BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Persepsi Mahasiswa Akuntansi Atas Prilaku Tidak Etis Akuntan a. Persepsi - PENGARUH IDEALISME, RELATIVISME, DAN PENGETAHUAN PADA PERILAKU TIDAK ETIS AKUNTAN (Studi Empiris Mahasiswa Akuntansi Pada Perguruan Tin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Persepsi Mahasiswa Akuntansi Atas Prilaku Tidak Etis Akuntan a. Persepsi Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, berusaha dan

  menginterpretasikan rangsangan ke dalam suatu gambaran yang terpadu dan penuh arti (Dewanti, 2015). Persepsi dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan terhadap objek psikologis. Persepsi mencakup penerimaan, pengorganisasian, dan penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap.

  Hal ini terjadi karena persepsi melibatkan penafsiran individu pada objek tertentu, maka masing-masing objek akan memiliki persepsi yang berbeda walaupun melihat objek yang sama (Herwinda, 2010).

  Persepsi merupakan proses untuk memahami lingkungan yang meliputi objek, orang dan simbol atau tanda yang melibatkan proses kognitif / pengenalan (Mella, 2015). Proses kognitif merupakan proses dimana individu memberikan arti melalui penafsirannya terhadap rangsangan (stimultan) yang muncul dari objek, orang dan simbol tertentu. Hal itu menyebabkan masing-masing individu mempunyai persepsi yang berbeda pada satu objek yang sama hasil dari proses pembentukan persepsi, pada akhirnya akan mempengaruhi sikap dan prilaku seseorang. Revita (2014) menyimpulkan bahwa persepsi merupakan proses seseorang memberikan tanggapan berupa rangsangan (stimultan) terhadap lingkungan sekitar dan objek tertentu yang dilihatnya, kemudian menafsirkannya.

b. Etika dan Perkembangan Moral

  Etika tidak dapat dilepaskan dari pembahasan moral. Etika merupakan salah satu kajian filsafat tentang moral dan moralitas.

  Disamping itu etika adalah salah suatu penyelidikan atau pengkajian secara sistematis tentang perilaku (Nugroho, 2008). Etika adalah nilai- nilai dan norma-norma susila yang dijadikan pegangan oleh individu atau masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam agama Islam, etika adalah bagian dari akhlak, karena akhlak tidak sekedar menyangkut prilaku manusia yang bersifat perbuatan lahiriah saja, akan tetapi menyangkut hal-hak yang lebih luas, yang meliputi bidang akidah, ibadah dan syariah.

  Menurut Bertens, K (2007), etika dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu : 1) Etika Deskriptif yaitu menggambarkan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan, dan adat kebiasaan. 2) Etika Normatif yaitu preskiptif (memerintahkan), menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Saat seseorang sedang mengalami dilema menyebabkan seseorang bisa bertindak tidak etis yang disebabkan karena masing- masing individu mempunyai standar etika yang berbeda. Selain itu seseorang memilih untuk bertindak mementingkan diri sendiri. Dilema etika merupakan suatu situasi dimana seseorang harus membuat keputusan tentang tindakan atau perilaku yang tepat (Dewanti, 2015).

  Selain itu, Kohelberg (1969) dalam Revita (2014) mengungkapkan beberapa konsep yang erat kaitannya dengan pemahaman teori perkembangan moral adalah perilaku moral, perilaku tidak bermoral, perilaku di luar kesadaran moral dan perkembangan moral. Perilaku moral merupakan perilaku yang mengikuti kode moral dalam suatu kelompok tertentu. Perilaku tidak bermoral berarti perilaku yang gagal mematuhi harapan kelompok sosial. Ketidakpatuhan dikarenakan oleh ketidaksetujuan terhadap harapan kelompok sosial atau karena kurang merasa wajib untuk mematuhinya.

  Perilaku diluar kesadaran moral adalah perilaku yang menyimpang dari harapan kelompok sosial yang lebih disebabkan oleh ketidakmampuan yang bersangkutan dalam memahami harapan kelompok sosial. Perkembangan moral bergantung pada perkembangan intelektual seseorang. Persepsi seseorang akan meningkat sesuai dengan peningkatan pemahaman intelektual (Revita, 2014).

  Perkembangan moral didasarkan pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Terdapat tiga tingkat perkembangan moral yang setiap tingkatnya ditandai oleh dua tahap.

Tabel 2.1 Teori Perkembangan Moral Kohlberg

  pada ketertiban moral dengan aturannya sendiri.

   Etika Profesi Akuntan

  Sumber : Kohlberg(1969) dalam Dewanti (2015) c.

  Penyesalan atau hukuman diri karena tidak mengikuti pengertian moralnya sendiri.

  pada hati nurani pribadi, yang ditandai oleh keniscayaan dan universalitas.

  Tahap 6. Orang berpegang

  pada persetujuan demokratis, kontrak sosial, konsesus bebas.

  Tahap 5. Orang berpegang

  Hidup moral adalah tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip batin, maksud dan akibat- akibat tidak diabaikan motif-motif batin dan universal .

  Tingkat Pascakonvensional,

  Rasa bersalah terhadap orang lain bila tidak mengikuti tuntutan- tuntutan lahiriah.

  Tahap 4. Orang berpegang

  Tingkat Pertumbuhan Tahap Pertumbuhan Perasaan

  pada keinginan dan persetujuan dari orang lain.

  Tahap 3. Orang berpegang

  Perhatian juga untuk maksud perbuatan, memenuhi harapan, mempertahankan ketertiban.

  Tingkat Konvensional,

  Takut untuk akibat-akibat negatif dari perasaan.

  diri atas egoisme naif yang kadang-kadang ditandai relasi timbal balik.

  Tahap 2. Anak mendasarkan

  Takut untuk kekuasaan dan berusaha menghindarkan hukuman.

  Tahap 1. Anak berpegang pada kepatuhan dan hukuman.

  Perhatian khusus untuk akibat perbuatan, hukuman, ganjaran dan motif- motif lahiriah dan partikular.

  Tingkat Prakonvensional,

  Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia yang disusun dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Kode etik ini bersifat mengikat para anggota IAI dan dapat digunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI. Indiana (2006) menyebutkan bahwa Kode Etik Akuntan Indonesia yang disahkan pada Prosiding kongres VIII tahun 1998, terdiri dari empat bagian, yaitu: 1) Kode Etik Umum. Terdiri dari 8 prinsip etika profesi, yang merupakan landasan perilaku etika profesional, memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, dan mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota, yang meliputi: Tanggung Jawab Profesi, Kepentingan Umum, Integritas, Obyektifitas, Kompetensi dan Kehati-hatian Profesionalnya, Kerahasiaan, Perilaku Profesional, dan Standar Teknis.

  2) Kode Etik Akuntan Kompartemen. Kode Etik Akuntan Kompartemen disahkan oleh Rapat Anggota Kompartemen dan mengikat selurus anggota Kompartemen yang bersangkutan.

  3) Interpretasi Kode Etik Akuntan Kompartemen. Interpretasi Kode Etik Akuntan Kompartemen merupakan panduan penerapan Kode Etik Akuntan Kompartemen.

  4) Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat itu dapat dipakai sebagai interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan Interpretasi baru untuk menggantikannya.

  Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. IAPI (2007-2008 : 3) menyatakan bahwa :

  “Kode etik ini menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam Kantor Akuntan Publik (KAP) atau Jaringan KAP, baik yang merupakan anggota Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) maupun yang bukan merupakan anggota IAPI, yang memberikan jasa profesional, yang meliputi jasa assurance dan jasa lain selain assurance seperti yang tercantum dalam standar profesi dan kode etik profesi ”.

  Di dalam Kode Etik Profesi Akuntan Publik terdapat lima prinsip dasar etika profesi yang wajib dipatuhi (IAPI, 2007-2008 : 7), yaitu : 1) Prinsip Integritas. Setiap praktisi harus tegas dan jujur dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis dalam menjalankan pekerjaannya. 2) Prinsip Objektivitas. Setiap praktisi tidak boleh membiarkan subjektivitas, benturan kepentingan atau pengaruh tidak layak dari pihak-pihak lain mempengaruhi pertimbangan profesional atau pertimbangan bisnisnya.

  3) Prinsip Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian Profesional. Setiap praktisi wajib memelihara pengetahuan dan keahlian profesionalnya pada suatu tingkatan yang dipersyaratkan secara berkesinambungan. 4) Prinsip Kerahasiaan. Setiap praktisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan hubungan bisnisnya, serta tidak boleh mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari klien atau pemberi kerja, kecuali jika terdapat kewajiban untuk mengungkapkan sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan lainnya yang berlaku.

  5) Prinsip Perilaku Profesional. Setiap praktisi wajib memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan harus menghindari semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.

  Di Indonesia, penegakan kode etik dilaksanakan oleh sekurang- kurangnya enam unit organisasi, yaitu : Kantor Akuntan Publik (KAP), Unit Peer Review Kompartemen Akuntan Publik-IAI, Badan Pengawas Profesi Kompartemen Akuntan Publik-IAI, Dewan Pertimbangan, Profesi IAI, Departemen Keuangan RI dan BPKP.

  Selain enam unit organisasi tersebut, pengawasan terhadap kode etik juga dilakukan oleh para anggota dan pimpinan KAP (Indiana, 2006).

  d.

  

Persepsi Mahasiswa Akuntansi Atas Prilaku Tidak Etis Akuntan

  Persepsi merupakan sikap atau tanggapan yang diberikan dalam merespon maupun menafsirkan sebuah peristiwa (Dewanti, 2015).

  Persepsi memungkinkan setiap orang berpikir dan memberikan rangsangan sesuai dengan keadaan yang melingkupinya. Mahasiswa memiliki peranan penting dalam memberikan tanggapan atas berbagai fenomena yang terjadi karena mahasiswa dinilai memiliki kapasitas pengetahuan yang memumpuni.

  Mahasiswa umumnya memiliki pemikiran yang lebih luas, kritis dan terbuka dalam menanggapi suatu fenomena, sehingga dapat memberikan penilaian yang lebih objektif. Di dalam penelitian ini, yang dimaksud adalah persepsi mahasiswa dalam memahami permasalahan akuntansi yang terjadi, yaitu perilaku tidak etis akuntan. Peristiwa atau skandal etis yang biasanya terjadi yaitu konflik kepentingan, penghindaraan pajak, pembelian yang dilakukan oleh orang dalam, kerahasiaan profesional dan pembayaran kembali. Dengan berbagai skandal etis yang terjadi yang melibatkan profesi akuntan, mahasiswa akuntansi diharapkan memberikan tanggapan tentang perilaku tidak etis yang telah terjadi dengan menjadikan kode etik akuntan sebagai acuan atau referensi.

2. Orientasi Etis

  Eni (2015) menjelaskan bahwa orientasi etis merupakan bagaimana pandangan seseorang mengenai etika itu sendiri. Perilaku etis seseorang akan berpengaruh dalam pengambilan keputusan ketika menghadapi dilema etis. Dengan adanya orientasi etis yang dimiliki tiap individu, maka akan mendorong mereka untuk berperilaku etis dan berpersepsi terhadap perilaku tidak etis yang terjadi dilingkungan mereka (Herwinda, 2010).

  Untuk menilai Orientasi Etis seorang individu, Forsyth (1992) dalam Herwinda (2010) mengembangkan sebuah kuesioner yang disebut dengan

  

Ethics Position Questionnaire (EPQ). Di dalam EPQ terdapat pertanyaan-

  pertanyaan yang dapat mengukur tingkat idealisme dan relativisme individu. Dengan adanya EPQ maka dapat diketahui berbagai persepsi individu terhadap suatu perilaku etis maupun perilaku tidak etis dilihat dari tingkat idealisme dan relativisme mereka.

a. Idealisme

  Idealisme merupakan orientasi etika yang mengacu pada sejauh mana seseorang percaya bahwa konsekuensi dari tindakan yang dilakukan dapat terjadi tanpa melanggar nilai-nilai moral (Eni, 2015). Marwanto (2007) menyebutkan bahwa idealisme mengacu pada luasnya seorang individu percaya bahwa keinginan dari konsekuensi dapat dihasilkan tanpa melanggar petunjuk moral yang ada.

  Idealisme mengukur sikap atau perilaku seseorang untuk tidak melanggar nilai-nilai etika dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain (Nugroho, 2008). Individu yang idealis mempunyai prinsip untuk selalu menghindari tindakan yang merugikan orang lain dan mereka tidak akan melakukan tindakan yang berkonsekuensi negatif. Jika terdapat dua pilihan yang keduanya akan berakibat negatif terhadap individu lain, maka individu yang idealis akan mengambil pilihan yang paling sedikit mengakibatkan akibat buruk pada individu lain. Selain itu, individu yang idealis akan sangat memegang teguh perilaku etis di dalam profesi yang mereka jalankan (Dewanti, 2015)

  Namun individu dengan idealisme yang rendah, menganggap bahwa dengan mengikuti semua prinsip moral yang ada dapat berakibat negatif. Mereka berpendapat bahwa terkadang dibutuhkan sedikit tindakan negatif untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Banyak penelitian yang telah menunjukan bahwa individu yang idealis akan mengambil tindakan tegas terhadap suatu situasi yang dapat merugikan orang lain dan individu yang idealis memiliki sikap dan pandangan yang lebih tegas terhadap individu yang melanggar perilaku etis dalam profesinya. (Revita, 2014) b.

   Relativisme

  Relativisme adalah model cara berpikir pragmatis, alasannya adalah bahwa aturan etika sifatnya tidak universal karena etika dilatarbelakangi oleh budaya dimana masing-masing budaya memiliki aturan yang berbeda-beda (Herwinda, 2010). Menurut Syaikhul (2006) relativisme adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai moral yang absolut dalam mengarahkan perilaku etis. Individu yang memiliki tingkat relativisme yang tinggi menganggap bahwa tindakan moral tergantung pada situasi dan sifat individu yang terlibat. Oleh karena itu, individu yang memiliki tingkat relativisme tinggi cenderung menolak gagasan mengenai kode moral, dan individu yang memiliki relativisme rendah hanya akan mendukung tindakan-tindakan moral yang berdasar kepada prinsip, norma, ataupun hukum universal (Reni, 2013). Relativitas etis maupun relativitas moral adalah pandangan bahwa tidak ada standar etis yang secara absolut benar. Dalam penalaran moral seorang individu, ia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam masyarakat dimanapun berada (Revita, 2014).

Tabel 2.2 Klasifikas Orientasi Etika RELATIVISME TINGGI RENDAH Situasionisme. Menolak Absolutisme.

  aturan moral, mendukung Mengasumsikan bahwa

  I

  analisis individual atas hasil yang terbaik selalu setiap tindakan dalam dapat dicapai dengan

  E

  INGG

  setiap situasi mengikuti aturan-aturan

  T M moral secara universal.

  IS Subjektivisme. Penilaian Eksepsionisme. Moral

  IDEAL lebih didasarkan pada nilai secara mutlak digunakan

  pribadi daripada prinsip- sebagai pedoman prinsip moral secara pengambilan keputusan

  AH

  universal namun secara pragmatis terbuka untuk melakukan

  REND

  pengecualian terhadap standar yang berlaku Sumber : Forsyth (1980) dalam Revita (2014) 3.

   Pengetahuan Etika a. Pengertian Pengetahuan

  Menurut Dzakirin (2013) mendefinisikan pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui yang diperoleh dari panca indra terhadap objek tertentu. Pengetahuan digunakan oleh manusia untuk memecahkan masalah yang terjadi disekitarnya. Pengetahuan memberikan informasi yang bermanfaat untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan yang terjadi. Selain itu, pengetahuan juga memberikan acuan dalam bertindak dimasa sekarang dan masa yang akan datang dengan mempelajari peristiwa yang telah terjadi di masa lampau.

  Gulo (2000: 2) dalam Revita (2014) berpendapat bahwa pengetahuan berkisar pada tiga hal, yaitu apa itu pengetahuan, bagaimana mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu. Masalah yang berhubungan dengan apa itu pengetahuan disebut dengan ontologis, sedangkan masalah yang berhubungan dengan bagaimana mengetahui termasuk dalam epistemologis dan masalah yang berhubungan dengan untuk apa pengetahuan termasuk dalam aksiologis. Ketiga hal ini saling berkaitan satu sama lain. Pada hakikatnya pengetahuan meliputi semua yang diketahui seseorang tentang obyek tertentu. Pengetahuan juga diperoleh melalui pengalaman. Pengetahuan sendiri mencakup

  

knowledge maupun science, seni dan teknologi. Pengetahuan bukan

  hanya mengetahui, tetapi mengetahui yang benar. Pengetahuan sendiri juga dapat diperoleh melalui orang lain.

  Pengetahuan juga dapat diperoleh melalui proses belajar yang ditandai dengan proses pertukaran informasi baik formal maupun informal. Banyaknya informasi yang dimiliki dan tingkat pendidikan yang semakin tinggi membuat seseorang memiliki pengetahuan luas, sehingga dengan kata lain semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin banyak informasi yang dimiliki, maka semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Mahasiswa tingkat awal dan tingkat akhir, tentu memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda jika dilihat dari lama kuliah maupun jumlah mata kuliah yang telah ditempuh. Berbagai mata kuliah yang telah ditempuh, memberikan pengetahuan yang beragam, yang nantinya akan mempengaruhi mahasiswa dalam memberikan persepsi atas berbagai skandal akuntan.

b. Kode Etik Umum Profesi Akuntan

  Pengetahuan mengenai skandal etis yang terjadi dalam profesi akutan, berkaitan dengan etika profesi akuntan. Seperti yang disebutkan oleh Sukrisno dan I Cenik (2014), kode etik umum profesi akuntan terdiri dari delapan prinsip yang harus dipatuhi sebagai dasar berperilaku, yaitu: 1) Tanggung Jawab Profesi. Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang profesional, maka setiap anggota wajib bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugasnya dan senantiasa menggunakan pertimbangan moral.

  2) Kepentingan Publik. Setiap anggota harus bekerjadengan berorientasi pada kepentingan publik. Tidak boleh ada benturan kepentingan demi menjaga independensi dan kualitas jasa yang diberikan. Untuk itu sebagai profesional harus selalu mengikuti standar profesi yang berlaku untuk mencapai profesionalisme yang tertuju pada kepentingan publik.

  3) Integritas. Integritas mengharuskan setiap anggota untuk bersikap jujur dan transparan dalam menjalankan tugasnya namun tidak mengabaikan rahasia penerima jasa. Untuk itu sebagai profesional harus dapat bersikap adil dan bebas dari benturan kepentingan.

  4) Objektivitas. Setiap anggota harus bersikap adil dan bebas dari benturan kepentingan, serta mengungkapkan apa yang seharusnya diungkapkan dan tidak menutup-nutupi jika terdapat indikasi hal yang mencurigakan. Setiap anggota harus menghindari situasi-situasi yang dapat membuat situasi profesional mereka ternoda. 5) Kompetensi dan Kehati-hatian. Setiap anggota harus memiliki kompetensi yang memadai dan bersikap hati-hati dalam merencanakan dan mengawasi setiap kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dengan seksama. Kompetensi berarti setiap anggota memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai baik yang diperoleh dari segi pendidikan maupun pengalaman. Sedangkan kehati-hatian mengharuskan setiap anggota untuk bertindak sesuai dengan standar dan etika yang berlaku.

  6) Kerahasiaan. Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan klien atau pemberi kerja bahkan setelah hubungan kerja berakhir. Kerahasiaan juga mengharuskan anggota memperoleh informasi yang diperlukan sehubungan dengan pekerjaan yang sedang dilakukan dan tidak menggunakan informasi yang diperoleh untuk kepentingan pribadi. Informasi yang diperoleh selama bertugas tidak boleh diungkapkan tanpa persetujuan klien, kecuali ada hak atau kewajiban yang bersangkutan dengan hukum untuk mengungkapkannya.

  7) Perilaku Professional. Setiap anggota harus berperilaku profesional dan bertindak sesuai dengan prinsip etika yang berlaku untuk menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Hal ini merupakan bentuk pertanggungjawaban anggota kepada penerima jasa, baik klien atau pemberi kerja, sesama anggota serta masyarakat umum. 8) Standar Teknis. Setiap anggota dalam menjalankan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan.

  Standar yang harus dipatuhi oleh setiap anggota yaitu standar yang disusun dan disahkan oleh Institut Akuntan Indonesia (IAI).

  Dengan demikian, kode etik umum akuntan merupakan kerangka perilaku profesional akuntan yang memberikan pedoman dalam bertindak untuk menghindari berbagai tindakan yang dapat merugikan atau merusak citra profesi akuntan.

B. Hasil Penelitian Terdahulu

  Pada penelitian ini penulis mengambil referensi dari beberapa penelitian terdahulu sebagai gambaran untuk mempermudah proses penelitian.

  Penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai referensi dan bahan acuan antara lain:

Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu

  Corporate Manager

  Variabel Independen : Idealisme, Relativisme, Gender, Tingkat Pengetahuan Variabel Dependen : Penilaian

  Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Penilaian Mahasiswa Atas Perilaku Tidak Etis Auditor Serta Tingkat Ketertarikan Belajardan Berkarir Di

  3 Reni Yendrawa ti (2013)

  berpengaruh positif tidak signifikan terhadap skandal etis auditor dan corporate manager. Sedangkan tingkat pengetahuan dan gender berpengaruh positif signifikan terhadap skandal etis auditor dan corporate manager.

  manager. Relativisme

  Idealisme berpenaruh negatif signifikan terhadap skandal etis auditor dan corporate

  corporate manager

  Variabel Idependen : Idealisme, Relativisme, Gender dan Tingkat Pengetahuan Variabel Dependen : Persepsi mahasiswa akuntansi mengenai skandal etis auditor dan

  Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi Mengenai Skandal Etis Auditor Dan

  No Peneliti Judul Penelitian Variabel

  2 Elok Faiqoh Himmah (2013)

  Hasil penelitian menunjukan bahwa idealisme dan tingkat pengetahuan berpengaruh negatif pada perilaku tidak etis akuntan. Relativisme berpengaruh positif pada perilaku tidak etis akuntan, sedangkan gender dan umur tidak berpengaruh pada perilaku tidak etis akuntan.

  Variabel Independen : Idealisme, Relativisme, Pengetahuan, Gender, Umur Variabel Dependen : Perilaku tidak etis akuntan

  Umur Pada Perilaku Tidak Etis Akuntan

  Gender dan

  Pengaruh Idealisme, Relativisme, Pengetahuan,

  1 Putu Dewi Adi Damayant hi (2016)

  Penelitian Hasil

  Tidak ada variabel yang dapat menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap persepsi mahasiswa akuntansi FE UII atas tindakan auditor dalam skandal akuntansi, namun variabel pengetahuan menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap

  Lanjutan Tabel 2.3

  Umur, Gender dan Kemampuan Akademis Variabel Dependen : Sensitivitas Etis

  Vaiabel Independen : Idealisme, Relativisme, Komitmen Profesional, Komitmen Organisasi Variabel Dependen : Sensitivitas Etika

  Pengaruh Idealisme, Relativisme, Komitmen Profesional Dan Komitmen Organisasi Terhadap Sensitivitas Etika Auditor PadaPerwakilan BPKP Provinsi Riau

  5 Putri (2012)

  memiliki pengaruh positif signifikan terhadap sensitivitas etis. Relativisme memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap sensitivitas etis. Umur tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sensitivitas etis. Gender memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sensitivitas etis. Dan kemampuan akademis tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap sensitivitas etis.

  Locus of Control

  Penalaran etis, idealisme,

  Locus of Control ,

  No Peneliti Judul Penelitian Variabel

  Variabel Independen : Penalaran Etis, Idealisme, Relativisme,

  Pengaruh Penalaran Etis Dan Faktor- Faktor Pribadi Terhadap Sensitivitas Etis Pada Mahasiswa Akuntansi

  4 Ega Megarina Iswarini (2013)

  Atas Prilaku Tidak Etis Akuntan, Ketertarikan Belajar Akuntansi, Ketertarika Berkarir di Bidang Akuntansi menurunnya minat dan ketertarikan mahasiswa akuntansi FE UII untuk belajar akuntansi, serta idealisme menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap menurunnya minat dan ketertarikan mahasiswa akuntansi FE UII untuk bekerja sebagai seorang auditor.

  3 Bidang Akuntansi

  Penelitian Hasil

  Relativisme berpengaruh negatif signifikan terhadap sensitivitas etika auditor. Komitmen Profesional berpengaruh positif signifikan terhadap sensitivitas etika auditor. Idealisme dan komitmen organisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap sensitivitas etika auditor

  Lanjutan Tabel 2.3

  Variabel No Peneliti Judul Penelitian Hasil

  Penelitian

  6 Mella Pengaruh Variabel Orientasi Idealisme Fitria Orientasi Idependen : berpengaruh signifikan (2015) Idealisme, Orientasi negatif terhadap persepsi

  Relativisme, Idealisme, mahasiswa akuntansi Tingkat Relativisme, tentang krisis etika Pengetahuan Pengetahuan, akuntan professional.

  Akuntansi, Dan Gender Relativisme berpengaruh Gender signifikan positif Terhadap Variabel terhadap persepsi Persepsi Dependen : mahasiswa akuntansi Mahasiswa Persepsi tentang krisis etika Akuntansi mahasiswa akuntan profesional.

  Tentang Krisis akuntansi Tingkat pengetahuan Etika Akuntan tentang krisis akuntansi tidak Profesional etika akuntan berpengaruh signifikan profesional negatif terhadap persepsi mahasiswa akuntansi tentang krisis etika akuntan profesional. Mahasiswi akuntansi cenderung lebih tegas terhadap krisis etika akuntan profesional.

C. Kerangka Pemikiran

  Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, berusaha dan menginterpretasikan rangsangan ke dalam suatu gambaran yang terpadu dan penuh arti (Dewanti, 2015). Dalam penelitian ini mahasiswa memberikan persepsi mereka terhadap prilaku tidak etis yang dilakukan oleh akuntan.

  Persepsi mahasiswa itu sendiri dipengaruhi oleh faktor-faktor idealisme, relativisme dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa sebagai landasan untuk menilai etis atau tidak etis sebuah tindakan yang dilakukan oleh seorang akuntan.

  Kerangka pemikiran dalam penelitian ini menggambarkan secara garis besar suatu rangkaian pemikiran teoritis yang didasarkan pada telaah pustaka dan penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan prilaku tidak etis akuntan. Penelitian ini menguji idealisme, relativisme, dan pengetahuan sebagai variabel idependen dan prilaku tidak etis akuntan sebagai variabel dependen.

  Berdasarkan penjelasan diatas, maka kerangak pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :

  Idealisme (X 1 )

  Persepsi H

  1 (-)

  Mahasiswa Akuntansi Atas

  H (+)

  2 Relativisme (X 2 )

  Prilaku Tidak Etis Akuntan

  (Y) H

  3 (-) Pengetahuan (X 3 )

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran D. Hipotesis Penelitian 1. Pengaruh Idealisme terhadap Persepsi Mahasiswa Akuntansi Atas Perilaku Tidak Etis Akuntan

  Menurut Syaikhul (2006) idealisme mengacu pada suatu hal yang dipercaya oleh individu dengan konsekuensi yang dimiliki dan diinginkannya tidak ingin melanggar nilai-nilai moral. Dan menurut Marwanto (2007) idealisme mengacu pada luasnya seseorang individu percaya bahwa keinginan dari konsekuensi dapat dihasilkan tanpa melanggar petunjuk moral. Individu yang memiliki sifat idealis akan berpegang teguh pada aturan moral yang bersifat universal. Individu yang idealis mempunyai prinsip bahwa merugikan individu lain adalah hal yang selalu dapat dihindari dan mereka tidak akan melakukan tindakan yang mengarah pada tindakan yang berkonsekuensi negatif (Herwinda, 2010). Individu yang idealis akan sangat memegang teguh perilaku etis di dalam profesi yang mereka jalankan.

  Individu yang idealis akan mengambil tindakan tegas terhadap suatu situasi yang dapat merugikan orang lain dan memiliki sikap serta pandangan yang lebih tegas terhadap individu yang melanggar perilaku etis dalam profesinya. Penelitian yang dibuat oleh Putu (2016), Mella (2015), dan Elok (2013) menunjukan bahwa mahasiswa yang bersifat idealis cenderung memberikan tanggapan atau persepsi ketidaksetujuan terhadap perilaku tidak etis akuntan. Idealisme akan berpengaruh terhadap persepsi mahasiswa mengenai perilaku tidak etis akuntan, maka hipotesis yang diajukan yaitu :

  H

1 : Idealisme berpengaruh negatif terhadap persepsi mahasiswa

akuntansi atas perilaku tidak etis akuntan

2. Pengaruh Relativisme terhadap Persepsi Mahasiswa Akuntansi Atas Perilaku Tidak Etis Akuntan

  Herwinda (2010) menjelaskan bahwa seorang individu yang memiliki sifat relativisme mendukung filosofi moral yang didasarkan pada sikap skeptis, yang menganggap bahwa tidak mungkin untuk mengikuti prinsip-prinsip universal ketika membuat keputusan. Relativisme adalah model cara berpikir pragmatis, alasannya adalah bahwa aturan etika sifatnya tidak universal karena etika dilatarbelakangi oleh budaya dimana masing-masing budaya memiliki aturan yang berbeda-beda.

  Menurut Syaikhful (2006) relativisme adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai moral yang absolut dalam mengarahkan perilaku etis.

  Individu yang memiliki tingkat relativisme yang tinggi menganggap bahwa tindakan moral tergantung pada situasi dan sifat individu yang terlibat, sehingga mereka akan mempertimbangkan situasi dan kondisi individu dibandingkan prinsip etika yang telah dilanggar. Pada penelitian yang dibuat oleh Putu (2016), dan Mella (2015), menunjukan bahwa mahasiswa yang bersifat relativis cenderung memberikan tanggapan atau persepsi setuju terhadap perilaku tidak etis akuntan. Relativisme akan berpengaruh terhadap persepsi mahasiswa mengenai perilaku tidak etis akuntan, maka hipotesis yang diajukan yaitu :

  

H : Relativisme berpengaruh positif terhadap persepsi mahasiswa

  2 akuntansi atas perilaku tidak etisa kuntan

3. Pengaruh Pengetahuan terhadap Persepsi Mahasiswa Akuntansi Atas Perilaku Tidak Etis Akuntan

  Pengetahuan merupakan informasi yang dimiliki atau diketahui secara sadar atau tidak (Revita, 2014). Pengetahuan yang dimaksudkan disini, berkaitan dengan informasi mengenai prinsip etika yang berlaku dalam profesi akuntan (Dzakirin, 2013). Pengetahuan yang diterima antara mahasiswa satu dengan yang lainnya tentu berbeda. Hal ini dipengaruhi pula oleh lama kuliah dan jumlah mata kuliah yang telah ditempuh.

  Mahasiswa tingkat atas umumnya memiliki pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan mahasiswa yang berada ditingkat bawahnya.

  Penelitian yang dibuat oleh Putu (2016), menunjukan bahwa mahasiswa yang memiliki pengetahuan yang luas mengenai prinsip etika profesi akuntan akan bersikap lebih bijaksana dan memberikan tanggapan berupa ketidaksetujuan mengenai skandal etis yang menimpa profesi akuntan berkaitan dengan penerapan prinsip etika profesi akuntan dibandingkan dengan mahasiswa yang memiliki pengetahuan lebih sedikit.

  Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengetahuan etika profesi yang dimiliki maka seorang mahasiswa akan memberikan reaksi ketidaksetujuan terhadap skandal etis profesi akuntan. Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap persepsi mahasiswa mengenai perilaku tidak etis akuntan, maka hipotesis yang diajukan yaitu :

  H 3 : Pengetahuan berpengaruh negatif terhadap persepsi mahasiswa akuntansi atas perilaku tidak etis akuntan