MEMBENDUNG ARUS GERAKAN PRO TIMOR – LESTE DI INDONESIA 1991-1999 SKRIPSI
M E M B E N D U N G A R U S GERAKAN PRO TIMOR – LESTE DI INDONESIA 1991-1999 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Disusun oleh: Nama Mahasiswa: Roserio Dwi Aprianto Savio Nomor Mahasiswa: 024314013 FAKULTAS SASTRA JURUSAN ILMU SEJARAH UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008
M E M B E N D U N G A R U S GERAKAN PRO TIMOR – LESTE DI INDONESIA 1991-1999 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Disusun oleh: Nama Mahasiswa: Roserio Dwi Aprianto Savio Nomor Mahasiswa: 024314013 FAKULTAS SASTRA JURUSAN ILMU SEJARAH UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan buat:
Kedua orang tuaku: Duarte Savio dan Julieta da Costa Correia, akan
cintanya yang tak terbatas. Kakakku : Natercia Savitri Maria CorreiaAdik-adikku : Lucio Josue Savio, Deonisio Duarte Savio, dan
Leonora Correia Savio
Almamaterku Universitas Sanata Dharma yang tercinta.
Para pejuang demokrasi dan solidaritas Indonesia untuk perjuangan
Timor-Leste.
MOTTO
Menyatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner.
Antonio Gramsci (Aktivis Politik, 1891-1937)
Penindasan ikut membentuk kualitas yang ditindas yang akhirnya akan
mengakibatkan kejatuhan sang penindas.
Richard Wright , “The psychological Reactions of Oppresed People”.
Mereka yang tak mampu mengingat masa lampau, dikutuk untuk
mengulanginya.
George Santayana (Filosof, 1863-1952)
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya menyatakan denga n sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 22 Juli 2008 Penyusun
(Roserio Dwi Aprianto Savio)
ABSTRAK
MEMBENDUNG ARUS
(Gerakan Pro Timor-Leste di Indonesia 1991-1999)
Roserio D. Aprianto Savio
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Judul dari tulisan ini yaitu, “Membendung Arus: Gerakan Pro Timor-Leste di Indonesia 1991-1999”. Tulisan ini mengkaji gerakan masyarakat sipil di Indonesia antara tahun 1991-1999, yang aktif dalam gerakan mendukung perjuangan rakyat Timor-Leste di Indonesia. Dalam hal ini, gerakan masyarakat sipil tersebut berseberangan dengan kebijakan resmi pemerintah Orde Baru yang menjadikan Timor-Leste sebagai propinsi Indonesia ke-27 melalui Integrasi Timor-Timur. Pada saat itu, penyatuan Timor-Leste masih menjadi masalah internasional, dan terus menghadapi perlawanan rakyat. Pada sisi lain, awal 1990-an di Indonesia, mulai muncul gerakan masyarakat sipil pro Timor-Leste. Beberapa faktor penting yang terkait erat, yaitu perkembangan situasi dunia pasca Perang Dingin, gerakan pro- demokrasi Indonesia yang makin kuat menentang rezim Orde Baru yang otoriter, dukungan masyarakat sipil internasional dan tentu saja perkembangan di Timor-Leste pasca peristiwa Santa Cruz 1991. Pada akhirnya, Timor-Leste lepas setelah referendum 1999. Dalam hal ini, gerakan pro Timor-Leste telah menjadi salah satu faktor penekan penting terhadap kebijakan Orde Baru di Timor- Leste.
Data yang dipergunakan pada penulisan ini adalah data primer dan sekunder. Diperoleh dari media massa (surat kabar dan majalah), dokumen-dokumen (yang telah dibukukan), buku dan sumber tertulis dari internet. Selain itu, juga dari diskusi dan wawancara dengan beberapa tokoh aktivis pada waktu itu.
Tidak begitu banyak yang tahu, bahwa dibalik upaya Orde Baru mempertahankan Timor- Leste sebagai propinsi Indonesia ke-27, sebagian masyarakat sipil Indonesia telah mendukung perjuangan bangsa Timor-Leste.
Kata Kunci: Timor-Leste, Masyarakat Sipil, Politik.
Abstract
BLOCKING-UP THE FLOW
(The Movement Pro East Timor in Indonesia 1991-1999)
Roserio D. Aprianto Savio
SANATA DHARMA UNIVERSITY, YOGYAKARTA
The tittle of this writing is ‘Blocking- Up the Flow: The Movement Pro East Timor in Indonesia 1991-1999. This writing explores a civil movement in Indonesia between the years 1991-1999, which was active in the movement to support the people’s struggling of East Timor in Indonesia. In this case, the civil movement was opposited with the formal goverment policy of New Order, which became East Timor as the 27th province of Indonesia through East Timor Integration. At the moment, the unionization of East Timor still became international problem, and faced the people opposition continously. On the other hand, at the beginning of 1990s in Indonesia, it started to emerge the civil movement pro East Timor. Some important factors connected closely, namely the development of world situation after Cold War, the movement of Indonesia democracy which was much stronger to opposite the authoritative regime of New Order, international people supporting and of course the development in East Timor after Santa Cruz incident 1991. Finally, East Timor was free after referendum of 1999. In this case the movement pro East Timor had become one of underlined important factors toward the policy of New Order in East Timor.
Data used in this writing was primer and secondary. It was obtained from mass media (newspaper, magazine), the documents (had been booked), book and literature sources from internet. Beside that, it was also from discussion and interview with some activities at the time.
It was not too much to be known that the background effort of New Order to defend East Timor as the 27th of Indonesia, an half of Indonesia people had supported the struggling of East Timor nations.
Keywords: East Timor, Civil Society, Politics.
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Roserio Dwi Aprianto Savio Nomor Mahasiswa : 024314013
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
M E M B E N D U N G A R U S GERAKAN PRO TIMOR – LESTE DI INDONESIA 1991-1999
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dala m bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 06 September 2008 Yang menyatakan
( Roserio Dwi Aprianto Savio )
KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Demikian juga, tidak ada karya yang lahir dengan sendirinya, tanpa dukungan dan bantuan orang lain. Untuk itu saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan beserta staf kerja yang sudah memberikan kesempatan serta ijin untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof. Dr. P.J. Suwarno SH, yang dalam kesibukkannya senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing saya dalam penulisan skripsi ini.
3. Dosen-dosenku: Bapak Drs. Purwanto, M.A. Bapak Drs. G. Moedjanto M. A.
(Almarhum), Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Bapak Drs. Silverio R. L. Aji. S. M. Hum, Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum, Romo Dr. F.X. Baskara T. Wardaya SJ, Ibu Dra. Lucia Juningsih, M. Hum, Bapak Dr. Budiawan, Bapak Dr. St. Sunardi, Romo Dr. G. Budi Subanar SJ, Bapak Drs. Anton Haryono, M.Hum, dan Bapak Drs. Manu Joyoatmojo.
4. Mas Try di sekretariat Fakultas Sastra yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah dan Bapak Wahluyo atas kenyamanan Wisma A.
5. Segenap staf kerja Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
6. Bonar Tigor Naipospos, Tri Agus Susanto Siswowihardjo, Yeni Rosa
Mariatun, Lefidus Malau, Lexy J. Rambadeta, Romo Sandyawan Sumardi, Tossy Santoso, dan Wilson yang bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi serta saya wawancarai.
7. Semua yang ada di Lembaga Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jakarta, di mana saya memperoleh data dan buku-buku yang diperlukan.
8. Segenap keluarga besar Lo’olata, teristimewa Paman Ermenegildo Savio dan Pedruco Savio. Demikian juga Paman Aleixo Aniçeto, Tiu Bosco, dan Tiu Rui. Bibi-bibiku: Tia Anje, Tia Matilde, Tia Aurelia, Tia Maria, Tia Mena, Tia Isaura, Tia Joaquina, Tia Anina, Tia Sica, Tia Elita, dan Tia Juvita. Kakek Paulo Savio (Almarhum), Nenek Aititi (Almarhum), Nenek Madalena Correia, Tiu Justino Vieira dan keluarga.
9. Lafai Calvario Savio, Lafai Bene Savio, Mana Sandra, Mana Mimi, Mana Natalia, Liliana Monica Savio, Nini Moco ‘Zalde’, Adão Pires (Almarhum), Juvidal Aniçeto, Quico, dan Heiso.
10. Maun Lito dan keponakanku Mazia.
11. Maun Fuca, Maun Bosco, Mana Sinta dan sahabat-sahabatku: Marino Guterrez, Zenilton Zeneves, Alarico Bernadino, Neto Guterrez, Benedito Savio, Alfredo da Luz Neto, Dulce Finela Guterrez, Junita Castanheira, Amalia Passos, Ranucoro, Sorucoro, Maun Adanco, Ambelita, Alino, Couquequer, Lacamalay, Abilio, Odino, Aquelina, Ceremalay, Sese Ipiray, João Moco, Demistocles, dan Advento.
12. Sobat-sobat Papua (Longginus Pekey, Meky, Agus Degey, Jeremias Degey), Ferdy Flores, Mateus Sumba serta teman-teman diskusi di Impiko (Ikatan
13. Teman-teman di Ilmu Sejarah: Yossy, Gusti, Fenny, Daniel, Markus, Eko,
Yuda, Opet, Ela, Eka, Ida, Nana, Devi, Vianey, Krisna, Bondan, Suster An, Ada, Ineke, Yuhan, Nanto, Elang, Iyus, Vila, Tabuni, Halim, Mamik, dan Karno. Semoga ketemu lagi! 14. Dan masih banyak pihak lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membentuk saya seperti sekarang ini.
Karya ini tidaklah sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan agar karya ini bisa lebih baik lagi.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis bercita-cita semoga hasil penelitian ini berguna bagi pembaca yang budiman.
Yogyakarta, 22 Agustus 2008 Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ iv HALAMAN MOTTO........................................................................................ v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA....................................... vi HALAMAN ABSTRAK.................................................................................... vii HALAMAN ABSTRACK.................................................................................. viii KATA PENGANTAR........................................................................................ ix DAFTAR ISI...................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang................................................................................. 1 B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah............................................. 6 C. Perumusan Masalah......................................................................... 7 D. Tujuan Penulisan............................................................................. 7 E. Manfaat Penulisan........................................................................... 8 F. Kajian Pustaka ................................................................................. 9 G. Landasan Teori................................................................................ 15 H. Hipotesis .......................................................................................... 20 I. Metode Penelitian............................................................................ 21 J. Sistematika Penulisan...................................................................... 22 BAB II MASALAH TIMOR-LESTE DAN HEGEMONI ORDE BARU........ 24 A. Orde Baru dan Pembasmian Kaum Kiri Indonesia .......................... 24 B. Peran Kaum Agamawan dan Intelektual.......................................... 30 1. Pandangan Golongan Katolik Indonesia................................... 31 2. Peran CSIS (Center for Strategic and International Studies)... 35 3. Pandangan Golongan Islam dan Gereja Protestan.................... 38 C. Penulisan Sejarah…......................................................................... 42 D. Rangkuman ..................................................................................... 48
BAB III TIMOR- LESTE DALAM LIPUTAN MEDIA INDONESIA............. 49 A. Perang Dingin dan Wacana Anti Komunis ...................................... 50 B. Propaganda Perang Saudara dan Inflitrasi Militer Indonesia........... 57 C. Integrasi Timor-Timur...................................................................... 62 D. Pendudukan dan Perang yang Disembunyikan................................ 68 E. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)......................................... 74 F. Misi Kemanusiaan............................................................................ 79 G. Pahlawan Integrasi........................................................................... 81 H. Pembangunan Timor Timur ............................................................. 84 I. Diplomasi Indonesia......................................................................... 87 J. Pengenalan Nilai-Nilai Indonesia..................................................... 92 K. Rangkuman ...................................................................................... 98 BAB IV TITIK BALIK MASYARAKAT SIPIL INDONESIA 1989-1995 ....................................................................... 100 A. Masalah Timor-Leste Pasca Perang Dingin dan Politik Keterbukaan 1989............................................................................100 B. Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ................................................104 C. Peristiwa Santa Cruz 1991...............................................................106 D. Awal Dukungan Masyarakat Sipil Indonesia..................................108 E. Penangkapan Xanana Gusmão ........................................................122 F. Munculnya Gerakan pro Timor-Leste .............................................123 G. Rangkuman .....................................................................................143 BAB V ARUS PERUBAHAN: MENUJU PENENTUAN NASIB SENDIRI 1996-1999....................................................................................... 145 A.
Dukungan Masyarakat Sipil Internasional......................................145 B. Jaringan Yang Meluas .....................................................................150 C. Reformasi 1998 ...............................................................................166 D.
Menuju Referendum 1999...............................................................175 E. Rangkuman .....................................................................................187
BAB VI K E S I M P U L A N........................................................................ 189 DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................194 LAMPIRAN........................................................................................................206
BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang
1 Timor Timur sebagai bekas jajahan Portugal selama ratusan tahun, harus
menunggu 24 tahun untuk menjadi negara merdeka setelah referendum tahun
2
1999, yang mengakhiri pendudukan Indonesia sejak tahun 1975. Pencapaian tersebut, melalui suatu proses panjang yang melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, tanpa mengesampingkan peranan rakyat Timor-Leste dalam perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan, kiranya penting menghadirkan kajian sejarah tentang peranan ya ng dimainkan elemen-elemen masyarakat sipil, khususnya gerakan-gerakan non-pemerintah di Indonesia yang memberi dukungan bagi perjuangan bangsa Timor-Leste.
Hal ini merupakan suatu keunikan, karena gerakan- gerakan tersebut menempuh arah berlawanan dengan kebijakan resmi pemerintah, dan mengambil jalan yang sama dengan berbagai gerakan masyarakat sipil di belahan dunia lain, secara konsisten menentang pendudukan Indonesia di Timor-Leste.
1 Timor-Timur (Timtim) sebagai nama resmi propinsi Indonesia hanya dipakai berkaitan dengan Integrasi Timor Timur ataupun kutipan langsung.
Selebihnya saya menggunakan Timor- Leste, sebagai nama resmi pada saat proklamasi unilateral Fretilin tentang Republik Demokratik Timor- Leste (República Democrática de Timor-Leste), 28 November 1975, dan direstorasi kembali pada tahun 2002 setelah lepas dari Indonesia. Selain itu, nama Timor Lorosa’e (bahasa Tetum) juga sering digunakan untuk menyebut wilayah tersebut.
2 Istilah yang digunakan Indonesia, sebetulnya adalah Jajak Pendapat untuk menghindari istilah referendum yang populer di kalangan pro-kemerdekaan.
Dalam tulisan ini, saya memakai istilah referendum, yang umumnya digunakan
Di mana gerak maju dari akumulasi berbagai bentuk penentangan tersebut, pada akhirnya bertransformasi menjadi gerakan oposisi yang kuat, dalam menentang pemerintahan Orde Baru. Ini fenomena yang menarik, sebab pada mulanya gerakan pro Timor- Leste ibarat ‘riak kecil’ di tengah arus besar opini publik di bawah kendali Orde Baru yang mengutamakan stabilitas nasional Indonesia, dengan cara-cara represif yang berciri militeristik.
Di samping itu, Orde Baru menjalankan hegemoni untuk memperoleh
3
legitimasi. Misalnya membangun wacana, bahwa pencaplokan wilayah Timor-
4 Leste adalah suatu keniscayaan sejarah, berdasar kebesaran ekspansi Majapahit,
yang secara hiperbolis diungkapkan sebagai ‘kembalinya anak hilang ke dalam
5
pangkuan ibu’ [baca: ibu pertiwi]. Selama 24 tahun, ini dianggap sebagai kebenaran yang sebetulnya anakronis, namun dijejalkan lewat pendekatan persuasif melalui lembaga pendidikan, sebagai wacana resmi.
Bagaimana pun kajian ini cukup menarik, terutama mengikuti perbenturan pandangan masyarakat sipil dengan pemerintah bahwa Integrasi Timor-Timur, bukanlah solusi final dan merupakan kesalahan rezim, sehingga perlu pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor- Leste. Hal ini, baru terlaksana setelah gelombang perubahan memuncak menyusul jatuhnya Suharto, dan di bawah pemerintahan transisi Presiden B.J. Habibie, mengelindingkan format baru penyelesaian masalah Timor-Leste, melalui referendum tahun 1999.
3 Istilah wacana digunakan untuk menyebut pernyataan yang mengandung serangkaian gagasan.
4 Lihat majalah Jakarta-Jakarta. Tanggal 30 November-6 Desember 1991.
5 Lihat halaman awal buku resmi Integrasi Timor-Timur. Soekanto. 1976.
Hal ini, sekaligus meneguhkan dasar historis bahwa Timor-Leste sebagai bekas jajahan Portugal sejak semula berada di luar bayangan para nasionalis Indonesia yang memproklamasikan NKRI tahun 1945, berdasar produk historis Hindia-Belanda. Timor- Leste baru digabungkan setelah penyerbuan ilegal militer
6 Indonesia tahun 1975, dan memulai kancah perang yang lebih besar, sebagai
ekses dari suasana Perang Dingin antara negara-negara adidaya yang menjalar ke negara berkembang, termasuk Indonesia dan Timor-Leste.
7 Invasi militer, diikuti pengesahan Timor-Leste sebagai provinsi ke-27,
yang menghadapkan rakyat Timor-Leste pada realita ketertindasan selama hampir dua setengah dasawarsa. Keadaan ini, tercipta karena upaya militer Indonesia [baca: Orde Baru] memberangus cita-cita kemerdekaan rakyat Timor-Leste yang
8
digagas Fretilin, dengan membasmi perlawanan rakyat, melalui berbagai cara yang berciri koersif maupun persuasif, sebagaimana lazimnya di negara- negara otoriter, dan juga diterapkan terhadap rakyat Indonesia. Salah satunya dengan menyembunyikan cerita horor di Timor-Leste, dari rakyat Indonesia.
6 Dari perspektif hukum internasional, invasi militer Indonesia hingga
tahun 1982 melanggar 10 Resolusi PBB, yang menyerukan penarikan pasukan TNI dari Timor-Leste. Lihat Timor-Leste: Sebuah Tragedi Kemanusiaan. 1999. Yayasan HAK dan Fortilos. Jakarta.
7 Sejak invasi hingga penyatuan Timor-Leste, tidak pernah dikonsultasikan
secara terbuka dengan rakyat Indonesia ataupun wakil mereka di parlemen. Lihat Baskara T. Wardaya. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Galang Press. Yogyakarta. Hlm. 238.
Pembantaian Massal ’65 hingga G 30 S.
8 Frente Revoluçionária de Timor-Leste Independente, Front Revolusioner
untuk Kemerdekaan Timor- Leste, adalah partai terbesar di Timor-Leste. Partai ini, didirikan pasca Revolusi Bunga (Revoluçâo dos Cravos) Portugal 1974, ketika pemerintahan transisi di bawah Diktator Salazar memulai proses dekolonisasi bagi propinsi seberang lautan (wilayah jajahan) Portugal. Tentang Fretilin, lihat Helen Mary Hill. 2000. Fretilin: Gerakan Pembebasan Nasional Timor-Leste. Yayasan
Setidaknya hegemoni Orde Baru, bisa kita lihat dalam pernyataan Antero Bendito, mahasiswa Timor-Leste peraih International Student Peace Prize di Trondheim, Norwegia 1999, bahwa selama Orde Baru sejarah Timor-Leste adalah
9
sejarah terlarang (forbidden history). Hal ini secara tidak langsung membuat Orde Baru lebih leluasa mengalang dukungan dalam negeri yang kuat, ketika menjalankan diplomasi politik luar negerinya.
Namun kegagalan Orde Baru meredam perlawanan rakyat di Timor- Leste, akhirnya menemukan titik balik pada penghujung dasawarsa 1980-an. Ketika itu, perlawanan rakyat mulai muncul dengan kualitas baru, yang tidak semata mengandalkan kekuatan senjata dan upaya diplomasi, namun mulai dipadukan dengan demonstrasi dan gerakan protes sosial perkotaan. Ini dimulai setelah masa- masa perang yang sulit, regenerasi dalam perlawanan berhasil melahirkan gerakan-gerakan pemuda radikal perkotaan. Salah satu peristiwa penting terkait perkembangan ini, berpuncak pada peristiwa pembantaian Santa Cruz tahun 1991.
Pada titik ini, awal kemunduran diplomasi Indonesia dimulai. Sementara bagi para petualang militer, Timor-Leste tidak lagi menjadi ajang yang mudah dalam promosi kepangkatan.
Pada akhirnya, seiring dinamika dan frekuensi letupan- letupan protes di Timor-Leste, disambut gerakan- gerakan protes di Indonesia. Terutama oleh gerakan-gerakan yang memperjuangkan demokratisasi Indonesia dari kekuasaan rezim Orde Baru yang otoriter. Sejak saat itu, di kota-kota besar Indonesia, muncul gerakan solidaritas bagi perjuangan rakyat Timor-Leste, yang secara
9 Asvi Warman Adam. 2004. Suharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia.
kontinu mengkampanyekan masalah Timor-Leste hingga referendum tahun 1999.
Kajian ini, setidaknya akan memberi kontribusi penting dalam penulisan sejarah Timor-Leste di Indonesia maupun di Timor- Leste. Seperti dikemukakan sejarawan Asvi Warman Adam, mengutip Akihisa Matsuno dari Osaka University
of Foreign Studies , bahwa penulisan sejarah Timor-Leste perlu dikonsensuskan.
Sebab apabila bertolak belakang, jelas akan memiliki dampak buruk bagi hubungan bertetangga.
10 Selain itu Asvi Warman Adam, juga mengatakan sejarah Timor- Leste
penting bagi bangsa Indonesia, karena akan memperlihatkan bagaimana bangsa Indonesia memandang orang atau bangsa lain dari sudut pandang Indonesia:
11 Betapa sulitnya menulis kembali sejarah Timor Timur. Bagaimana kita
memandang masa seperempat abad di Timor-Timur: sebagai pendudukan, penjajahan, atau integrasi suatu wilayah dengan Indonesia. Selama ini dilakukan pembangunan fisik yang luar biasa di provinsi itu: apa arti semuanya itu. Apa gunanya anggaran pembangunan yang telah dikucurkan Jakarta demikian besar selama 25 tahun ini? Diplomasi kita tersita oleh perkara ini. Bagaimana kita menggangap tentara Indonesia yang tewas di sana, sebagai martir, pahlawan atau tentara penjajah (bandit?) mereka jelas telah gugur dalam menjalankan tugas Negara. Apakah perjuangan atau pengorbanan mereka sia-sia belaka? Bagaimana pula pelaksanaan HAM di Timor Timur sebelum dan sesudah jajak pendapat?
Berdasar uraian Asvi Warman Adam di atas, kajian ini kiranya memberi kontribusi baru, sebagai bahan sejarah dalam melihat dan menempatkan gerakan pro Timor- Leste di Indonesia. Bagaimana menempatkan mereka dalam sejarah? Apakah mereka semata- mata sebagai pengkhianat?
10 Ibid., Hlm. 95.
11
Sedangkan bagi bangsa Timor-Leste, topik ini penting dalam membangun citra positif rakyat Indonesia di mata rakyat Timor-Leste. Terutama menghadirkan sudut pandang alternatif dari sejarah buruk pendudukan militer Indonesia. Demikian juga, kajian ini mencoba menghadirkan penulisan sejarah yang tidak semata menuliskan sejarah para penguasa, namun juga sejarah orang-orang biasa, yang aktif mendukung perjuangan Timor-Leste.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Dari judul yang diajukan, yaitu Membendung Arus: Gerakan Pro Timor- penulisan skripsi ini akan menfokuskan pada
Leste di Indonesia 1991-1999, berbagai gerakan di Indonesia yang mendukung perjuangan rakyat Timor-Leste.
Pembatasan waktu antara rentang waktu 1991-1999, karena terkait beberapa peristiwa penting, di Indonesia dan di Timor-Leste yang berpengaruh langsung terhadap perkembangan gerakan pro Timor-Leste di Indonesia. Periode sebelum tahun 1991, dari invasi militer Indonesia tahun 1975 hingga 1988, Timor-Leste adalah suatu wilayah tertutup, dan baru mengalami semacam
12
‘glasnot’ atau ‘politik keterbukaan (politik abertura),’ pada tahun 1989. Setelah peristiwa Santa Cruz 1991, rakyat Indonesia mulai memberi dukungan bagi perjuangan rakyat Timor-Leste hingga wilayah ini lepas tahun 1999. Meskipun demikian, tulisan ini juga mencakup kekuasaan Orde Baru tahun 1960-an, masa pertengahan 1970-an dan 1980-an ketika Timor-Leste dianeksasi dan diisolasi.
12 George J. Aditjondro. 6 Agustus 1993. Dari Memo ke Tutuala: Suatu
Kaleidoskop Permasalahan Lingkungan di Timor Timur. Makalah pengantar
Hal ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan latar belakang kemunculan gerakan pro Timor-Leste di Indonesia secara lebih menyeluruh.
C. Perumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu: 1.
Bagaimana hegemoni negara yang dijalankan Orde Baru untuk memperoleh dukungan masyarakat Indonesia terhadap kebijakan Integrasi Timor Timur ? 2. Bagaimana pemberitaan media massa Indonesia mengenai persoalan
Timor-Leste di bawah kekuasaan Orde Baru? 3. Apa dan bagaimana proses kemunculan masyarakat sipil Indonesia pro
Timor-Leste di Indonesia? 4. Apa dan bagaimana dukungan masyarakat sipil Indonesia memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor- Leste?
D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini, yakni: 1.
Mendeskripsikan upaya yang ditempuh Orde Baru untuk memperoleh dukungan masyarakat Indonesia terhadap kebijakan Integrasi Timor Timur.
2. Mendeskripsikan pemberitaan media massa Indonesia mengenai persoalan Timor-Leste di bawah kekuasaan Orde Baru.
3. Mendeskripsikan proses munculnya masyarakat sipil pro Timor-Leste di Indonesia.
4. Mendeskripsikan dukungan masyarakat sipil Indonesia dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor- Leste.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan disumbangkan dari penelitian ini, sebagai berikut: 1.
Menambah pengetahuan sejarah, dan pemahaman mengenai munculnya gerakan pro Timor-Leste di Indonesia. Dengan mengkaji latar belakang masalah Timor-Leste yang terisolasi karena hegemoni dan represi pemerintahan Orde Baru, serta peranan masyarakat sipil Indonesia dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste.
2. Secara umum penelitian ini, akan memperkaya pengetahuan sejarah nasional terkait perbendaharaan historiografi Indonesia mengenai Timor-Leste, terutama dari sudut pandang orang Timor- Leste. Sedangkan bagi bangsa Timor-Leste, kiranya kajian ini lebih memperkaya historiografi mengenai Timor-Leste, terutama menawarkan suatu pandangan historis yang lebih menyeluruh dalam hubungan dengan rakyat Indonesia, yaitu tentang solidaritas perjuangan yang diberikan rakyat Indonesia.
3. Karya ini, juga dimaksudkan untuk memenuhi syarat tugas akhir memperoleh sarjana di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra.
F. Kajian Pustaka
Tidak banyak buku yang ditulis mengenai Timor- Leste di Indonesia. Di antaranya yang menonjol, adalah karya aktivis lingkungan Indonesia terkemuka dan juga penentang invasi Indonesia di Timor-Leste, George J. Aditjondro, In The
Shadow of Mount Ramelau: The Impact of The Occupation of East Timor
13
(1995). Isi buku ini, sebagai berikut: (i), “Persamaan dan Perbedaan Kebudayaan Timor-Leste dengan Indonesia”, yang dipaparkan berdasarkan perbedaan ekologis, keragaman penduduk dan bahasa, termasuk latar historis Timor- Leste yang berbeda; (ii), “Dampak Ekologis Pendudukan Indonesia”, membahas korban jiwa di kalangan penduduk, jatuhnya produksi beras, kopi, ternak, serta kehancuran hutan-hutan cendana di Timor-Leste; (iii), “Dampak Sosial Pendudukan Indonesia”, membahas perkembangan budaya kekerasan di Timor- Leste, dan akibat dari program pendudukan kembali dan akibat migrasi Indonesia; (iv), “Dampak Pendudukan Timor-Leste Terhadap Kaum Perempuan”, membahas pembunuhan, pemerkosaan, perkawinan paksa dan pemuas birahi, pelacuran, pemaksaan KB (Keluarga Berencana) kepada perempuan dan tindakan represif terhadap kemunculan organisasi perempuan; (v), “Dampak Pendudukan Timor- Leste Terhadap Remaja dan Pemuda”, membahas pembunuhan terhadap bayi selama 5 tahun pertama invasi, penghamilan yang dilakukan militer Indonesia dengan memperkosa perempuan Timor-Leste, penculikan anak-anak Timor- Leste
13 Edisi Indonesia terbit tahun 2000, berjudul Menyongsong Matahari
Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor Lorosa’e dan Munculnya
Yayasan HAK dan Fortilos. Jakarta. Gerakan Pro-Timor Lorosa’e di Indonesia.Pada buku ini Aditjondro menggunakan nama Timor Lorosa’e, namun untuk oleh tentara Indonesia untuk dibesarkan di Indonesia atau di Timor-Leste yang memisahkan mereka dari keluarga dan komunitasnya, pemaksaan generasi Timor- Leste yang masih sangat muda untuk masuk ke dunia kerja, sehingga tidak dapat meneruskan pendidikan yang lebih tinggi dan represi yang terus berlanjut terhadap kebebasan berkumpul dan berserikat serta kebebasan ekpresi remaja Timor-Leste; (vi), “Biaya Operasional dan Biaya Sosial Penempatan ABRI di Timor-Leste”, membahas anggaran perang maupun korban di pihak militer Indonesia; (vii), “Berbohong Dengan Statistik: Perbandingan Sosial Ekonomi Timor-Leste Dengan Bekas Koloni Portugal Lainnya dan Timor Portugal”, membahas keterpurukan ekonomi Timor-Leste di bawah Indonesia. Antara lain: kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai dan kekurangan gizi, serta TBC di Timor-Leste; (viii), “Dampak Ekonomis Pendudukan Timor-Leste”, membahas keadaan ekonomi Timor-Leste yang dikuasai sejumlah elit sipil dan militer yang menjalankan monopoli ekonomi di Timor-Leste; (ix), “Hubungan Tegang Antara Negara Indonesia dan Gereja-Gereja Timor-Leste”, menguraikan bantahan terhadap pernyataan apologis Indonesia bahwa Integrasi Timor Timur dengan Indonesia mendorong pertumbuhan jumlah umat gereja secara cepat; (x), “Gerakan pro Timor-Leste di Indonesia”, membahas kemunculan gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste; (xi), “Pentungan dan Pemikat Dalam Diplomasi Indonesia”, membahas kemunduran diplomasi Indonesia, pasca Peristiwa Santa Cruz 1991.
Selain itu, buku lain yang patut dikemukakan yaitu buku saku tulisan Roy
14 Pakpahan, Mengenal Timor Timur Dulu dan Sekarang. Buku ini ditulis bagi
masyarakat Indonesia yang awam akan masalah Timor-Leste dan terdiri dari 10 bab. Bab I hingga IV, membahas sejarah Timor-Leste secara singkat, pasca perubahan politik di Portugal 1975, hingga penangkapan Xanana Gusmão 1992.
Bab V dan VI, membahas masalah sosial ekonomi, politik transmigrasi, perempuan dan KB, terutama dampak langsung pendudukan Indonesia terhadap aspek-aspek tersebut. Bab VII dan VIII, membahas persepsi internasional dan peran PBB hingga dukungan masyarakat sipil internasional. Bab IX dan X, membahas masa depan Timor-Leste pasca rezim Orde Baru dan para pemimpin Timor-Leste dan Portugal menolak otonomi yang diajukan Indonesia.
Sementara itu, buku yang ditulis untuk menyokong integrasi, perlu disebut
15
pertama adalah karya Sukanto, Integrasi Kebulatan Tekad Rakyat Timor Timur, terbit 1976. Buku ini mengambarkan proses Timor-Leste berintegrasi dengan Indonesia dari sudut pandang Orde Baru dan legitimasi yang menjadi dasar penyatuan Timor-Leste sebagai Propinsi Indonesia ke-27, dilengkapi dengan dokumen-dokumen menyangkut proses integrasi. Sayangnya, buku ini tidak menyertakan catatan bibliografis. Adapun dasar penyatuan Timor-Leste, Sukanto menguraikan alasan geopolitis berdasarkan alasan geografi, demografi, sosial, budaya dan ekonomi serta alasan pertahanan keamanan. Termasuk sejarah penjajahan di Timor-Leste dibahas secara sangat terbatas. Meliputi latar belakang
14 Roy Pakpahan. 1998. Mengenal Timor Timur Dulu dan Sekarang.
Solidamor. Jakarta.
15 dekolonisasi di Timor-Leste dan pergolakannya, kebijaksanaan Pemerintah Indonesia menyikapi perubahan tersebut, Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT), peranan internasional, serta permulaan Timor-Leste menjadi propinsi Indonesia.
Buku lainnya yang ditulis dalam rangka integrasi, adalah karya ekonom Timor-Leste yang pro- integrasi, João Mariano de Sousa Saldanha, berjudul
16 Ekonomi Politik Pembangunan Timor Timur, terbit tahun 1994. Buku ini, sesuai
latar belakang penulisnya sebagai sarjana ekonomi, memaparkan hasil- hasil pembangunan Indonesia di Timor-Leste sejak integrasi hingga awal tahun 1990- an. Saldanha antara lain membuat perbandingan tentang aspek-aspek yang berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi di Timor-Leste dari tahun ke tahun setelah integrasi, dengan masa kolonial Portugal maupun diperbandingkan dengan pertumbuhan ekonomi propinsi Indonesia lainnya dan ekonomi nasional Indonesia, sejalan dengan program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) sejak 1982.
Di luar buku-buku tersebut, terdapat karya para sarjana asing yang jarang
17
beredar di Indonesia, terutama berbahasa Portugis dan Inggris yang umumnya sangat kritis terhadap pendudukan Indonesia di Timor-Leste. Di antaranya yang telah diterjemahkan, yaitu karya John G. Taylor, Indonesia’s Forgotten War: The
16 João Mariano de Sousa Saldanha. 1994. Ekonomi Politik Pembangunan Timor Timur . Sinar Harapan. Jakarta.
17 Karya-karya dalam bahasa Portugis, terutama sebelum abad ke-19. Pada
abad ke-20, beberapa sejarawan Timor-Leste ikut menorehkan nama pena-nya dalam historiografi Timor-Leste yang menggunakan bahasa Portugis. Terutama Abilio Araújo, dan belakangan diikuti Jose Ramos-Horta, Xanana Gusmão dan
18 Hidden History of East Timor, terbit tahun 1991. Buku ini merupakan karya
yang cukup komprehensif yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam mengkaji sejarah perlawanan rakyat Timor-Leste. Baik melawan kolonialisme Portugal, maupun pendudukan Indonesia sejak 1975, berdasar struktur budaya masyarakat Timor-Leste yang direproduksi ulang berdasar jaringan kekerabatan dan sistem ekonomi komunitarian. Selain itu, Taylor menguraikan bagaimana upaya Indonesia melakukan kontrol atas perang di Timor-Leste, dari sorotan masyarakat internasional.
Buku lainnya adalah karya Geoffrey C. Gunn, Timor Loro Sae 500
19
, terbit tahun 1999. Sama halnya dengan Taylor, buku ini secara
Years
komprehensif menguraikan sejarah Timor-Leste, namun dengan kerangka 500 tahun. Diawali kehadiran pengaruh Latin oleh Portugal, masa pendudukan Jepang selama Perang Dunia II, dan masa pendudukan Indonesia menjelang akhir abad ke-20. Gunn menyusun buku ini, berdasar berbagai daftar kepustakaan Timor- Leste yang pernah ditulis, terutama menggunakan sumber Portugis, maupun yang berbahasa Inggris atau aliran Anglo-Saxon hingga sumber-sumber dalam bahasa lain, seperti Perancis, Belanda dan Indonesia. Buku ini, mencoba menempatkan peran orang Timor-Leste dalam penulisan sejarah, mulai dari terbentuknya masyarakat Kristen pertama tahun 1515 di Solor dan Timor, serta mengupas satu
18 John Taylor. 1991. Indonesia’s Forgotten War: The Hidden History of
East Timor, Zed Books. London. Edisi Indonesia, 1998. ’Perang Tersembunyi:
Sejarah Timor Timur yang Dilupakan’. Fortilos. Jakarta.19 Geoffrey C. Gunn. 1999. Timor Loro Sa’e 500 Years. Livros de Oriente.
Macao. Edisi Indonesia. 2005. ”500 Tahun Timor Loro Sa’e”. Sa’he Institut for persatu pemberontakan yang terus berlangsung terhadap kolonial Portugal hingga abad ke-20. Sehingga dalam waktu lama Portugal terpaksa menerapkan pemerintahan protektorat di Timor-Leste. Selain itu, Gunn juga membahas secara singkat situasi politik di Timor-Leste setelah Revolusi Bunga Portugal hingga invasi Indonesia 1975.
Perlu disebut juga, adalah karya Michele Turner, Telling. Edisi Indonesia-
20
nya berjudul Cerita Tentang Timor Timur: Kesaksian Pribadi 1942-1992, yang merupakan upaya rekonstruksi lisan tentang peristiwa-peristiwa dalam ingatan
21
yang hidup. Buku ini, mengisahkan bagaimana rakyat Timor-Leste membantu pasukan Australia yang menjadikan Timor-Leste sebagai daerah pertahanan dalam menghadapi serbuan Jepang selama Perang Dunia II, dan masa pendudukan Indonesia hingga awal 1990-an, berdasarkan kesaksian lisan para pengungsi Timor-Leste di Australia, serta sejumlah warga Australia yang pernah bertugas atau berkunjung ke Timor-Leste.
Terakhir adalah laporan CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran dan
22 Rekonsiliasi di Timor-Leste), yang diberi judul Chega! (Jangan Lagi! Berhenti!
Cukup! ), terutama pada Bab 7.1. ’Hak Penentuan Nasib Sendiri’ yang membahas
peran masyarakat sipil di berbagai negara dunia, termasuk di Indonesia yang ikut memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor- Leste.
Dari berbagai kajian tentang Timor-Leste tersebut, adapun isi dari skripsi
20 Michele Turner. 1992. Cerita Tentang Timor Timur: Kesaksian Pribadi 1942-1992. Pijar Indonesia. Jakarta.
21 Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 42.
22 Lihat Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi ini sedikit banyak telah ditulis oleh George J. Aditjondro dalam buku
Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor
Lorosa’e dan Munculnya Gerakan Pro-Timor Lorosa’e di Indonesia, maupun
dibahas secara singkat dalam laporan CAVR, Chega!.
Kendati demikian, buku-buku di atas, belum ada yang secara rinci menggunakan analisa sejarah dalam membahas peran hegemonik Orde Baru untuk mendapatkan persetujuan publik Indonesia mengenai Integrasi Timor Timur dan penentangan masyarakat sipil Indonesia yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor-Leste, berdasarkan dinamika demokrasi di Indonesia. Untuk itu, penelitian ini dilakukan.
G. Landasan Teori
Untuk memperjelas arah dan batasan tulisan ini, metodologi yang
23
digunakan adalah pendekatan multidimensional, dengan mengacu pada beberapa konsep sosiologis seperti teori gerakan sosial. Menurut sejarawan Inggris, Peter Burke, bahwa kadang-kadang penentangan (resistensi) sehari-hari berubah menjadi perlawanan terbuka atau semacam Gerakan Sosial, yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu gerakan itu pada dasarnya untuk memulai suatu perubahan atau
24 gerakan tersebut merupakan reaksi atas perubahan yang terjadi.
Sementara, menggunakan istilah yang agak berbeda, Robert Marsel tidak
23 Penulis mengacu pada buku yang ditulis sejarawan, Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Gramedia. Jakarta.
24 Peter Burke. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Obor. Jakarta. Hlm. 132- menggunakan Gerakan Sosial namun menyebutnya sebagai Gerakan Kemasyarakatan, yang disebutnya sebagai seperangkat keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga (non instituonalised) yang dilakukan oleh sekelompok orang
25
untuk memajukan atau menghalangi perubahan di dalam masyarakat. Lebih jauh Marsel mengemukakan beberapa tema, yaitu pertama, Gerakan-Gerakan Kemasyarakatan paling tepat dimengerti dalam hubungannya dengan organisasi dan perilaku organisatoris. Kedua, apapun yang menjadi tujuan atau cita-cita sebuah Gerakan Kemasyarakatan, strateginya [cara-cara mencapai tujuannya] biasanya rasional. Adanya strategi dengan menggunakan cara-cara rasional ini terlihat di dalam organisasi-organisasi gerakan yang bertingkah sama seperti organisasi lainnya. Ketiga, aktivitas utama dari organisasi gerakan adalah memobilisasi berbagai macam konstituensi dengan aneka cara guna memperoleh sumber-sumber daya yang dibutuhkan. Sumber-sumber daya dalam arti luas dapat mencakupi waktu dan tenaga para aktivis, dana, senjata, dukungan media dan sebagainya. Keempat, bentuk organisasi dan strategi-strategi penggalangan sumber daya dari sebuah gerakan kemasyarakatan membuatnya begitu serupa dengan bentuk-bentuk tindakan yang terlembaga. Selain itu, menurut Marsel, peran penting kaum profesional dalam gerakan kemasyarakatan, karena menjelang akhir abad ke-20, semua masyarakat adalah masyarakat yang berciri organisasi, di mana suatu tindakan perubahan sosial menuntut pula keahlian teknis tingkat tinggi, khususnya dalam mengelola sumber-sumber daya, merencanakan strategi, menghimpun dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap kelompok elit dan
25 Robert Marsel. 2004. Teori Pergerakan Sosial: Kilasan Sejarah dan
26 menggunakan kontak dengan media massa.
Dalam hal ini, terkait dengan organisasi formal sebagai obyek kajian, Peter
27 Burke menuliskan:
Organisasi-organisasi yang sukses itu menulis sejarah resminya, sejarah ini sering memberi kesan seolah-olah organisasi-organisasi ini direncanakan dan dilembagakan secara sadar sejak awal berdirinya. Dengan cara begitu, sulit untuk tidak melihat masa kini berdasarkan masa lalu, tetapi kecenderungan ini harus dilawan, konsep tentang gerakan ini mendorong kita untuk mengetahui perubahan dan spontanitas di sekitar masa berdirinya organisasi, suatu ‘masa’ yang mungkin saja berlangsung selama satu generasi yang kemudian disusul oleh datangnya fase rutinisasi atau ‘kristalisasi’.
Apa yang dikemukakan Burke dan Marsel, cukup relevan dalam melihat peran masyarakat sipil yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste. Namun demikian belum sepenuhnya mencakup definisi yang dimaksudkan dengan masyarakat sipil dalam tulisan ini.
Istilah masyarakat sipil adalah konsep lama dalam pemikiran sosial politik, yang pada awal abad ke-20, oleh Antonio Gramsci diberi makna baru. Berdasar orientasi dasar Marxis, istilah masyarakat sipil dinyatakan sebagai bagian dari negara yang terlepas dari pemaksaan atau aturan-aturan formal, meskipun tetap mengandung unsur rekayasa seperti lazimnya institusi politik. Konsep ini juga diartikan sebagai wadah politik budaya. Lembaga- lembaga masyarakat sipil itu adalah institusi keagamaan (mesjid, pesantren, gereja), sekolah, serikat pekerja, dan berbagai organisasi lainnya yang dalam kenyataannya acapkali bisa dibelokkan menjadi sarana kelas penguasa dalam memelihara hegemoninya
26 Terdapat 8 tema yang dikemukakan Marsel, namun empat tema tersebut paling relevan dengan tulisan ini. Ibid., Hlm. 56-58.
27 terhadap masyarakat. Di samping itu, masyarakat sipil juga merupakan arena di
28 mana hegemoni itu sendiri dapat ditentang atau digoyahkan secara sah.
Dalam hal ini, terminologi masyarakat sipil dalam konteks Timor- Leste
29