BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan - Rajindra Eka Rajasha Randu Wandana BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah

  orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pengetahuan merupakan domain yang penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatdmojo 2003).

  Menurut pengalaman dan hasil penelitian Rogers dalam Notoatdmojo (2003), bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bersifat langgeng (long lasting) dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Selain itu pengetahuan juga merupakan tahap awal dalam adopsi perilaku baru sebelum terbentuknya sikap terhadap objek baru yang dihadapinya.

  Menurut Notoatmojo (2010), berdasarkan pengertian tersebut disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan fakta atau informasi yang dianggap benar dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indra manusia.

2. Tingkat pengetahuan

  Menurut teori Bloom tingkat pengetahuan dalam domain kognitif dapat diklasifikasikan menjadi 6 tahap, yakni : a.

  Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini yaitu mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari suatu bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu apa yang dipelajari antara lain dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

  Misalnya dapat menyebutkan perawatan DM.

  b.

  Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan c.

  Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

  Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d.

  Analisis (Analysis) Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dilihat dari penggunaan kata kerja seperti menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

  e.

  Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis yaitu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi- formulasi yang ada, misalnya dapat menyesuaikan, dapat menyusun dan merencanakan, dapat meringkaskan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

  Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

  Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Wawan & Dewi, 2010).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

  Menurut Notoatmodjo (2003) faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan yaitu: a.

  Intelegensi Intelegensi merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Orang berfikir menggunakan inteleknya atau pikirannya. Cepat atau tidaknya dan terpecahkan tidaknya suatu masalah tergantung kemampuan intelegensinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan pesan dalam komunikasi ialah taraf intelegensi seseorang. Secara common sence dapat dikatakan bahwa orang-orang yang lebih intelegen akan lebih mudah menerima suatu pesan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang mempunyai taraf intelegensi tinggi akan mempunyai pengetahuan yang baik dan sebaliknya.

  b.

  Pendidikan meningkatkan pengetahuan, menimbulkan sifat positif, serta memberikan atau meningkatkan kemampuan masyarakat atau individu tentang aspek-aspek yang bersangkutan, sehingga dicapai suatu masyarakat yang berkembang. Sistem pendidikan yang berjenjang diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan melalui pola tertentu (Notoatmodjo, 2003). Jadi tingkat pengetahuan seseorang terhadap suatu objek sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan.

  c.

  Pengalaman Menurut teori determinan perilaku yang disampaikan

  WHO, menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu salah satunya disebabkan adanya pemikiran dan perasaan dalam diri seseorang yang terbentuk dalam pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan–kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek tersebut, dimana seseorang mendapatkan pengetahuan baik dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2003) d. Informasi

  Teori depedensi mengenai efek komunikasi massa, disebutkan bahwa media massa dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peranan penting dalam proses pemeliharaan, perubahan dan konflik dalam tatanan masyarakat, nantinya akan mempengaruhi fungsi kognitif, afektif dan behavioral. Pada fungsi kognitif diantaranya ialah berfungsi untuk menciptakan atau menghilangkan ambiguitas, pembentukan sikap, perluasan sistem, keyakinan masyarakat dan penegasan atau penjelasan nilai-nilai tertentu (Notoatmodjo, 2003).

  Media dibagi menjadi tiga yaitu media cetak yang meliputi booklet, leaflet, rubric yang terdapat pada surat kabar atau majalah dan poster. Kemudian media elektronik yang meliputi televisi, radio, video, slide dan film serta papan (billboard) (Notoatmodjo, 2003).

  e.

  Kepercayaan.

  Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai hal yang berlaku bagi obyek sikap, Sekali kepercayaan itu telah terbentuk, maka akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai hal yang dapat diharapkan dari obyek tertentu (Notoatmodjo, 2003).

  f.

  Umur Umur dapat mempengaruhi seseorang, semakin cukup umur tingkat kemampuan/kematangan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan menerima informasi.

  g.

  Sosial Budaya Sosial termasuk didalamnya pandangan agama, kelompok etnis dapat mempengaruhi proses pengetahuan khususnya dalam h.

  Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkahlaku.

  Individu yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonominya baik dimungkinkan lebih memiliki sikap positif memandang diri dan masa depannya dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah (Notoatdmojo, 2003).

B. Diabetes Mellitus 1.

  Konsep Diabetes Melitus Tipe II Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit dan gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau diefisiensi produk insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang reponsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 2000).

  Pada DM tipe II jumlah insulin normal, bahkan lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan ini jumlah lubang kunci yang kurang, hingga meskipun anak kunci (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel glukosa di dalam pembuluh darah meningkat (Suyono, 2004).

2. Tanda dan Gejala Diabetes Melitus

  Gejala dan tanda-tanda penyakit DM tipe II dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik a.

  Gejala akut Gejala penyakit DM tipe II dari satu penderita ke penderita lainnya tidaklah selalu sama, gejala yang disebutkan di bawah ini adalah gejala yang umumnya timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain. Bahkan ada penderita DM tipe II yang tidak menunjukkan gejala apapun sampai pada saat tertentu.

  Gejala awal yang ditunjukkan meliputi tiga P yaitu polifagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing) atau disingkat: ‘’3P’’ (polifagia, polidipsia, poliuria). Dalam fase ini biasanya penderita menunjukan berat badan yang terus naik (bertambah gemuk), karena pada saat ini jumlah insulin masih mencukupi.

  Bila keadaan tersebut tidak cepat diobati, lama-kelamaan mulai timbul gejala yang disebabkan oleh kurangnya insulin, dan bukan ‘’3P’’ lagi, melainkan hanya ‘’2P’’ saja (polidipsia dan poliuria) dan beberapa keluhan lain: nafsu makan mulai berkurang (tidak polifagia lagi), bahkan kadang-kadang disusul dengan mual jika kadar glukosa darah melebihi 500 mg/dl, cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri) dan disebut koma diabetik.

  Koma diabetik adalah koma pada penderita DM tipe II akibat kadar gula darah terlalu tinggi, biasanya melebihi 600 mg/dl. b.

  Gejala kronik Gejala yang muncul sesudah beberapa bulan atau beberapa bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit DM tipe II tanpa menunjukkan gejala akut. Gejala kronik yang sering timbul yaitu kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, sehingga kalau berjalan diatas bantal atau kasur, kram, capai, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti kacamata, gatal disekitar kemaluan (terutama wanita), gigi mudah goyah, kemampuan seksual menurun, bahkan impoten dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Tjokroprawiro, 2000).

3. Penyebab

  Hiperglikemia yang terjadi pada DM tipe II disebabkan oleh defisiensi insulin relatif yang dikaitkan dengan gangguan sekresi insulin, resitensi insulin perifer, dan peningkatan produksi glukosa

  Penyebab resistensi insulin pada DM tipe II ini masih belum diketahui, tetapi faktor-faktor resiko berikut berperan dalam proses terjadnya resistensi insulin : a.

  Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 40 tahun).

  b.

  Obesitas, terutama yang bersifat sentral.

  c.

  Kurangnya aktifitas fisik. d.

  Faktor herediter e. Faktor etnik (golongan Hispanik serta penduduk asli Amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya

  DM tipe II dibandingkan dengan golongan Afro-Amerika) (Ignativicius D, 1995).

4. Patofisiologi

  Insulin merupakan hormon endokrin yang diproduksi dalam sel beta pulau langerhans pada pankreans. Hormon ini berperan utama dalam membolehkan sel-sel tubuh untuk menyimpan dan menggunakan karbohidrat, lemak, dan protein. Selain itu juga insulin berperan sebagai katalis untuk menstimulasi enzim dan bahan kimia lain untuk produksi energi. Skeresi hormon insulin distimulasi oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah yang dihasilkan dari makanan karbohidrat yang dikonsumsi. Sekresi ini terjadi biasanya 10 menit setelah makan.

  Glukosa merupakan sumber bahan bakar utama untuk reaksi ingesti, glukoeneogenesis, dan glikogenolisis. Kadar gula darah yaitu sekitar 70-140 mg/dl yang mana dipertahankan dalan batas normal oleh regulasi dari hormon insulin dan glukagon.

  Defisiensi insulin yang bersifat absolut dan relatif pada DM

  tipe

  II akan mengakibatkan proses transportasi glukosa dalam darah ke

  dalam sel terganggu, hal ini akan meningkatkan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

  Pada DM tipe II hiperglikemia sebagai akibat defisiensi insulin relatif terjadi karena dua faktor utama yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin hiperglikemia terjadi karena insuin yang disekresi tidak mampu untuk menstransport glukosa ke dalam sel, karena reseptor insulin di membran sel jumlahnya berkurang, sehingga glukosa dalam darah tetap tinggi. Selain peningkatan kadar glukosa darah pada DM tipe II juga terjadi peningkatan kadar insulin atau dalam batas normal. Hal tersebut terjadi karena hipeglikemia akibat reistensi insulin akan terus menstimulasi sekresi insulin oleh pankreas.

  Awitan pada DM tipe II berlangsung lambat dan progresif, dan jika klien mengalami gejalanya, hal ini karena kadar glukosanya sangat tinggi. Gejala yang dialami tersebut bersifat ringan yang meliputi kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina, dan pandangan kabur. Sedangkan untuk kondisi diabetik ketoasidosis tidak akan terjadi pada klien DM pemecahan lemak dan produksi keton yang menyertainya. Meskipun demikian hiperglikemia yang tidak terkontrol akan membuat klien jatuh pada kondisi akut lain berupa sindrom hiperglikemik hiperosmolas nonketotik (Brunner & Suddarth, 2002)

  5. Gambaran klinis

  tipe II

  Menurut Waspadji (1999), gambaran klinis dari DM meliputi Triple P (Poliuri, Polidipsi, Polifagia), kelainan kulit (gatal, bisul), keputihan bagi wanita, kesemutan, rasa gatal, serta kelemahan tubuh.

  6. Faktor-faktor resiko pada DM Faktor resiko ialah faktor yang dapat menyebabkan kejadian

  DM. Diabetes Melitus semakin bertambah prevelansinya dari tahun ke tahun, secara garis besar faktor yang menyebabkan peningkatan ada tiga macam. Antara lain faktor demografi yaitu jumlah penduduk yang terus meningkat, usia di atas 40 tahun yang meningkat, urbanisasi yang meningkat dan berpengaruh pada gaya hidup, faktor gaya hidup gaya hidup masyarakat yang cenderung kebarat-baratan, dan berkurangnya penyakit infeksi. Secara fisiologis faktor penyebab diabetes melitus antara lain, umur, obesitas, genetik, riwayat melahirkan > 4kg bayi, dan riwayat DM pada saat kehamilan (Arjatmo, 2002).

  7. Komplikasi a.

  Komplikasi Akut Hipoglikemia

  Hipoglikemia merupakan keadaan klinik gangguan syaraf yang disebabkan oleh penurunan glukosa darah (Boedisantoso & Subekti, 2004) Penyebab hipoglikemia meliputi makan kurang dari aturan yang ditentukan, berat badan turun, setelah berolahraga, setelah melahirkan, sembuh dari sakit, makan obat yang mempunyai sifat serupa.

  Tanda hipoglikemia terjadi jika kadar glukosa plasma kurang dari 50 mg/dl. Tanda klinis pada setiap orang bervariasi dan berbeda-beda, tanda-tanda klinis umumnya meliputi : (a)

  Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun.

  (b) Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sederhana.

  (c) Stadium simpatik : keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir, atau tangan.

  (d) Stadium gangguan otak berat : koma (tidak sadar) dengan atau tanpa kejang.

  (2) Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik Koma (HHNK)

  Komplikasi ini dihubungkan dengan defisiensi insulin, dehidrasi berat dan tidak ada ketosis. Diagnosis HHNK dibuat jika kadar glukosa plasma lebih besar dari 800 mg/dl, komplikasi ini tidak terjadi ketosis. Lansia dengan DM lebih berisiko tinggi terjadinya komplikasi ini, karena persepsi rasa haus dan kemampuan mengkonsentrasikan urine pada lansia menurun, sehingga kemungkinan terjadi dehidrasi lebih besar.

  Kondisi seperti miokardial infark tersembunyi, sepsis, pankreatitis, dan stroke serta obat-obatan seperti

  glukokortikoid, diuretic, phenytoin sodium, dilantin sodium, bertha blocker , dan kalsium channel blocker dapat

  mempresipitasikan HHNK. (3)

  Ketoasidosis Diabetik Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan definisi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit DM.

  Keadaan komplikasi akut ini memerlukan pengelolaan tepat. Timbulnya KAD merupakan ancaman kematian bagi penyandang DM.

  Faktor yang mempengaruhi adalah : (a)

  Keterlambatan ditegakkan diagnosis karena biasanya penyandang DM dibawa setelah koma (b)

  Klien belum tahu mengidap DM (c)

  Sering ditemukan bersama-sama dengan komplikasi lain yang berat misalnya : sepsis, renjatan, infark miokardial dan CVD.

  (d) Kurangnya fasilitas laboratorium yang menunjang

  Kurangnya ketrampilan menangani kasus-kasus ketoasidosis b. Komplikasi Kronis

  (1) Komplikasi makrovaskuler

  Komplikasi atau pada klien diabetus melitus ini meliputi penyakit cardiovaskuler, penyakit vaskuler perifer, dan penyakit serebrovaskuler (Smeltzer & Suzzane, 2004).

  (2) Penyakit kardiovaskuler

  Resiko penyakit kardivaskuler ini secara langsung dihubungkan dengan tingkat densitas lipoprotein, sehingga secara umum kelainan yang terjadi berupa penyakit arteri koroner. Kejadian komplikasi ini 6-8 kali lebih besar pada klien DM dibandingkan klien non DM. Salah satu ciri unik dari penyakit arteri koroner pada klien DM adalah tidak terdapat gejala iskemik yang khas sehingga dapat mengalami infark miokard simpatik (silent). Hal tersebut terjadi karena pada klien DM terjadi neuropati otonom. (3)

  Penyakit vaskuler perifer Perubahan artherosklerotik pembuluh darah di kaki mengganggu pengiriman oksigen dan nutrien ke jaringan.

  Artherosklerotik pada klien DM dapat disebabkan oleh salah satunya peningkatan insulin plasma. Karena insulin dapat menstimulasi poliferasi dinding sel-sel otot halus (Pusat meningkat 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan klien non DM.

  Tanda-tanda penyakit vaskuler parifer meliputi berkurangnya denyut nadi perifer dan klaudikasio intermitten yaitu pada nyeri pantat atau betis ketika berjalan. Bentuk kelainan oklusif arteri ini yang lebih parah akan mengakibatkan meningkatnya insiden gangren dan amputasi pada klien-klien DM.

  (4) Penyakit serebrovaskuler

  Penyebab paling penting terjadinya penyakit serebrovaskuler ini adalah artherosklerosis. Penyebab tersebut mempengaruhi pembuluh darah berkurang sedang dan besar sehingga stenosis dan oklusif ekstrakranial dan intrakranial tidak dapat terhindarkan.

  Gejala penyakit serebrovaskuler ini dapat mempunyai dengan gejala hiperglikemia hiperosmolar nonketotik koma (HHNK) berupa pusing atau vertigo, gangguan penglihatan, bicara pelo, dan kelemahan. Untuk itu pemeriksaan glukosa darah diperlukan untuk memastikannya. (5)

  Komplikasi mikrovaskuler Komplikasi mikrovaskuler ini hanya dapat ditemukan pada klien DM, kelainan mikrovaskuler ini ditandai dengan disebabkan serangkaian reaksi biokimia akibat peningkatan glukosa darah (Smeltzer & Suzzane, 2004). Kelainan mikrovaskuler yang umum terjadi meliputi retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik.

  (6) Retino diabetik

  Retino Diabetik merupakan kelainan patologis mata yang disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Patogenesis diabetik retinopati ini dihubungkan juga dengan permeabilitas vaskuler yang abnormal, oklusi mikrovaskuler, dan hipoksia retina. Kejadian komplikasi ini sekitar 10-32,4% klien diabetes melitus.

  Terdapat tiga stadium utama retinopati meliputi retinopati nonproliferatif (background retinopathy).

  Retinopati praproliferatif dan Retinopati proliferatif. Stadium yang lebih sering menyebabkan penurunan penglihatan sampai pada kebutaan yaitu pada stadium proliferatif. Selain itu juga penyebab penurunan penglihatan pada klien DM yang dihubungkan dengan peningkatan glukosa darah yaitu degenerasi makula, myopa, katarak, dan glaukoma.

  (7) Nefropati diabetik

  Kejadian komplikasi nefropati diabetik yaitu 40% pada klien DM tipe 1 dan 5-10% pada klien diabetes melitus tipe DM ( Smeltzer & Suzzane, 2004).

  Perubahan yang terlihat pada saat terdiagnosa DM meliputi peningkatan dalam ukuran ginjal, aliran darah ginjal (RBF), dan glomerulus filtration rate (GFR). Selain itu kegagalan ginjal dibuktikan pula oleh kenaikan kadar kreatinin dan ureum serum, tetapi tanda pertama yang terdeteksi yaitu adanya mikroalbuminurin. Gambaran klinik yang umum terjadi pada klien DM yang mengalami gagal ginjal menahun seperti lemas, mual, pucat, sampai keluhan sesak nafas akibat akumulasi cairan. (8)

  Neurapati diabetik Kejadian komplikasi ini berkisar antara 10-60% klien diabetes melitus. Abnormalitas metabolik dan vaskuler pada klien diabetus melitus akan berakibat pada kerusakan serabut saraf perifer dan otonom. Kerusakan tersebut diduga disebabkan oleh enzim aldose reduktase yang mana peningkatannya akan menurunkan konsentrasi mioinsitol yang secara normal ada pada serabut saraf untuk mensintesis posfolipid membran sel (Ignativicius D, 1995).

  Diabetik neuropati akan menyerang pertama kali pada bagian distal suatu organ, sebagai contoh luka gangren pada kaki, pertama kali mengenai jari kaki kemudian akan menjalar ke bagian kaki.

  Ulkus kaki Diabetik Ulkus kaki diabetik (foot ulder) merupakan komplikasi yang terjadi sebagai akibat neuropati somatik, gangguan sirkulasi darah kaki, dan infeksi. Komplikasi ini merupakan komplikasi tersering yang membuat klien diabetus melitus dilakukan perawatan di rumah sakit, hal ini diperlihatkan oleh Keyser (1992) dalam Ignativicius (1995) bahwa ulkus diabetik mempengaruhi 10% dari populasi DM yang mengalami rawat inap dibandingkan dengan komplikasi yang lainnya.

  Kondisi-kondisi yang perlu diperhatikan pada kaki klien diabetes melitus karena dianggap beresiko tinggi terhadap patologi kaki yaitu perubahan struktural (hammer pada jari kaki, bunion), mata ikan, kalus, jari kaki yang abnormal, perubahan kulit (blister, tinea pedis kronik, maserasi interdigital), ketidakseimbangan otot yang menyebabkan gaya berjalan abnormal, dan riwayat ulkus di kaki sebelumnya (Smeltzer & Suzzane, 2004).

  Diabetes melitus merupakan penyakit kronik sehingga dalam penanggulangannya diperlukan kemandirian klien dalam melakukan perawatan untuk menghindari penurunan atau peningkatan kadar gula darah yang tiba-tiba. Selain itu karena komplikasi DM jangka panjang berkaitan erat dengan perilaku dan gaya hidup klien, sehingga diperlukan perilaku Kemandirian dalam melakukan perawatan DM dan perilaku atau gaya hidup preventif tersebut dapat dicapai dengan pemberian informasi mengenai DM dan perawatanya melalui penyuluhan atau pendidikan kesehatan kepada klien.

  Pendekatan umum dalam memberikan pendidikan kesehatan menurut Smeltzer & Suzzane C (2004) meliputi ketrampilan atau informasi yang bersifat dasar atau bertahan hidup (survival), dan pendidikan tingkat lanjut (advanced or continuing education).

  Keterampilan atau informasi bertahan hidup dapat diartikan bahwa klien harus mengetahui begaimana cara bertahan hidup yaitu dengan cara menghindari komplikasi hypoglikemia atau hyperglikemia. Informasi tersebut meliputi patofisiologi sederhana.

8. Upaya Pencegahan Diabetes Melitus

  Penyandang DM mempunyai resiko untuk terjadi penyakit jantung koroner dan pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 5 kali labih mudah menderita ulkus/gangren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal, dan 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina dari klien non DM. Jika sudah terjadi penyulit untuk menyembuhkannya sangat sulit, oleh karena itu usaha pencegahan dini untuk penyulit tersebut diperlukan dan diharapkan akan sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya berbagai hal

C. Pengetahuan perawatan klien Diabetes Melitus

  Perawatan DM adalah upaya untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam tingkatan normal tanpa hipoglikemia dan tanpa komplikasi yang meliputi lima komponen yaitu Perencanaan makan, Latihan jamani, Intervensi farmakologis, Monitoring, Edukasi diabetes (Smeltzer & Suzzane, 2004).

  1) Perencanaan makan

  Perencanaan makan DM pada prinsipnya sama dengan perencanaan orang sehat, bedanya perencanaan makan orang DM sesuai prinsip 3 J yaitu: Tepat jumlah, jenis, dan jadwal.

  Hal-hal yang penting harus diperhatikan dalam perencanaan makan adalah kebutuhan energi/kalori ditentukan berdasarkan umur, jenis kelamin, berat badan, aktifitas fisik, kehamilan/menyusui, adanya komplikasi energi yang dianjurkan adalah 60-70% dari karbohidrat, 10-15 % dari protein, dan 20-30 dari lemak. Makanan yang sesuai dengan jumlah, jenis dan jadwal yang telah diatur oleh diitesien. Sumber makanan yang mengandung karbohidrat kompleks sesuai anjuran seperti: roti, nasi, singkong, mie, kentang. Sumber karbohidrat yang dihindari/dibatasi : gula pasir, gula jawa, madu, sirup, selai, susu kental manis, kue-kue manis, dodol, cake, kecap manis, abon manis, dendeng manis, coklat dan es krim. Sedikit gula untuk bumbu masih diperbolehkan. Anjuran konsumsi gula tidak dapat dikonsumsi seperlunya. Konsumsi makanan yang tinggi serat antara lain sayuran, buah, dan produk cereal

  Makanan sumber protein rendah lemak seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim, yogurt, tempe, tahu. Lemak dan minyak tidak berlebihan. Kurangi makanan yang digoreng, sebaiknya masak dengan cara direbus, dipanggang, dikukus. Hindari makanan tinggi kolesterol seperti otak, jeroan, keju, kerang, kuning telur, dan lemak hewani lainnya. Batasi penggunaan vetsin, telur asin, ikan asin, dan makanan kaleng yang diproses dengan garam tinggi maupun gula tinggi.

  Tujuan perencanaan makan sesuai dengan garam tinggi dengan kebutuhan tubuh sehingga membantu : a) Menjaga kadar gula darah mendekati normal

  b) Memberi cukup energi untuk mempertahankan berat badan normal c) Menghindari komplikasi lebih lanjut.

  (2) Latihan Jasmani

  Klien DM sebaiknya memilih latihan jasmani yang disenangi, dan yang mungkin dilakukan oleh klien DM. Frekuensi adalah jumlah latihan jasmani perminggu sebaiknya dilakukan secara teratur 3-5 kali per minggu, intensitas ringan dan sedang yaitu 60-70% MHR (Maximum Heart Rate), untuk menentukan MHR yaitu : 220 – umur, setelah MHR didapatkan dapat ditentukan THR (Target Heart Rate) misalnya intensitas latihan yang diprogramkan bagi DM umur 50 dilakukan 30-60 menit, tipe (jenis) latihan jasmani endurans (erobik) untuk meningkatkan kemampuan kardioespresi seperti jalan, jogging, berenang, bersepeda. Waktu latihan paling baik pagi hari, hindari melakukan latihan jasmani pada malam hari.

  Manfaat latihan jasmani bagi klien DM antara lain mempertahankan gula darah, mencegah kegemukan, mengurangi resiko penyakit jantung koroner, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kemampuan kerja, dan memberikan keuntungan psikologis.

  Bahaya latihan jasmani adalah memperburuk gangguan metabolik penyandang DM, hipoglikemi akibat latihan jasmani, gangguan pada kaki, komplikasi kardiovaskuler, cedera muskoskeletal, pemeriksaan sebelum melakukan latihan jasmani harus dilakukan menghitung nadi dan tekanan darah. Tindakan yang harus dilakukan bila terjadi masalah pada latihan jasmani adalah beristirahat dan minum minuman yang manis. (3)

  Intervensi Farmakologis Tujuan pemberian obat-obatan pada DM tipe II adalah menurunkan glukosa darah dan memperbaiki transport glukosa ke dalam sel otot yang dirangsang oleh insulin, memperbaiki kondisi sel. Sebaiknya obat dimakan sesuai dengan petunjuk dan bertahap. Efek samping adalah mual, muntah, diare, hipoglikemik bila terjadi masalah dengan obat segera dirujuk ke pelayanan kesehatan terdekat. Monitoring (pengendalian)

  Pengendalian DM yang baik berarti menjaga agar glukosa darah dalam kisaran normal seperti halnya pasien bukan DM, sehingga pasien terhindar dari hiperglikemia atau hipoglikemia. Penatalaksanaan kontrol gula darah tidak bergantung pada laboratorium atau tenaga medis agar dapat terdeteksi kelainan sedini mungkin.

  (5) Edukasi tentang pencegahan dan komplikasi

  Penurunan glukosa dalam darah mempunyai tanda-tanda berkeringat dingin, kepala pusing, gemetar, lemas maka tindakan yang harus dilakukan minum teh manis, gula manis, permen manis. Komplikasi jika terjadi peningkatan gula darah yang berkepanjangan adalah pecahnya pembuluh darah otak, kebutaan pada mata, kerusakan ginjal.

  Pemantauan ini bertujuan untuk mencegah kecacatan yang dapat terjadi pada klien DM, sehingga diperlukan deteksi dini penyulit atau komplikasi agar penyulit ini dapat dikelola dengan baik. Pemeriksaan pemantauan yang diperlukan untuk penyulit pada klien DM diantaranya a.

  Mata : Pemeriksaan mata/fundus secara berkala setiap 6-12 bulan.

  b.

  Paru : Pemeriksaan berkala foto thoraks setiap 1-2 tahun atau ada keluhan batuk kronik.

  c.

  Jantung : Pemeriksaan berkala EKG/uji latih jantung secara capai.

  d.

  Ginjal : Pemeriksaan berkala urin untuk mendeteksi adanya protein dalam urin.

  e.

  Kaki : Pemeriksaan kaki secara berkala dan penyuluhan mengenai cara perawatan kaki yang sebaik-baiknya untuk mencegah kemungkinan timbulnya kaki diabetik dan kecatatan yang mungkin ditimbulkan kemudian.

  Kaki diabetik merupakan kelainan tungkai kaki bawah akibat DM yang tidak terkontrol. Kelainan tersebut dapat disebabkan gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan, dan adanya infeksi.

  Perawatan kaki diabetik ini bertujuan untuk mencegah terjadinya luka. Hal-hal yang harus dilakukan dalam perawatan kaki diabetik : (a)

  Periksa kaki setiap hari dari adanya kulit retak, melepuh luka, perdarahan.

  (b) Bersihkan kaki setiap hari pada waktu mandi dengan air bersih dan sabun

  (c) Berikan lotion pada daerah kaki yang kering, tetapi tidak pada sele-sela jari kaki.

  (d) Gunting kuku kaki lurus mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak terlalu pendek atau terlalu dekat dengan kulit, kemudian kikir agar kuku tidak tajam.

  (e) Memakai alas kaki sepatu atau sandal untuk melindungi kaki

  (f) Gunakan sepatu atau sandal yang baik yang sesuai dengan ukuran dan enak untuk dipakai, dengan ruang dalam sepatu cukup untuk jari-jari.

  (g) Periksa sepatu sebelum dipakai apakah ada kerikil, benda-benda tajam. Sepatu dilepas setiap 4-6 jam, serta gerakan pergelangan dan jari-jari agar sirkulasi darah tetap baik.

  (h) Bila ada luka kecil, obati luka dan tutup dengan pembalut bersih. Periksa apakah ada tanda-tanda radang

  (i) Segera ke dokter bila kaki mengalami luka

  (j) Pemeriksaan kaki ke dokter secara rutin

  Hal-hal yang tidak boleh dilakukannya antara lain : (a)

  Jangan merendam kaki (b)

  Jangan mempergunakan botol panas atau peralatan listrik untuk memanaskan kaki (c)

  Jangan gunakan batu atau silet untuk mengurangi kapalan (callus)

  (d) Jangan merokok

  (e) Jangan memakai sepatu atau kaos kaki sempit

  (f) Jangan menggunakan obat-obat tanpa anjuran dokter untuk menghilangkan mata ikan

  (g) Jangan gunakan sikat atau pisau untuk kaki

  (h) Jangan membiarkan luka kecil di kaki, sekecil apapun (Pusat D.

   Kadar Gula Darah

  1. Pengertian gula darah Pengertian gula darah ialah bahan energi utama untuk otak yang diperoleh melalui proses pemecahan senyawa karbohidrat.

  Kekurangan glukosa sebagaimana kekurangan oksigen, akan mengakibatkan gangguan fungsi otak, kerusakan jaringan, bahkan kematian jaringan jika terjadi secara berkepanjangan. Gula darah merupakan hasil pemecahan dari karbohidrat yang dengan bantuan energi adenosin tri phospate (ATP) akan menghasilkan asam piruvat dan bisa digunakan menjadi energi untuk aktifitas sel (Wiyono, 1996). Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yaitu humoral faktor seperti hormon insulin, glukagon, kortisol, sistem reseptor di otot dan sel hati. Faktor eksogen antara lain jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi, stres, kurang isturahat serta aktifitas fisik yang dilakukan ( Rahmadiliyani, 2008).

  2. Kadar gula darah tinggi (hyperglikemia) Seseorang disebut diabetes atau menderita diabetes jika pemeriksaan gula darah puasanya melebihi angka 126 mg/ dl atau selama 2 kali berturut-turut pemeriksaan gula darah 2 jam sesudah makan angka yang didapat melebihi 180 mg/dl.

  Kenaikan kadar glukosa darah yang terjadi pada pagi hari dapat disebabkan oleh dosis insulin yang tidak adekuat (Smeltzer &

  3. Kadar gula darah rendah (hypoglikemia) Hypoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal rendah. Pada penderita DM dapat dikatakan Hipoglikemia apabila kadar gula darah puasa ≤70 mg/dl.

  Pada diabetes, kadar gula darah terlalu tinggi sedangkan pada hypoglikemia kadar gula darah terlalu rendah. Kadar gula darah yang rendah menyebabkan berbagai sistem organ tubuh mengalami kelainan fungsi (Fahmi, 2010) Reaksi hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda:rasa lapar, gemetar, keringat dingin, pusing dan sebagainya. Hypoglikemia harus segera diatasi karena dalam beberapa menit bisa menjadi berat, menyebabkan koma dan kadang cedera otak menetap. Jika terdapat tanda hypoglikemia, penderita harus segera makan gula (Rahmadiliyani, 2008)

  4. Pengendalian gula darah Pemantauan status metabolik klien DM merupakan hal yang penting sebagai bagian dari pengelola DM. Pengendalian DM yang baik berarti menjaga kadar glukosa darah dalam kisaran normal seperti halnya klien yang lain, sehingga klien terhindar dari hyperglikemia atau hypoglikemia. Dengan pengendalian DM yang baik diharapkan klien dapat terhindar dari komplikasi yang kronik dengan beberapa cara, antara lain : rasa sehat secara subjektif, perubahan berat badan, tes glukosa urin, tes keton urin, pemeriksaan kadar glukosa darah (Soegondo & Sidartawan, 2002).

  Pengendalian DM sangat tergantung pada tipe DM, misalnya pada klien DM tidak tergantung insulin (DMTTI), tes glukosa urin lebih mudah, nyaman dan biasanya sudah memadai sebaliknya pada klien DM tergantung insulin (DMTI) yang menghendaki pengendalian lebih ketat pemeriksaan secara mandiri merupakan indikasi yaitu dengan menggunakan pemeriksaan gula di dalam darah (Soegondo & Sidartawan, 2002).

  Pemantauan gula darah dapat membantu klien untuk memahami bahwa kontrol gula darah yang ketat dapat membantu mencegah komplikasi DM. Kadar kontrol gula darah yang ketat dapat membantu mencegah komplikasi DM. Kadar kontrol gula darah yang terbaik adalah ditentukan oleh kadar gula darah yang tertinggi dan ideal atau normal. Satuan energi yang hilang akibat glikosuria berkisar antara 5% sampai 10% kalori per hari.

  Menurut Waspandji, (1999) tanda-tanda pasti dari DM adalah kenaikan gula darah yang lebih dari normal.

  Pengukuran kadar gula darah terdapat beberapa pemeriksaan, berikut macam pemeriksaan kadar gula darah ada beberapa jenis : a. Gula darah puasa, pemeriksaan gula darah dimana pasien sebelum pengambilan darah dipuasakan selama 10-14 jam. tanpa memperhatikan waktu terakhir pasien makan.

  c. Gula darah 2 jam PP, pemeriksaan gula darah yang tidak dapat distandarkan, karena makanan yang dimakan baik jenis maupun jumlahnya sulit diawasi dalam jangka waktu 2 jam, sebelum pengambilan darah pasien perlu duduk istirahat, tenang, tidak melakukan kegiatan berat dan tidak merokok.

  Kriteria kontrol kadar gula darah yang ketat adalah :

Tabel 2.2 Kriteria Gula Darah

  Gula darah Gula darah Rentang normal rendah Tinggi Gula

Darah ≤70 mg/dl 70-126 mg/dl ≥126 mg/dl

Puasa Gula

Darah 110-199 mg/dl >200 mg/dl

≤110 mg/dl Sewaktu Gula

Darah <120 mg/dl 120-179 mg/dl >180 mg/dl

Post Prandial Sumber : Johnson, M. (1998). Diabetes terapi dan pencegahannya

E. Kerangka Teori

  Kerangka teori merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang dilakukan dan memberi landasan kuat terhadap judul yang dipilih sesuai dengan identifitas masalahnya ( Alimul H, 2004).

  Pengetahuan perawatan DM Perencanaan Kebutuhan karbohidrat, Kepatuhan diit makanan lemak, protein sesuai

  • GD menurun Latihan Latihan Jasmani • BB terkontrol jasmani sesuai program
  • Mencegah komplikasi
  • Psikologis • Menurunka>Memperbaiki • GD dalam batas normal intervensi transport glukosa
  • Transport glukosa ke sel farmakologis dalam sel
  • Memperbaiki • Kondisi sel baik kondisi sel Monitoring Kadar gula dalam darah Cek laboratorium kadar gula termonitor Edukasi
  • Diit tepat tentang Pengetahuan tentang
  • Latihan jasmani sesuai pencegahan pencegahan dan
  • Komsumsi obat sesuai dan komplikasi DM
  • Pemeriksaan rutin komplikasi DM
  • Terhindar komplikasi Kadar Gula Darah terkontrol

Gambar 2.1 : Modifikasi Teori Smeltzer & Suzzane (2004), Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Cipto M (2004).

F. Kerangka Konsep

  Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan antara konsep satu terhadap konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti ( Setiadi, 2007)

  Variabel Independen Variabel Dependen Keterangan: : Tidak Diteliti

  Variabel confounding

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

  Kadar Gula Darah : Gula Darah Puasa < 126 mg/dl Pengetahuan perawatan DM tipe II: 1. Perencanaan makanan

  2. Latihan jasmani 3. intervensi farmakologis

  4. Monitoring 5.

  Edukasi tentang pncegahan dan komplikasi 1.

  Tingkat Stress 2. Kepatuhan terhadap perintah sebelum pemeriksaan Gula Darah Puasa 3. Kualitas Tidur

G. Hipotesa

  Hipotesis merupakan jawaban sementara penelitian yang akan dilakukan dan kebenarannya akan dibuktikan disaat penelitian (Notoatmodjo, 2010).

  Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha : Ada Hubungan antara pengetahuan perawatan diabetes mellitus tipe

  II dengan kadar gula darah puasa pada pasien DM tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Purwojati

  Ho : Tidak ada Hubungan antara pengetahuan perawatan diabetes mellitus tipe II dengan kadar gula darah puasa pada pasien DM tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Purwojati.