BAB II KAJIAN TEORETIK A. Pengertian Stilistika. - WIWIT SUPRIYATIN BAB II

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Pengertian Stilistika.

  ‘Style’ atau sering disebut sebagai gaya bahasa adalah cara mengungkapkan

  gagasan dan perasaan dengan Bahasa dengan bahasa khas sesuai kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna

  . Gaya bahasa atau ‘style’ dalam karya sastra berhubungan erat dengan ideologi atau keyakinan dan latar sosiokultural pengarangnya (Al- Ma’ruf, 2012:9).

  Dalam kegiatan berbahasa yang bertujuan menghidupkan kalimat akan terjadi apabila seseorang ingin mengungkapkan gagasan, ide, pikiran, perasaan atau sesuatu yang lain kepada orang lain. Orang tidak akan berbahasa demi bahasa itu sendiri. Intinya adalah adanya sesuatu yang di dalam batin yang akan diungkapkan dalam wujud bahasa yang dapat di dengar atau di produksi untuk kemudian dilihat ataupun didengar orang lain. Sesuatu yang masih dalam batin jumlahnya banyak sekali, tetapi yang akan diproduksi dalam bentuk bahasa tentunya sesuai dengan tujuannya saja. Cara pengungkapan apa yang ada di batin ini bisa dilakukan oleh seseorang dengan berbagai cara, dan hal inilah yang kemudian disebut style itu (Nurgiyantoro, 2014:52-53).

  Gayadalam konteks pemakaian ini merupakan cara pengarang mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang dapat memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai bahasa Oleh karena itu gaya bahasa disebut sebagai cara menggunakan bahasa. Gaya masing-masing orang tentu berbeda- beda. Gaya inilah yang selanjutnya dikenali sebagai ‘style’(Keraf, 2010 :113).

  Kemampuan seorang pengarang ketika berimajinasi dan berkreasi dalam retorika sastra merupakan stile yang membedakan antara pengarang yang satu dengan pengarang lainnya. Selain itu Jika seorang pengarang mahir dalam mengungkapkan ide, gagasannya melalui perwujudan kreativitasnya dalam memberdayakan sarana retorika di atas, maka pembaca akan dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang digambarkan oleh pengarang.

  Selain dari sisi pengarang peran pembaca sebagai penafsir tehadap penggunaan bahasa pengarang sangat memungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi dari satu teks yang sama, maka faktor latar sosiokultual pembaca pun menjadi berperan penting. Maka kajian stilistika ini tidak hanya memandang ‘style’ atau gaya bahasa yang digunakan pengarang saja tapi faktor-faktor di luar itu pun sekarang ini menjadi perhatian stilistika (Black, 2011:2).

  Bidang garapan stilistika adalah ‘style’, bahasa yang dipakai dalam konteks tertentu, dalam ragam bahasa tertentu. Jika ‘style’diindonesiakan dengan diadaptasikan menjadi stile atau gaya bahasa, istilah

  ‘stylistic’ juga dapat

  diperlakukan sama, yaitu diadaptasi menjadi stilistika. Istilah stilistika juga lebih singkat dan efisien daripada terjemahannya yaitu kajian gaya bahasa atau kajian stile (Nurgiyantoro, 2014:74-75).

  Dalam buku berjud ul “Teori, Metode, dan Aplikasi PengkajianEstetika

  Bahasa

  menyatakan bahwa ‘Style’ diartikan sebagai gaya bahasa. Pendapat ini didasarkan pada beberapa ahli, seperti Abrams, yang menyatakan bahwa stilistika adalah gaya yang digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya ‘sesuatu yaang akan dikemukakan’(Al’Ma’ruf, 2012: 7). Batasan-batasan yang digunakan untuk terhadap hakikat atau pengertian ‘style’atau kemudian disebut sebagai gaya bahasa tidak pernah memuaskan banyak pihak. Hal ini terjadi karena masing-masing pakar memiliki cara tersendiri dalam memandang

  ‘style’sebagai suatu ilmu tentang gaya bahasa. Namun demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Pertama, gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus yang digunakan oleh manusia dalam berkomunikasi untuk memperoleh efek tertentu. Efek yang dimaksud adalah efek estetik. Efek estetik ini yang kemudian menjadi salah satu penentu nilai estetik dari sebuah karya sastra. Kedua bahwa stilistika merupakan bidang linguistik terapan sebagai ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan parameter linguistik.

1. Tujuan Stilistika

  Kedudukannya sebagai teori dan pendekatan penelitian terhadap karya sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan wawasan dengan parameter linguistik, mempunyai tujuan. Pada dasarnya, untuk memahami tujuan dari kajian stilistika dapat ditekankan pada kemampuan untuk 1) merespon yang dianalisis sebagai sebuah karya sastra dan 2) mengobservasi bahasa karya sastra tersebut. Spitzer di kutip oleh Leech & Short dalam Al-

  Ma’ruf (2012:17) menggambarkan dua kemampuan tersebut sebagai ‘cycle’ (lingkaran siklus) yang saling mengisi, seperti yang terlihat dalam bagan berikut ini. Apresiasi Sastra Proses

  Proses Mencari

  B A mencari bukti-bukti

  B A fungsi linguistik estetik

  Deskripsi Gambar 2.1Tujuan Stilistika menurut Leech & Short

  Bagan tersebut menjelaskan pada kita bahwa tujuan kajian stilistika berada pada dua sisi yaitu 1) mencari fungsi estetik karya sastra dan 2) mencari bukti- bukti linguistik. Dalam rangka mencari bukti-bukti fisik tersebut, proses kajian stilistik berkisar pada deskripsi segi-segi linguistik yang ada dalam karya sastra.

  Sedangkan dalam proses mencari fungsi estetik, proses kajian stilistika berkisar pada apresiasi sastra. Dalam hal, baik tahap deskripsi linguistik maupun tahap apresiasi sastra merupakan satu kesatuan proses yang saling mendukung dan bersifat siklus (seperti tampak pada gambar di atas.

  Tujuan kajian stilistika hakikatnya adalah untuk menemukan dan menjelaskan ketepatanpenggunaan bentuk-bentukbahasa baik secara estetis maupun efektivitasnya sebagai sarana komunikasi. Fungsi estetis yang dimaksud mengenai penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang mendukung suatu teks (Nurgiantoro, 2014:100).

2. Lapangan Kajian Stilistika a. Bahasa Sastra

  Bahasa dalam karya sastra merupakan medium yang utama. Akan tetapi bahasa alam sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa dalam karya sastra merupkan bahasa yang dikreasikan oleh seorang pengarang untuk mengungkapkan gagasan atau idenya. Dalam upaya ini seringkali pengarang melakukan pembaruan atau inovasi bahkan mungkin sekali seorang pengarang melanggar aturan atau konvensi.

  Pengarang seringkali melakukan inovasi dan melanggar konvensi, akan tetapi inovasi ini tidak akan pernah mengubaah total konvensi tersebut sehingga orang masih mengenali bahasa yang digunakan. Berikut ciri bahasa sastra secara umum

  1) polisemantis yang menyarankan berbagai kemungkinan makna; 2) memiliki sistem sendiri, namun masih berada dalam sistem bahasa natural; 3) dalam keadaan tertentu (misalnya, dalam puisi) terjadi pemadatan, pengayaan makna, dan variasi pola; dan 4) mengandung konotasi yang bersifat individual (Semi, 2012: 65-66).

  Tedapat hubungan antara ilmu bahasa dan ilmu sastra bahasa, bahwa sastra sama dengan bahasa yakni sebuah sistem untuk memahami sekaligus menjadi syarat mutlak untuk mengarang karya sastra. Selanjutnya istilah ilmu bahasa: ‘literary competence’ membawa kita pada konsep ‘competence performance’ yang biasa dipakai oleh kalangan Transformational Grammar (aliran Chomsky) disamakan dengan istilah

  ‘langue.parole’ (de Saussure), ‘code-message,taal-

  taalgeburu i k’ (‘Reichling‘dan lain-lain ahli bahasa belanda (A.Teeuw, 1982:1-2).

  Konsep ‘Langue dan parole’(de Sassure) bahwa ‘langue’ merupakan sistem kaidah yang berlaku dalam suatu bahasa, sedangkan perole merupakan penggunaan dan perwujudan sistem, seleksi terhadap sistem, yang dipergunakan oleh penutur atau (pengarang) sesuai dengan konteks dan atau situasi. Langue merupakan bentuk konvensi kaidah yang mencakup berbagai unsur bahasa seperti sistem bunyi dan struktur, sedangkan parole merupakan bentuk performansi kebahasaan yang telah melewati proses seleksi dari keseluruhan bentuk kebahasaan (Baldicdalam Nurgiantoro, 2014: 54).

  Penuturan bahasa secara nyata, selanjutnya disebut performansi sekalipun sudah melewati seleksi, juga dapat dikreasikan, disiasati, atau diberdayakan oleh penutur sesuai dengan kompetensi dan pandangan artistiknya. Terhadap hal ini Chomsky yang mempunyai pandangan tentang hubungan antara ‘competence’ dan ‘performance’ dinyatakan mirip dengan hubungan antara ‘langue’dan ‘parole’.

  Bentuk performansi kebahasaan (kinerja) seorang pengarang (sastra) yang dapat dilihat dalam sebuah karya sastra baik fiksi, maupun puisi, juga dalam ragam bahasa yang lain, merupakan sebuah pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat batiniah. Ini merupakan manifestasi dari sebuah sistem kaidah bahasa. Jadi bahasa, style jika dikaitkan dengan teori kebahasaam Saussure merupakan suatu bentuk ‘parole’. Stile adalah perwujudan penggunaan bahasa secara konkret sesuai dengan sistem kaidah suatu bahasa (Nurgiyantoro, 2014: 53-55).

  Bahasa dalam sastra memiliki peran sentral, merupakan media utama yang diberdayakan oleh seorang pengarang untuk mengekspresikan berbagai gagasan sastrawan. Sebagai alat untuk berkomunikasi bagi sastrawan dalam menyampaikan gagasan kepada pembaca sebagai komunikan atau apresiasinya (Al- Ma’ruf, 2012:1).

  Di sisi lain sebagai alat komunikasi, penyampai gagasan memiliki kedudukan yang penting. Hal ini berhubungan dengan sifat bahasa. Wellek & Waren (1989) menyebutkan sifat bahasa sastra yakni emosional, konotatif, bergaya (berjiwa) dan memiliki ketidaklangsungan ekspresi. Emosional bermakna mengandung ambiguitas yang luas penuh homonim, manasuka/katagori-katagori tak rasional, diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosiasi. Bahasa secara konotatif mengandung arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial (Al- Ma’ruf , 2012: 3-4).

  Bahasa memiliki peran dalam pemertahanan dan pengembangan kebudayaan oleh sebab itu, aspek kebudayaan peninggalan masa lalu direkam dan diwariskan kepada generasi berikutnya, salah satunya dengan bahasa (Nurgiantoro, 2014: 20-21).Oleh karena itu, bahasa merupakan gejala yang memiliki ciri yang bersifat dinamis. Dikatakan dinamis karena bahasa dapat mencerminkan kebudayaan yang paling lengkap, merekam berbagai aktivitas kebudayaan yang lain.

  Sifat dinamis bahasa, memiliki makna bahwa bahasa ini berkembang oleh banyak hal seirama dengan pekembangan masyarakat pemakai bahasa, baik dari segi sosiologis, sains, teknologi maupun lainnya, dan secara rekayasa seperti yang dilakukan oleh balai bahasa, ataupun masyarakat pemakai bahasa secara bersama (Wachid, 2010: 61).

  Bahasa dalam karya sastra dinamis, terbuka terhadap kemungkinan penyimpangan dan juga pembaharuan. Akan tetapi penyimpangan dan pembaharuan ini tetap tidak mengabaikan fungsi komunikatifnya. Sedangkan fungsi komuniktif ini akan efektif apabila tuturan masih tunduk dan memanfaatkan konvensi bahasa itu. (Nurgiyantoro, 2010:275).

  Pemakaian bahasa dalam karya sastra tidak sama dengan pemakaian bahasa dalam buku-buku ilmiah, majalah dan surat kabar, iklan, perundang-undangan, serta pidato kenegaraan. Bahasa dalam karya sastra memiliki keunikan tersendiri, keunikan ini yang membedakan antara bahasa dalam karya sastra dengan pemakaian bahasa pada tulisan yang bukan sastra seperti yang disebutkan di atas.

  Karya sastra juga merupakan suatu wacana yang diungkapkan dengan menggunakan medium yang bernama bahasa (Al-Maruf, 2012: 34). Artinya pemakaian bahasa yang digunakan oleh seseorang akan berbeda-beda stilenya tergantung dari bagaimana seorang pengarang itu akan memfungsikan bahasa tersebut untuk berbagai kepentingan.

  Semua penggunaan bahasa dalam konteks apapun pada hakikatnya terkait dengan stile. Bahasa memiliki fungsi sebagai perekam budaya dan berbagai temuan ilmiah sebelumnya sehingga kebudayaan ilmu dan teknologi, serta peradaban terus dapat dikembangkan. Sebagai contoh sampai kini kita masih bisa menikmati karya-karya yang ditulis pada masa lalu, misalnya hikayat Si Miskin, Hikayat Hang Tuah, dan karangan pengarang Shakespeare yang terkenal hingga kini yakni Hamlet, Romeo dan Juliet, masih bisa kita nikmati belum lagi karya- karya nonsastra, seperti karya ilmiah. Dari berbagai fakta di atas, ternyata berbagai penemuan ilmiah yang mampu mengubah dunia secara revolusioner dapat kita nikmati (Nurgiyantoro, 2014: 1-3).

  Terdapat enam faktor dan fungsi bahasa yakni pengirim ‘addreser, sender’, konteks ‘context’, pesan ‘message’, kontak ‘contact’, kode ‘code’ dan penerima ‘receiver’. Adapun keenam fungsi bahasa tersebut adalah fungsi emotif ‘emotive’, referencial ‘referential’, puitik ‘poetic’, patik ‘phatic’, metaligual ‘metaligual’, konatif ‘conative’(Roman Jakobson dalam Nurgiantoro, 2014: 21-25). Selanjutnya, keenam faktor dan fungsi tersebut di digambarkan dan di jelaskan akan tampak sebagai berikut.

  Konteks Pesan

  Penerima Pengirim

  Kontak Kode

  Gambar 2.2Faktor Bahasa Teori Jakobson Bagan fungsi bahasa dari teori Jakobson akan diuraikan lebih rinci sebagai berikut.

  Referensial Puitik Konatif

  Emotif Patik

  Metaliguall

Gambar 2.3 Fungsi Bahasa Teori Jakobson

  a. Fungsi referensial terkait dengan konteks, dalam proses komunikasi konteks memberikan, mempengaruhi, dan menentukan referensi makna (pesan) yang dikomunikasikan.

  b. Fungsi emotif berkaitan dengan pembicara atau pengirim pesan.

  Pengirim pesan adalah yng memiliki pesan, di dalam pesan yang disampaikan itu biasanya terdapat unsur emotif yang menunjukkan sikap, emosi, atau nada tertentu yang menunjukkan situasi emosi pembicara. Seperti dalam dialog tokoh-tokoh fiksi misalnya dapat kita jumpai kata- kata umpatan, rayuan, seruan dan lain sebagainya.

  c. Fungsi konatif berkaitan dengan penerima pesan. Misalnya adanya unsur (kalimat) imperatif dan (tanda) apostrof dalam sebuah teks.

  d. Fungsi bahasa metaligual artinya fungsi bahasa untuk menjelaskan bahasa itu sendiri. Misalnya penjelasan tentang konsep ungkapan tertentu yang ada pada suatu bahasa.

  e. Fungsi puitis bahasa berkaitan langsung dengan pesan yang ingin dikomunikasikan. Pemfokusan perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri ‘focusing on the message for its own sake’.

  Terdapat hubungan antara fungsi bahasa referensial dan fungsi puitis ini. Jika sebuah penuturan lebih menekankan pada pesan dalam sebuah teks demi pesan itu sendiri dengan sifat ambiguitasnya dan kurang memperhatikan konteks, fungsi puitis lebih menonjol. Apabila sebaliknya yakni penuturan lebih menekankan pentingnya faktor konteks, kepastian makna pesan, maka fungsi referensial lebih dominan.

  Pemakaian bahasa secara umum meliputi keenam fungsi di atas, namun dalam bahasa karya sastra prosa (cerpen) fungsi puitik lebih dominan daripada kelima fungsi lainnya. Fungsi puitik inilah yang menjadikan pesan kebahasaan karya seni. Komunikasi dalam cerpen dapat dikatakan sebagai bentuk komunikasi puitik dan memiliki fungsi emotif berkaitan engan aktifitas imajinasi dan kreasi pengaarang. Dalam konteks ini bahasa dalam cerpen difungsikan untuk membentuk dan mengungkapkan ekspresi secara langsung sekaligus disertai nuansa emotif, dan sikap penuturnya sendiri.

  Dilihat dari bahasa komunikasi, bahasa-bahasa dalam karya sastra mempunyai beberapa kekhususan dalam pemakaiannya. Untuk menjalin komunikasi tersebut pengarang melakukan berbagai upaya untuk memberdayakan bahasa guna mencapai tujuan yang dimaksud.

  Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa penuturan dalam kesastraan dipandang sebagai proses (usaha) komunikasi. Dalam menjalin komunikasi tersebut pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan tentunya bukan semata-mata bertujuan ingin aneh ataupun ingin berbeda, ingin lain dari yang lain, tetapi dimaksudkan untuk memperoleh efek keindahan disamping juga bermaksud mengedepankan, mengaktualkan‘foreground’ sesuatu yang di tuturkan. Seorang pengarang merasa lebih pas jika idenya diungkapkan dengan cara tertentu, bukan dengan cara lain yang biasa (Nurgiyantoro, 2010:275).

  Segi kekhususan bahasa sastra yang lain adalah adanya aspek keindahan atau estetis, mengandung pesan yang tidak langsung, dan hakikat emosional. Hal tersebut mengarahkan bahasa sastra pada penyajiannya yang terselubung, terbungkus, bahkan dengan sengaja disembunyikan, oleh karena itu bahasa dalam karya sastra khas.

  Dominasi penggunaan bahasa yang khas dalam karya sastra diakibatkan oleh beberapa hal sebagai berikut.

  a. Karya sastra mementingkan unsur keindahan.

  b. Penggunaan cara-cara yang yang tak langsung dalam penyampaian pesan seperti; refleks, refraksi, proyeksi, manifestasi, dan representasi.

  c. Karya sastra adalah curahan hati bukan intelektual (Kutha, 2013:13-14). Kekhasan dan kekhususan yang membedakan bahasa sastra dengan bahasa ilmiah dan penyampaian pesan yang dilakukan secara tidak langsung dalam mencapai tujuan komunikasinya membuat pembaca mendapatkan pengalaman batin ketika membaca karya sastra. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Jan Van Luxembrug dkk dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Dick Hartoko (1992: 12) bahwa bahasa dalam sastra, pengolahan bahan dapat membuka batin kita sehingga mendapatkan pengalaman-pengalaman baru/ mengajak kita untuk mengatur pengalaman tersebut dengan satu cara yang baru.

  Jika kita rumuskan secara padat, maka akan didapat rumusan ciri-ciri dan sifat bahasa sebagai berikut.

  a. Bahasa sastra didominasi oleh unsur emosi ‘perasaan’ dan subjektif daripada unsur rasio pikiran dan objektif seperti dalam bahasa ilmiah. Emosi bukan dalam artian emosional, mengandung maksud untuk mengekspresikan perasaan yang kuat.

  b. Bahasa dalam sastra lebih menunjuk pada makna konotatif daripada makna denotatif.

  c. Karya sastra disebut sebagai karya kreatif, maka bahasa yang digunakanpun disebut bahasa kreatif.

  d. Bahasa sastra ditandai oleh adanya pengucapan yang menyimpang, yang lain daripada yang lain.

  e. Bahasa sastra ditandai oleh adanya unsur-unsur tertentu yang mendapat penekanan lebih, dengan tujuan untuk mencapai keindahan. Istilah lain untuk menyebut ini adalah ‘foregrounding’.‘Foregrounding’ dapat di pahami sebagai mengedepankan, mementingkan, atau mengaktualkan. Kata, ungkapan, atau struktur yang di-

  ‘foregrounding’-kan berarti kata, ungkapan, struktur yang mendapat penekanan untuk mencapai keindahan tanpa mengesampingan muatan makna atau pesan (Nurgiantoro, 2014:133-141).

  Kajian stile akan memperkaya pengetahuan, pemahaman, dan wawasan kita terhadap bahasa dan pengguunaan bahasa dalam suatu teks sastra. Kajian stile ini akan membawa masyarakat pembaca pada suatu pemahaman yang lebih baik. Pembaca akan lebih luas memaknai bagaimana bahasa diberdayakan sedemikian rupa, dikreasikan, bagaimana untuk mencapai efek-efek tertentu bahkan penggunaan bahasa ini disimpangkan, dilakukan pengulangan, penekanan, bahkan penciptaan ungkapan-ungkapan yang baru yang belum pernah ada sebelumnya.

  Hal-hal di atas dilakukan dengan tujuan agar tercipta komunikasi bahasa yang lebih segar, lebih efektif.

  Kajian stilistika adalah bagian dari estetik, disamping pula kajian linguistik. Dikatakan sebagai bagian dari estetik karena menyangkut objek keindahan. Kaitannya dengan objek penelitiannya yakni teks sastra, teks sastra ini adalah bagian dari sebuah karya seni. Sedangkan objek linguistik karena wujud nyatanya adalah bahasa, berawal dari penggunaan bahasa dalam konteks wacana.

  Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa posisi stilistika tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ada dua penekanan yakni efek keindahan dan dukungan bahasa. Kajian stilistika bertujuan untuk fungsi estetis bentuk-bentuk linguistik tertentu. Data stile adalah bahasa, jadi kajian stilistika ini berangkat dari penggunaan bahasa dalam sebuah teks. Deskripsi stile tidak lain adalah deskripsi bahasa, lebih tepatnya penggunaan berbagai komponen bahasa. Oleh karena itu, kerja yang terkait dengan hal-hal tersebut merupakan kerja linguistik. Kajian stilistika harus diprasarati dengan pengusaan linguistik yang baik (Nurgiantoro 2014:78).

  Berangkat dari beberapa pemahaman di atas maka asumsinya adalah bahwa ada dua kutup yang harus diselesaikan dalam kajian penelitian ini, yakni kutup seni dan kutup liguistik yang harus terselesaikan secara tuntas. Pengamatan terhadap linguistik akan menstimulasi wawasan estetis sastra, demikian juga sebaliknya wawasan estetis sastra akan menstimulasi secara lebih lanjut terhadap observasi linguistik (Nurgiyantoro, 2014:79).

  Jadi tidak ada keharusan penelitian tentang stilistika ini berangkat dari sisi linguistik atau sisi literer. Namun yang menjadi penekanannya adalah tuntutan kedalaman, kepekaan dan kesanggupan peneliti untuk merespon fungsi- fungsi estetis sebuah teks dengan melakukan observasi secara mendalam terhadap tanda- tanda linguistik yang mendukung.

  Analisis stilistik, dapat dilakukan melaui dua cara. Cara yang pertama adalah dilakukan dengan analisis secara sistematik terhadap sistem dan tanda- tanda liguistik dan kemudian menginterpretasikannya sebagai keseluruhan makna, dan itu dalam hubungannya dengan tujuan estetis sebuah karya sastra. Tanda- tanda linguistik yang dimaksud mencakup seluruh aspek kebahasan yang membentuk stile sebagaimana terdapat dalam sebuah teks sastra. Kedua, dilakukan dengan menganalisis bentuk-bentuk linguistik yang menyimpang dari sistem yang berlaku umum. Analisis stilistika dilakukan dengan mengamati berbagai bentuk deviasi dan distorsi bahasa yang terdapat pada sebuah karya dan kemudian dibandingkan dengan bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang wajar- baku dan dari sinilah kemudian dicobatemukan fungsi estetisnya. Aspek bahasa yang menyimpang itu dapat berupa pengulangan bunyi, inversi susunan kata, penghilangan afik, penggunaan makna konotasi, dan lain-lain baik yang bertujuan menekankan dan memperjelas makna maupun sebaliknya, mengaburkan makna (Wellek & Waren, 1989:226).

  Penelitian tentang kajian stilistika ini tidak boleh lepas pada pandangan bahwa sebuah teks tidak dapat lepas dari konteks penggunaannya. Jadi ragam bahasa yang akan dikaji benar-benar menjadi titik tolak peneliti dalam melakukan analisisnya. Karena stilistika berada pada posisi linguistik dan seni hal ini harus dijadikam patokan karena data stile adalah data bahasa. Namun analisis stile tidaklah sama dengan analisis bahasa. Analisis bahasa akan terhenti pada deskrepsi berbagai asppek bahasa saja. Sedangkan tujuan kajian stilistika adalah menemukan dan menjelaskan ketepatan penggunaan bentuk-bentuk bahasa baik secara estetis maupun efektivitasnya sebagai sarana komunikasi. Oleh karena itu langkah-langkah penelitian stilistika ini harus setia pada tujuan kajian. Adapun tujuan ini adalah mencoba menemukan dan menjelaskan fungsi penggunaan berbagai bentuk kebahasaan sehingga dapat dikatakan mendukung capaian efek keindahan. Tetapi keindahan ini juga berarti tepatnya bentuk bahasa itu sebagai sarana berkomunikasi (Nurgiantoro, 2014:99-101).

  Langkah kerja selanjutnya adalah mencari bukti-bukti linguistik yang dipertimbangkan untuk mendukung tujuan di atas. Oleh karena kegiatan selanjutnya adalah menganalisis berbagai aspek teks. Adapun aspek-aspek yang dianalisis pada teks sastra ini adalah berbagai tanda linguistik yang meliputi aspek bunyi, struktur, bahasa figuratif (pemajasan), sarana retorika, serta konteks dan kohesi. Berbeda dengan kajian puisi yang mementingkan aspek bunyi sebagai aspek estetis dalam bentuk persajakan dengan segala variasinya seperti, irama, tiruan bunyi, penciptaan suasana tertentu. Kajian stile bahasa prosa unsur-usur bunyi di atas biasanya diabaikan.

  Merujuk beberapa pendapat para pakar yangmenyatakan bahwa kajian stilistika sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan mengkaji bentuk dan tanda- tanda linguistik yang digunakan dalam struktur lahir karya sastra tersebut. Bentuk atau usur-unsur yang dimaksud atau unsur-unsur stilistika sebagai tanda-tanda ligustik ini dapat berupa fonem, leksikal atau diksi,kalimat, wacana,bahasa figuratif dan citraanpakar (Al’Maruf,2012:20-21). Pada beberapa penelitian yang telah dipublikasikan kajian stilistika menganalisis latar belakang pemanfaatan bentuk-bentuk dan satuan kebahasaan tertentu yang sengaja diciptakan pengarang sebagai wujud stilistika. Pemanfaatan ini tentunya memiliki latar belakang tertentu bagi sastrawannya. Berbagai alasan pemanfaatan bentuk atau satuan kebahasaan inilah yang dikaji dalam stilistika. Analisis terhadap fungsi pemanfaatan satuan dan bentuk-bentuk kebahasaan yang diberdayakan sedemikian rupa oleh sastrawan. Diciptakannya satuan dan bentuk- bentuk kebahasaan tertentu ini tentunya memiliki fungsi-fungsi ini tentulah tak lepas dari fungsi untuk mencapai efek estetis tertentu yang dikehendaki oleh seorang sastrawan. Sedangkan yang terakhir adalah analisis terhadap tujuan pemanfataan bentuk atau satuan ligual tertentu dalam karya sasta. Penciptaan bentuk-bentuk kebahasaan yang unik dan khas, serta estetik oleh sastrawan tentunya memiliki tujuan tertentu (Al’Maruf, 2012: 21-22). Adapun kerja stilistika yakni dengan mencari bukti-bukti liguistik yang mempertimbangkan mendukung tujuan- tujuan yang ada ‘seeking linguistic

  evidence

  ’ Berbagai aspek yang ada dalam bahasa teks perlu dianalisis dengan seksama. Aspek yang dianalisis untuk teks sastra adalah berbagai tanda liguistik

  ‘linguisticfeatures’ yang meliputi aspek bunyi, diksi, stuktur, bahasa figuratif (pemajasan), sarana retorika (penyiasatan struktur), serta konteks dan kohesi.

  Berbagai aspek inilah yang dikaji untuk ditemkan keberadaannya dalam sebuuah teks yang akan dikaji. Hasilnya dideskripsikan dalam bentuk deskripsi kebahasaan ‘linguistic description’. Karena kajiannya berupa kajian stilistika maka langkah berikutnya adalah menjelaskan peran dan fungsi setiap aspek kebahasaan itu dalam kaitannya dengan tujuan memperoleh efek keindahan (Nurgiantoro, 2012:101).

  Berdasarkan uraian pendapat para ahli mengenai pengertian, tujuan dan lapangan kajian stilistika (lihat uraian Bab II ) serta berdasarkan beberapa penelitian yang menggunakan stilistika sebagai pendekatannya, kajian stilistika terhadap cerpen karya Seno Gumira Ajidarma ini menerapkan kajian stilistika yang tidak lagi berfokus pada penyimpangan pemakaian bahasa dalam cerpen. Kajian stilistika ini meliputi pembahasan mengenai kekhasan, keunikanAntologi Cerpen “Senja dan Cinta yang Berdarah” karya Seno Gumira Ajidarma dalam pemakaian kata, dan bahasa figuratif.

3. Gaya dalam Kajian Stilistika

  Di beberapa buku pengertian tentang gaya dibahas sebagai bagian dari retorika. Gaya dianggap sebagai sarana yang dipergunakan oleh pengarang untuk mencapai tujuannya. Pedapat lain mendefinisikan gaya sebagai variasi. Gaya ialah segala sesuatu yang memberikan ciri khas dibandingkan dengan teks-teks lainnya.

  Variasi dapat dijumpai di dalam ungkapan saja (dualistik didalam keseluruhan ungkapan dan isi (monistik). Variasi ini diklasifikasikan dan dikenal sebagai pola- pola gaya dalam struktur teks, meliputi (1) penambahan/pengulangan, (2) penukaran, (3) penggantian, (4) penghapusan. Empat jenis transformasi di atas dapat dikaitkan dengan sintaksis, semantik, dan bunyi ‘fonologi’ (Luxemburg, 1992:104-105).

  Kaitannya seorang pengarang sebagai pembuat teks, berhubungan dengan masalah bagaimana cara (seseorang) menyatakan sesuatu sedangkan hubungan selanjutnya berkaitan dengan apa yang akan dikatakan. Sebuah fiksi hadir dihadapan pembaca untuk mengenalkan dunia. Untuk mengenalkan ini hanya dapat dicapai melalui sarana bahasa(Nurgiyantoro, 2010:277).

  Bahasa merupakan sarana bagi seorang pengarang untuk menunjukan gaya atau stile pada masyarakat pembaca. Adapun gaya ini merupakan kekhasan yang dimiliki oleh seorang pengarang, baik dari pilihan kata yang digunakan, kalimat yang diberdayakan maupun bahasa-bahasa figuratif yang digunakan. Teknik pengarang dalam memberdayakan bahasa sedemikian rupa untuk menuangkan ide, gagasan, pikiran inilah yang disebut sebagai gaya.

  Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Stanton yang mengatakan bahwa gaya merupakan cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Misalnya dua orang menggunakan alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan ini terletak pada bahasa yang menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor, kekongkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya (Stanton, 2007: 61).

4. Diksi

  Pada hakekatnya diksi berasal dari bahasa Latin ‘dicere’, ‘dictum’yang berarti ‘to say’.Di sisi lain, diksi juga diartikan sebagai pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau penulisan (Scott dalam Al- Ma’ruf, 2012: 50). Pada konteks yang lebih konkret dapat dilihat apabila seseorang mendengar kata roti, maka tidak ada yang berfikir tentang sesuatu barang yang terdiri dari, tepung air, ragi, mentega yang telah di panggang. Orang akan berfikir kepada esensi yang baru yaitu sejenis makanan, roti,

  ‘bread’, ‘Brot’, ‘brood’, ‘pain’, ‘pains’. Bunyi atau bentuk (rangkaian huruf ) yang akan mengarahkan perhatian kita kepada jenis makanan itu. Oleh karena itu kata dapat didefinisikan sebagai rangkaian bunyi atau simbol yang tertulis yang menyebabkan orang berfikir tentang sesuatu hal dan makna sebuah kata diperoleh berdasarkan konvensi atau kesepakatan umum tentang interelasi antara sebuah kata dengan referensinya (Keraf, 2010: 87- 88).Diksi merupakan pilihan kata-kata yang digunakan oleh pengarang dalam karyanya dengan tujuan untuk mencapai efek makna tertentu. Dalam hal ini berhubungan dengan makna denotasi dan makna konotasi. Keberaadaan kata-kata ini selanjutnya menjadi sangat esensial dalam karya sastra. Kata-kata yang dikombinasikan dalam berbagai variasi akan mampu menggambarkan ide, angan, dan perasaan (Al-

  Ma’ruf, 2012: 49). Di dalam konteks ini, diksi dinilai sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Seorang pengarang dituntut untuk dapat memilih dan memilah kata-kata tertentu untuk mencapai efek estetis yang diinginkan, dengan tanpa mengesampingkan makna atau ide, gagasan yang hendak disampaikan. Pada dasarnya di dalam proses pemilihan kata-kata inilah pengarang seringkali mengalami pergulatan penyair dengan karyanya, bagaimana pengarang memilih kata-kata memadu padankan dengan kata-kata yang lain yang benar-benar mengandung arti yang sesuai dengan yang diinginkannya, baik dalam arti konotatif maupun denotatif. Kata merupakan kesatuan tak terpisahkan antara aspek bentuk ‘signifiant’ dengan aspek arti ‘signifie’. Pemahaman ‘signifie’ dalam kesadaran batin penafsir akan membuahkan gambaran signifikantum sebagaimana tertandi lewat signifikannya. Sehingga relasi antara keduanya yakni antara lambang kebahasaan dengan sesuatu yang dilambangkannya ada dalam hubungan ganda itulah, kata sebagai lambang kebahasaan memungkinkan untuk diubah relasinya menjadi makna lain (Al-

  Ma’ruf, 2012:51-52). Pengubahan relasi sebuah kata sehingga tercipta makna lain, makna yang sekaligus dapat mewakili nilai estetis yang dikehendaki pengarang menjadi fenomena tersendiri dalam pemberdayaan kata pada sebuah karya sastra.

  Kata yang di rangkai sehingga membentuk kelompok kata mampu menimbulkan makna baru dari sekedar perpaduan makna unsur-unsur yang ada.

  Kata yang dikombinasikan dengan kata-kata lain dalam berbagai variasi mampu menggambarkan berbagai ide, pikiran, dan perasaan. Kaitannya sebagai medium ekspresi ide dan gagasan ini kesatuan antara lambang dengan yang dilambangkan sangat padu. Sebagai contoh kata buah mengacu kepada arti bagian dari

  

tumbuhan, jika matang biasanya manis, harum, sebagian besar dapat

dikonsumsi, mengandung vitamin , baik untuk kesehatan. Dalam prosesnya untuk

  mengekpresikan sesuatu, kata buah dapat bermakna lain seandainaya melekat pada lambang kebahasaan itu sendiri. Kata buah, maknanya dapat diekspresikan sebagai ide atau angan tentang hasil dari jerih payah, bukan lagi sebagai bagian dari tumbuhan. Misalnya pada kata buah karya, buah dalam buah karya dalam hal ini mengalami perubahan makna. Lambang buah karya mengacu pada pengertian

  

hasil karya , atau hasil cipta. Demikian halnya jika melekat pada kata cinta, maka

  menjadi bentuk kebahasaan dengan makna yang berbeda pula, misalnya buah

  

cinta . Maka kata buah mengalami perubahan makna, tidak lagi sebagai bagian

dari tumbuhan yang mengandung vitamin melainkan, anak.

  5. Bahasa Figuratif

  Figuratif berasal dari bahasa latin figura, yang berarti form, shape. Figura berasal kata ‘fingere’dengan arti ‘to fashion’. Istilah ini sejajar dengan pengertian metafora (Scott dalam Al-

  Ma’ruf, 2012: 59). Beberapa ahli mengidentifikasikan bahasa figuratif sebagai bahasa retorika dalam karya sastra. Retorika merupakan pemberdayaan semua unsur bahasa baik yang menyangkut masalah pilihan kata dan ungkapan,struktur kalimat, segmentasi, penyusunan dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan yang disesuaikan dengan tujuan. Adanya kekhasan, ketepatan, kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan tergantung pada kemampuan imajinasi dan kretivitas pengarang (Nurgiantoro, 2010: 295-296).

  Bahasa figuratif merupakan retorika sastra, pengungkapannya dengan kias menyaran pada makna literal ‘literal meaning’, memanfatkan bahasa sedemikian rupa untuk memperoleh efek estetis. Dalam kajian stilistika karya sastra mencakup majas, idiom, dan peribahasa. Majas, idiom dan peribahasa dipandang representatif dalam mendukung gagasan pengarang, selain dari ketiganya cukup banyak dimanfaatkan para sastrawan dalam karyanya(Al-

  Ma’ruf, 2012: 60-61). Sedangkan unsur style yang berujud retorika menurut Abrams dalam

  Nurgiyantoro (2010) terdiri dari bahasa figuratif ‘figurative language’ dan wujud pencitraan ‘imagery’. Sedangkan bahasa figuratif dibedakan ke dalam (1) ‘figures

  

of thought ’ atau ‘tropes,’ dan (2) ‘figures of speech, rhetorical figures,’ atau

  ‘schemes’ Yang pertama merujuk pada penggunaan unsur kebahasaan yang menyimpang dari makna yang harfiah dan lebih menyaran pada makna literal

  

‘meaning’, sedangkan yang kedua lebih menunjuk pada masalah pengurutan kata,

  masalah permainan struktur. Jadi yang pertama mempersoalkan pada pengungkapan dengan cara kias, sedangkan yang kedua denga penyiasatan struktur. Stile ini yang merupakan retorika klasik, yang biasa dianggap hanya “gaya bahasa”(Nurgiyantoro, 2010:296).

  a. Idiom

  Idiom sering disejajarkan dengan konsep atau pengertian peribahasa dalam bahasa Indonesia. Menilik pada konsep idiom yang disampaika Keraf, makna idiom jauh lebih luas daripada peribahasa. Idiom merupakan

  “Pola-pola struktur yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasayang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal , dengan bertumpu pada kata- kata yang membentuknya”(Keraf, 2010:109).

  b. Simile

  Konsep tentang simile sering disebut pula sebagai ‘persamaan’. Simile atau persamaan merupakan gaya bahasa perbandingan. Perbandingan ini bersifat eksplisit karena ia secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain. Oleh karena itu upaya yang digunakan dalam perbandingan ini juga bersifat eksplisit yaitu dengan kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya (Keraf, Gorys, 2010: 138).

  Simile seringkali digunakan dalam karya sastra. Pemilihan dan penggunaan simile yang dilakukan pengarang memiliki tujuan yang hampir sama yakni untuk menyampaikan gagasan dan pikiran dengan lebih jelas kepada pembaca tanpa mengesampingkan tujuan estetis yang dikehendaki. Simile merupakan bagian dari gaya bahasa figuratif yang dapat membuat komunikasi bahasa menjadi lebih hidup dan lancar.Sejauhmana simile dalam karya sastra prosa diberdayakan untuk mengungkapkan gagasan dan pikiran pengarang dan sekaligus mencapai efek estetis?. Pertanyaan seperti inilah nanti yang akan digunakan untuk mengupas cerpen karya Gumira Aji Darma dalam penelitian ini.

  c. Konotasi

  Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Dalam makna konotatif antara stimulus dan respon mengadung nilai-nilai emosional. Makna konotatif ini terjadi karena pembicara bermaksud menimpulkan efek emosional seperti senang-tidak senang. Kaitannya dengan aspek perasaan, Misalnya kata mati, meninggal, wafat,gugur, mangkat,

  

berpulang ,memiliki denotasi yang sama, namun memiliki konotasi yang berbeda

  pada kata meninggal, wafat, berpulang memiliki konotasi kesopanan. Kata

  mangkat

  memiliki konotasi “kebesaran”, dan gugur memiliki nilai keagungan dan keluhuran. Hal ini akan berbeda pada kata persekot, uang muka atau panjar hanya mengandung makna denotatif (Keraf, 2010:28-30).

  Jadi sebuah kata mengandung makna denotasi dan makna konotasi apabila kata tersebut disamping memiliki makna dasar yang melekat juga memiliki makna tambahan yang mempertimbangkan aspek hubungan sosial. Jika sebuah kata tidak memiliki makna konotasi tetapi hanya memiliki makna denotasi saja artinya dalam hubungan sosial kata tersebut dianggap tidak memiliki nilai emosional.

  d. Metafora

  Secara etimologis metafora berasal dari akar ka ta ‘meta’ + ‘pherein’ (Yunani).

  ‘Meta’ berarti disamping, sesudah, mengatasi, sedangkan ’pherein

  berarti membawa, mengalihkan. Dari devinisi ini metafora berarti membawa keluar, di samping atau di atasnyasehingga suatu kelompok kata memiliki makna yang berbeda (Ratna, 2013: 187).

  Metafora adalah analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Misalnya bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cendera mata dan sebagainya. Metafora tidak menggunakan kata-kata pembanding: seperti, bak, bagaikan, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya metafora hampir sama dengan simile tetapi kemudian berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan (Keraf, 2010:139).

  Metafora didefinisikan melalui dua pengertian, secara sempit dan secara luas. Pengertian di atas bahwa majas metafora termasuk majas perbandingan termasuk pengertian secara sempit. Pengertian metafora secara sempit adalah majas seperti metonomia, sinekdoke, hiperbola dan sebagainya. Sedangkan pengertian secara luas diartikan sebagai semua bentuk kiasan, penggunaan bahasa yang dianggap ‘menyimpang’ dari bahasa baku(Ratna, 2013: 181).

  Sebagai perbandingan metafora memiliki unsur yang dibandingkan dan unsur pemba nding atau dua ‘term‘ atau dua bagian. ‘Term’ pokok ‘principal term’ dan term kedua ‘secondary term’. ‘Term‘pokok disebut juga ‘tenor’, term kedua disebut juga ‘vehicle’.‘Term’ pokok atau term tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan term kedua a tau ‘vehicle’ adalah hal yang untuk membandingkan. Misalnya ‘Bumi adalah perempuan jalang’ maka ‘Bumi’ adalah ‘term‘pokok, sedangkan ‘perempuan jalang’ ‘term’ kedua atau ‘vehicle.’ Terhadap fenomena di atas seringkali seorang pengarang langsung menyebut

  ‘term’ kedua tanpa menyebutkan ‘term’ pokok atau tenornya. Inilah yang selanjutnya disebut sebagai metafora implisit ‘implied metaphore’(Pradopo, 2009:66).

e. Metonomia

  Metonomia seringkali dibicarakan bersama-sama dengan metafora. Hal ini karena antara metafora dan metonomia saling berkaitan. Secara etimologis memiliki ciri-ciri yaitu adanya perubahan makna sehingga objek dapat dikaitkan dengan apa yang dimaksudkan. Perbedaan antara keduanya adalah jika metafora dengan cara mengalihkan, melalui persamaan dan perbandingan, didasarkan atas proses seleksi, pilihan satu tanda dengan tanda-tanda yang lain, sedangkan metonomia dengan mengatasnamakan, menampilkan konsep-konsep secara bertautan, berdekatan, bersebelahan, dan berdampingan. Hubungan dalam metonomia antara bagian dan keseluruhan, penghasil dan benda-benda yang dihasilkan, sebab dan akibat, ruang dan waktu. Oleh karena itu ciri khas dari metonomia adalah sinekdoke (Ratna, 2013: 202-203).

  Metonomia dan sinekdoke merupakan bahasa kiasan yang jarang dijumpai pemakaiannya dibandingkan dengan metafora, perbandingan, dan personifikasi.

  Berikut contoh yang diambilkan dari sajak Toto Sudarto Bachtiar dalam “Ibu Kota Senja”.

  Klakson dan lonceng bunyi bergiliran .....

  Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan Di bawah bayangan samar istana kejang O, kota kekasih setelah senja Kata Klakson dan Lonceng dimaksudkan untuk mengganti orang-orang atau partai yang bersaing adu keras suaranya. Sungai kesayangan mengganti Sungai Ciliwung. Istana mengganti kaum kaya yang memiliki rumah-rumah seperti istana. Kota kekasih adalah Jakarta (Pradopo, 2009: 77-78).

  f. Personifikasi atau ‘Prosopopoeia;

  Personifikasi atau ‘Prosopopoeia’ adalah bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Penginsanan dalam personifikasi adalah benda-benda mati bertindak dan berbuat seperti manusia, atau perwatakan manusia, baik dalam tindak-tanduk, perasaan, dan perwatakan manusia lainnya (Keraf, 2010: 140).

  g. Hiperbola

  Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal (Keraf, 2010: 135). Hiperbola merupakan sarana retorika yang banyak kita jumpai pada karya- karya berbentuk puisi. Gaya ini sering pula digunakan pada teks-teks fiksi dalam bentuk prosa yang dimaksudkan untuk menegaskan, menekankan, atau mengintensifkan penuturan. Selain itu dalam kehidupan sehari-hari pun gaya bahasa hiperbola ini seringkali digunakan dalam percakapan (Nurgiyantoro, 2014: 261-263).

  Adapun penggunaan Hiperbola pada cerpen karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku terlihat pada kutipan berikut ini.

  Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu berbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja disaku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih (SCB: 447).