TESIS ORANG BALI YANG LAIN Proses Saling Me-“liyan”-kan Antara Orang Nusa Penida dan Bali Daratan

  

TESIS

ORANG BALI YANG LAIN

Proses Saling Me- “liyan”-kan Antara Orang Nusa Penida dan Bali Daratan Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar

  

Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

  Disusun Oleh :

  I Dewa Nyoman Ketha Sudhiatmika 06 6322 007

  

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 ii

iii

iv

v

KATA PENGANTAR

  Seorang kawan pernah berkata kalau saya hanya numpang lahir di Nusa Penida dan memang benar demikian adanya. Saya tidak pernah benar-benar bertanah air di pulau kecil itu, saya besar, mendapat pendidikan dan menghabiskan sebagian besar hidup saya di Bali daratan. Akan tetapi saya tetap memiliki hubungan yang tak terkatakan dengan Nusa Penida, saya selalu merasa kalau saya tidak pernah benar- benar menjadi orang Bali daratan, saya selalu dan tetap orang Nusa Penida. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk menulis tentang Nusa Penida, saya tidak pernah menyangka akan sampai di titik ini, di titik dimana saya menemukan banyak hal mencengangkan dalam hubungan antara Nusa Penida dan Bali daratan.

  Penelitian ini mengantarkan saya sampai ke Gedong Kirtya, Singaraja. Teks mengenai sejarah Bali tersebar acak di tempat tersebut, mulai dari yang belum mengalamai proses transliterasi sampai yang telah di gandakan dalam bentuk buku sederhana. Saya menemukan sampai tiga Babad Dalem yang ditulis dengan perspektif yang berbeda. Kesulitan pertama adalah memilah Babad Dalem versi mana yang mesti saya gunakan. Kesulitan awal ini mengantarkan saya bertemu dengan Gus Tut Akah yang kemudian memberikan teks Babad Usana Bali Pulina. Teks inilah yang saya pakai sebagai teks utama untuk menyusuri sejarah Bali. Melalui Gus Tut Akah saya menemukan jalan untuk bertemu dengan Dewa Catra, seorang ahli lontar yang sering tergabung dalam proyek alih aksara lontar dan mendapatkan banyak kisah mengenai Bali daratan dan Nusa Penida.

  Ketika saya berhasil menyelesaikan draft bab II dari tesis ini, saya diminta untuk mempresentasikan temuan saya di Taman 65, Denpasar. Sebuah diskusi kecil dan hangat pun terjadi. Komentar-komentar baik yang langsung mengenai tesis ini maupun tidak secara tidak langsung mempengaruhi cara saya menulis tesis ini.

  Setelah diskusi itu, seorang teman, Roro memperkenalkan saya dengan Gusti Mangku Kebyar, seorang pemangku (pemuka agama) yang berasal dari Bedulu. Dari beliaulah saya mendapatkan kisah mengenai raja Bedahulu sampai perubahan nama Bedahulu menjadi Bedulu.

  Dalam perjalanan menyelesaikan penelitian ini saya sempat tersandung dan mengira tidak akan bisa menyelesaikannya tepat waktu. Tapi saya cukup beruntung karena Dr. Budiawan sebagai pembimbing satu selalu memberi semangat dengan sms-sms beliau yang menusuk dan membangkitkan semangat. Dalam banyak kesempatan ketika saya tersandung, Degung Santikarma hampir selalu hadir menjadi teman diskusi yang menyenangkan. Dan Tumm Tumm untuk sebuah alasan yang terlalu jelas untuk disebutkan. Tidak lupa, kedua orang tua saya yang selalu ada untuk saya dari awal (dan saya yakin) akan selalu ada untuk saya. Demikian juga Wiss, orang yang telah menjadi sahabat, saudara dan musuh saya selama ini. Kepada orang- orang itulah karya ini saya persembahkan.

  Teman-teman selama saya di IRB: Udin, Hasan, Dona, Elida, Mba Budis, dan Ridho, terimakasih untuk kisah pertemanan yang saya harap tak akan pernah berakhir. Kepada mereka yang menemani saya belajar: Pak Nardi, Mba Katrin, Mba Devi, Mas Tri, Romo Bas, Pak George, dan Romo Banar semoga masih mau menemani saya belajar meski saya telah meninggalkan IRB serta Dr. Anton Haryono yang telah bersedia menjadi pembimbing dua. Kawan-kawan yang menemani saya melewati hari-hari selama di Jogja: Jicek, Tombro, Goen, Tjuan, Eat, Tatang, dan Hendra. Saudara-saudara saya di Nusa Penida yang dengan sabar menjawab setiap pertanyaan bodoh saya. Teman-teman sepermainan di Denpasar yang juga banyak membantu dalam proses pengerjaan tesis ini. Kalian semua tahu betapa berartinya kalian untuk saya.

  Yogyakarta, 24 Mei 2010

DAFTAR ISI

  i LEMBAR PENGESAHAN ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iii

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iv

LEMBAR PERNYATAAN v KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI ix ABSTRAK xi

BAB I: PENDAHULUAN I. Latar Belakang

  8 IV. Kerangka Teori

  53 II. Masiat Kepetengan

  1 II. Rumusan Masalah

  98

  93 III. The Other, Self dan Misrecognition

  81 II. Absurditas Ke-lokal-an Pasca Kolonial

  I. Latar Belakang

  74 BAB IV: INDUSTRI PARIWISATA, AJEG BALI DAN ABSURDITAS KE- LOKAL-AN PASCA KOLONIAL

  70 III. Ngeleak

  I. Anak Sakti

  10 V. Tinjauan Pustaka

  42 BAB III: RATU GEDE MECALING DAN PRIMITIVISASI NUSA PENIDA: Anak Sakti, Masiat Kapetengan dan Ngeleak

  6 III. Tujuan Penelitian

  25 II. Dari Samprangan Sampai Puputan Klungkung

  I. Bali Sebelum Majapahit: Kuasa Berwajah Angkara

  21 BAB II: MEMBACA ULANG SEJARAH KLUNGKUNG: Kisah-kisah Usaha Penjinakan

  18 VII. Sistematika Penulisan

  14 VI. Metode Penelitian

  34 III. Nusa Penida Versus Bali Daratan

BAB V: KESIMPULAN I. Kumpulan Kepentingan Hasrat 111 II. Mitos, Primitivisasi dan Pe-liyan-an 115 III. Sebuah Perulangan Yang Disepakati 117 DAFTAR PUSTAKA

  121 LAMPIRAN LAMPIRAN

  ABSTRAK

  Tesis ini mendiskusikan proses saling me-liyan-kan antara orang Nusa Penida dan orang Bali daratan. Tesis ini mencoba melihat bagaimana orang Bali daratan dan orang Nusa Penida pandang-memandang. Dengan latar belakang industri pariwisata di Bali modern, apa yang terjadi dalam aktivitas pandang-memandang tersebut.

  Untuk kepentingan tersebut, tesis ini pertama-tama mengeksplorasi sejarah Bali baik dalam bentuk tertulis maupun oral. Rentang waktu yang diambil untuk mendiskusikan sejarah Bali diambil dari jaman pra kolonial sampai masa kerajaan Klungkung. Sejarah oral Bali penuh dengan mitos yang masih diamini sampai sekarang, karena itu tesis ini juga mengeksplorasi mitos-mitos yang berkaitan dengan aktivitas pandang-memandang antara orang Bali daratan dan orang Nusa Penida. Secara umum Bali (modern) tergantung pada industri pariwisata, karena itulah tesis ini juga mendiskusikan pengalaman orang Nusa Penida dan Bali daratan yang “hidup” dalam industri ini.

  Diskusi akhir tesis ini menunjukkan bahwa proses saling me-liyan-kan telah terjadi semenjak masa pra kolonial dan terus berlanjut sampai masa Bali modern. Proses ini terekam dalam bentuknya yang paling modern, yaitu tulisan serta tertanam dalam mitos yang diceritakan selama bergenerasi-generasi.

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Pada tahun 1920 Belanda menetapkan sebuah cetak biru “pembangunan” Bali. Belanda merancang Bali sebagai benteng terakhir terhadap serbuan nasionalisme

  dengan melancarkan program Baliseering, mem-Bali-kan Bali. Otak di belakang program ini adalah Bali Instituut, yang secara umum bertugas mengkaji dan mengusulkan kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan pemerintah kolonial Belanda di Bali. Pada masa ini pula pengajaran bahasa, kesusastraan dan seni tradisi Bali di kalangan anak muda Bali dilaksanakan dengan tujuan agar mereka sadar akan kekayaan budayanya.

  Pada dekade 1960-an ketika Bank Dunia terlibat dalam pengembangan industri turisme internasional, Bali kembali menjadi sorotan. Sebelumnya Bank Dunia meminta Kurt Krapf, seorang ekonom Swiss, menganalisa keuntungan industri turisme bagi perkembangan ekonomi negara dunia ketiga dan perdagangan internasional secara umum. Pada periode ini pula Bank Dunia memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia untuk proyek perluasan bandara Ngurah Rai, untuk kemudian diresmikan pada tahun 1969 sebagai bandara internasional. Bersamaan dengan Repelita I (1969-1974), Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) menetapkan turisme internasional sebagai penentu ekonomi nasional dan menjadikan Bali sebagai situs utama. Tahun 2000-an Bank Dunia (bekerja sama dengan United Nations

  

Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan United Nations

Conference on Trade And Development (UNCTAD)) kembali meluncurkan

  rancangan pembangunan Bali di bawah judul ‘Kebijakan dan Strategi untuk Konservasi Warisan Budaya Bali’ dengan menekankan pentingnya perawatan dan pelestarian budaya bagi kelangsungan industri turisme. Master plan Bank Dunia menargetkan wilayah Sanur-Kuta-Nusa Dua-sebagian kecil ujung selatan Pulau Bali

  1

  sebagai target utama pengembangan industri turisme . Dari paparan singkat ini tampak bahwa tema “keaslian” Bali pada dasarnya telah ditetapkan semenjak 1920- an.

  Pasca jatuhnya Soeharto, wacana otonomi daerah berkembang. Segala macam keputusan yang bersifat lokal adalah kewenangan pemerintah daerah, demikian juga halnya dengan masalah pendanaannya. Di Bali sendiri wacana otonomi daerah “dimulai” dengan penguatan masyarakat adat dan nilai-nilai ke-Bali-an. Sebagai

  2

  penanda adalah lahirnya pecalangan . Ketika bom meledak di Kuta pada tahun 2002 (dan kemudian di Jimbaran dua tahun setelahnya) pecalangan lalu menunjukkan eksistensinya sebagai penjaga kebudayaan Bali dari serangan “pihak luar”.

1 Ambara, Alit, “Proyek Kolonial Bank Dunia Mem-Bali-kan Bali”, sisipan Media Kerja Budaya edisi

  2 05/2001.

  Bahasa Bali: secara kasar bisa diterjemahkan sebagai satuan pengamanan adat.

  Penduduk Bali pun terpecah menjadi dua kubu: “penduduk pendatang” dan “penduduk asli”. “Penduduk pendatang” adalah orang-orang yang berasal bukan dari Bali, seperti misalnya yang selama ini menjadi stereotipe; orang Jawa, beragama Islam, berjenggot dan seterusnya. Pasca ledakan inilah kekuatan “penduduk pendatang” dieliminir dengan memunculkan anggapan bahwa mereka adalah pengacau. Sementara “penduduk asli” adalah orang yang bernama khas Bali (seperti misalnya Gede, Made dan seterusnya), berbahasa Bali, dan seterusnya. Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dengan “penduduk pendatang”, “penduduk asli” dianggap sebagai pemilik sah segala apapun yang terberi dan terkandung di tanah Bali. Sampai di sini terlihat bahwa Yang lain dalam masyarakat Bali adalah mereka yang “benar-benar bukan Bali”. Namun sebenarnya tidaklah demikian yang terjadi pada tingkat “akar rumput”. Di antara orang Bali sendiri terjadi proses saling me- liyan-kan.

  Proses saling me-“liyan”-kan di antara orang-orang Bali ini bisa dikatakan sebagai sebuah proses yang nyaris tak terlihat. Saya katakan demikian karena Bali pasca wacana otonomi daerah, pasca bom, telah memiliki “musuh bersama” yang jelas terpampang di depan mata. Letupan-letupan kecil di dalam dianggap sebagai konsekwensi hidup bersama. Demikian tersebutkan dalam peribahasa lokal:

  3 3

celebingkah batan biu, gumi linggah ajak liu . Peribahasa ini seakan mengajak untuk

Bahasa Bali: secara kasar bisa diterjemahkan sebagai; potongan genteng di bawah pisang, dunia tidak kecil beragamlah tabiat orang. memendam dalam-dalam sesuatu yang terjadi, mengapa ia terjadi, siapa pelaku kejadian dan seterusnya selama pelakunya bisa diidentifikasikan sebagai “orang dalam”. Namun ia tidak dilupakan begitu saja, ia mengendap dan menunggu waktu untuk meledak. Dalam hal ini, Yang lain bukan hanya mereka yang berasal dari luar pulau, melainkan juga mereka yang bukan berasal dari Denpasar.

  Denpasar (dan Badung) sebagai sebuah ruang yang selama ini merepresentasikan Bali merupakan sebuah “kota besar” dimana orang-orang Bali “berkumpul” dan mencari peluang untuk memperbaiki taraf hidupnya. Kebanyakan dari mereka yang bukan dari Denpasar (dan Badung) mencari peluang kerja di sektor pariwisata, bersaing dengan orang-orang setempat dan orang-orang dari luar pulau. Sementara bagi mereka yang tidak cukup memiliki modal untuk bertarung di wilayah pariwisata, biasanya menjadi buruh dan atau pedagang keliling.

  Salah satu kelompok orang Bali “Yang lain” adalah mereka yang berasal dari Nusa Penida. Nusa Penida secara geografis adalah sebuah pulau kecil di kaki pulau Bali, yang berada di wilayah administratif kabupaten Klungkung, salah satu kabupaten terkecil di Bali. Pulau kecil ini kerapkali disebut sebagai pulau yang tertinggal, kering, “primitif”, dan seterusnya. Kebanyakan penghuni pulau ini merantau ke Denpasar untuk memperbaiki taraf hidupnya. Demikian pula dengan anak-anak muda yang ingin melanjutkan sekolah. Mereka pertama-tama akan memilih Denpasar sebagai kota tujuannya, kemudian Buleleng.

  Pilihan Denpasar sebagai tujuan utama ini bukannya tanpa alasan. Pertama- tama karena Denpasar adalah “kota besar” yang menunjukkan gengsi yang lebih

  4

  tinggi . Kota ini memiliki apa yang tidak dimiliki kota lain di Bali, sebutlah mulai dari pusat-pusat perbelanjaan sebagai penanda kemajuan sampai sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi ternama sebagai penanda keberkelasan. Kemudian di kota ini pula kesempatan untuk mendapat penghidupan lebih layak terbuka jauh lebih luas dibandingkan dengan kota lainnya (meski tidak selalu tepat demikian). Yang menarik untuk dicatat adalah bagaimana orang-orang Nusa Penida menyebut kota tujuannya di Bali daratan, entah itu Denpasar ataupun kota lainnya, dengan sebutan Bali atau

  5

kaja . Istilah kaja sendiri sudah merujuk pada suatu ambiguitas kuasa. Istilah kaja

  6

  biasanya disandingkan dengan istilah kelod (sebagaimana orang-orang Bali daratan menyebut Nusa Penida).

  Istilah kaja-kelod sendiri mungkin bisa disandingkan dengan istilah kiwa-

  7

tengen , atau dengan kata lain; baik-buruk. Suatu peristilahan yang ambigu dalam

  konsep masyarakat Bali secara umum. Ia adalah semacam istilah lain untuk menyebut dualitas yang selalu hadir dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam pemikiran masyarakat Bali secara umum, yang baik tidaklah selalu baik demikian juga 4 sebaliknya. Namun tidak demikian setelah “pemapanan” Hindu oleh gerakan Hindu

  

Untuk perbandingan luas wilayah dan jumlah populasi di Denpasar dibandingkan dengan kabupaten-

5 kabupaten lain di Bali, lihat lampiran I. 6 Bahasa Bali: utara. 7 Bahasa Bali: selatan.

  Bahasa Bali: kiri-kanan. Dharma melalui organisasi Parisada Hindu Darma sebagai “agama resmi” di Bali

  8

  tahun 1950-an . Batasan baik-buruk, kiwa-tengen, kaja-kelod, dipertegas: hal yang mengacu pada kelod, dan atau kiwa selalu merujuk pada hal yang salah dan atau buruk.

  Dengan kalimat yang lain bisa dikatakan kalau pada akhirnya kaja dipresentasikan hanya sebagai simbol kebaikan dan kelod adalah kebalikannya.

  Dengan demikian, jika ditarik kembali pada diskusi hubungan Nusa Penida-Bali daratan, Bali daratan dengan demikian merepresentasikan suatu kebaikan dan sebaliknya dengan Nusa Penida. Dari penyebutan antar dua tempat ini saja sudah terlihat bagaimana mereka saling me-liyan-kan satu dengan yang lainnya.

II. Rumusan Masalah

  Penelitian ini dimaksudkan untuk mendiskusikan persoalan identitas ke-Bali- an yang di permukaan terlihat tunggal dan solid. Persoalan besar ini dipecah menjadi tiga permasalahan pokok, yaitu: permasalahan historis, perwujudannya dalam bentuk folklore , dan peranan industri pariwisata.

  Hal pertama yang akan didiskusikan adalah proses historis terbentuknya praktek saling me-liyan-kan antara orang-orang Nusa Penida dan Bali daratan.

  Sebagai pengantar diskusi akan dibahas perjalanan historis kerajaan Klungkung 8 sebagai kerajaan tertua di Bali. Seperti yang telah disebutkan di atas, Nusa Penida

  Geertz, Hildred, Sakti Conjunction; New Views on Balinese “Religion” berada dalam wilayah administrasi Klungkung. Dari pembahasan mengenai kerajaan Gelgel kemudian akan dibahas perjalanan Gelgel menaklukkan Nusa Penida sampai akhirnya Nusa Penida menjadi bagian dari kerajaan Gelgel. Setelah kedatangan Belanda di Bali, sampai akhirnya cetak biru pembangunan Bali dibuat oleh pemerintah Belanda.

  Seperti yang telah disebutkan di atas, sejak tahun 1920-an pemerintah kolonial Hindia Belanda telah memberikan cetak biru pembangunan Bali secara umum. Yang kemudian akan didiskusikan dalam penelitian ini adalah apakah kejadian-kejadian di Bali daratan secara historis mempengaruhi kehidupan di Nusa Penida. Juga akan didiskusikan apakah kolonialisme bisa dijadikan penanda pembentukan proses tersebut.

  Hal kedua yang akan didiskusikan adalah bagaimana proses tersebut mewujud ke dalam kehidupan sehari-hari. Yang dicermati dalam diskusi ini adalah folklore.

  

Folklore dipilih dengan asumsi ia telah menyebar secara massif dalam kehidupan

  “relijius” dan keseharian orang-orang Bali secara umum. Pemilihan folklore dalam diskusi ini berdasarkan kisah yang tertuang di dalamnya. Kisah yang saya maksudkan adalah yang berhubungan dengan permasalahan pandang-memandang antara orang- orang Nusa Penida dan Bali daratan.

  Hal selanjutnya yang akan didiskusikan adalah peranan industri pariwisata dalam proses saling me-liyan-kan ini. Dengan asumsi bahwa Industri pariwisata digunakan sebagai sarana untuk memulihkan citra rezim orde baru setelah peristiwa 1965 (dan tentu saja merupakan salah satu proyek Bank Dunia), seberapa penting industri ini bagi orang-orang Bali. Industri pariwisata telah masuk sampai ke ruang- ruang privat orang-orang Bali: mulai dari rapat keluarga untuk menjual tanah warisan sampai menentukan sekolah pariwisata yang paling bonafid untuk sang anak. Dengan demikian apakah industri ini mampu mengeliminir proses saling me-liyan-kan antara orang Nusa Penida dan orang Bali daratan. Lebih jauh lagi apakah dalam industri ini mereka menemukan momen untuk menyatakan “kita”. Hal ini penting untuk dilihat karena Bali pasca kolonial, pasca wacana otonomi daerah, pasca bom telah terlatih untuk menyenangkan hati para wisatawan. Lebih jauh lagi, momen seperti apa serta apa yang menyebabkan momen ini terjadi, juga penting untuk didiskusikan.

III. Tujuan Penelitian

  Selama ini proses saling me-liyan-kan yang terjadi di Bali dipandang hanya terjadi di antara “penduduk pendatang” dalam arti orang-orang dari luar pulau Bali dengan “penduduk asli”. Seperti yang telah saya paparkan di atas, proses saling me- liyan-kan itu juga terjadi dalam pergaulan antara orang-orang Bali sendiri. Dua proses ini saya bedakan karena ketika orang-orang Bali memandang keluar, mereka menemukan orang lain, dalam artian orang-orang dari luar pulau. Kemudian ketika mereka “memandang dirinya” mereka juga menemukan “person lain” dalam dirinya. Namun tidak bisa dipungkiri, persoalan pandang-memandang ini masih dalam kerangka pencarian “luar-dalam”. Bisa dikatakan kalau proses ini merupakan dua hal yang berbeda sekaligus sama. Ia tidak bisa disamakan dan pada waktu bersamaan ia tidak bisa dibedakan.

  Penelitian ini mencoba mendiskusikan bagaimana proses itu terjadi secara kultural dan historis. Diskusi ini bertujuan memeriksa bagaimana proses itu bisa terjadi secara historis, kemudian dilanggengkan secara kultural, lalu “disahkan” dan dianggap sudah semestinya terjadi. Secara umum proses ini terjadi melalui industri pariwisata yang telah dikenal di Bali selama bertahun-tahun. Hampir sebagian besar orang-orang Bali secara umum menggantungkan hidupnya pada industri ini.

  Tidak hanya orang-orang Bali yang bergantung pada industri ini, orang-orang dari luar pulau Bali yang merantau ke Bali juga banyak yang tergantung pada industri ini. Namun dalam penelitian ini yang akan dicermati adalah apakah industri pariwisata berperan dalam proses saling me-liyan-kan antar orang-orang Bali sendiri, ataukah ia mengeliminir proses saling me-liyan-kan tersebut. Dalam hubungannya dengan industri pariwisata, penelitian ini bertujuan untuk memahami peran industri ini dalam proses historis tersebut.

  Signifikansi penelitian ini adalah untuk lebih memahami posisi orang-orang Nusa Penida di Bali daratan. Dan juga sebaliknya, untuk bisa memahami posisi orang-orang Bali daratan dalam hubungannya dengan Nusa Penida. Untuk wilayah keilmuan, mengingat kajian politik identitas dalam ranah Bali studies merupakan kajian minor, penelitan ini diharap bisa menjadi catatan kaki atas penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, dan bisa pula menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan kajian tentang Bali, penelitian ini mengetengahkan dua hal kecil yang terkadang luput dari pandangan. Pertama, bahwa mitos memegang peranan penting dalam pembentukan identitas dalam kerangka pandang-memandang. Kedua, ke-lokal-an adalah sesuatu yang absurd, yang tidak cukup untuk digunakan sebagai dasar pembentukan identitas solid sebagaimana dibayangkan oleh ajeg Bali. Dalam hal ini, ke-lokal-an yang dipandang secara esensialistik adalah sesuatu yang absurd dan berbahaya karena ia tidak akan mengindahkan perbedaan dan dalam satu sisi ia akan menuju kepada purifikasi (kultural).

IV. Kerangka Teori

  Seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian ini akan berusaha mendiskusikan jalinan masalah identitas ke-Bali-an yang terlihat solid di permukaan.

  Identitas ke-Bali-an yang pasca bom jilid I dan II dipertegas oleh sekelompok elit melalui program Ajeg Bali ternyata menyimpan permasalahan di dalamnya. Bali pasca ledakan bom berusaha menguatkan diri ke dalam. “Musuh” utamanya adalah “orang luar”. Penegasan identitas “orang luar” mendapat legitimasi dari media lokal yang didukung oleh negara, Bali Tv, Denpost, dan Bali Post. “Orang luar” yang pantas dicurigai merusak kebudayaan Bali memiliki stereotype berikut; beragama Islam, berjenggot, dan bernama khas Jawa (baca: Islam). Media jugalah yang secara implisit menegaskan kesamaan identitas ke-Bali-an orang-orang Bali. Ketiga media tersebut berada dalam naungan Kelompok Media Bali Post. Kelompok media inilah

  9 yang “melahirkan” istilah Ajeg Bali .

  Pada dasarnya identitas menjadi penting ketika seseorang berhadapan dengan Yang lain. Ketika berhadapan dengan Yang lain, kemungkinan terjadi misrecognition dalam mengenali siapa berhadapan dengan siapa. Pada fase cermin Lacan,

  

misrecognition terjadi ketika seorang anak melihat pantulan dirinya di cermin. Ia

  tidak bisa membedakan siapa yang ia lihat atau ia dilihat oleh siapa. Pada tahapan inilah fantasi narsistik berkembang dan memapankan tatanan imajiner, yang

  10 kemudian berurusan dengan masalah identifikasi serta penyamaan-penyamaan .

  Pada kasus penelitian ini, misrecognition menegaskan keberadaan Yang lain melalui penegasan diri. Dengan kata lain, orang-orang Denpasar melihat pada dirinya sendiri untuk menegaskan perbedaan antara dirinya dengan orang-orang Nusa Penida.

  Hubungan self-other diperantarai oleh bahasa dalam pengertiannya yang paling luas. Pada level inilah mitologi Barthesian memberikan faedahnya. Karena 9 komunikasi pada suatu komunitas tidak selalu terbatas pada oral speech, hubungan- 10 Narada, ABG Satria [et al], Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita, Bali Post, tanpa tahun terbit.

  

Fink, Bruce, Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey, 1995 hubungan pada suatu komunitas bisa dan dapat dimaknai melalui cara komunikasinya yang lain, yakni mitos. Sebagaimana dikatakan oleh Roland Barthes dalam mitologi, bahwa mitos merupakan sebuah sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Dan pada

  11

  dasarnya mitos adalah sebuah type of speech, sebuah cara pemaknaan . Namun yang paling penting adalah ia tidak hanya terbatas pada oral speech, ia bisa berbentuk tulisan, fotografi, pertunjukan, publikasi, dan seterusnya. Ia bisa dimaknai oleh penggunanya dalam suatu proses dialog. Ia dikenali dan dimengerti sebagai ungkapan yang telah diterima dalam komunitas tersebut.

  Gramsci dalam Prison Notebooks menyebutkan bahwa urbanisme di Itali tidaklah murni, atau “khususnya”, sebuah fenomena perkembangan kapitalistik atau industri besar. Namun dalam kota tipe medieval, ada dasar populasi yang kuat dari tipe urban modern; tapi apa posisi relatifnya? Mereka berada di bawah, tertekan, dihancurkan oleh sisi yang lain, yang tidak merupakan tipe modern dan mayoritas

  

12

  terbesar. Paradoks dari “city of silence”. Belajar dari sejarah Itali yang disusun Gramsci dalam Prison Notebooks, kita bisa membuat pembedaan yang kurang lebih sama, dalam konteks Bali. Pembedaan yang bisa dibuat adalah antara daerah industri 11 (pariwisata) dengan daerah pedesaan yang “tidak tersentuh” efek-efek dari industri 12 Barthes, Roland (Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.

  

Gramsci, Antonio, (Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith: editor and translator), Selection

From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci , International Publisher, New York, 2005:91.

Catatan: City of Silence merupakan judul kumpulan puisi dari D’Annuzio. Kota-kota yang dimaksud

dulunya merupakan sebuah kota yang memiliki masa lalu yang gemerlap tapi sekarang hanya “kota

kedua” beberapa diantaranya tak lebih dari sebuah desa dengan pusat monumental sebagai sebuah peninggalan dari kemuliaan yang telah sirna. pariwisata. Hubungan antara daerah industri (pariwisata) dengan daerah pedesaan terkesan saling mendukung. Dalam kenyataannya hubungan ini merupakan sebuah hubungan yang sangat kompleks dan muncul dalam sebuah bentuk permukaan yang

  13 kontradiktif . Hubungan ini kemudian diperumit dengan munculnya ajeg Bali.

  Marx berargumen bahwa basis ekonomi merupakan level kehidupan sosial yang paling kuat dan krusial. Basis ekonomilah yang meng-ada-kan superstruktur dan memberikannya karakter. Pada gilirannya superstruktur bekerja untuk menjaga struktur ekonomi yang ada dan menyamarkan atau melegitimasi kondisi riil dari

  14

  eksploitasi ekonomi . Sebagai contoh, industri pariwisata merupakan struktur ekonomi di sebagian besar wilayah Bali semenjak 1920-an. Industri pariwisata kemudian menguatkan hukum tak tertulis yang menyebutkan tentang penjagaan kebudayaan Bali yang adi luhung. Ia menghasilkan banyak sekali sekolah pariwisata (yang menghasilkan banyak tenaga kerja aktif) dan seterusnya. Sebagian besar fenomena ini memperkuat praktek “perbudakan” (melalui berlimpahnya tenaga kerja aktif yang disebabkan oleh menjamurnya sekolah pariwisata) pada satu sisi dan pada sisi lain memperkuat praktek pe-liyan-an (salah satunya) melalui penjagaan kebudayaan (a la Ajeg Bali), sementara ia menampilkan dirinya terpisah dari praktek- praktek tersebut.

  13 Gramsci, Antonio, (Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith: editor and translator), Selection 14 From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci , International Publisher, New York, 2005:91.

  Jones, Steve, Routledge Critical Thinker: Antonio Gramsci, Routledge, New York, 2006: 29.

V. Tinjauan Pustaka

  Ada banyak sekali penelitian mengenai Bali, tentang masyarakat serta kebudayaannya yang dianggap unik. Akan tetapi tidak banyak studi mengenai identitas ke-Bali-an dalam kancah Bali studies. Michel Picard meneliti Bali dengan menggunakan industri pariwisata sebagai jalan masuknya. Bali telah lama dikenal sebagai sebuah daerah tujuan wisata, dimulai dari masa pemerintahan kolonial Belanda sampai sekarang, Bali hampir selalu sama dengan obyek wisata. Dalam pandangan Michel Picard yang meneliti industri pariwisata Bali mengenai efek pariwisata, ia mencatat bahwa industri ini telah membelah kelompok masyarakat menjadi dua kubu: “kita” dan “mereka”. “Kita” dalam catatan Picard adalah orang- orang Bali pada umumnya. Sedangkan “mereka” adalah orang luar yang mencari penghidupan di Bali. Pada ruang lingkup lain, Picard mencatat bahwa “kita” adalah orang-orang Bali (pelaku wisata) sedangkan “mereka” adalah pemodal dari Jakarta atau siapapun yang memboncengnya. Penelitian yang dilakukan oleh Picard tidak melihat bahwa ada pertarungan di wilayah yang di klaim sebagai “kita” itu. Siapakah dan dalam kondisi seperti apa “kita” bisa terlontar dalam berbagai percakapan, lalu siapakah yang bukan “kita” tidak terjelaskan oleh penelitian yang dilakukan Picard. Efek pariwisata yang dijelaskan oleh penelitian Picard terbatas sampai masalah- masalah besar saja. Ia melihat bagaimana Bali menjadi ajang pertarungan antar modal lokal dan nasional, antara modal nasional, lokal, dan internasional. Serta bagaimana Bali dipertaruhkan sebagai piala yang diperebutkan oleh pihak-pihak berseteru yang

  15

  tersebut diatas . Penelitian Picard tidak menceritakan bagaimana perseteruan antar orang-orang Bali sendiri dalam industri tersebut.

  Sementara itu, Degung Santikarma dalam tulisannya, ‘Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzeneger’, menegaskan bahwa Ajeg Bali sebagai sebuah “institusi” resmi yang didukung oleh kekuatan negara (dan dalam sudut pandang lain adalah suatu medan perlawanan terhadap kuasa negara) menjadi penegas identitas ke- Bali-an orang-orang Bali. Melalui Ajeg Bali, semua hal yang berbau tradisional digali lagi dari liang kubur, dihidupkan, dan dipakai sebagai semacam the original past.

  Ketika orang-orang Bali berhadapan dengan orang bukan Bali (dalam tulisan ini tersirat sebagai orang dari luar pulau), “identitas tradisional” inilah yang dikedepankan. Demikian juga ketika orang-orang Bali berhadapan dengan angkuhnya industri pariwisata, hal yang sama ditegas-tegaskan untuk menunjukkan suatu identitas yang solid.

  Titik awal yang menjadi “pemicu” adalah perbuatan Amrozi dan kawan- kawannya di Bali. Apa yang dilakukan Amrozi tidak hanya memunculkan ledakan 15 yang membinasakan dan melukai ratusan orang, tetapi juga melahirkan ledakan

  

Michel Picard (Jean Couteau dan Warih Wisatsana; penerjemah), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata , KPG, Forum Jakarta-Paris, dan École Française d’Etréme-Orient, Jakarta, 2006 wacana yang mempertanyakan hubungan antara yang lokal dan yang global serta interaksi nasionalisme dengan identitas etnis dan agama, demikian Degung

16 Santikarma . Serpihan-serpihan ledakan wacana tersebut yang kemudian menetaskan

  sebuah jawaban atas segala kebingungan: Ajeg Bali. "Ajeg Bali" menjadi tema hangat di kalangan konsumen media di Bali, yang kebanyakan berasal dari kelas menengah mapan yang dibentuk oleh kucuran dollar pariwisata. Kelompok ini jelas yang paling terpukul oleh kehancuran ekonomi Bali akibat bom, tetapi mereka juga yang paling siap ber-manuver untuk mencari posisi kuat yang baru di lapangan pasca- kolonial, pasca-Soeharto, dan pasca-bom. Dengan memakai wacana "Ajeg Bali" sebagai alat perlawanan terhadap "penjajahan" “orang luar”, mereka mengharap bisa membersihkan medan bisnis dari kompetitor luar untuk mengelola modal pariwisata mereka sendiri. Ini memang kedengaran agak sumir, mengingat hubungan yang eksploitatif antara buruh dan majikan di dalam industri pariwisata lebih berbasis pada kelas daripada etnisitas.

  Demikian wacana Ajeg Bali yang berusaha menegaskan identitas ke-Bali-an dengan menggalinya dari “original past” yang dianggap niscaya. Original past ini yang oleh industri pariwisata, atau meminjam kalimat Degung, kapitalisme pariwisata dijajakan untuk memperlancar kucuran dolar ke dalam pundi-pundi mereka. Tulisan- 16 tulisan tersebut di atas banyak menyinggung hubungan antara orang-orang Bali dan

  

Lihat: Degung Santikarma, “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzeneger”, Kompas, Minggu 07 Desember 2003. bukan Bali. Namun yang banyak disebut bukan Bali adalah mereka yang dari luar pulau. Dengan kata lain tulisan tersebut di atas memeriksa hubungan orang dalam dan orang luar di mana yang disebut sebagai orang luar adalah orang luar pulau. Akan tetapi “kelemahan” tulisan-tulisan di atas adalah ia tidak memberi perhatian yang cukup akan tegangan-tegangan yang terjadi di antara orang-orang Bali sendiri. Di satu pihak tulisan ini menggugat identitas ke-Bali-an yang disolidkan oleh Ajeg Bali, akan tetapi di pihak lain ia memberi kesan bahwa di antara orang Bali, persoalan identitas yang rapuh tidaklah membawa persoalan yang signifikan atau paling tidak tulisan tersebut hanya sekedar menyenggol sedikit permasalahan tersebut.

  Antropolog Hildred Geertz dalam essainya yang berjudul Theater of Cruelty:

  

17

The Contexts of a Topéng Performance meneliti bagaimana sebuah pertunjukan

topéng yang memiliki sisi relijius bisa dipakai untuk kepentingan politik praktis.

  Demikian Hildred Geertz; pertunjukan topéng yang merupakan bagian integral (salah satu dari banyak sekali) kegiatan spiritual di Bali, digunakan tidak dalam konteksnya namun memakai semua peristilahan dalam sebuah kegiatan spiritual. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengesahkan kegiatan politik secara kultural.

  Dalam penelitiannya Hildred Geertz menemukan bahwa seorang penari topéng yang tubuhnya dirasuki oleh mahluk gaib (dewa-dewa), mampu menggerakkan orang- 17 orang untuk melakukan apa saja yang diminta. Demi kebaikan umat, orang-orang

  

Dalam State and Society in Bali: Historical, Textual, and Anthropological Approaches, KITLV Press, Leiden, 1991 mesti mematuhi dan memenuhi permintaan mahluk gaib yang menggunakan tubuh si penari. Demikianlah kegiatan politik bisa mendapat legitimasinya melalui kegiatan kultural semacam ini di Bali. Lebih jauh lagi kegiatan semacam ini bisa menjadi senjata negara untuk menyembunyikan ketidakmampuannya dalam memberikan fasilitas yang lebih baik untuk warganya.

VI. Metode Penelitian

  Penelitian ini membutuhkan beberapa jenis data: data historis, teks budaya yang berupa folklore, dan pengalaman orang-orang Nusa Penida di Denpasar.

  Data historis mengenai Nusa Penida yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran sejarah “besar” yang tercatat dalam buku-buku sejarah dan sejarah “kecil” yang dikumpulkan melalui wawancara. Wawancara dilakukan di Nusa Penida. Saya mewawancarai orang-orang yang memiliki akses pada sejarah entah itu tertulis ataupun dalam bentuk oral. Wawancara tidak dilakukan dalam kerangka ruang resmi dan formal akan tetapi dilakukan dengan santai. Dengan demikian akan memberikan ruang pada mereka untuk berkata atau bercerita tentang apa saja. Penetapan waktu wawancara dilakukan secara “acak”, tanpa “birokrasi” yang rumit. Dalam artian, saya tidak dengan sengaja mendatangi mereka hanya untuk melakukan wawancara dan menyodorkan recorder di depan hidung mereka lalu pergi setelahnya. Saya melakukannya dengan santai, misalnya, ketika saya dengan “tidak sengaja” bertemu lalu ngobrol. Strategi ini saya pilih karena dengan cara demikian akan tercipta sebuah ruang yang lebih egalitarian. Dengan model wawancara demikian mereka tidak akan merasa ditempatkan dalam posisi hanya sebagai “obyek penderita”, melainkan sebagai subyek yang juga memiliki hak atas apa yang dibicarakan. Selain itu mereka akan lebih leluasa mendebat pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang mungkin menurut mereka tidak tepat. Meski demikian, etika penelitian tetap ada dalam prosesi ini. Sebelumnya mereka tetap saya beritahu bahwa saya sedang melakukan penelitian dan akan mewawancarai mereka.

  Orang-orang yang diwawancara ini dipilih secara sistematis mulai dari yang paling muda sampai ke yang paling tua. Pemilihan informan ini dipengaruhi oleh kisah-kisah oral dan atau mitos yang mereka ceritakan mengenai sejarah Bali secara umum. Data-data yang terkumpul melalui proses wawancara ini diperlakukan sebagai informasi “faktual” yang membangun sebuah teks historis. Teks “sejarah kecil” inilah yang kemudian disandingkan dengan teks “sejarah besar”. Dalam asumsi saya, perbedaan-perbedaan akan terlihat ketika dua hal yang sama namun berbeda disandingkan. Sebagaimana anak kembar yang dipisahkan kemudian bertemu lagi, tentu akan ada perbedaan-perbedaan kecil yang terlihat. Perbandingan kedua teks sejarah inilah yang kemudian dipermasalahkan dalam diskusi pada poin ini.

  Teks budaya yang berupa folklore adalah artefak yang dicermati dalam rangka mendiskusikan bagaimana proses saling me-liyan-kan tersebut mewujud dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Dengan kata lain artefak ini membantu untuk melihat pe-liyan-an orang-orang Nusa Penida secara kultural dalam pergaulannya dengan orang-orang Bali daratan. Selain artefak tersebut di atas, ungkapan-ungkapan yang bernada “merendahkan” (dari sudut pandang orang-orang Bali daratan) dan atau “sinisme” (dari sudut pandang orang-orang Nusa Penida) juga dicermati dalam rangka melengkapi diskusi wujud dari proses saling me-liyan-kan tersebut.

  Ungkapan-ungkapan ini diperlakukan sebagai signifier dari artefak yang didiskusikan di atas.

  Pada poin ini saya berasumsi bahwa industri pariwisata melekatkan citra bahwasannya Bali secara keseluruhan adalah sesuatu yang solid dan tunggal.

  Pertanyaan yang muncul disini apakah kemudian pencitraan ini mampu mengeliminir proses saling me-liyan-kan di antara orang-orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan dalam field yang sama. Untuk itu data berupa pengalaman orang-orang Nusa Penida di Denpasar (dan Badung) diperlukan dalam diskusi ini. Pengalaman- pengalaman ini dikumpulkan melalui wawancara dengan mereka yang beraktifitas dalam wilayah kepariwisataan. Strategi pengumpulan data melalui wawancara pada poin ini sedikit berbeda dengan poin sebelumnya. Pada poin ini saya mengikuti para informan yang berprofesi sebagai guide liar, surfer, dan seterusnya ke tempat kerja mereka. Tempat kerja yang saya maksudkan disini bukanlah kantor atau sejenisnya, melainkan pinggiran pantai Sanur, Kuta, dan Uluwatu. Tempat-tempat ini dipilih karena di sinilah terjadi banyak interaksi antara orang-orang Nusa Penida dan Bali daratan. Sedapat mungkin saya mengikuti mereka mulai dari bekerja sampai mereka memasuki kehidupan malam di wilayah-wilayah tersebut. Data berupa hasil wawancara ini kemudian dipilah-pilah sesuai dengan kepentingan penelitian ini melalui perspektif pandang-memandang.

VII. Sistematika Penulisan

  Untuk memudahkan pembacaan alur pemikiran dalam penelitian “Orang Bali Yang Lain: Proses Saling Me-liyan-kan Antara Orang-orang Nusa Penida dan Orang- orang Bali Daratan” ini, saya membaginya ke dalam lima bab pembahasan. Bab I merupakan pendahuluan, yang menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian dan signifikansinya, kerangka teoritis, metode penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan dari penelitian ini.

  Selanjutnya saya menguraikan proses historis saling me-liyan-kan antara orang-orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan pada Bab II. Diskusi dalam bab ini saya batasi periodenya mulai zaman pra kolonial sampai awal masa kolonial untuk pembahasan mengenai sejarah Klungkung, dan untuk sejarah Nusa Penida saya membatasinya sampai periode dikuasainya Nusa Penida oleh kerajaan Klungkung.

  Bab III mendiskusikan analisis mitos atas folklore yang mencerminkan proses pe-liyan-an orang-orang Nusa Penida secara kultural, yang akan menjadi pemandu jalan untuk melihat proses saling me-liyan-kan tersebut mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Teori mitos juga dipakai sebagai teropong untuk mengamati bagaimana relasi sosial orang-orang Nusa Penida di Denpasar, serta bagaimana orang-orang Bali daratan memandang orang-orang Nusa Penida. Pengalaman saling pandang- memandang ini akan dibahas lebih lanjut di bab selanjutnya.

  Bali, tidak bisa dipungkiri, memiliki sejarah yang demikian panjang dalam sektor pariwisata. Pulau ini telah menjadi arena pertarungan modal dan berbagai kepentingan lokal-nasional-internasional dalam industri pariwisata selama kurang lebih 30 tahun terakhir. Jika dirunut lebih jauh lagi, Bali sebenarnya telah menjadi “arena perang” bahkan semenjak masa kolonial. Berdasarkan latar belakang ini, maka pada bab IV ini diskusi mengenai pengalaman saling pandang-memandang ini akan disempitkan pada sektor pariwisata serta diarahkan pada penyingkapan selubung industri pariwisata dalam proses saling me-liyan-kan antara orang-orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan.

  Bab terakhir dari penelitian ini tidak lain berisi kesimpulan-kesimpulan dari diskusi-diskusi yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya. Demikianlah tujuan dari bab ini: berusaha untuk menyimpulkan proses saling me-liyan-kan antara orang- orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan, sebuah kesimpulan atas permasalahan pada jamannya.

BAB II MEMBACA ULANG SEJARAH KLUNGKUNG: Kisah-kisah Usaha Penjinakan Bab ini mendiskusikan perjalanan sejarah Klungkung mulai dari zaman pra

  kolonial sampai sekarang. Rentang waktu yang cukup panjang ini diambil dengan alasan sederhana: bahwa proses saling me-liyan-kan telah dimulai jauh sebelum kedatangan Belanda dengan proyek Baliseeringnya dan proses ini tertuang dalam bentuknya yang paling modern: tulisan.

  Bahan-bahan yang dipilah dan dipilih dalam bab ini cukup banyak tersebar di beberapa tempat di Bali, satu hal yang memudahkan sekaligus menyulitkan.

  Memudahkan karena terdapat cukup banyak catatan mengenai hal yang akan dibahas, dan menyulitkan karena catatan-catatan yang tersebar ini menyatakan hal yang sama dengan perspektif yang berbeda. Di tengah sebaran informasi yang “berlebihan”, saya memilih beberapa bahan tertulis yang sekiranya berhubungan dengan tema tesis ini:

  

Babad Usana Bali Pulina (saya pilih karena di dalamnya mengisahkan proses

  “terbentuknya” Bali dari sebuah pulau yang mengapung sampai akhirnya para Dewa menurunkan seorang raja), Pamencangah Ida I Dewa Kulit ring Nusa Penida (saya pilih karena membeberkan kisah ksatria dalem yang diutus ke Nusa Penida), Prasasti

  

I Dewa Anom (dipilih karena prasasti ini memberikan kisah bantuan yang diberikan

  kerajaan Gelgel ketika menundukkan Nusa Penida), Babad Nusa Penida (sebuah buku yang penuh dengan kisah-kisah mengenai Nusa Penida) dan Sejarah

  

Klungkung: Dari Smarapura sampai Puputan (buku sejarah resmi Pemerintah

  Daerah Klungkung yang memberikan gambaran umum Klungkung dari terbentuknya kerajaan Bali sampai Puputan Klungkung).

  Selain menggunakan bahan-bahan tersebut di atas, saya juga menggunakan

  

1