungannya untuk
dipertimbangkan di sini. Maka “tidak sadar” dalam redaksi pasal ini haruslah
diartikan sesuai perkembangan dalam dunia kedokteran.122
Hukum pidana mengatur tentang pelanggaran-pelangaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum.
Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan hukum ialah:123
1. Badan dan peraturan perundangan, seperti Negara, lembaga-lembaga
Negara, pejabat Negara dan lainnya. Misalanya perbuatan pidana: pemberontakan, penghinaan, tidak membayar pajak, melawan pegawai negeri yang sedang menjalankan tugas.
2. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu jiwa, tubuh, kemerdekaan,
kehormatan, milik dan sebagainya.
121
Lampiran II Naskah Rancangan KUHP Buku II TAHUN 1992. 122 Ibid.
123
Zubir Haini, Kejahatan Terhadap Jiwa Manusia,Tulisan Pada Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan,(pustaka firdaus,cetakan pertama,Jakarta 2001), Hal 143.
(16)
Peraturan yang dapat dihubungan dengan Euthanasia dalam KUHP dapat ditemukan dalam Bab XIX pasal 388 sampai dengan pasal 350 tentang kejahatan terhadap jiwa orang, menurut sistematika KUHP, jenis kejahatan terhadap jiwa
disandarkan kepada subjektif element-nya terbagi atas 2 golongan yaitu:124
1. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia yang dilakukan
dengan sengaja (dolense misdrijven), pada pasal 338 sampai dengan pasal 350 KUHP.
2. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia yang terjadi karena
kealpan (culponce misdrijen) pada salah 359 KUHP.
Dilihat dara sasaran kejahatan yang terkait dengan kepentingan hukum
yang dilanggar, kejahatan terhadap jiwa manusia terdiri dari 3 kelompok yaitu:125
1. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia pada umumnya.
2. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa seseorang anak yang sedang
atau belum lama dilahirkan.
3. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa sesorang anak yang masih di
dalam kandungan ibunya.
Kejahatan terhadap jiwa manusia terdiri atas 5 jenis yaitu:126
1. Pembunuhan dengan sengaja (doodslag), pasal 338 KUHP.
2. Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (moord), pasal 340
KUHP.
124
Ibid.
125
Lilik Purwastuti Yudhaningsih, Tinjauan Yuurudis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana,2015.
(17)
3. Pembunuhan dalam bentuk yang dapat memperberat hukuman (gequalificeerde doodslag), pasal 399 KUHP.
4. Pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan yang sangat dan tegas
oleh korban, pasal 344 KUHP.
5. Tindakan seseorang yang dengan sengaja menganjurkan atau
membantu atau memberi daya upaya kepada orang lain untuk melakukan bunuh diri, pasal 345 KUHP.
Pada rumusan pasal ini di isyaratkan bahwa permintaan untuk membunuh harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika syarat ini tidak terpenuhi maka pelaku akan dikenakan pasal 338 KUHP yaitu pembunuhan biasa, pasal lain yang bisa dihubungkan dengan Euthanasia adalah pasal-pasal 304, 306, 340, 345, 356, 359, dan 531 KUHP.
Pasal 304 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.127
Pasal 306 ayat 2 KUHP :Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut (pada
pasal 304 KUHP) Dikenakan pidana penjara maksimal 9 tahun.128
127
Pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
128
(18)
Dari pasal 2 tersebut diatas, memberikan penegasan bahwa dalam konteks hukum positif Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Juga bermakna melarang terjadi Euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
Pasal 340 KUHP: Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun.129
Pasal 345 KUHP: Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi
bunuh diri.130
Pasal 359 KUHP: Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.131
Pasal 531 KUHP: Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling
lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.132
129
Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
130
Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
131
Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
132
(19)
Keberadaan pasal-pasal tersebut diatas mengingatkan kepada setiap orang untuk berhati-hati menghadapi kasus Euthanasia. Berdasarkan pasal 345 KUHP memberi harapan atau menolong untuk melakukan Euthanasia dapat dikenakan
ancaman pidana, apalagi jika melakukan perbuatan Euthanasia.133
Dalam tinjauan hukum pidana, dengan alasan apapun dan siapapun yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, kecuali oleh pihak-pihak lain yang dibenarkan oleh undang-undang harus dianggap sebagai kejahatan. (pasal 48, 49, 50 dan 51 KUHP). Sementara itu, semua pihak yang mempunyai andil langsung, baik yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut melakukan, yang menggerakkan dan yang membantu harus dianggap sebagai pihak yang
bertanggungjawab (pasal 55 dan 56 KUHP).134
Secara umum hukum tidak memberikan rumusan atau defenisi yang tegas mengenai matinya seseorang, sehingga belum ada batasan yang tegas tentang Euthanasia. Rumusan pasal dalam KUHP hanya menyebutkan bahwa kematian adalah hilangnya nyawa seseorang, jadi, secara formal hukum berdasarkan hukum pidana yang berlaku di Indonesia tindakan Euthanasia adalah perbuatan yang
dilarang dilakukan oleh siapapun termasuk oleh para dokter atau tenaga medis.135
Dari apa telah diuraikan di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa Euthanasia di Indonesia ini tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP, yang sampai sekarang masih berlaku. Oleh karena itulah, maka sebaiknya bunyi pasal 344 KUHP tersebut dapatlah kiranya untuk dirumuskan kembali,
133
Lilik Purwastuti Yudhaningsih,Op.cit. 134 Ibid.
(20)
berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang, yang telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Rumusan baru ini diharapkan dapat memungkinkan atau memudahkan untuk mengadakan penuntutan terhadap kasus yang bersangkutan dengan masalah pengakhiran kehidupan atau Euthanasia.
B. Euthanasia dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sosiologi hukum menyimpulkan adanya “konsepsi masyarakat sedang bergerak, dan Bergerak jauh lebih cepat dari pada hukum”, sehingga selalu ada
kemungkinan, bahwa setiap bagian dari hukum memerlukan pemeriksaan kembali
untuk menentukan apakah ia masih sesuai dengan masyarakat”. konsepsi bahwa
hukum itu selalu mengalir, bahwa hukum itu bergerak selalu adalah salah satu konsekuensi saja dari kenyataan bahwa masyarakatlah yang melahirkan hukum
dan bukanlah hukum yang melahirkan masyarakat.136 Bahkan menurut W.J. van
der Muelen SJ, dunia yang serba terikat oleh materi ini, segala-galanya selalu beralih, berganti, bergerak. Gerakan itu bersifat kontinu, artinya setiap gerakan
dilahirkan dan ditentukan oleh beberapa gerakan sebelumnya.137
Pertanyaan ini menggaris bawahi bahwa kita tidak dapat diam tanpa mengadakan gerakan maju untuk tidak ketinggalan, termasuk hukum yang harus mengikuti perkembangan masyarakatnya. Ukuran tercela atau tidaknya suatu tindakan dalam masyarakat dapat berubah seiring dengan perkembangan ilmu dan
136 Johnson, Alvin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta),1994.Hal.168.
137
W.J. van der Muelen SJ, Ilmu Sejarah Dan Filsafat, (Yogyakarta: kanisius,1987), Hal 27.
(21)
teknologi, terutama teknologi informasi yang cepat menularkan pengaruh budaya
darisatu kawasan ke kawasan lain di dunia ini.138
Begitu juga dengan hukum yang berkaitan dengan Euthanasia, dengan selalu bergeraknya masyarakat, sudah wajar kalau kita bertanya apakah bagian dari hukum ini, yaitu yang berkaitan dengan Euthanasia tidak sudah sangat ketinggalan dengan masyarakat. Pertanyaan ini makin menguat jika kita melihat perkembangan di bidang ilmu dan teknologi kesehatan, perkembangan hukum kesehatan atau hukum kedokteran sendiri yang sangat cepat yang terjadi juga di
Indonesia.139
Bukti bahwa hukum kesehatan telah berkembang sangat jauh adalah di undangkannya UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, menggantikan UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang ternyata terjadi lompatan yang jauh yaitu: pada pasal 75 memperlihatkan majunya pemikiran tentang aborsi. Dengan berlakunya Undang-undang No. 36 tahun 2009, berarti pembunuhan terhadap janin yang menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan yang diperkirakan
akan sulit hidup sendiri setelah dilahirkan, boleh dilakukan.140
Dengan mengingat hal tersebut maka pertanyaan berikutnya adalah apa bedanya dengan pembunuhan? Apa bedanya dengan jaman hitler yang membunuh anak-anak cacat? Pasti mereka akan berargumen bahwa yang dibunuh hanya janin yang masih dalam kandungan yang masih ada kemungkinan dengan sebab lain
138
Sutarno.Op.cit.Hal.122. 139 Ibid.Hal.123.
140
(22)
juga akan mati dan tidak akan lahir normal. Jawaban ini kurang tepat mengingat
penghilangan nyawa juga terjadi. 141
Euthanasia pada bayi-bayi yang baru lahir (neonaat) membawa kita pada permasalahan orang-orang yang tidak dapat mengungkapkan sesuatu karena tidak mampu untuk itu, sebagai kebalikan dari kasus-kasus yang menyangkut orang-orang yang tidak dapat mengungkapkannya karena terlalu tua, lemah atau terlalu parah penyakitnya. Perbedaan antara belum atau tidak lagi dapat mengungkapkan sesuatu. Perlu dikemukankan disini bahwa sesorang berada dalam keadaan baru lahir, mempunyai arti bahwa ia masih sangat kecil, tetapi hal tersebut tidak mengahalang-halangi bahwa kita juga berhadapan dengan seorang manusia. Mengapa seorang bayi yang baru lahir menjadi seorang manusia? Hanya ada satu jawaban yang tepat atas pertanyaan ini : apa yang lahir dari manusia adalah manusia. Dari manusia tidak lahir seekor monyet, kucing, untuk mudahnya hanya manusia. Pada bayi yang baru lahir adalah manusia yang sebagai konsekuensi harus dilayani sebagai manusia. Apakah mereka sakit atau lahir dengan satu atau lebih cacat, sama sekali tidak mempengaruhi statusnya sebagai manusia. Sebaliknya, justru oleh karena bayi-bayi yang baru lahir dengan cacat atau dirundung sakit dan penyakit adalah manusia, maka pada mereka harus
ditunjukkan pelayanan, pengobatan dan perawatan yang sebaik mungkin.142
141 Ibid.Hal.124
(23)
Sama dalam penghilangan nyawa manusia, akan mempunyai alasan yang jauh lebih kuat apabila peraturan perundangan tentang Euthanasia dengan syarat
ketat yang diberlakukan. Alasannya adalah ;143
1. Penderitaan yang luar biasa yang dirasakan oleh pasien sudah jelas ada
dan sudah terjadi dan berlangsung terus-menerus.
2. Ketergantungan pasien terhadap orang lain sudah jelas dan sudah
terjadi.
3. Penderitaan keluarga pasien akibat dari kondisi pasien yang sudah dan
terus berlangsung, baik dari sisi fisik, psikis, dana dan lainnya,
4. Secara ilmiah, menurut ilmu kedokteran penyakit pasien sudah tidak
dapat disembuhkan lagi.
5. Tidak jelas kapan akan berakhir, dan
6. Dapat terjadi yang bersangkutan meminta hal tersebut, yang berarti
menghormati hak otonomi pasien.
Pengaturan Euthanasia memang diperlukan, walaupun diatur dengan persyaratan yang sangat ketat, hal ini akan memberikan perlindungan tehadap pasien maupun tenaga kesehatan. Disamping itu, sebagai tanggungjawab pemerintah terhadap rakyatnya, seperti di tulis oleh Kuntjoro Purbopranoto,
asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah :144
1. Asas kepastian hukum (principle of legal secuirity)
2. Azas keseimabangan (principle of proportionality)
3. Asas kesamaan (dalam mengambil keputusan) principle of quality)
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness)
143
Purnadi Purbacaraka,Soerjono Soekanto, Menulusuri Sosiologi Hukum Negara,(Jakarta, CV:Rajawali,1983),Hal 20
144
Purbopranoto,Kuntjoro,Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara,(Bandung: alumni,1985),Hal 29-30.
(24)
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation)
6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non
misuseof competence)
7. Asas permainan yang layak (principle of fair play)
8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or
prohibition of arbitrarines)
9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meating raised
expectation)
10.Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle
of undoing the consequences of an annulled decision)
11.Asas perlidungan pendangan hidup pribadi (principle of protecting the
personal way of life)
12.Asas kebijaksanaan (sapinta)
13.Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service)
Dari hal-hal yang dibicarakan diatas dapat disimpulkan bahwa:145
Konsepsi masyarakat sedang bergerak, dan bergerak jauh lebih cepat dari pada hukum”, menyebabkan setiap bagian dari hukum memerlukan pemeriksaan kembali apakah ia masih sesuai dengan masyarakat. Di Indonesia, setelah berakhirnya pemerintahan orde baru, maka usaha pembaharuan hukum memperoleh ruang gerak yang begitu luas.
Sejak terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sampai sekarang, belum ada kasus yang sampai ke pengadilan di Indonesia, yang berhubungan dengan Euthanasia, yang diatur dalam pasal 344 KUHP. Dengan pencantuman pasal 344 ini, pengundang-undang pasti telah menduga sebelumnya, bahwa Euthanasia, pernah terjadi di Indonesia dan akan terjadi pula dimasa yang akan datang, dalam arti Euthanasia yang aktif. Tetapi perumusan pasal 344 KUHP menimbulakan kesulitan di dalam pembuktian, yakni dengan ada
kata-kata “atas permintaan sendiri”, yang di sertai pula dengan kata-kata “yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Dapat dibayangkan bahwa orang yang menyatakan dengan kesungguhan hati tersebut telah meninggal dunia.
145 Sutarno,Op.cit.Hal 127.
(25)
Kemudian kembali lagi kepada permasalahan bagaimana jika orang yang
bersangkutan itu tidak mampu untuk berkomunikasi? 146
Perkembangan pengaturan masalah Euthanasia dalam RUU KUHP tahun 2005, dalam perkembangannya, ada beberapa perubahan-perubahan berkaitan dengan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana setelah konsep RUU KUHP Tahun 1999/2000. Hal ini bertujuan agar nantinya RUU KUHP ini dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan yang terkait dengan ketentuan hukum pidana dimasa yang akan datang. Adanya perubahan RUU KUHP tersebut berimplikasi pada perubahan pengaturan Euthanasia dalam RUU KUHP.
Pengaturan Euthanasia dalam Rancangan undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terdapat dalam pasal 574 RUU KUHP dan
575 RUU KUHP, antara lain:147
Pasal 574 RUU KUHP berbunyi :
“ setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (Sembilan) tahun”
Pasal 575 RUU KUHP berbunyi :
146 Djoko Prakoso,Op.Cit,Hal 102.
(26)
“dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalm pasal 574 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lam 12 (dua belas) tahun”.
Menurut penjelasan RUU KUHP pengaturan pasal 574 RUU KUHP diatas
ditujukan untuk menjerat perbuatan Euthanasia aktif. Bentuk “Euthanasia pasif”
tidak diatur dalam ketentuan tersebut karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan anti. Meskipun Euthanasia aktif dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Disamping itu juga untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh pembuat tindak pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul permintaan untuk mengakhiri nyawa dari yang bersangkutan.
Ancaman pidana di sini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang, melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun rohani. Jadi motif pembuat tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak
pidana. Pengertian “tidak sadar” dalam ketentuan pasal ini harus diartikan sesuai
dengan perkembangan dalam dunia kedokteran.148
Mengenai perumusan Euthanasia yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2005 tersebut,
148
(27)
ancaman perbuatan ini dapat dikatakan relatif lebih ringan bila dibandingkan dengan KUHP yang berlaku sekarang. Hal ini disebabkan dalam rumusan pasal 574 RUU KUHP tersebut dalam keadaan coma atau tidak sadar. Sedangkan dalam pasal 344 KUHP yang berlaku saat ini tidak disebutkan mengenai hal tersebut,
sehingga ancaman hukumannya pada saat itu 12 tahun penjara.149
Ancaman pidana yang relatif ringan menunjukkan bahwa tindak pidana Euthanasia ini dilakukan atas permintaan si pasien atau keluargannya dan dokter yang melakukan perbuatan tersebut, karena alasan kemanusiaan untuk menghilangkan penderitaan yang berat karena penyakit pasien tidak lagi dapat disembuhkan, serta pasien tersebut mungkin sudah berada dalam situasi yang harus menentukan pilihan dalam konflik kepentingan, yaitu mempertahankan hidup untuk memperpanjang penderitaan atau mempercepat kematian untuk
menghilangkan penderitaan.150
Menurut John Lorber dari American Medicine Assosoation yang dikutip oleh Suwarto dalam Jurnalnya, Mengungkapkan:
“antara membunuh dengan membiarkan mati dapat dibedakan dengan tegas. perbedaan pembunuhan adalah menyebabkan kematian, sedangkan membiarkan mati adalah membolehkan kematian terjadi. Yang kedua adalah sebab terjadinya kematian oleh penyakit yang dideritanya atau oleh tidak adanya pengobatan”.
Jadi euthanasia di Indonesia tetap dilarang, larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP, yang sampai saat dan sekarang ini masih berlaku. Akan tetapi perumusan dalam pasal 344 KUHP yang sekarang ini, dapat menimbulkan kesulitan bagi jaksa untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan
149 Ibid. 150 Ibid.
(28)
berdasarkan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, maka sebaiknya bunyi pasal 344 KUHP tersebut dapatlah kiranya untuk dirumuskan kembali, berdasarkan atas kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang, yang telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Rumusan baru ini diharapkan dapat memungkinkan atau memudahkan atau mengadakan penuntutan terhadap kasus yang bersangkutan dengan masalah Euthanasia.
C. Perbandingan Pengaturan Euthanasia dalam Pasal 344 KUHP dengan RUU KUHP Indonesia
KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang
bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Prof. Soedarto menyatakan
bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda.151
1. Euthanasia dalam RKUHP tahun 1999/2000
Dalam rancangan KUHP tahun 1999/2000 masalah euthanasia diatur dalam Pasal 477 yang berbunyi sebagai berikut :
“setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluargannya dalam hal orang lain
151
Soedarto, Suatu Dilema Dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro,(Semarang, 21 Desember 1974), Hal. 3.
(29)
tersebut tidak sadar, dipidana penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun”
Dalam penjelasannya pasal ini menunjuk pada bentuk euthanasia aktif. Tidak dirumuskan bentuk euthanasia pasif, oleh karena dunia kedokteran dan masyarakat tidak menganggapa hal itu sebagai suatu perbuatan anti social.
Meskipun ada kata-kata “atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinnyatakan
dengan kesungguhan hati” namun perbuatan itu tetap diancam dengan perbuatan
pidana.
Bentukan dari pasal 477 RKUHP dirumuskan untuk menggantikan pasal
344 KUHP, yang dimana dalam rumusan atau redaksi dari pasal 477 RKUHP tidak jauh berbeda dengan rumusan yang ada dalam pasal 344 KUHP. Namun terdapat perbedaan pada ancaman pidananya, pada pasal 477 RKUHP ancaman pidana 9 (sembilan) tahun lebih ringan bila dibandingakan pada pasal 344 KUHP yang berlaku pada saat ini.
dapat dikatakan bahwa euthanasia tetap merupakan perbuatan yang dapat
diancam dengan pidana. hal ini berdasarkan suatu pertimbangan dikarenakan perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. selain itu juga untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki dengan merancang suatu keadaaan yang sedemikian rupa sehingga timbul permintaan untuk menghilangkan nyawa dari yang bersangkutan.
2. Perkembangaan Euthanasia dalam Rancangan KUHP tahun 2005 dan 2012
(30)
574 RUU KUHP berbunyi :
“ setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (Sembilan) tahun”152
Pasal 575 RUU KUHP berbunyi :
“dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalm pasal 574 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun”.153
Pada Rancanagan KUHP tahun 2012 Pasal 583 RUU KUHP berbunyi : Pasal 583
“Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun”.154
Pasal 584
“Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 575 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun” dan paling lama 12 (dua belas) tahun.155
152
Pasal 574 Ruu KUHP 2005 beserta penjelasanya
153
Pasal 575 Ruu KUHP 2005 beserta penjelasanya
154
Pasal 583 Ruu KUHP 2012 beserta penjelasanya
155
(31)
Bila dicermati rancangan KUHP tahun 2005 maupun 2012 bahwa tidak ditemukan perbedaan antara rumusan terhadap masing-masing pasal dalam buku kedua, bab XXII tentang tindak pidana terhadap nyawa.
Dalam rancangan kitab Undang-undang Hukum Pidana baru Tahun 2005
dan 2012, perbuatan euthanasia diatur dalam buku kedua, bab XXII tentang tindak pidana terhadap nyawa, dalam pasal 574 dan 583 Rancanagan KUHP tersebut, ancaman pidana terhadap perbuatan ini dapat dikatakan relatif lebih ringan, bila dibandingakn dengan KUHP yang berlaku sekarang. Hal ini disebabkan dalam rumusan pasal 574 dan 583 rancangan kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut dalam keadaan koma atau tidak sadar, sedangakn dalam pasal 344 KUHP yang berlaku saat ini tidak ada disebutkan mengenai hal tersebut, sehingga ancaman hukumannya pada saat 12 tahun penjara.
(32)
A. Pertanggungjawaban Pidana
Tanggung jawab dalam arti responsibility menurut kamus besar bahasa Indonesia dapat berarti "wajib menanggung segala sesuatunya", kalau terjadi sesuatu dapat disalahkan, dituntut, dan diancam oleh hukuman pidana oleh penegak hukum didepan pengadilan, menerima beban akibat tindakan sendiri atau orang lain Sedangkan yang terakhir tanggung jawab dalam arti Liabilty berarti menanggung segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya atau
perbuatan orang lain yang bertindak untuk dan atas nama.156
Pertanggungjawaban pidana, dalam bahasa asing disebut sebagai torekenbaarheid (Belanda) atau criminal responbility atau criminal lialibility (Inggris). Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawaban atau tidak. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada orang yang melakukan perbuatan pidana. Seseorang tidak akan dipidana jika tidak ada kesalahan. Hal ini sesuai dengan asas dalam hukum pidana yang berbunyi geen staf zonder schuld (tidak dipidana jika tidak ada kesalahan). Asas ini tidak terdapat dalam hukum
156
(33)
tertulis Indonesia, akan tetapi dalam hukum tidak tertulis Indonesia saat ini
berlaku.157
Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal. Ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:158
A. Keadaan Jiwanya
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gagu, Idiot, gila dan sebagainya)
3. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap
dan sebagainya).
B. Kemampuan Jiwanya:
1. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
dilaksanakan atau tidak.
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
157
Moeljatno,Op,Cit, Hal 153. 158
(34)
Adapun menurut Van Hamel dalam Roeslan Saleh, seseorang baru bisa diminta pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:159
1) Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara
kemasyarakatan adalah dilarang.
2) Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap
perbuatannya tersebut.
Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan atau tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan dan kehendak (volitional factor), yaitu dapat menyesuaikan tingkah-lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.160
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, apakah jika seorang dokter yang melakukan tindakan Euthanasia terhadap pasiennya atau bahkan membiarkan pasiennya yang sudah tidak ada harapan untuk sembuh pulang dari rumah sakit untuk meninggal dirumah atau yang disebut Pseudo-Euthanasia, Dapat dibebankan tanggungjawab pidana? Maka perlu dikaji lebih mendalam dengan unsur-unsur pertanggungjawaban tindak pidana.
159
Roeslan Saleh, 1982. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal 77.
160
(35)
Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 unsur, yaitu: 161
a. Adanya Kemampuan bertanggung jawab
b. Kesalahan (dolus/culpa)
c. Tidak Ada alasan pemaaf.
a) Kemampuan bertanggung jawab.
Tentang kemampuan bertanggung jawab ini terdapat beberapa batasan
yang dikemukakan oleh para pakar, antara lain:162
Menurut Simons:
“kemempuan bertanggungjawab dapat diartikan suatu keadaaan psisikis
sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik ditinjau secara umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan. Seorang pelaku tindak pidana mampu bertanggung jawab apabila :
a. Mampu mengetahui/menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan
hukum;
b. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi.”
Meneurut Van Hamel:
“kemampuan bertanggung jawab adalah keadaan normalitas kejiwaan dan
kematangan yang membawa tiga kemampuan, yaitu:
a. Mengerti akibat/nyata dari perbuatan sendiri;
b. Menyadari bahwa perbuatannya tidak diperbolehkan oleh masyarakat
(bertentangan dengan ketertiban masyarakat);
c. Mampu menentukan kehendaknya untuk berbuat.”
Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang kaadaan mengenai kapan sesorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak
161 Tongat,Op.Cit.Hal.225. 162
(36)
dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan
bertanggung jawab. Pasal 44 merumuskan :163
1) Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak dihukum.
2) Jika nyata perbuatn itu dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang
sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
3) Yang ditentukan dalam ayat yang diatas ini, hanya berlaku bagi
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Dalam sejarah pembentukan WvS Belanda mengenai rumusan Pasal 44
tersebut, dimana pembentuk UU mengambil sikap sebagai prinsip, yaitu “bahwa
setiap orang itu harus dianggap mampu bertanggung jawab”. Dengan berpegang
teguh pada prinsip ini, setelah terjadinya tindak pidana, apabila ada keraguan tentang kemampuan bertanggung jawabnya, barulah hal ketidakmampuan bertanggung jawab ini justru harus dibuktikan agar orangnya tidak dipidana. Jadi, dalam hal ini yang harus dibuktikan adalah tentang ketidakmampuan bertanggung jawab pidana, bukan sebaliknya tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. hal ini dimaksudkan agar putusan hakim benar-benar mencapai derajat keadilan
yang setinggi-tingginya.164
163
Adami Chazawi, Stelsel Pidana,Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada,2011). Hal 146.
(37)
a) Kesalahan
Pengertian kesalahan dalam hukum pidana sangat penting, karena dalam menentukan ada tidaknya dan macam kesalahan itu, akan menentukan pula berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada seseorang. Apalagi telah umum dianut Adagium yang berbunyi: tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan. Pengertian kesalahan dapat dilihat dari bahasa sehari-hari, moral, hukum perdata dan hukum pidana. Tetapi dari sudut pandang manapun didalam kesalahan selalu terkandung
ketercelaan tertentu.165
Makna kesalahan yang dianut dulu adalah memandang kesalahan semata-mata dari masalah keadaan psikologis (pscyhologis schuldbegrip), tetapi dengan perkembangan waktu, pemaknaannya agak kearah normatif (nomatief schuldbegrip). Dalam pandangan normatif ini kesalahan di defenisikan sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika ia tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.166
Dalam hukum pidana, pengertian kesalahan telah banyak diteorikan, dan Simons menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana, tetapi ada yang menempatkannya sebagai unsur dari pertanggungjawaban pidana yaitu Roeslan saleh dan Moeljatno, beberapa pembahasan para sarjana antara lain:167
165 Sutarno.Op.cit.Hal 84-85.
166Chairul huda,”dari tiada pidana tanpa kesalahan” menuju kepada “tiada pertanggungjawaban pidana tanpakesalahan”,(Jakarta, kencana predana media,2006), Hal 74.
167S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:Penerbit Alumni AHAEM-PETEHAEM,19986,Hal.161-166.
(38)
Simons menyatakan bahwa isi dari pengertian kesalahan masih tetap berbeda dan tidak pasti. Sebagai dasar pertanggung jawab adalah kesalahan yang terdapat dalam jiwa pelaku dan hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana, dan berdasarkan kejiwaaanya itu pelaku dapat dicela karena kelakuan itu.
Menurut beliau kesalahan adalah merupakan unsur subjektif dari tindak pidana.
Noyon mengatakan bahwa ada ketidak pastian tentang sejauh mana ciri-ciri dari kesalahan berlaku yang berhubungan dengan hukum positif Indonesia adalah:
a. Pelaku mengetahui atau harus dapat mengetahui hakekat dari
kelakuannya dan kadaaan yang bersamaan dengan kelakuan itu, sepanjang keadaan-keadaan itu ada hubungannya;
b. Pelaku mengetahui atau patut harus menduga bahwa kelakuannya itu
bertentangan dengan hukum atau on-rechtmatig;
c. Kelakuannya dilakukan bukan karena suatu keadaan jiwa yang tidak
normal, seperti yang dimaksud dalam pasal 44 KUHP;
d. Kelakuannya itu dilakukan bukan karena pengaruh dari sesuatu
keadaan darurat atau paksa.
Sedangakan Pompe menyatakan bahwa kesalahan itu bagian dalam dari kehendak pelaku, dan sifat melawan hukum merupakan bagian luarnya, artinya kesalahan merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum, yang dapat dihindari atau seterusnya dapat dihindari, yaitu penggangguan ketertiban hukum yang dapat dihindarkan. Sedangakan sifat melawan hukum merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum, untuk kelakuan mana dia dicela.
Menurut Schreuder; pengertian kesalahan menurut hukum pidana menuntut adanya tiga ciri-ciri atau unsur-unsur, yaitu:
a. Kelakuan yang bersifat melawan hukum;
b. Dolus atau culpa;
c. Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku.
Dalam penentuan kesalahan pidana, tidak dipersoalkan norma-norma kesusilaan atau Etbische normen, walaupun pembuat undang-undang harus menghormati norma kesusilaan, tetapi dia berhak membuat yang wajib ditaati oleh setiap orang, walaupun akan bertentangan dengan kata hatinya.
(39)
Roeslan Salaeh bersesuaian dengan Moeljatno, mengatakan bahwa:168 “perbuatan pidana dan pertanggung jawab dalam pidana bagi kami tidaklah hanya sekedar perhubungan dengan soal “strafbaar feit” belaka. Kami katakan bahwa perbuatan pidana dan pertanggung jawab pidana merupakan dua pengertian dasar dalam hukum pidana. Diatas dua hal inilah dibangun seluruh hukum pidana Indonesia”
Perbuatan pidana mempunyai unsur formil, yaitu mencocoki rumusan undang-undang, dan unsur materil yaitu sifat melawan hukum.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, dua unsur pokok hukum pidana adalah;169
1. Adanya suatu norma, yaitu suatu larangan atau suruhan,
2. Adanya sanksi atas pelanggaran norma itu berupa ancaman dengan
hukuman pidana.
Sedangakan unsur kesalahan sendiri tidak masuk dalam pengertian perbuatan pidana lagi, dan harus merupakan unsur bagi pertanggungjawaban
dalam hukum pidana, dan kesalahan juga mempunyai unsur yang demikian:170
a. Kemampuan bertanggung jawab;
b. Kesengajaan atau kealpaan;
c. Tidak ada alasan pemaaf.
Tolak pangkal dari memasukkan kesalahan sebagai unsur dari pertanggungjawab pidana adalah: orang hanya akan dipidana jika ia mempunyai pertanggung jawab pidana. Dan dasar dari dipidananya sipelaku adalah atas asas “tidak dipidana jika tiada kesalahan”171
1) Kesengajaan atau (dolus)
168 Ibid.Hal 164. 169
Prodjodikoro,Op.Cit.Hal 12. 170
Sutarno.Op.Cit.Hal 87 171 Ibid.
(40)
Kesengajaan atau dolus pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang erat terhadap suatu tindakan baik terlarang maupun keharusan, dibanding dengan
kelalaian atau culpa, karenanya ancaman pidanananya juga lebih berat.172
Kesengajaan menurut memori penjelasan : kesengajaan adalah “mengkehendaki dan menginsyafi”. Artinya orang yang melakaukan suatu tindakan dengan sengaja harus menghendaki dan menginsyafi tindakan tersebut dan atau akibatnya.
Kesengajaan dari sudut terbentuknya : dalam rangka mewujudkan
kehendaknya itu, ada tiga tingkatan atau stadia yang dilaluinya yaitu :173
a. Adanya peransang;
b. Adanya kehendak;
c. Adanya tindakan.
Jadi kesengajaan adalah suatu kehendak atau keinginan unruk melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh pemenuhan nafsu. Teori kehendak dan teori perkiraan : Simons mengatakan bahwa kesengajaan itu adalah merupakan kehendak, ditujukan kepada perwujudtan dari suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang. Sarjana lain mengatakan untuk suatu akibat yang akan timbul, dari perbuatan itu tidak mungkin secara tepat menghendakinya, kemungkinan terbesar hanya dapat mengharapkan atau
memperkirakan.174
Teori Determinisme dan Inderterminisme mengakhiri kehendak. Determinisme adalah suatu ajaran yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu
172 Ibid. 173 Ibid.Hal 88 174 Ibid.
(41)
sebernanya sudah ditentukan terlebih dulu oleh suatu pengaruh, sedangkan Indeterminisme walaupun mengakaui adanya pengaruh dari keadaan-keadaan
lingkungannya, namun manusia tetap dapat menentukan kehendaknya.175
Sifat kesengajaan ada dua macam, yang pertama dolus malus dimana seseorang melakukan tindak pidana tidak saja hanya menghendaki tindakan itu, tetapi juga menginsyafi bahwa tindakan itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana. Sedangkan yang kedua : kesengajaan yang mempunyai sifat tertentu, cukup jika hanya menghendaki tindakannya itu.
Gradasi kesengajaan ada tiga macam:176
a. Kesengajaan sebagai maksud, terjadinya suatu tindakan dan akibatnya
adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku.
b. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan, terjadinya akibat
dari suatu tindakan yang seharusnya disadari oleh pelakunya yang pasti akan terjadi.
c. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan atau dolus eventualis,
kesengajaan dengan kesadaran mungkin atau kesadaran bersyarat. Gradasinya paling rendah dan bahkan kadang-kadang agak sulit membedakannya dengan kealpaan.
2) Kelalaian/Kealpaan (culpa)
Dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat :177
a. Kekurangan pemikiran yang diperlukan;
175 Ibid.
176 Ibid.Hal 88-89. 177
(42)
b. Kekurangan pengetahuan yang diperlukan;
c. Kekurang bijaksanaan yang diperlukan..
Kealpaan, seperti halnya kesengajaan juga merupakan bentuk dari kesalahan, hanya derajadnya lebih rendah dari pada kesengajaan. Sedangkan gradasi kealpaan dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu menurut kecerdasan dan kekuatan ingatan pelaku dan menurut kesadarannya. Menurut kecerdasan atau kekuatan ingatan digradasikan sebagai kealpaan yang berat dan kealpaan yang ringan, sedangkan menurut kesadarannya, digradasikan kealpaan yang disadari
dan kealpaan yang tidak disadari.178
c) Tidak ada alasan pemaaf
Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada
kesalahan.179 Dari pengertian alasan pemaaf ini dapat ditarik pengertian tentang
tiada alasan pemaaf yaitu tidak adanya alasan yang mengahapuskan kesalahan terdakwa. Karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bersifat melawan hukum dan mengandung unsur kesalahan.
Tanggung jawab pidana disini dapat dibuktikan dengan adanya kesalahan yang bertolak pada kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa) yang menghendaki dan menginsyafi tindakan dan atau akibatnya dari perbuatannya. Berdasarkan analisis terhadap unsur-unsur pertanggungjawaban pidana diatas maka pelaku euthanasia ataupun dokter yang melakukan euthanasia dapat dimintai
178 Ibid. 179
(43)
pertanggungjawaban pidana. Bahwa melakukan euthanasia dapat digolongkan dengan melakukan malpraktek medis yang disengaja atau malpraktek medis criminal.
Disebut atau dinyatakan malpraktek Kriminal (criminal malpractice) jika perbuatan tersebut memenuhi unsur aduan pidana (batin, alasan pemaaf hubungan batin dengan perbuatan). Dalam kriminal malpraktek dapat berupa kesengajaan (intentional), kecerobohan (recklessness) atau kelapaan (negligence) contoh malpraktek criminal yang bersifat kesengajaan dintaranya:180
1. Melakukan Euthanasia (aktif, pasif, volunter, maupun involunter). 2. Melakukan Arbortus Provocatus tanpa memenuhi unsur hukum. 3. Menerbitkan surat-surat pada pasien yang tidak benar.
4. Membuka rahasia pasien tanapa alasan yang memenuhi unsur hukum. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan,
kecerobohan atau kelapaan.181
Jika hal ini terjadi, maka kesalahan tersebut disebabkan karena tindakan dokter berupa kesengajaan, karena ia telah bersikap kurang hati-hati dan ceroboh. Dengan demikian dari pembahasan diatas, dapat disimpilkan bahwa kealpaan itu
paling tidak memuat tiga unsur:182
180
Ns.Ta’adi, Loc.Cit.HAL 61. 181
Endang Kusumah Astuti, Op.cit.Hal,14 182Laden Marpaung, loc.Cit.Hal 59.
(44)
1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir
panjang
3. Perbuatan pelaku tidak dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus
bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut.
B. Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Tindak Pidana Euthanasia Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Jadi larangan ditujukan pada perbuatannya, sedangkan ancaman ditujukan pada orangnya, yaitu barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan erat. Untuk menyatakan hubungan yang erat tersebut, maka dipakai istilah perbuatan pidana. Perbuatan adalah suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret : pertama, adanya kejadian yang tertentu, dan kedua, adanya orang yang berbuat,
yang menimbulkan kejadian itu.183
Hoffman, seperti dinyatakan oleh Komariah Emong Sapardjaja, secara ringkas menerangkan bahwa untuk suatu perbuatan melawan hukum harus
dipenuhi empat unsur, yaitu:184
1. Harus ada yang melakukan perbuatan
183 Moeljatno, ed rev,Op.Cit,Hal 59-60 184
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Pidana Indonesia, (Bandung ;alumni,2002), Hal 34.
(45)
2. Perbutan itu harus melawan hukum
3. Perbutan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain
4. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya.
Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa terdiri dari kejahatan terhadap tubuh dan penganiayaan yaitu mulai pasal 351 sampai dengan pasal 361, dan kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan, mulai pasal 338 sampai dengan pasal 350. Dalam hal Euthanasia, dapat terjadi pelakunya diancam dengan pasal 338 tentang pembunuhan, pasal 340 tentang pembunuhan berencana, pasal 344 tentang pembunuhan yang dilakukan karena permintaan si korban dan pasal 345 tentang
bantuan bunuh diri. KUHP tidak menyebutkan sama sekali istilah Euthanasia.185
Ditinjau dari sisi hukum, kasus Euthanasia dapat dianggap suatu pembunuhan. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; seseorang dapat dipidana atas dihukum apabila ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kekurang hati-hatinya. Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan Euthanasia aktif terdapat pada pasal 344
KUHP.186
Ketentuan ini harus diingat oleh kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat banyak alasan yang kuat untuk membantu pasien, namun ancaman pidana ini harus tetap dihadapinya. Namun dalam hal berat ringannya pidana yang diputuskan oleh Hakim akan terdapat disparitas yang cukup beragam, jika ini
185 Sutarno.Op.cit.Hal 73 186 Ibid.
(46)
ditetapkan pada kasus Euthanasia. Hal ini dapat dimengerti, bahwa menurut
Diamond, terjadinya disparitas pidana karena:187
a. Tidak konsistennya barang bukti persidangan yang disebabkan
rendahnmya kredibilitas saksi dan perbedaan persepsi hakim terhadap bukti persidangan.
b. Tidak ada standar proses pembuatan putusan.
Akan lain halnya bila pembunuhan itu dilaksanakan dengan sengaja, seperti yang dirumuskan pada pasal 338 KUHP atau bahkan direncanakan terlebih
dahulu seperti yang tercantum dalam pasal 340 KUHP.188
Dalam hal Euthanasia Aktif langsung dimana permintaanya oleh karena suatu hal misalnya karena pasien sudah tidak sadar dalam jangka waktu yang lama, dilakukan oleh keluarga pasien, maka pasal 338 atau bahkan pasal 340
dapat diancamkan kepada dokter yang melakukannya.189
Dalam naskah rancangan KUHP 1992 pasal 445 mengenai Merampas
Nyawa, pembunuhan atas permintaan sendiri:190
“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarga dalam hal orang itu sendiri tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”.
Dalam penjelasannya pasal ini menunjuk pada bentuk Euthanasia aktif. Tidak dirumuskan bentuk Euthanasia pasif, oleh karena dunia kedokteran dan
187
Yusti Probowati Rahayu, Dibalik Putusan Hakim, (Sidoarjo ; cv. Citramedia,2005), Hal 45.
188
Sutarno.Op.cit.Hal 74. 189 Ibid.
190
(47)
masyarakat tidak menganggap hal itu sebagai suatu perbuatan anti sosial.
Meskipun ada kata-kata “atas permintaan orang itu sendiri dengan jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati” namun perbuatan itu tetap diancam dengan pidana. Hal ini untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya si pembuat justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul
suatu permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan.191
Ancaman pidana di sini paling lama sembilan tahun. Ancaman pidana ini tidak ditujukan terhadap hilangnya kehidupan seseorang, melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun orang tersebut sudah sangat menderita, baik secara fisik maupun rohani. Ternyata motif dari si pelaku untuk melaksanakan perbuatan itu, tidak ada hubungannya untuk
dipertimbangkan di sini. Maka “tidak sadar” dalam redaksi pasal ini haruslah
diartikan sesuai perkembangan dalam dunia kedokteran.192
Pada Euthanasia aktif tidak langsung, seorang dokter yang walaupun tujuan utamanya mengurangi penderitaan pasien dengan menyuntikkan pengurang rasa sakit yang dilakukan dengan dosis tinggi, tetapi dokter yang bersangkutan juga pasti mengetahui bahwa dengan dosis setinggi itu pasien dapat meninggal. Perbuatan Euthanasia jelas ini bukan suatu kelalaian tetapi kesengajaan, mengingat ada tiga hal jenis kesengajaan, yaitu : sengaja sebagai maksud, sengaja dengan keinsyafan pasti dan sengaja dengan keinsyafan kemungkinan atau dolus evaluantis.193
191
Sutarno.Op.Cit.Hal 75. 192 Ibid.
193
(48)
Pasal 55 KUHP :194
Ayat (1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana;
1e. Orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbutan itu;
2e. orang dengn pemberian, perjanjian, salaah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan sengaja membujuk untuk melakukan suatu perbuatan (KUHP 163 bis, 263s)
(2). Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya (KUHP 51,57-4,58) Persoalan Euthanasia, dokter atau tenaga kesehatan lain yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan akan dihukum sebagai orang yang melakukan pidana, atau juga sebagai orang yang salah memakai kekuasaan atau pengaruh.
Pasal 56 KUHP :195“dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”
Pasal 57 KUHP:196
194 Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 195 Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 196 Pasal 57 Kitab Undang-undang Hukum PIdana
(49)
1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepetiga.
2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungakan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau dipelancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Dalam hal membantu Euthanasia, maka kalau Euthanasia dianggap sebagai suatu kejahatan maka yang membantu akan dikenakan pasal 66 dan 57 KUHP tersebut. Ini dapat saja dilakukan oleh dokter perawat ataupun keluarga pasien.
Pasal 55 sampai dengan pasal 62 KUHP, Moeljatno menulis di bukunya sebagai pasal-pasal mengenai persyaratan. Dikatakan bahwa ada penyertaan apabila bukan satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya perbutan pidana, akan tetapi beberapa orang. Yang dapat dinamakan peserta harus memenuhi syarat-syarat yaitu sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan
perbutaan pidana atau membantu melakukan perbutan pidana.197
Pasal 345 KUHP :198
197 Moeljatno, Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, (Jakarta: bina aksara, 1985), Hal 63-64.
198
(50)
“Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbutan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”
Pasal ini mengingatkan kepada dokter, jangankan melakukan Euthanasia aktif yang menurut pendapat kebanyakan orang merupakan pembunuhan, menolong atau memberikan daya upaya kearah perbuatan itu saja sudah mendapat ancaman pidana. Kata-kata menolongnya atau memberikan daya upaya dapat dihubungkan dengan peristiwa munculnya kemauan untuk melakukan Euthanasia. Seorang pasien atau keluarganya pasti kurang mengetahui cara-cara atau jalan untuk melepaskan diri dari penderitaan. Tenaga medis atau tenaga kesehatan inilah yang lebih mengetahuinya, jika dihubungkan dengan peristiwa Euthanasia, dalam hal pasien atau keluarga kebingungan, maka kata-kata yang menurut mereka merupakan nasehat untuk melakukan Euthanasia guna menyelesaikan masalahnya, akan sangat berarti bagi mereka. Perbuatan tenaga kesehatan tersebut jelas dapat digongkan dalam pengertian menolong atau memberikan daya
upaya.199
Elisabeth Kubler-Ross dalam bukunya Questions anda Answer on Death and Dying, terjemahan Maria Andriana S.A., menyatakan bahwa sejumlah pasien cenderung bunuh diri dalam menghadapi kenyataan kematian. Pada pasien-pasien
jenis ini, jika perawat atau dokternya memberikan “nasehat” atau sesuatu
kalimat yang cenderung kearah Euthanasia pasti segera disambut setuju oleh
199
(51)
pasien. Dalam kasus semacam ini jelas pelayan kesehatan ini membantu
terjadinya bunuh diri dari pasien yang bersangkutan.200
Pasal 304 KUHP ;201
“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diiancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 306 KUHP:202
2. Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun enam bulan.
3. Jika mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama Sembilan tahun.”
Pasal 531 KUHP ;203
“barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian oranag itu meninggal, dengan pidana
200
Ibid.Hal.78-79.
201 Pasal 304 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 202 Pasal 306 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 203 Pasal 531 Kitab Undang-undang Hukum PIdana
(1)
kebaikan kalian yang tak akan habis penulis tuliskan disini, semua kebaikan kalian tak akan pernah mampu penulis balas, namun penulis berharap pencapaian penulis ini dapat menjadi kebanggaan untuk kalian. Terima kasih saya ucapkan juga kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung., S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara (USU) Medan;
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting., S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;
3. Bapak Dr. O. K. Saidin, S.H., M. Hum. Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;
6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan
8. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan waktu beliau kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini;
(2)
9. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,M.H.,DFM., selaku Dosen Pembimbing II, yang dengan tulus meluangkan waktu untuk memberikan bimbinganan nasehat yang menolong penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
10.Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berbagi ilmu selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;
11.Seluruh jajaran staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;
12.Kepada adik-adikku Roi Makmur Simatupang, Parulian Simatupang dan Revina Simatupang Terima kasih untuk selalu bertanya kabar dan juga kesehatan penulis. Dukungan, kepercayaan serta doa yang kalian berikan menjadi pemacu semangat Penulis dalam menjalani perkuliahan hingga menyelesaikan penulisan skripsi ini.
13.Kepada teman-teman awal perkuliahan : Evan, Rio J, Monang, Stefano, Richard, Raja, Lewi, terima kasih telah membantu penulis untuk beradaptasi di lingkungan perkuliahan FH USU dan lingkuangn Kota Medan. Karena dengan adanya kalian banyak membantu penulis dalam kemandirian yang jauh dari rumah dan orang tua.
14.Kepada teman-teman grup E stb .2012 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas pertemanan, semangat dan dukungan dari awal mula perkuliahan hingga saat ini. “We Are Big Family, Keep Solidarity” #TOGETHERNESS.
(3)
15.Kepada teman-teman seperjuangan Klinis Peradilan Semu PIDANA, PERDATA dan PTUN FH USU, terima kasih atas kesempatan untuk bergabung, belajar, bertengkar, bercanda dan bersandiwara bersama kalian. 16.Seluruh anggota UKM Sepak Bola FH USU, terima kasih telah diberikan
kesempatan untuk bergabung, bermain dan berolahraga bersama sehingga membuat penulis tetap sehat dan prima dalam menjalani perkuliahan sampai menyelesaikan skripi ini.
17.Keluarga besar Satma AMPI FH USU kepada abang-abang, kawan-kawan, dan adinda, yang telah memberikan pengalaman berorganisasi kepada penulis. JAYA!!!.
18. Kepada teman penulis yang saling mendukung #SonOfGod : Parade, Nanda Nbb dan saya sendiri. Yang selalu hadir memberikan suntikan motivasi dan semangat kepada penulis. Semoga kita diberikan berkah berlimpah oleh Tuhan Yesus Kristus, sehingga tercapai semua apa yang kita cita-citakan.
19.Terima Kasih Kepada seluruh penghuni Anggita Kost, tempat tinggal sementara penulis selama masa perkuliahan, bersama dengan teman-teman dan orang-orang yang ada di dalamnya.
20.Serta kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, semoga Tuhan membalas semua kebaikan kalian. Penulis bersyukur diberi kesempatan belajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih
(4)
untuk semua pelajaran yang boleh penulis peroleh. Penulis menyadari skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan kelemahan, karena itu penulis selalu terbuka untuk kritik dan saran yang membangun. Atas segala perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.
Medan, Oktober 2016 Penulis,
(5)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... vi
ABSTRAKSI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 14
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 14
D. Keaslian Penulisan ... 15
E. Tinjauan Kepustakaan ... 16
1. Pengertian Euthanasia ... 16
2. Pengertian Aspek Medis ... 25
3. Pengertian Hukum Positif Indonesia ... 27
4. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 29
F. Metode Penelitian Hukum ... 32
G. Sistematika Penulisan ... 35
BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN INDONESIA A. Euthanasia Dalam Pandangan Ilmu Kedokteran ... 37
B. Kematian Menurut Ilmu Kedokteran ... 49
(6)
BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA EUTHANASIA
DALAM HUKUM POSITIF DAN RANCANGAN KUHP
INDONESIA
A. Euthanasia Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia ... 65 B. Euthanasia Dalam Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana ... 78 C. Perbandingan Pengaturan Euthanasia Dalam Pasal 344
KUHP Dengan RUU KUHP Indonesia ... 86
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
PELAKU PELAKSANA TINDAK PIDANA EUTHANASIA
A. Pertanggungjawaban Pidana ... 90 B. Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Tindak Pidana
Euthanasia ... 102 C. Pertanggungjawaban Etika dan Profesi Kedokteran ... 111
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 118 B. Saran ... 120