BAB II KAJIAN PUSTAKA - SETIYADI BAB II
1. Hakikat Puisi Untuk memahami hakikat puisi, perlu peneliti kutip pendapat dari para ahli. I.A. Richards, berpendapat bahwa ―Suatu puisi mengandung suatu makna keseluruhan‖ yang merupakan perpaduan dari tema penyair (yaitu mengenai inti pokok puisi itu), perasaan-nya (yaitu sikap sang penyair terhadap bahan atau obyeknya), nada-nya (yaitu sikap sang penyair terhadap pembaca atau penikmatnya), dan amanat (yaitu maksud atau tujuan sang penyair). Suharianto (1981: 12) mengatakan bahwa karya seni umumnya atau puisi khususnya, tidak lain ialah hasil pengungkapan kembali kembali segala peristiwa atau kejadian yang terdapat di dalam kehidupan sehari-hari.
Puisi merupakan karya sastra yang memiliki karakteristik unik diban- dingkan dengan genre karya sastra lainnya, yakni prosa dan drama. Keunikan puisi antara lain disebabkan oleh sifatnya yang cenderung berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan. Karena keunikan itulah, batasan mengenai puisi sulit diterangkan secara lengkap dan memadai. Seiring dengan perkembangan karya sastra, termasuk puisi, pengertian puisi pun menjadi berubah. Wirjosoedarmo (dalam Pradopo: 1987, 5) mengatakan bahwa puisi adalah bentuk karangan yang terikat oleh: (1) banyak baris dalam tiap bait (kuplet/ strofa, suku karangan): (2) banyak kata dalam tiap baris: (3) banyak suku kata dalam tiap baris: (4) rima: dan (5) irama.
Kutipan di atas kiranya sudah tidak relevan lagi dengan wujud puisi pada zaman sekarang dalam hal terikat oleh jumlah baris tiap bait, banyaknya kata dalam tiap baris, dan banyaknya suku kata dalam tiap baris. Pada zaman sekarang penyair menghendaki kebebasan dalam mengekspresikan karyanya.
Selanjutnya Pradopo (1987: 5-7) merangkum beberapa definisi puisi yang disajikan para ahli sebagai berikut. Alternbern mendefinisikan puisi sebagai pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum) (as the inteterpretive dramatization in metrical
language). Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata
yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lainnya sangat erat hubungannya. Carlyle berkata, puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Maksudnya penyair dalam menciptakan puisi itu memikirkan bunyi yang nerdu, bunyi dan irama yang ada dalam puisi tersebut serasi dan memepergunakan orkestrasi bunyi. Wordswoth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatf, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur. Selanjutnya, Dunton berpendapat sebenarnya bahwa puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosonal serta berirama. Berikutnya Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Misalnya peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat, seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya itu merupakan detik- detik yang paling indah untuk direkam.
Berdasarkan beberapa rangkuman batasan puisi tersebut, Pradopo (1987: 7) menyimpulkan bahwa puisi itu ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindera dalam susunan yang berirama. Dengan demikian, puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang palaing berkesan. Sedangkan Tarigan (1986: 4) memberikan penjelasan bahwa istilah puisi berasal dari bahasa Yunani, yakni poiesis yang berarti penciptaan.
Waluyo (1987: 25) memberikan definisi puisi sebagai berikut.
―Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.‖
Sayuti (2003: 3) merumuskan puisi sebagai berikut. ― Sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya; yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar- pendengarnya.‖ Berdasarkan definisi puisi seperti tersebut dapat ditarik simpulan bahwa sebuah karya seni disebut puisi jika memiliki ciri-ciri: (1) merupakan ekspresi pengalaman yang ditulis dengan bahasa yang puitis; (2) bersifat pemusatan dan pemadatan pada masalah yang disampaikan dan cara penyampaiannya; (3) lebih mengedepankan efek emosional daripada intelektual; (4) memanfaatkan unsur orkestra atau musik atau bunyi berupa rima dan irama; (5) menimbulkan pengaruh, sugesti atau motivasi kepada pembaca atau pendengarnya atau katarsis.
2. Unsur-unsur Pembangun Puisi Sama halnya dengan karya sastra prosa, puisi juga berfungsi sebagai media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarangnya. Namun harus diakui bahwa untuk mengetahuinya lebih sulit karena bentuk puisi umumnya menggunakan kata-kata kias atau perlambangan dan kata-kata padat.
Karena itu, untuk mengetahuinya diperlukan kecerdasan dan kejelian pembaca untuk menafsirkan kiasan atau perlambangan yang digunakan penyair (Suharianto 2005:38). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa memahami prosa lebih mudah daripada memahami puisi. Bahasa puisi yang penuh kiasan dan lambang-lambang mensyaratkan penikmatnya untuk memiliki kepekaan dan kecermatan dalam memahami puisi yang sedang dihadapi.
Baribin (1990:41) memberikan simpulan atas strata norma yang dikemukakan oleh Wellek , ― Unsur pembentuk atau pembina puisi yang utama ialah: bunyi (termasuk rima dan irama) dan kata (meliputi makna, diksi, pigura bahasa, dan citraan).
‖ Berbeda dengan pernyataan Baribin, Waluyo (1987:28) mengemukakan temuannya secara lebih rinci dan lebih bisa dipahami tentang unsur atau struktur pembangun puisi. Menurutnya,
―Unsur pembangun puisi ada dua, yakni struktur fisik yang terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tata wajah (tipografi); dan struktur batin yang mencakupi tema, nada, perasaan dan suasana, serta amanat (pesan).
‖ Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur pembangun puisi terdiri atas struktur fisik dan batin. Struktur fisik terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, versifikasi, dan tata wajah (tipografi); sedangkan struktur batin mencakupi tema, perasaan, nada dan suasana, serta amanat.
Berikut penjelasan mengenai struktur fisik dan struktur batin puisi.
a) Unsur Fisik
(1) Diksi Menurut Waluyo (2003:72) , ―Diksi adalah kata-kata dalam puisi yang telah dipilih dan disusun oleh penyair dengan mempertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata-kata itu di tengah konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi. ‖ Diksi adalah pemilihan kata dalam sajak. Diksi digunakan untuk mencurahkan pikiran setepat-tepatnya, mengekspresikan perasaan yang dapat menjelmakan pengalaman jiwa penyairnya (Pradopo 2002:54).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur diksi berfungsi teramat penting dalam penulisan puisi. Kekuatan utama puisi terletak pada kecermatan penyair dalam dalam memilih kata untuk dapat mewakili ungkapan penyairnya setepat-tepatnya. Jadi, diksi adalah kata-kata yang dipilih dalam menulis puisi yang memiliki makna setepat-tepatnya untuk dapat mewakili perasaan, pikiran, dan maksud penyair.
(2) Pengimajian Waluyo (1987:78-79) menyatakan bahwa pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan,pendengaran, dan perasaan. Melalui pengimajian, apa yang dikatakan seolah-olah dapat dilihat (imaji visual), didengar (imaji auditif), atau dirasa (imaji taktil). Imaji visual menampilkan kata-kata yang menyebabkan apa yang digambarkan penyair lebih jelas seperti bisa dilihat. Imaji auditif adalah penciptaan ungkapan penyair sehingga pembaca seolah- olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan. Imaji taktil adalah penciptaan ungkapan penyair yang mampu memengaruhi perasaan sehingga pembaca terpengaruh perasaannya.
Senada dengan pernyataan Waluyo (1987), Jabrohim, dkk. (2009:36) menyatakan bahwa pengimajian digunakan untuk memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan, menarik perhatian pembaca, serta memberi bayangan visual penyair dengan menggunakan gambaran-gambaran angan.
Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendegaran, dan perasaan (Siswanto 2008:118). Ia juga menggolongkan imaji menjadi tiga jenis, sesuai dengan pendapat Waluyo (1987), yakni imaji suara, penglihatan, dan raba atau sentuh.
Beberapa pendapat di atas dapat disarikan bahwa pengimajian adalah kata atau kumpulan kata pada puisi yang disusun untuk memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan kesan konkret, dan menghidupkan apa yang diungkapkan oleh penyair sehingga terkesan nyata.
(3) Kata Konkret
Kata konkret digunakan untuk membangkitkan imaji pembaca terhadap puisi yang tengah dihadapi. Imaji ini akibat dari pengimajian yang diciptakan penyair. Adapun kata konkret dihadirkan oleh pengarang untuk menciptakan imaji pembaca. Kata konkret juga erat kaitannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair lihai mengonkretkan kata-kata, pembaca akan seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair sehingga pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisi (Waluyo 1987:81).
Sejalan dengan pendapat Waluyo (1987), Jabrohim, dkk. (2009:41) mengungkapkan bahwa kata konkret merupakan kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud membangkitkan imaji pembaca.
Berdasar pada berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata konkret dalam puisi merupakan kata-kata yang digunakan setiap penyair untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud membangkitkan imaji pembaca, sehingga pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisi. (4) Bahasa Figuratif (Majas) Pradopo (2002:62) menyatakan bahwa dengan bahasa figuratif sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan memberikan kejelasan gambaran angan. Bahasa kias mempersamakan suatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi lebih jelas, lebih menarik, dan hidup.
Waluyo (1987:83) menyebutkan bahwa bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kiasa atau lambing.
Demi mendapatkan kepuitikan bahasa puisi, penyair melakukan pemilihan kata dan mengolahnya dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan bahasa figuratif (figurative language) atau biasa disebut majas . Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Ada berbagai macam jenis bahasa figuratif. Adapun pembagian bahasa figuratif menurut Altenbarnd adalah: simile, metafora, simile epik, alegori, personifikasi, metonimia, dan sinekdok. (Baribin 1990:48- 51).
Peneliti akan memaparkan beberapa majas yang sering digunakan penyair dalam puisinya, yaitu simile, metafora, personifikasi, dan repetisi/pengulangan. (i) Simile atau Majas Perbandingan Simile atau majas perbandingan ialah menyamakan suatu hal dengan suatu hal lain dengan menggunakan kata pembanding, misalnya seperti, bagai, bak, seumpama, laksana, dan sebagainya.
Angin Lembut akan kuberi nama siapakah dia, Tuhan angin lembut yang ramah itu ia tidak kasar seperti angin kemarau ia tidak menyakitkan seperti badan ia lembut dalam setetes embun
Pada bait puisi Sadono di atas terdapat majas perbandingan dengan kata pembanding seperti sekaligus terdapat repetisi.
(ii) Metafora Metafora adalah majas yang menyamakan sesuatu hal dengan sesuatu hal lain tanpa menggunakan kata pembanding (Baribbin, 1990:49). bumi ini perempuan jalang yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawamesum ini dan membunuhnya pagi hari (Subagio) Majas metafora pada puisi di atas adalah bumi dibandingkan dengan perempuan jalang, Kemudian pada baris berikutnya terdapat majas personifikasi, yaitu yang menarik laki-laki jantan dan pertapa. (iii) Personfikasi Majas personifikasi sering digunakan penyair untuk menghidupkan puisinya. Baribin (1990:50) berpendapat bahawa personifikasi ialah mempersamakan benda dengan manusia, hal ini menyebabkan lukisan menjadi hidup, berperan menjadi lebih jelas, dan memberikan bayangan angan yang konkret.
(iv) Repetisi Majas repetisi adalah majas yang mengulang-ulang kata. Majas pengulangan digunakan untuk intensitas makna dan menjadikan puisi itu lebih indah.
Beberapa pemaparan di atas memberikan fungsi yang jelas tentang bahasa figuratif dalam puisi. Bahasa figuratif adalah susunan kata dalam puisi untuk mempersamakan satu hal dengan yang lain demi menimbulkan kesegaran bahasa, kesan hidup, dan kejelasan gambaran angan, serta untuk menarik perhatian.
(5) Versifikasi Menurut Jabrohim, dkk. (2009:53-54) , ―Versifikasi terdiri atas ritma, rima, dan metrum.
‖ Secara umum ritma (rhythm) dikenal sebagai irama, yaitu pergantian panjang-pendek, turun-naik, keras-lembut ucapan bunyi bahasa yang teratur. Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) dinamika, yakni tekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu; (2) nada, yakni tekanan tinggi rendahnya suara; dan (3) tempo, yakni tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.
Waluyo (1987:90) mengemukakan bahwa rima (rhyme) adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi dengan mempertimbangkan lambang bunyi. Pemilihan bunyi-bunyi ini mendukung perasaan dan suasana puisi. Marjorie Boulton (Waluyo 1987:90) menyebutkan rima sebagai phonetic form. Jika bentuk fonetik itu berpadu dengan ritma, maka akan mampu mempertegas makna puisi. Rima adalah perulangan bunyi yang sama dalam puisi untuk menambah keindahan suatu puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, dan mampu menciptakan suasana kegembiraan atau kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Selain itu, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, membawa suasana kesedihan yang disebut cacophony. Contoh efoni adalah
Adakah Suara Cemara
- Ati Adakah suara cemra Mendesing menderu padamu Adakah melintas sepintas Gemersik daunan lepas ....
Puisi di atas sanagt efoni karena adanya perpaduan bunyi vokal a, e, u.
Kalau dibaca menimbulkan musik yang menarik, apalagi bila diiringi musik.
Beberapa karya puisi seperti karya Taufik Ismail, Ebiet G Ade sering
dinyanyikan. Sedangkan kakafoni dapat dilihat pada contoh berikut ini.Waktu Terjadi Gerhana Menjelang dinihari Malam yang pucat Di bawah bulan yang pucat Pelan-pelan menggelap Bayangan bumi Diam-diam Merayap ... Kemerduan bunyi asonansi (persamaan bunyi vokal) dan aliterasi
(persamaan bunyi konsonan) pada kutipan puisi di atas dikacaukan oleh
kehadiran bunyi /k/,/p/,/t/,/s/ . Selain itu, ada pula persamaan bunyi akhir
setiap baris puisi yang sering disebut sajak. Contoh sajak akhir adalah sebagai
berikut.Surat Kepada Bunda Tentang Calon Menantunya Ibuku janganlah kau cemburu
Hari sabtu yang akan datang ku akan membawanya padamu Panggillah ia dengan kata anakku (Waluyo, 1987: 93). Ritma merupakan pertentangan bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan (Slametmuljana dalam Waluyo 1987:94). Contohnya adalah pada puisi lama yang disebut pantun. Berikut ini contoh ritma dalam puisi lama: Dari mana / punai melayang
Dari sawah / turun ke kali Dari mana / kasih sayang Dari mata / turun ke hati Adapun metrum adalah irama yang tetap; pergantian irama yang sudah tetap menurut pola tertentu; pengulangan tekanan kata yang tetap yang sifatnya statis (Waluyo 1987:94).
Siswanto (2008:123) memberikan definisi yang senada dengan Waluyo (1987) dan Jabrohim, dkk. (2009), ―Rima merupakan persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Ritma merupakan tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-lembutnya bunyi.
― Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa versifikasi terdiri atas ritma, rima, dan metrum. Ritma atau irama adalah pergantian panjang- pendek, turun-naik, keras-lembut ucapan bunyi bahasa yang teratur. Rima adalah perulangan bunyi yang sama untuk menambah keindahan puisi. Adapun metrum adalah pergantian irama yang sudah tetap menurut pola tertentu, sifatnya statis.
(6) Tata Wajah (Tipografi) Menurut Suharianto (1981:15-39) , ―Tipografi merupakan ukiran
bentuk, yakni cara untuk menuliskan sebuah puisi atau sajak.
‖ Ia menambahkan, secara umum maksud tipografi yang pertama adalah untuk keindahan indrawi dan yang kedua dimaksudkan untuk lebih mengintensifkan makna, rasa, atau suasana puisi.
Aminuddin (2009:146) mengemukakan bahwa tipografi adalah cara penulisan puisi untuk menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual. Peranan tipografi di samping untuk menampilkan aspek artistik secara visual, juga digunakan untuk menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu. Tipografi juga berperan menunjukkan adanya loncatan gagasan dan memperjelas satuan makna tertentu yang ingin diungkapkan penyair.
Tipografi mencakupi penataan baris dan bait dalam puisi. Adapun penataan baris puisi berkaitan erat dengan enjambemen. Enjambemen merupakan peristiwa keterkaitan antara isi dua larik sajak yang berurutan; dua baris sajak yang menerangkan keterkaitan peristiwa (Lelasari 2008:86). Senada dengan pendapat Laelasari (2008), Aminuddin (2009:145) mengemukakan bahwa enjambemen merupakan pemenggalan larik suatu puisi yang dilanjutkan pada larik berikutnya. Ini menunjukkan bahwa enjambemen merupakan bagian dari unsur tipografi yang menjadi ciri khas penulisan puisi.
Berdasar pada pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tipografi diartikan sebagai perlambangan rasa, makna, dan nuansa tertentu dalam puisi yang divisualisasikan dalam tata bentuk baris dan bait puisi untuk memperjelas satuan makna tertentu yang ingin diungkapkan penyair.
b) Unsur Batin (1) Tema Definisi secara umum mengenai tema menurut Keraf (2004:121-122) ialah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui karangannya. Amanat utama ini dapat diketahui misalnya bila seseorang membaca roman atau yang lainnya (dilihat dari sudut pandang karangan yang telah selesai). Adapun jika dipandang dari sudut proses penyusunan sebuah karangan, tema merupakan suatu perumusan dari topik yang akan dijadikan
landasan pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai melalui topik tersebut.
Richards (dalam Nadeak 1985:33) menyamakan tema dengan makna (sense) yakni puisi itu mempunyai ―subject matter‖ yang mengemukakan sesuatu kepada pembaca, sesuatu kejadian yang dialaminya, dipersoalkan dengan cara sendiri. Makna yang terkandung dalam ―subject matter‖ itulah yang disebut dengan sense. Waluyo (1987:106) menyatakan bahwa tema merupakan gagasan pokok atau subjek-matter yang dikemukakan oleh penyair. Pokok-pokok pikiran itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utamapengucapannya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa tema merupakan pokok pikiran yang mendasari atau menjiwai suatu karangan. Suatu karangan yang tercipta tentunya mengandung atau mengusung pikiran pokok tertentu.
(2) Nada dan Suasana Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca dan persoalan dalam puisi (Richards dalam Nadeak 1985:33; Waluyo 1987:125; Jabrohim dkk. 2009:66). Nada berhubungan erat dengan tema dan rasa yang terkandung dalam sajak tersebut. Adapun suasana merupakan keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi tersebut, atau dampak psikologis yang ditimbulkan puisi tersebut terhadap pembaca (Waluyo 1987:125 dan Jabrohim dkk.
2009:66). Tentang nada, Jabrohim dkk. (2009:66) mencontohkan sikap penyair dalam puisi adakalanya menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau hanya bersikap lugas, menceritakan sesuatu kepada pembacanya. Dapat dipahami bahwa nada dan suasana dalam puisi memiliki hubungan yang erat.
Nada merupakan sikap penyair terhadap persoalan dan pembaca, suasana adalah keadaan perasaan atau jiwa pembaca yang timbul setelah membaca sebuah puisi. (3) Perasaan Waluyo (1987:121) menyatakan bahwa puisi mengungkapkan perasaan penyair. Nada dan perasaan penyair akan dapat ditangkap melalui pembacaan puisi (poetry reading) atau deklamasi. Membaca puisi seperti ini dapat membantu pengungkapan perasaan penyair yang melatarbelakangi terciptanya puisi tersebut. Perasaan yang menjiwai puisi bisa perasaan gembira, sedih, terharu, marah, tersinggung, sombong, patah hati, tercekam, cemburu, takut, kesepian, menyesal, dan sebagainya.
Aminuddin (2009:150) mengemukakan bahwa perasaan adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. Hal itu terkandung dalam lapis makna puisi sejalan dengan terdapatnya pokok pikiran. Pada
setiap pokok pikiran pada umumnya dilatarbelakangi oleh sikap tertentu.
Perasaan dalam puisi merupakan perasaan penyair yang terungkapkan dalam puisi sebagai akibat dari sikapnya terhadap objek tertentu. Perasaan tertentu penyair melatarbelakangi terciptanya sebuah puisi. (4) Amanat Mengenai amanat, Richards (dalam Nadeak 1985:33) menyatakan bahwa setiap penyair mempunyai tujuan dengan sajak-sajaknya, baik disadari maupun tidak. Tujuan ini diungkapkan oleh penyair berdasarkan pandangan hidupnya.
Amanat atau tujuan adalah hal yang mendorong penyair untuk mencipta puisinya. Waluyo (Jabrohim, dkk. 2009:67) menyatakan bahwa amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan.
Berdasar pada beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa amanat merupakan pesan yang secara implisit ingin disampaikan penyair kepada pembaca melalui puisinya.
3. Jenis Puisi Berdasarkan isi yang terkandung di dalamnya,puisi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
Puisi Epik a.
Puisi epik sering disebut puisi naratif. Sumardjo (1986:25) menyatakan bahwa dalam puisi epik penyair menuturkan sebuah cerita dalam bentuk puisi. Dalam jenis ini dikenal bentuk-bentuk epos atau wiracerita, fabel, dan balada.
Bentuk puisi epik agak panjang dan berisi cerita kepahlawanan, tokoh kebangsaan, masalah surga, neraka, Tuhan, dan kematian. Contoh puisi balada BALADA LAKI-LAKI TANAH KAPUR Mendatang derap kuda dan angin bernyanyi: _‘Kan kusadap darah lelaki terbuka guci-guci dada baja bagai pedagang anggur dermawan Lelaki-lelaki rebah di jalanan lambung terbuka dengan geram serigala! O, bulu dada yang riap! Kebun anggur yang sedap! Lurah Kudo Seto bagai trembesi bergetah dengan tenang menapak seluruh tubuhnya merah (WS Rendra)
b. Puisi Lirik, Puisi lirik merupakan puisi yang bersifat subjektif, personal. Artinya penyair menceritakan masalah-masalah yang bersumber dari dalam dirinya.
Puisi ini bentuknya agak pendek dan biasanya menggunakan kata ganti orang pertama. Oleh karena itu, tidak salah bila dikatakan pikiran, perasaan, dan serta sikap ―Aku‖ dalam syair adalah pikiran, perasaan, dan sikap penyair. Dari segi isinya yang termasuk puisi jenis ini adalah elegi, hymne, ode, epigram, humor, pastoral, idyl, satire, dan parodi. Berikut ini contoh puisi lirik.
KEPADA ORANG MATI kalau aku kaumaafkan, karena maaf itu baik, kau tak pernah mengerti dirimu kalau kau kumaafkan, karena maaf itu baik, kau tak mengerti dirimu begitu banyak maaf, buat begitubanyak dosa begitu banyak dosa, buat begitu banyak maaf hanyakah tersedia buat daerahh mati tanpa hawa, tanpa kemauan baik? tapi kau tak kumaafkan juga, sangat saying tanpa mengerti diriku tanpa mengerti dirimu sedang aku takmau mati muda sekarang (Etsa)
c. Puisi Dramatik, Puisi dramatik merupakan puisi yang bersifat objektif dan subjektif.
Dalam hal ini seolah-olah penyair keluar dari dirinya dan berbcara melalui tokoh lain. Dengan kata lain, dalam puisi ini penyair tidak menyampaikan secara langsung pengalaman yang akan diungkapkan tetapi melalui tokoh lain sehingga tampaknya seperti sebuah dialog. Menurut Sumardjo (1986:28) bahwa tokoh yang dipilih penyair mewakili situasi manusia atau masyarakat umumnya. Contoh puisi dramatik sebagai berikut.
SEORANG TUKANG RAMBUTAN KEPADA ISTRINYA ―Tadi siang ada yang mati, Dan yang mengatar banyak sekali Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus! Sampai bensin juga turun harganya Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula Mereka kehausan dalam panas bukan main Terbakar mukanya diatas truk terbuka Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu Biarlah sepuluh ikat juga memang sudah rejeki mereka Mereka berteriak kegirangan dan berebutan Seperti anak-anak kecil Dan memyoraki saja. Betul bu, menyoraki saja ‗Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!‘ Dan ada yang turun dari truk, bu Mengejar dan menyalami saja ‗Hidup rakyat!‘ teriaknya Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar ‗Hidup pak rambutan!‘ sorak mereka ‗Terima kasih pak, terima kasih! Bapak setuju kami, bukan?‘ Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara ‗Doakan perjuangan kami, pak!‘ Mereka naik truk kembali Masih meneriakkan terima-kasihnya ‗Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!‘ Saya tersedu, bu. Belum pernah seumur hidup Orang berterimakasih begitu jujurnya Pada orang kecil seperti kita‖.
(Taufik Ismail) Menurut Suharianto (1981:29),
―Berdasarkan kata-kata yang membentuknya, puisi dibagi menjadi dua yaitu puisi prismatis dan puisi diafan.
‖ 1) Puisi Prismatis, yaitu puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sebagai lambang-lambang atau kiasan. Dalam puisi ini penyair menggunakan kata- kata yang sulit dipahami maknanya terutama bagi yang belum menguasai benar-benar tentang teori puisi. Contoh puisi prismatis.
SOLITUDED yang paling mawar yang paling duri yang paling sayap yang paling bumi yang paling pisau yang paling risau yang paling nancap yang paling dekap samping yang paling Kau! (Sutardji Calsoum Bachri)
2) Puisi Diaphan, yaitu puisi yang kata-katanya sangat terbuka, tidak mengandung pelambang-pelambang atau kiasan-kiasan. Dalam puisi diaphan penyair menggunakan bahasa yang mudah dipahami atau menggunakan kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari. Contoh puisi diaphan adalah sebagai berikut.
KITA ADALAH PEMILIK SYAH REPUBLIK INI Tidak ada pilihan lain, kita harus Berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hancur Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk dalam satu meja Dengan para pembunuh tahun yang lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran Duli Tuhanku? Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus Kita adalah manusia yang bermata sayu yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dipukul banjir, gunung api kutu dan hama Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara Tak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus (Taufiq Ismail)
4. Kriteria Kemampuan Menulis Puisi Akhadiah dalam bukunya Menulis (1996) mengemukakan bahwa menulis adalah suatu aktivitas komunikasi bahasa yang menggunakan tulisan sebagai mediumnya. Tulisan itu terdiri atas rangkaian huruf yang bermakna. Dalam komunikasi tertulis paling tidak terdapat tiga unsur yang terlibat, yaitu penulis sebagai penyampai pesan atau isi tulisan, saluran atau medium tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan.
Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang bersifat tidak secara langsung bertatap muka dengan orang lain yakni orang yang menerima pesan tertulis tersebut. Maka menulis merupakan keterampilan yang dapat dilatih, sehingga bahasa tersebut dapat terlihat ekspresif dan teratur
(Subyantoro 2009:243). Intensitas dan kontinuitas dalam melakukan kegiatan menulis akan sangat menentukan kualitas tulisan yang dihasilkan oleh individu.
Menurut teori pembelajaran humanistik, belajar dapat dibentuk oleh lingkungan melalui serangkaian perlakuan pembiasaan (Skinner) (Chaer: 2009). Teori ini berasumsi bahwa suatu kemampuan atau keterampilan itu bisa dipelajari melalui aktivitas yang terus-menerus (kontinu); membiasakan stimulus untuk membentuk keterampilan. Keterampilan menulis bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah berbakat sejak lahir. Keterampilan menulis sangat bisa dipelajari, ditekuni, dan kemudian menjadi bakat baru yang permanen apabila ada usaha untuk menekuninya.
Berdasarkan definisi-definisi tentang menulis tersebut dapat disimpulkan bahwa menulis merupakan suatu proses berpikir kreatif yang dilakukan dengan cara menuliskan lambang-lambang grafis sebagai media komunikasi secara tidak langsung kepada orang lain untuk mengungkapkan gagasan dan menyampaikan informasi yang mengandung maksud tertentu. Jelaslah bahwa menulis merupakan sebuah keterampilan yang melibatkan faktor intelektual dan emosional yang diperoleh melalui pengalaman belajar secara kontinu.
Kaitannya dengan standar kompetensi dalam KTSP 2006, kemampuan menulis puisi yang dimaksud yang disyaratkan bagi siswa kelas VIII adalah seperti tercantum dalam standar kompetensi, yaitu :
―Mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas. ‖ Standar kompetensi ini dijabarkan dalam salah satu rumusan kompetensi dasar
‖Menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai.‖ (Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.) Adapun indikatornya adalah sebagai berikut.
a. Mampu menulis puisi bebas dengan pilihan kata yang sesuai dengan topik.
b. Mampu menulis puisi bebas dengan pilihan kata yang sesuai dengan majas.
c. Mampu menulis puisi bebas dengan pilihan kata sesuai dengan rima.
B. Kajian Teori Tentang Model Pembelajaran Untuk membelajarkan siswa sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal diperlukan model pembelajaran yang sesuai. Ada bermacam-macam model pembelajaran yang dapat dipilih. Namun, guru harus memahami bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat dalam segala hal dan segala situasi. Oleh karena itu, guru harus pandai memilih model yang sesuai dengan tujuan pembelajaran akan dicapai dan sesuai dengan kondisi siswa.
1. Model Pembelajaran CIRC Pembelajaran CIRC dikembangkan oleh Stevans, Madden, Slavin dan
Farnish. Pembelajaran kooperatif tipe CIRC dari segi bahasa dapat diartikan sebagai suatu model pembelajaran kooperatif yang mengintegrasikan suatu bacaan secara menyeluruh kemudian mengkomposisikannya menjadi bagian- bagian yang penting.
Jadi, CIRC merupakan program yang komprehensif untuk mengajari pembelajaran membaca, menulis, dan seni berbahasa pada kelas yang lebih tinggi di sekolah dasar.
Kelebihan dari model pembelajaran terpadu atau (CIRC) antara lain:
a)
pengalaman dan kegiatan belajar anak didik akan selalu relevan dengan tingkat perkembangananak;
b) kegiatan yang dipilih sesuai dengan dan bertolak dari minat siswa dan kebutuhan
anak;c) seluruh kegitan belajar lebih bermakna bagi anak didik sehingga hasil belajar
anak didik akan dapat bertahan lebih lama;d) pembelajaran terpadu dapat menumbuhkembangkan keterampilan berpikir anak;
e) pembelajaran terpadu menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis (bermanfaat)
sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui dalam lingkungan anak;f) pembelajaran terpadu dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa ke arah
belajar yang dinamis, optimal, dan tepat guna;g) menumbuhkembangkan interaksi sosialanak seperti kerjasama, toleransi,
komunikasi dan respek terhadap gagasan orang lain;h) membangkitkan motivasi belajar, memperluas wawasan dan aspirasi guru dalam
mengajar (Saifulloh,2003).Tahap-tahap Model Pembelajaran CIRC
a) Penyusunan Program Pembelajaran Penyusunan program pembelajaran menulis puisi dengan model CIRC sesuai dengan Rencana Pembelajaran Bahasa Indonesia kelas VIII semester 2 yaitu: 1) perumusan tujuan pembelajaran, 2) penentuan materi ajar, 3) penentuan metode pembelajaran, 4)pemilihan puisi model, dan 5) penulisan puisi bebas. 1) Perumusan tujuan
Tujuan pembelajaran menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai dikembangkan berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator sebagai berikut.
a) Standar Kompetensi Mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas.
b) Kompetensi Dasar Menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai.
c) Indikator (1) Mampu menulis puisi dengan pilihan kata yang sesuai dengan topik.
(2) Mampu menulis puisi dengan pilihan kata yang sesuai dengan majas.
(3) Mampu menulis puisi dengan pilihan kata yang sesuai dengan rima.
Berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator tersebut, tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran menulis puisi dengan model CIRC yaitu: (1) siswa mampu menulis puisi dengan pilihan kata yang sesuai dengan topik.
(2) siswa mampu menulis puisi dengan pilihan kata yang sesuai dengan majas.
(3) siswa mampu menulis puisi dengan pilihan kata yang sesuai dengan rima.
2) Penentuan Materi Ajar
Materi pembelajaran sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar tersebut adalah puisi bebas. Puisi bebas dalam hal ini adalah puisi yang tidak terikat oleh jumlah suku kata tiap baris, jumlah baris tiap bait, dan rima akhir namun masih tetap memerhatikan persajakan, citraan, penggunaan majas, dan pilihan kata.
Agar kompetensi yang diharapkan dapat terwujud, diperlukan metode pembelajaran yang tepat. Metode yang digunakan dalam pembelajaran menulis puisi bebas adalah model CIRC. Model CIRC mengupayakan adanya kerjasama siswa dalam pembelajaran. Dengan kerjasama diharapkan saling membantu sesama teman sehingga memudahkan siswa memahami konsep dan mudah mengerjakan tugas yang diberikan.
Pemilihan Puisi Model
4) Untuk memudahkan guru menyampaikan materi pembelajaran diperlukan media. Dalam pembelajaran menulis puisi dengan model CIRC media yang diperlukan berupa puisi yang dipilih oleh guru. Dengan puisi tersebut diharapkan dapat memberi iden dan membantu memudahkan siswa dalam penulisan puisi. 5) Penulisn Puisi Bebas
Kegiatan inti pembelajaran menulis puisi bebas dengan pilihan kata yang sesuai dengan model CIRC adalah sebagai berikut.
(a) Membentuk kelompok yang anggotanya empat oang siswa secara heterogen.
(b) Guru memberikan wacana/ kliping sesuai dengan topik pembelajaran. (c) Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana/ kliping dan ditulis pada lembar kertas.
(d) Mempresentasikan/ membacakan hasil kelompok. (e) Guru dan siswa membuat simpulan bersama. (f) Penutup.
Dari setiap fase tersebut di atas dapat kita perhatikan dengan jelas sebagai berikut.
(a) Fase Pertama, Pengenalan konsep. Fase ini guru mulai mengenalkan suatu konsep atau istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi. Pengenalan bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, atau media lainnya
(b)Fase Kedua, Eksplorasi dan aplikasi. Fase ini memberikan peluang pada siswa untuk mengungkap pengetahuan awalnya, mengembangkan pengetahuan baru, dan menjelaskan fenomena yang mereka alami dengan bimbingan guru minimal. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik kognitif pada diri mereka dan berusaha melakukan pengujian dan berdiskusi untuk menjelaskan hasil observasinya. Pada dasarnya, tujuan fase ini untuk membangkitkan minat, rasa ingin tahu serta menerapkan konsepsi awal siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan memulai dari hal yang kongkrit. Selama proses ini siswa belajar melalui tindakan-tindakan mereka sendiri dan reaksi-reaksi dalam situasi baru yang masih berhubungan, juga terbukti menjadi sangat efektif untuk menggiring siswa merancang eksperimen, demonstrasi untuk diujikannya.
(c)Fase Ketiga, Publikasi. Pada fase ini Siswa mampu mengkomunikasikan hasil temuan-temuan, membuktikan, memperagakan tentang materi yang dibahas. Penemuan itu dapat bersifat sebagai sesuatu yang baru atau sekedar membuktikan hasil pengamatannya.. Siswa dapat memberikan pembuktian terkaan gagasan-gagasan barunya untuk diketahui oleh teman-teman sekelasnya. Siswa siap menerima kritikan, saran atau sebaliknya saling memperkuat argumen.
2. Model Pembelajaran Reproduksi Puisi Model Reproduksi puisi dalam pembelajaran menulis puisi dikembangkan dengan basis model Pembelajaran CIRC dan metode resitasi atau pemberian tugas. Metode Resitasi biasa dipakai dalam pembelajaran menulis puisi dengan cara memberikan tugas kepada siswa untuk menulis puisi dengan tema tertentu atau tema bebas. Setelah tugas penulisan puisi dilaksanakan, siswa diminta mempertanggungjawabkannya dengan cara membacakannya di depan kelas.
Model CIRC dan Metode Resitasi selanjutnya dikembangkan menjadi model Reproduksi Cerpen. Dari hasil pengembangan model Reproduksi Cerpen kemudian peneliti beranalogi menjadi model Reproduksi Puisi. Pelaksaaan model Reproduksi Puisi dilakukan dengan memperkaya pembelajaran dengan metode lain di samping resitasi agar pembelajarann lebih bervariasi. Metode yang digunakan untuk pengembangan adalah metode tanya jawab, diskusi, inkuiri, dan proyek. Selain dengan pengembangan metode tersebut, yang menjadi ciri khas model reproduksi puisi adalah digunakannya puisi sebagai sumber inspirasi penulisan puisi. Di samping itu beberapa langkah kegiatan agar pembelajaran lebih inovatif, yaitu pemilihan puisi terbaik dalam kelompok, pembacaan puisi di depan kelas diikuti dengan kegiatan apresiasi, dan proyek menyusun majalah dinding kelas untuk memuat karya puisi siswa.
Model pembelajaran reproduksi puisi dilakukan dengan mendasarkan proses pembelajaran pada pendekatan integratif dan terpadu. Keterpaduan dalam proses pembelajaran yang mencakup aspek keterampilan bersastra. Meskipun penekanan kompetensi pembelajaran pada keterampilan menulis, dalam proses pembelajaran dipadukan dengan keterampilan membaca, menyimak, dan berbicara.
Seperti halnya sintakmatik pada Model Reproduksi Cerpen yang dikemukakan oleh Wahyudi (2013: 76), maka sintakmatik Reproduksi Puisi juga mencakup enam (6) tahapan, yaitu: (1) tahap pembacaan puisi, (2) tahap penggalian puisi sebagai sumber inspirasi, (3) penulisan karya puisi, 4) pelacakan nominasi karya terbaik, (5) presentasi nominator, ( 6) publikasi karya.
Tahap pertama, pembacaan puisi. Siswa membentuk kelompok kemudian secara individual melakukan pembacaan puisi guna mendapatkan gambaran unsur fisik dan unsur batin puisi. Pembacaan puisi dilakukan setelah kelompok terbentuk untuk mempermudah diskusi selanjutnya.
Tahap kedua, penggalian inspirasi. Setelah membaca puisi, kelompok mendiskusikan puisi yang dibaca, kemudian menggali ide penulisan puisi dari puisi yang dibacanya.
Tahap ketiga, penulisan puisi. Berdasarkan temuan-temuan dalam puisi yang telah dibaca dan diapresiasi, siswa memproduksinya menjadi sebuah puisi. Pada tahap ketiga ini, puisi yang dihasilkan masih berupa draf yang perlu disempurnakan. Selanjutnya dilakukan kegiatan saling bertukar karya dalam satu kelompok untuk saling membaca, memberikan komentar dan masukan terhadap puisi karya temannya. Dari komentar dan masukan tersebut selanjutnya ditulis kembali draf puisi tersebut menjadi puisi.
Tahap keempat, pelacakan nominasi. Langkah ini dilakukan siswa untuk mendapatkan satu karya terbaik dalam kelompok. Kegiatan yang dilakukan adalah siswa saling membaca dan melakukan penilaian puisi temannya untuk mendapatkan karya puisi terbaik.
Tahap kelima, presentasi nominasi. Karya terbaik siswa mewakili kelompok masing-masing. Karya tersebut dibacakan wakil dari kelompok di depan kelas untuk dipahami teman-temannya. Selanjutnya kelompok lain memberikan komentar atau pertanyaan yang akan dijawab oleh wakil kelompok yang maju membacakan puisinya.
Tahap keenam, publikasi karya. Puisi nominasi yang telah dipresentasikan dan dinilai teman-temannya dipublikasikan di majalah dinding kelas, majalah dinding sekolah atau majalah sekolah. Langkah ini dimaksudkan memberikan penghargaan bagi karya terbaik, menjadi motivator, sekaligus bahan apresiasi bagi siswa lain.
C. Penelitian-Penelitian Relevan
Setelah peneliti mengadakan penelusuran, ternyata ada karya ilmiah yang berhubungan dengan tesis penelitian ini, antara lain:
Karya ilmiah pertama yang relevan dengan penelitian ini adalah tesis Wahyudi (2013) yang berjudul Model Reproduksi Cerpen Dalam
Pembelajaran Menulis Puisi Bermuatan Pendidikan Karakter Siswa Kelas X
SMA . Dalam tesis tersebut disimpulkan bahwa (1) Model pembelajaran
Reproduksi Cerpen dalam pembelajaran menulis puisi bermuatan pendidikan karakter dapat mendorong pembelajaran lebih efektif sesuai dengan kebutuhan guru dan siswa; (2) Model pembelajaran Reproduksi Cerpen mendorong siswa lebih aktif dalam pembelajaran, kreatif dalam pengembangan imajinasi, dan kaya pemberian motivasi kepada siswa; (3) Model Reproduksi Cerpen dalam pembelajaran menulis puisi bermuatan pendidikan karakter bermanfaat bagi pengembangan budi pekerti.
Penelitian ilmiah kedua adalah tesis Alfiyah yang berjudul Peningkatan
Language Skill melalui Cooperative Integrated Reading and Composition
(CIRC) dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD Muhammadiyah
Demangan Yogyakarta. Dalam tesis tersebut dijelaskan bahwa keterampilanberbahasa siswa meningkat melalui penerapan model pembelajaran CIRC dengan beserta tahap-tahapnya yang meliputi teacher presentation, team
practice, independent practice, peer preassesment, additional practice dan
testing serta berbagai aktivitas yang merupakan unsur-unsur dalam model
pembelajaran CIRC seperti (1) saling membacakan cerita dengan teman kelompok, (2) menyimpulkan cerita, (3) mendengarkan cerita, (4) menceritakan kembali cerita yang telah dibaca dan didengar dalam bentuk lisan dan tulisan, (5) bermain drama, (6) menulis, mengedit, merevisi, dan mempublikasikan puisi dengan teman kelompok.
Berdasarkan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa baik dengan model pembelajaran CIRC maupun Reproduksi Puisi dapat lebih meningkatkan hasil belajar menulis puisi. Dalam penelitian ini kedua model pembelajaran tersebut digunakan untuk pembelajaran dengan kompetensi maupun tingkat yang berbeda. Oleh karena sejauh ini peneliti belum menemukan penelitian tentang kedua model pembelajarn tersebut di SMP Negeri 8 Tegal, maka akan diteliti kedua model pembelajaran tersebut.
D. Asumsi Dasar Kemampuan menulis puisi merupakan salah satu kemmpuan yang harus dimiliki oleh siswa kelas VIII SMP pada mata pelajaran bahasa Indonesia.