Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang Melakukan Euthanasia Ditinjau dari Aspek Medis dan Hukum Pidana

BAB II
EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK ILMU KEDOKTERAN
INDONESIA

A. Euthanasia dalam Pandangan Ilmu Kedokteran
Ada dua masalah dalam bidang kedokteran/kesehatan yang berkatan
dengan aspek hukum yang selalu aktual untuk dibicarakan dari waktu ke waktu
sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran,
yaitu tentang Arbortus provokatus dan Euthanasia. Dalam lafal sumpah dokter
disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan
diingatkan, sampai kini, tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan
masalah ini tidak dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik, atau dicapainya
kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak, tindakan
Arbortus provokatus dan Euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang

diperlukan. Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak dapat diterima,
bertentangan dengan hukum, moral dan agama. Kedua masalah ini setiap waktu
dihadapai oleh kalangan kedokteran dan masyarakat, bahkan diperkirakan akan
semakin meningkat di masa yang akan datang.57
Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hidupnya,
dan ini juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik

kedokteran, dokter tidak diperbolehkan:58
1. Menggugarkan kandungan (abortus provocatus)
57

M.Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Op.Cit, Hal 120
Kode Etik Kedokteran Indonesia-Lampiran III (Declaration of Genewa ) Oleh panitia
redaksi musyawarah kerja susila kedokteran nasional, Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta,1969.
58

37

Universitas Sumatera Utara

38

2. Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia)
1. Arbortus provocatus:

Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah arbortus

provocatus ini pun dalam hukum pidana kita juga dilarang, dapat kita lihat dalam

pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut:.
“seorang

wanita

yang

sengaja

menggugurkan

atau

mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun”.


Disamping pasal 346 KUHP, masih banyak pasal-pasal lain yang
menyatakan bahwa abortus provocatus ini merupakan tindak pidana, misalnya
pasal-pasal 347, 348, dan pasal 349 KUHP. Walaupun abortus provocatus ini
merupakan perbuatan terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang
dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan, dan apabila perbuatan itu hanya
merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut.
Keputusan untuk melakukan abortus provocatus ini harus diambil sekurangkurangnya oleh dua dokter, dengan persetujuan tertulis dari pada perempuan yang
hamil dan suaminya, atau keluarga yang terdekat. Abortus jenis inilah yang
disebut sebagai: arbortus provocatus therapeuticus.59 Pelubang seorang dokter
dapat melakukan tindakan aborsi dan bersifat legal dilakukan oleh tenaga
kesehatan atau tenaga medis yang berkompeten berdasarkan indikasi medis.

59

Djoko Prakoso, Op.Cit,Hal 81-82

Universitas Sumatera Utara

39


Persyaratannya adalah 1). Aborsi hanya dilakukan sebagai tindakan teraputik. 2).
Disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang berkompeten. 3). Dilakukan
di tempat pelayanan kesehatan yang diakui oleh suatu otoritas yang sah.
Dasar hukum aborsi adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan pasal 15:
“dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.
Kemudian dalam UU Kesehatan No.36 tahun 2009, dalam pasal 75 Ayat 1
dinyatakan dengan tegas bahwa “bahwa setiap orang dilarang melakukan
aborsi”. Ketentuan tentang larangan aborsi ini dikecualikan berdasarkan UU
Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 75 ayat 2, berdasarkan :60
a. “Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan.
b. “Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
Di dalam rumusan Undang-undang Hukum Pidana, aborsi dilarang dan
dapat dikenai sanksi pidana, namun berdasarkan pasal 75 ayat (2) UndangUndang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, perbuatan aborsi mendapat
pengecualian jika hal tersebut dilakukan dengan maksud kedaruratan medis yang

dapat mengancam jiwa si ibu, yang sesuai dengan rumusan pasal tersebut. Dan
tentunya hal tersebut harus dapat dibuktikan. Dan bagaimana halnya dengan
Euthanasia.

60

Soekidjo Notoatmodjo.Op,Cit.Hal 137

Universitas Sumatera Utara

40

2. Euthanasia

Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, bukan mustahil pasien
yang penyakitnya sudah tidak mungkin disembuhkan itu, minta agar hidupnya
diakhiri saja. Begitu kira-kira penafsirannya, sampai sebegitu jauh, tidak semua
orang sejutu akan prinsip Euthanasia . Para dokter pun demikaian halnya. Pada
umumnya kelompok yang menentang, mengemukakan alasan yang bertitik tolak
dari segi religius. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu yang

dialami manusia memang dijadikan oleh Tuhan dan harus dipikul oleh manusia,
karena hal itu mengandung makna dan tujuan tertentu. Dengan demikian berarti
penderitaan seseorang dalam sakit yang di deritanya, walau bagaimanapun
keadaanya, memang sudah terjadi kehendak Tuhan oleh sebab itu, mengakhiri
hidup seseorang yang sedang menerima cobaan Tuhan tentunya tidak dibenarkan.
Argumentasi demikian tadi juga dikemukakan dalam penjelasan Kode Etik
Kedokteran Indonesia, Bab II, pasal 9, yang sekaligus juga mencermikan sikap
atau pandangan para dokter di Indonesia. Sebaliknya kelompok yang menyetujui
adanya Euthanasia itu, disertai argumentasi bahwa perbuatan demikian, terpaksa
dilakukan atas dasar prikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang
dialami oleh pasiennya, dan telah berulang kali minta kepadanya agar
penderitaanya diakhiri saja.61
Pada kenyataanya, perdebatan tentang Euthanasia

memang telah

diperkirakan oleh beberapa ahli, bersama beberapa masalah lain, yakni
transplantasi organ tubuh manusia, inseminasi buatan, sterilisasi, bayi tabung dan

61


Djoko Prakoso, Op.Cit,Hal 82-83

Universitas Sumatera Utara

41

arbortus provocatus (pengguguran kandungan). Perdebatan atau kontroversi

masalah-masalah tersebut lebih terfokus pada soal moralitas, etika maupun
hukumnya. Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang begitu pesat akhirakhir ini, ternyata tidak di ikuti dengan kemajuan dibidang hukum dan etika.62
“contemporary development have posed a whole series of new problem.
One could even say: if medicine is in of trouble because of too much change, law

is in trouble because of too little change”.
Tugas seorang dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama
manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuankemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap
dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemulyaan profesi dokter
tersebut tetap terjaga dengan baik. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter di
seluruh dunia, dan hampir tiap Negara telah mempunyai Kode Etik

Kedokterannya masing-masing. Pada umunya kode etik tersebut didasarkan pada
sumpah Hippocrates, yang dirumuskan kembali dalam pernyataan himpunan
Dokter se-Dunia di London bulan Oktober 1949 dan diperbaiki oleh Sidang ke-22
Himpunan tersebut di Sydney bulan agustus 1968.63
Sejak permulaan sejarah kedokteran pula para dokter berkeyakinan bahwa
suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas etik yang mengatur
hubungan antara manusia pada umumnya. Disamping itu harus memiliki akarakarnya dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam
masyarakat itu secara universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam
62

Crisdiono M.Achadiat,Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan
Zaman, (Jakarta;EGC,2007) Hal.180.
63
Djoko Prakoso, Op.Cit,Hal 79-80.

Universitas Sumatera Utara

42

Declaration Of Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se-


Dunia di genewa pada bulan September 1948, didalam deklarasi tersebut antara
lain dinyatakan sebagai berikut:64
“I will maintain the utmost respect for human life from the time of
conception, eve under threat, I will not use my medical knowledge

contrary to the laws of humanity”.
Khusus untuk di Indonesia, pertanyaan semacam ini secara tegas telah
dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak
tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI
tentang: pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23
Oktober 1969. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini dibuat Bedasarkan Peraturan
Mentri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus 1969 No. 55/WSKN/1969.65
Dalam Bab II pasal 9 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut,
dinyatakan bahwa: 66
“seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
makhluk insani”.
Pada pasal ini yang mengharuskan seorang dokter untuk selalu
memberikan pelayanan kesehatan yang sebaik mungkin kepada si pasien yang
bersumber pada “Lafal sumpah dokter” (yang berlaku saat ini, hasil

penyempurnaan Rakernas MKEK tahun 2012) khusus lafal sumpah dokter pada
pasal ke-5,6,7, yakni:67

64

Ibid.
Ibid.
66
Ibid.
67
Kode Etik Kedokteran Indonesia. 2012
65

Universitas Sumatera Utara

43

1. Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang
bertentangan dengan prikemanusiaan, sekalipun diancam.
2. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.

3. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan si pasien, dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat.
Juga bila dilihat dari sumpah/ janji dokter yang dinyatakan sebagaimana
telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 tahun
1951 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1951 Nomor 46) berbunyi
sebagai berikut:68
"Saya bersumpah/berjanji bahwa:
-

-

-

68

Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan;
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan
bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya;
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur
jabatan kedokteran;
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena
pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai Dokter;
Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan;
Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita saya akan berikhtiar
dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh
pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian
atau Kedudukan Sosial;
Saya akan memberikan kepada Guru-guru saya penghormatan dan
pernyataan terima kasih yang selayaknya;
Teman-sejawat saya akan saya perlakukan sebagai saudara kandung;
Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat
pembuahan;
Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan
Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum
perikemanusiaan;
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan
mempertaruhkan kehormatan diri saya".

http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/parent/21310 diakses
tanggal 30 agustus 2016, jam 19:25

pada

Universitas Sumatera Utara

44

Dengan demikian, berarti di Negara manapun di dunia ini seorang dokter
mempunyai kewajiban untuk “menghormati setiap hidup insani mulai saat
terjadinya pembuahan”. Dalam hal ini berarti bahwa bagaimanapun gawatnya
sakit seseorang pasien, setiap dokter harus tetap melindungi dan mempertahankan
hidup pasien tersebut.69 Dalam keadaan demikian mungkin pasien ini sebenarnya
sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam
hubungan ini dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban untuk selalu
melindungi hidup manusia, sebagaimana yang diucapkan dalam sumpahnya.
Dalam hal Euthanasia indikasi medis untuk mencapai tujuan yang konkret
tidak ada, kecuali hanya menghentikan penderitaan rasa sakit. Dilakukan menurut
aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran dapat terpenuhi bila ada
standar of procedure yang dibuatnya, dan untuk persetujuan pasien dapat terjadi.

Dengan demikian Euthanasia pasti bertentangan dengan hukum.
Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa

derita.

Tetapi

kemudian

pengertian

ini

berkembang

menjadi

pembunuhan/pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan
membiarkan seseorang seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy
death). 70

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) mengenai Euthanasia dalam
3 pengertian yakni:71
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan,
untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.
69

Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 80.
70
M.Achadiat,Op.Cit.Hal.189
71
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

45

2. Ketika Hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Kode Etik Kedokteran tentang proses dan Eksistensi Kematian pasien
dengan

Euthanasia . secara garis besar, Euthanasia dikelompokkan dalam dua

kelompok, yaitu Euthanasia aktif dan Euthanasia pasif. Pandangan yang
mengelompokan Euthanasia sebagai aktif dan pasif mendasarkan pada cara
Euthanasia itu dilakukan.

Menurut Kartono Muhammnad, Euthanasia aktif adalah suatu tindakan
mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan
suntikan
maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti saluran asam,
melepas pemacu jantung dan sebagainya. Termasuk tindakan
mempercepat proses kematian disini adalah jika kondisi pasien,
berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya
harapan hidup. Dengan kata lain tanda-tanda kehidupan masih terdapat
pada penderita ketika tindakan itu dilakukan. Sedangkan Euthansaia pasif,
baik atas permintaan ataupun tidak atas permintan pasien, yaitu, ketika
dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien (catatan
bahwa perawatan rutin yang optimal untuk mendampingi/membantu
pasien dalam fase terakhirnya diberikan).

R. Soeprono dalam suatu diskusi panel tentang Euthanasia mengatakan
bahwa segala perbuatan dokter terhadap si sakit bertujuan memelihara
kesehatan dan kebahagiannya. Dengan sendirinya ia harus
mempertahankan dan menerima kehidupan manusia. Harus diingat,
meringankan penderitaan juga menjadi kewajiban seorang dokter.
Mungkin dari segi inilah sehingga beberapa ahli ada yang menerima satu
macam Euthanasia dan ada pula yang menerima kedua-duanya dengan beberapa
pertimbangan tertentu.
Terlepas dari benar atau tidaknya praktek Euthanasia telah terjadi
Indonesia, masalah ini penting dikaji untuk medapatkan solusinya sebab sebagai

Universitas Sumatera Utara

46

Negara hukum, tentu saja ada konsekuensi pertanggungjawaban terhadap suatu
perbuatan yang dijalankan oleh setiap warga Negara atas dasar profesinya.
Pengertian tanggung jawab menurut kamus hukum adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya, kalau suatu terjadi dapat dilakukan penuntutan.
Menurut Black Law Dictionery , istilah liability dapat diartikan sebagai suatu
keadaan dimana seseorang terikat secara hukum atau keadilan untuk
melaksanakan sesuatu tindakan. Tanggungjawab hukum tenaga kesehatan
dimaksudkan sebagai keterkaitan tenaga kesehatan terhadap ketentuan-ketentuan
hukum dalam menjalankan profesinya.72
Kajian dan telaah dari sudut medis, etika dan moral maupun hukum oleh
masing-masing pakarnya, akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk
pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan Euthanasia, tetapi sebenarnya
ternyata bukan Euthanasia, Oleh professor Leenen kasus-kasus demikian ini akan
disebut sebagai Psuedo-Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan
sebagai Euthanasia , dalam bahasa Indonesia, mungkin istilah yang tepat adalah
Euthanasia semu.73

Bentuk-bentuk Pseudo-Euthanasia diuraikan Leenen ialah diantaranya:74
1. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati batang otak:
Ialah fungsi berpikir atau merasakan pada manusia dapat berlangsung jika
otak masih berfungsi. Walaupun pernapasan dan detak jantung masih ada,
namun jika otak tidak lagi berfungsi maka kehidupan secara intelektual
dan psikis/ kejiwaan telah berakhir. Mati otak menjadi tanda bahwa
seorang telah meninggal dunia dalam proses kematian.

72

Arifin Rada,Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam, Volume XVIII No. 2 Tahun

2013
73
74

. M.Achadiat,Op.Cit Hal.184
Ibid.Hal 184-187.

Universitas Sumatera Utara

47

2. Pasien menolak perawatan atau bantuan medik terhadap dirinya :
Undang-undang perdata telah mengatur tentang perikatan/perjanjian,
demikian pula syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut (pasal 1320). Salah
satu syarat yang harus dipenuhi ialah kehendak bebas, artinya perjanjian
itu bebas dari paksaan, tipuan atau salah pengertian. Selain itu suatu
tindakan yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat dikategorikan sebagai
penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP. Secara umum
dapat dikatakan bahwa dokter tidak berhak melakukan tindakan apapun
terhadap pasien jika tidak diizinkan atau dikehendaki oleh pasien tersebut.
3. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan
(force majure) :
Hal ini diatur dalam pasal 48 KUHP. Misal si suatu RS hanya ada 2 buah
alat bantu napas (rispirator) yang telah terpakai oleh pasien yang
membutuhkan. Jika kemudian datang pasien ketiga yang juga memerlukan
respirator, dokter harus memilih kepada siap respirator harus dipasang.
Namun harus diingat bahwa dokter tidak berhak melepaskan respirator
dari kedua pasien pertama tanpa izin.
4. Penghentian perawatan/ pengobatan/ bantuan medik yang diketahui tidak
ada gunanya lagi :
Dengan demikian seorang dokter tidak memulai atau meneruskan suatu
perawatan/pengobatan, jika secara medik telah diketahui tidak dapat
diharapkan suatu hasil apapun, walaupun langkah ini mengakibatkan
kematian pasien. Penghentian perawatan seperti ini tidak dimaksudkan
untuk mengakhiri/memperpendek hidup pasien, melainkan untuk
menghindari dokter bertindak diluar kompetensinya. Dapat dikatakan
bahwa langka tersebut mencegah terjadinya penganiyayaan terhadap
pasien, berdasarkan pasal 351 KUHP.
Kita di Indonesia, sebagai Negara yang ber-Agama dan ber-Pancasila,
percaya kepada kekuasaan mutlak daripada Tuhan Yang Maha Esa. Segala
sesuatu diciptakan-Nya, dan penderitaan yang dibebankan kepada mahkluk
manusia, ada arti dan maksudnya. Oleh sebab itu, dokter harus mengerahkan
segala kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan
memelihara hidup, tidak untuk mengakhiri hidup dari pada sesama manusia.
Adalah tugas ilmu kedokteran membantu meringankan penderitaan pasien, atau
bahkan menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar-

Universitas Sumatera Utara

48

benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut
membantu meringankan penderitaanya. Walaupun kadang-kadang dari tindakan
peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara
perlahan-lahan (euthanasia tidak langsung).
Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan
euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan
(don’t play god). Medical ethics must be pro life, not pro death . Dokter adalah
orang yang menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang
menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers). Kiranya tidak
memerlukan penjelasan lagi betapa permasalahan sekitar Euthanasia bagi pihak
yang terlibat adalah problematik yang tampaknya tidak begitu saja dapat diatasi
dan dilampaui. Penerapan penyelenggara Euthanasia pada pasien-pasien terminal
semata-mata merupakan tindakan yang mengalir dari sumber rasa kemanusiaan
yang dalam dan demi menghormati keinginan orang lain. Keterlibatan emosionil
dokter merupakan satu-satunya alasan mengapa ia menyediakan diri memberikan
bantuan yang nyata kepada pasien yang dalam sakratul maut.75
Namun bilamana ia cenderung bersikap positif terhadap permintaan pasien
seraya melakukan tindakan-tindakan aktif, maka diatas kepalanya mengancam
peristiwa tindak pidana. Ada pula sejumlah dokter yang mengindahkan dan
menjunjung

75

tinggi

pertimbangan-pertimbangan

keagamaan.

Bagi

mereka

F.Tengker, Mengapa Euthanasia? ,(penerbit, NOVA,Bandung 1990) Hal.59.

Universitas Sumatera Utara

49

kehidupan adalah suci, anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang memberi dan
mengambilnya kembali, suatu yang berada di luar kekuasaan manusia.76
Menghormati kehidupan insani juga dipompa ke dalam keyakinan dokter
sejak ia mengikuti pendidikan medisnya, secara berkesinambungan ia belajar
mengupayakan peningkatan kualitas dan kuantitas kehidupan. Penyakit dan
kematian adalah musuh-musuh. Suatu tindakan yang diarahkan kepada kematian
pada hakekatya tidak sejalan dengan jalur pemeriksaan medis77.

B. Kematian dan Hak Mati dalam Ilmu Kedokteran
Apabila di pengadilan seorang hakim dapat menentukan kematian
seseorang melalui pidana mati yang dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang
dokter bahkan diwajibkan senantiasa melindungi mahkluk insani, sebagaimana
ditetapkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” di
dunia,

terutama

di

Negara-negara

maju,

masa

kini

sangat

intensif

dipermasalahkan. Seorang pasien yang sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi
dari segi medis, kemudian diminta oleh keluarganya supaya penderitaanya
dihentikan saja oleh dokter, sering terjadi di Negara-negara maju dewasa ini.
Bahkan keluarga pasien yang sudah tidak ada harapan lagi itu, mengajukan
permintaan kepada pengadilan atau pejabat yang berwenang supaya memberikan
legalisasi untuk mati.78
Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat
dengan definisi dari pada kematian. Hal ini timbul sehubungan dengan adanya
76

Ibid.
Ibid.
78
Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 93
77

Universitas Sumatera Utara

50

kenyataan bahwa profesi medis dewasa ini, sudah mampu untuk menciptakan
alat-alat ataupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat memungkinkan
seseorang yang mengalami kerusakan otak (brain death), tetapi jantungnya tetap
hidup dan berdetak dengan bantuan sebuah “respirator”. Di negara-negara maju
sudah banyak yang memberikan definisi tentang kematian, tetapi definisi yang
diajukan itu hanya bersifat khusus. Jadi sampai sekarang belum ada yang
memberikan definisi kematian secara umum, dan untuk segala tujuan yang
bersifat umum. Definisi khusus itu biasanya akibat kemajuan yang telah dicapai
dalam bidang medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria saja, dan
terbatas untuk tujuan-tujuan operasi transplantasi organ tubuh (Anatomical
Gifts).79

Sebagai suatu contoh dapat disebutkan definisi kematian yang telah
diterima oleh The American Association tahun 1975, yang menyatakan kematian
adalah “for all legal purpose, a human body with irreversible cassation of total
brain function, accrding to medical practice, shall be considered dead”. Definisi
kematian ini diterima sebagai akibat dripada perkembangan ilmu kedokteran,
sehubungan dengan “organtransplants”, mencabut alat-alat untuk menopang
kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk menghidupkan
kembali.80
Perkembangan Euthanasia tidak lepas dari perkembangan konsep tentang
kematian. Usaha manusia memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian
dengan menggunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru
79
80

Ibid,Hal 94
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

51

dalam Euthanasia , terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang
dinyatakan mati.81
Kebutuhan akan defenisi baru tentang kematian berkembang sebagai
akibat langsung daripada makin meningkatnya kemampuan profesi medis untuk
mempertahankan kehidupan seseorang yang jantungnya terus berdetak, tetapi
otaknya telah tidak berfungsi secara permanen, berhubung adanya kerusakan yang
parah.82 Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dengan istilah kematian dalam
ilmu hukum? Pengertian mati menurut hukum adalah lepasnya atau hilangnya
nyawa dari tubuh seseorang.83
1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1988, mati dan
didefenisikan “berhentinya darah mengair”. Berhentinya darah mengalir
ini berarti jantung dan paru-paru berhenti bekerja oleh sebab itu menurut
batasan ini, mati atau kematian itu terjadi apabila “jantung berhenti
berdenyut”. Jantung berhenti berdenyut, berarti darah tidak dapat mengalir
keseluruh tubuh yang berakibat semua fungsi tubuh berhenti total karena
tidak ada aliran darah.
Namun dengan demikian, dengan berkembangnya ilmu kedokteran
tampaknya konsep ini sudah tidak dapat digunakan lagi, karena dengan
teknologi resusitasi (nafas buatan) telah memungkin jantung dan paruparu yang terhenti dapat berdenyut kembali. Dengan bekerjanya kembali

81

Sutarno,Op.Cit,Hal 91
Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 98
83
Soekidjo Notoatmodjo.Op,Cit.Hal 144-145
82

Universitas Sumatera Utara

52

jantung dan paru-paru ini maka akan terjadi aliran darah lagi keseluruh
tubuh dan kembali hidup.
2. Mati saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini juga tidak dapat
dipakai lagi, karena dengan teknologi resusitasi seperti disebutkan, seakanakan nyawa dapat dikembalikan lagi.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan
fungsinya secara terpadu. Bahwa organ-organ tubuh kita berfungsi secara
terpadu, yang dikendalikan oleh otak kita. Apabila semua organ tubuh kita
masih berfungsi secara terpadu yang dikendalikan oleh otak, berarti kita
masih hidup. Namun konsep ini juga diragukan dan dipertanyakan. Karena
tampaknya organ-organ tubuh berfungsi sendiri, dengan atau tanpa
dikendalikan oleh otak kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa
transplantasi, organ tubuh seseorang dapat dipindahkan ke tubuh orang
lain. Dalam proses pemindahan atau transplantasi pada tahap tertentu
organ tubuh yang ditransplantasi masih tetap berfungsi, meskipun sudah
tidak di bawah kendali otak orang yang bersangkutan.
4. Batang otak telah mati (brain stem death): bahwa otak merupakan pusat
penggerak dan pengendali baik secara fisik maupun sosial. Oleh sebab itu,
bila batang otak telah mati maka diyakini bahwa manusia itu telah mati
secara fisik maupun sosial. Mati menurut konsep ini adalah hilangnya
“hidup” manusia secara permanen, sehingga fisik dan sosialnya sudah
tidak berfungsi lagi.

Universitas Sumatera Utara

53

5. Menurut undang-undang kesehatan No. 36 Tahun 2009, pasal 117,
seseorang dikatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan
sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila
kematian batang otak telah dapat dibuktikan. Apabila kita memperhatikan
batasan kematian menurut undang-undang ini, sebenarnya merupakan
suatu bentuk akomodasi dari berbagai batasan tentang kematian atau mati,
yang sebelumnya telah ada atau dirumuskan.
Plato mengatakan jiwa manusia bukan merupakan substansi lengkap, jiwa

merupakan formasi yang menjiwai materi, yaitu badan, tetapi jiwa melakukan
aktivitas yang melebihi-melebihi aktivitas-aktivitas badani belaka, yaitu berfikir,
berkehendak dan bercita-cita.84
Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati :85
1. Mati adalah proses yang berlangsung secara berangsur. Tiap sel dalam
tubuh manusia mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap adanya
oksigen dan oleh karenanya, mempunyai saat kematian yang berbeda pula.
2. Bagi Dokter, kepentingan bukan terletak pada tiap butir sel tersebut, tetapi
pada kepentingan manusia itu sebagai kesatuan yang utuh.
3. a. Dalam tubuh manusia, ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam
penentuan kematian seseorang, yaitu jantung, paru-paru dan otak
(khususnya batang otak).
b. Diantara ketiga organ tersebut, kerusakan permanen pada batang otak
tidak dapat dinyatakan hidup lagi.
4. Defenisi mati, seseorang dinyatakan mati bilamana :
a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau
irreversible, atau
b. Bila terbukti telah terjadi kematian batang otak.
5. Untuk tujuan transplantasi organ, penentuan mati didasarkan pada mati
batang otak. Sebelum dilakukan pengambilan organ, semua tindakan
medis diteruskan agar organ tetap baik.
6. Sadar bahwa pernyataan tentang kematian ini akan mempunyai implakasi
hukum dan implikasi teknis lapangan, maka dengan ini Ikatan Dokter
84

Gunawan Setiardja, Manusia dan Ilmu. Telaaah Filsafat Atas Manusia Yang Menekuni
Ilmu Pengetahuan .cet.3, (semarang:2005), Hal 24.
85
Tercantum dalam Lampiran SK PB IDI No.23 1/PB/A.4/07/90.

Universitas Sumatera Utara

54

Indonesia mengajukan usul perubahan dan penambahan PP No. 18 tahun
1981, terutama yang berkenaan dengan defenisi seperti yang tercantum
dalam pasal 1 ayat 9 dari Peraturan Pemerintah tersebut.
7. Pada situasi dan keadaan penderita belum mati, tetapi tindakan
terapeutik/paliatif tidak ada gunanya lagi, sehingga bertentangan dengan
tujuan ilmu kedokteran, maka tindakan terapeutik/paliatif dapat
dihentikan.
Penghentian
tindakan
terapeutik/paliatif
sebaiknya
dikonsultasikan dengan sedikitnya dengan seorang dokter-dokter yang
lain.
Jadi Ikatan Dokter Indonesia merumuskan bahwa seseorang dinyatakan
mati apabila : fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti,
berarti irreversible atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Penyataan tersebut dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang, seperti
Elektro Kardiogram atau EKG dan Elektro Ensepalogram atau EEG. Upaya

mengembalikan berfungsinya fungsi jantung dan pernafasan ini,yang sering
disebut resusitasi dalam kejadian ini tidak memberikan banyak arti lagi 86. Upaya
resusitasi darurat dapat diakhiri apabila terjadi hal berikut :
1. Sesudah resusitasi paling sedikit setengah sampai dengan satu jam terbukti
tidak ada lagi nadi pada normotermia tanpa resusitasi jantung dan paru,
2. Ada tanda-tanda klinis mati otak,
3. Garis datar pada EKG selama paling sedikit 30 menit meskipun telah
dilakukan resusitasi dan pengobatan optimal,
4. Penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan resusitasi.”
Sebetulnya, kelahiran dan kematian yang alami atau kematian ada
ditangan Allah, namun F. Tengker mempertanyakan masih ada kematian kumlah
tersebut. Sejak dari kandungan, kehidupan kita telah ditentukan oleh jaringan
86

Samil, Ratna Suprapti, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,1980.Hal 93.

Universitas Sumatera Utara

55

kerja oleh pelayanan kesehatan yang begitu luas jangkauannya seperti vaksinasi,
higiena, pelayanan medis dan sebagainya, sehingga kehidupan manusia tidak
dapat lagi disebut alami. Hal ini berlaku juga dan barangkali lebih terasa dalam
masalah

pengakhiran

kehidupan.87

Dengan

demikian

mungkin

Tengker

menganggap bahwa hampir semua kematian juga tidak alami, tetapi dalam
prosesnya sudah banyak campur tangan manusia lain.
Bahwa dalam Euthanasia para ahli hukum kurang bisa leluasa mengikuti
perkembangan proses pengobatan atau perawatan pasien di Rumah Sakit karena
problem yang rumit. Pada kasus Euthanasia , dokternya dapat dikenai pidana
karena pada saat ini belum ada hukum positif yang melindungi tindakan tersebut.
Kesalahan-keselahan dokter dapat terjadi pada saat merawat atau mengobati
pasiennya, maka pernyataan bahwa hal-hal diatas tidak dapat digunakan pasalpasal dalam KUHP merupakan pernyataan yang kurang tepat.

Persoalan ini

tergantung dari hasil pendalaman peristiwanya, oleh karena itu penerapan pasalpasal dalam KUHP masih dapat digunakan untuk kasus Euthanasia tertentu.88
Pada umunya seseorang yang menderita sakit yang tidak tertahankan akan
berusaha untuk menghindari penyebab rasa sakitnya, namun apabila tidak
memungkinkan, apalagi ditambah dengan faktor lain dan cukup berat, maka tidak
menutup kemungkinan pasien tersebut akan bunuh diri. Pada pasien yang
mengalami keadaan seperti itu, bunuh diri dengan bantuan dokternya
(Euthanasia) dapat menjadi hal yang paling mungkin untuk dilakukan.89

87

F.Tengker,Kematian Yang Digandrungi, Euthanasia dan Hak Menetukan Nasib
Sendiri, (Bandung; Penerbit Nova,1991), Hal 108.
88
Sutarno,Op.Cit,Hal 97.
89
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

56

Dokter ataupun keluarga pasien, kalaupun ada kehendak untuk
melaksanakan Euthanasia , umunya dikarenakan faktor kasian melihat pasien yang
bersangkutan, walaupun ada kemungkinan alasan yang lain. Seperti biaya
perawatan atau yang lainnya.90
Dilihat dari segi perdata, dokter dalam melakukan tindakan medik
berdasar pada permintaan pasien atau keluarganya, diikuti dengan tanya jawab,
pemeriksaan pada pasien dan upaya-upaya untuk memperoleh penyembuhan91.
Jadi sebetulnya telah terjadi kontrak yang tidak tertulis anatara dokter dan pasien.
Dalam hal ini, apabila ada wanprastasi dalam kontrak tersebut maka pihak yang
melakukannya dapat digugat. Dalam hal Euthanasia , sengketa-sengketa perdata
tidak atau jarang terjadi. Dalam kasus Euthanasia , sengketa perdata tidak atau
jarang terjadi, karena umumnya kehendak untuk dilakukannya Euthanasia berasal
dari pihak pasien dan keluarganya.
Dalam hal kontrak, teori kontrak yang modern cenderung untuk
menghapuskan syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan
kepada terpenuhinya rasa

keadilan. Bahkan janji-janji prakontrak dapat

dikenakan akibat hukum, berdasarkan asas-asas etikad baik yang ditekankan pada
tahap perundingan.

90

Ibid.Hal 99
Mokh. Khoirul Huda. Transaksi Terapeutik Sebagai Dasar Hubungan Hukum Dokter
dan Pasien. Dalam Perspektif Hukum, (Vol.3,November 2003), Hal 1
91

Universitas Sumatera Utara

57

Selanjutnya secara materiil, suatu tindakan medis sifatnya tidak
bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :92
a. Mempunyai indikasi medis, untuk mencapai tujuan yang konkret,
b. Dilakukan menurut aturan-atauran yang berlaku di dalam ilmu kedokteran,
c. Sudah mendapat persetujuan dahulu dari pasien.
Kemungkinan kedua adalah menyatakan bahwa euthanasia merupakan
perbuatan yang tidak terlarang, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini
misalnya :93
a. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya
menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya,
b. Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi
lagi,
c. Pasien dalam keadaan in a persistent vegetative state.
Dengan demikian “hak untuk mati” juga dihormati adanya, walaupun hak
ini tidak secara tegas dicantumkan sebagaimana “hak untuk hidup”. Dalam
kondisi yang demikian itu pula, seseorang yang mempergunakan “hak untuk
mati”-nya. Jadi pengakuan terhadap “hak untuk mati” ini tidak bersifat mutlak,
tetapi dalam keadaan yang memaksakan untuk mengakuinya.

C. Malpraktek Medis Euthanasia
Secara etimologis, malpraktek mengandung kata mal yang artinya buruk
atau salah, sehingga malpraktek diartikan salah melakukan prosedur yang
92
93

Wiradharma,Op.Cit.Hal 4.
Djoko Prakoso,Op.Cit.Hal 100

Universitas Sumatera Utara

58

berujung pada kerugian pasien atau bahkan sampai fatal. Atau dapat melakukan
tindak pidana seperti Arbortus Provocatus Criminalis. Dalam hal salah melakukan
prosedur ini, dapat saja dikatakan malpraktek harus memenuhi unsur
kecerobohan, kesembronoan, kekurang hati-hatian (professional misconduct) atau
kekurang mampuan yang tidak pantas (Unreasonable lack of skill) yang hanya
dilakukan oleh pengemban profesi Dokter, Advocat, Notaris, dan lain-lain.94
Malpraktik merupakan istilah umum dan tidak selalu berkonotasi yuridis,
karena ada juga yang lain, misalnya malpraktek etis. Hal ini dapat dimengerti
karena malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah, walaupun
demikian istilah malpraktek ini umumnya ditujukan pada pelaksanaan suatu
profesi, misalnya Dokter, Advocat dan lainnya. Dalam bidang kesehatan,
walaupun yang dimaksud dengan tenaga medis oleh PP nomor 32 tahun 1996
tentang tenaga kesehatan hanya dokter dan dokter gigi, tetapi malpraktek oleh
tenaga kesehatan seiring dikatakan malpraktek medis.95
Istilah malpraktek medis tidak dikenal dalam Hukum Positif Indonesia.
Banyak pengertian yang ditulis para ahli. Ada yang membagi malpraktek medis
menjadi dua kelompok, yaitu malpraktek medis yang disengaja dan medis karena
kelalaian. Tetapi ada juga yang menganggap bahwa malpraktek medis adalah
malpraktek medis yang terjadi karena kelalaian atau kompetensi dokternya
dibawah standar. Euthanasia aktif langsung dapat dimasukkan dalam golongan
malpraktek medis yang disengaja atau malpraktek medis Kriminal.96

94

Sutarno,Op.Cit,Hal 39
Ibid.
96
Ibid.
95

Universitas Sumatera Utara

59

Disebut atau dinyatakan malpraktek Kriminal (criminal malpractice) jika
perbuatan tersebut memenuhi unsur aduan pidana (batin, alasan pemaaf hubungan
batin dengan perbuatan). Dalam kriminal malpraktek dapat berupa kesengajaan
(intentional), kecerobohan (recklessness) atau kelapaan (negligence) contoh
malpraktek criminal yang bersifat kesengajaan dintaranya:97

1. Melakukan Euthanasia (aktif, pasif, volunter, maupun involunter).
2. Melakukan Arbortus Provocatus tanpa memenuhi unsur hukum.
3. Menerbitkan surat-surat pada pasien yang tidak benar.
4. Membuka rahasia pasien tanapa alasan yang memenuhi unsur hukum.
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila
memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan
perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan,
kecerobohan atau kelapaan. Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat
terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat
(2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab UndangUndang Hukum Pidana.98
Menurut J. Guwandi malpraktek medis ini dapat dibedakan menjadi dua
golongan, yaitu:
a. Dilakukan dengan sengaja, yang dilarang oleh peraturan perundangundangan atau dolus. Dengan perkataan lain, malpraktik dalam arti sempit,
misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis,
melakukan Euthanasia, memberi surat keterangan medis yang isinya tidak
benar, dan sebagainya.

Ns.Ta’adi, Hukum Kesehatan.,(Jakarta: EGC.2010).Hal 61.
Endang Kusumah Astuti, Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam Upaya
Pelayanan Medis, (Semarang:2003), Hal,14.
97

98

Universitas Sumatera Utara

60

b. Dilakukan tidak dengan sengaja atau negligence atau culpa, atau karena
kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau
sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat atau bahkan
meninggal dunia.
Dalam golongan pertama, tindakan dilakukan secara sadar, sengaja
dilakukan atau itensional, dolus, tujuan tindakannya sudah diarahkan kepada
akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak perduli akan akibatnya, walaupun
mengetahuai atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan
dengan hukum yang berlaku. Sehingga golongtan malpraktik ini sering disebut
dengan criminal malpractice. Sedangkan yang kedua lebih sering dipersoalkan,
berintikan ketidak sengajaan, culpa, negligence, yang akibatnya tidak diharapkan,
akan timbul, tidak ada motif untuk menimbulkan akibat tersebut. Sering diartikan
karena kurang hati-hati, sembrono, ceroboh, kurang teliti, acuh, tidak peduli
terhadap kepentingan orang lain.99
Secara umum, pakar hukum pidana telah menerima adanya tiga bentuk
kesengajaan, yakni:100
1. Kesengajaan (dolus)
a. Kesengajaan sebagai maksud, yakni dimana akibat dari perbuatan itu
diharapkan timbul atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi;
b. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti, yakni sipelaku (doer or dader)
mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan
terjadi suatu akibat lain.

99

Machmud,Sayahrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Bagi Dokter Yang Diduga
Melakukan Medical Malpraktek, (Bandung:CV Mandar Maju.2008).Hal 161-162
100
Bahder Johan Nasution, Op.Cit.,Hal 54

Universitas Sumatera Utara

61

c. Kesengajaan sebagai kemungkinan, yakni seseorang melakukan perbuatan
dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi
sipelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga
dilarang dan diancam oleh undang-undang.
2. Kealpaan, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 359 KUHP101
Simons menerangkan “kealpaan” bahwa pada umumnya kealpaan itu
terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan,
disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu
perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga terjadi kealpaan jika
yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul
suatu akibat yang dilarang undang-undang102.
Pada umumnya kealpaan (Culpa ) dibedakan atas:
a. Kealpaan dengan kesadaran (Bewuste schuld). Dalam hal ini sipelaku telah
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat tetapi
walaupun ia berusaha untuk mencegah akan timbul juga akibat tersebut.
b. Kealpaan tanpa kesadaran (Onbewuste schuld). Dalam hal ini, sipelaku
tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang
dilarang dan
diancam

hukuman

oleh

undang-undang,

sedang

ia

seharusnya

meperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang
dokter adalah “kelalaian akibat”. Oleh karena itu yang dipidana adalah penyebab
101

Ibid.Hal 55.
Laden Marpaung,Asas,Teori,Praktik HukumPidana,(Jakarta:sinargrafika,2008).Hal.25.

102

Universitas Sumatera Utara

62

dari timbulnya akibat, misalnya tindakan seorang dokter yang menyebabkan cacat
atau matinya orang yang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut
dapat dicelakan kepadanya. Untuk menentukan apakah seorang dokter telah
melakukan peristiwa pidana sebagai akibat, harus terlebih dahulu dicari keadaankeadaan yang merupakan sebab terjadinya peristiwa pidana itu. Umpamanya
karena kelalaian seorang dokter yang memberikan obat yang salah kepada
pasiennya menyebabkan cacat atau matinya pasien tersebut. Disamping itu harus
pula dilihat apakah perawatan yang diberikan kepada pasien merupakan suatu
kesengajaan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik, padahal ia sadar
sepenuhnya bahwa pasien tersebut sangat membutuhkannya.103
Jika hal ini terjadi, maka kesalahan tersebut disebabkan karena tindakan
dokter berupa kesengajaan, karena ia telah bersikap kurang hati-hati dan ceroboh.
Dengan demikian dari pembahasan diatas, dapat disimpilkan bahwa kealpaan itu
paling tidak memuat tiga unsur:104
1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum
tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan
suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir
panjang
3. Perbuatan pelaku tidak dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus
bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut.

103

Ibid.Hal.57.
Ibid.Hal 59.

104

Universitas Sumatera Utara

63

Para dokter harus menyadari bahwa tindakan medis yang sudah benar dan
bahkan yang terbaik sekalipun belum cukup dijadikan jaminan baginya untuk
menghindarkan diri dari tuntutan atau gugatan, meskipun sudah dilandasi niat dan
tujuan yang mulia. Masih diperlakukan landasan yang bersifat filosofis, yaitu
menghormati hak asasi pasien untuk menentukan nasibnya sendiri atau The right
to self determination.105

Profesi kedokteran harus dilaksanakan dengan selalu mempertimbangkan
etika. Antara moral, etika, dan hukum selalu berhubungan, keduanya sama
sebagai dasar pembuatan dan tujuan yang baik. Sesuai dengan yang dikatakan
oleh Lord Chief Justice Coleridge : “It would not be correct to say that every
moral obligation involves a legal duty, but every legal duty is founded on moral

obligation”, maka tidak semua yang dikatakan salah oleh etika juga salah oleh
hukum, sebaliknya yang dikatakan salah oleh hukum pasti salah menurut etika.
Sebagian berpendapat malpraktek medis termasuk kelalaian, tetapi ada juga yang
memasukkan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja kedalam
malpraktek, dan ini sering disebut dengan criminal medical malpractice.
Euthanasia sering disebut sebagai hal yang terakhir ini, disamping abortus
provocatus criminalis.106

Para penulis seperti Veronica, Hermien Hadiati Koeswadji, Danny
Wiradharma dan lain-lain. Memberikan penjelasan makna dari malpraktek medis
atau medical malpractice. Salah satu penulis tersebut, Hermien Hadiati Koeswadji
menjelaskan bahwa secara harfiah malpractice berarti Bad Practice atau praktek
105

Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter , edisi 3,
(Semarang Universitas Dipenogoro, 2005) ,Hal.39-40.
106
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

64

buruk yang berkaitan dengan peraktik penerapan ilmu dan teknologi medic dalam
menjalankan profesi medic yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek
berkaitan dengan “How to practice the medical science and technology”, yang
sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktik
dan orang yang melaksanakan praktik, maka Hermien lebih cenderung
menggunakan istilah “maltreatment”.107

107

Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum Kedokteran. Studi Tentang Hubungan Hukum
Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, (Jakarta: PT. Aditya Bakti, 1998)

Universitas Sumatera Utara