BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Pengetahuan - Titi Khusnul Khotimah BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori

1. Pengetahuan

  Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2007; h. 1181) Pengetahuan (

  knowledge) adalah segala sesuatu yang diketahui atau akan diketahui berkenaan dengan proses pembelajaran.

  Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

  Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama, dan pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai beberapa tingkatan yaitu (Notoatmojo, 2012; h. 138):

  a. Tahu Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan

  7 tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, menyatakan dan sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan penyebab leukore.

  b. Memahami Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan leukore fisiologis dan patologis.

  c. Aplikasi Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi nyata. Aplikasi disini dapat diartikan penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks yang lain. Misalnya dapat menggunakan prinsip siklus pemecahan masalah dalam pemecahan masalah kesehatan tentang leukore, seperti menjaga kebersihan genetalia untuk mencegah terjadinya leukore.

  d. Analisis Adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain.

  e. Sintesis Menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun suatu formasi-formasi yang ada. f. Evaluasi Evaluasi ini berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang telah ada.

2. Perilaku

  Perilaku dari aspek biologis diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Aktivitas tersebut ada yang dapat diamati secara langsung dan tidak langsung. Menurut Ensiklopedia Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya. Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari (Kholid, 2012; h. 17).

  Skinner (1938) dalam Hikmawati (2011) mendefinisikan perilaku sebagai respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

  Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses: respon, sehingga teori ini disebut dengan teori S-O-R (

  stimulus organism respons). Skinner

  membedakan konsep perilaku berdasarkan adanya dua respon:

  a. Respondent respons atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut dengan elicting stimuli, karena menimbulkan reaksi-reaksi yang relatif tetap.

  b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau rangsangan yang lain.

  Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforce, karena berfungsi untuk memperkuat respons.

  Berdasarkan teori SOR tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi: a. Perilaku tertutup ( Covert behavior): Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati oleh orang lain (dari luar) secara jelas.

  b. Perilaku terbuka (

  Overt behavior): perilaku terbuka terjadi bila respon

  terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati oleh orang lain dari luar atau observable behavior (Kholid, 2012; h.

  18).

  Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku terbentuk melalui proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi manusia dan lingkungannya. Faktor yamg memegang peranan dalam perilaku ada 2 (dua), yaitu intern dan ekstern. Intern : kecerdasan, persepsi, motivasi, untuk mengolah pengaruh dari luar, dan ekstern: obyek, orang , kelompok, dan hasil kebudayan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya.

  Keduanya akan terpadu menjadi perilaku yang selaras dengan lingkungannya apabila perilaku yang terbentuk dapat diterima oleh lingkungannya, dan diterima oleh individu yang bersangkutan (Hikmawati, 2011; h. 102).

  Setiap individu sejak lahir berada dalam suatu kelompok, terutama keluarga. Kelompok ini akan membuka kemungkinan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota kelompok lain. Oleh karena pada setiap kelompok senantiasa berlaku aturan dan norma sosial tertentu, maka perilaku setiap individu anggota kelompok berlangsung dalam suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu tersebut terhadap masalah kesehatan. Kesehatan bukan hanya diketahui atau disadari

  (knowledge) dan disikapi

  (

  

attitude), melainkan harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari

  (

  

practice). Secara teori memang perubahan perilaku atau mengadopsi

  perilaku baru itu mengikuti tahap-tahap proses perubahan: pengetahuan, sikap, dan praktek. Beberapa penelitian telah membuktikan hal tersebut, namun penelitian lainnya juga membuktikan bahwa proses tersebut tidak selalu seperti teori diatas, bahkan didalam praktek sehari-hari terjadi sebaliknya. Artinya, seseorang telah berperilaku positif meskipun pengetahuan dan sikapnya masih negatif (Notoatmodjo, 2012; h. 147).

  Menurut Kholid (2012; h. 28), pengetahuan sebagai determinan terhadap perubahan perilaku. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor. Pada realitasnya sulit dibedakan dalam menentukan perilaku karena dipengaruhi oleh faktor lainnya, yaitu antara lain faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio budaya masyarakat, dan sebagainya sehingga proses terbentuknya pengetahuan dan perilaku ini dapat dipahami. Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Maka intervensi yang ditujukan pada faktor perilaku ini sangat strategis.

  Menurut Green (1980), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: a.

  Predisposing factors (faktor predisposisi) mencakup: pengetahuan dan

  sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut, tingkat pendidikan, dan sosial ekonomi.

b. Enambling factors (faktor pendukung), yang terwujud dalam lingkungan

  fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.

c. Reinforcing factors (faktor pendorong) yang terwujud dalam sikap dan

  perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku seseorang yang bersangkutan, dan juga peraturan baik pusat maupun daerah yang terkait dengan kesehatan.

  Berdasarkan batasan perilaku, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok:

  a. Perilaku pemeliharaan kesehatan ( health maintanance) Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek: 1) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

  2) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Kesehatan adalah suatu hal yang dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.

  3) Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut. b. Perilaku pencarian dan penggunaan system atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (

  health seeking behavior).

  Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

  c. Perilaku kesehatan lingkungan Adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Seorang ahli Becker (1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan ini antara lain: 1) Perilaku hidup sehat

  Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.

  Perilaku ini mencakup: a) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet).

  b) Olah raga teratur

  c) Tidak merokok

  d) Tidak minum minuman keras dan narkoba

  e) Istirahat cukup

  f) Mengendalikan stress

  g) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, penyesuaian diri kita dengan lingkungan, dan sebagainya.

  2) Perilaku sakit (

  illness behavior)

  Perilaku sakit ini mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang: penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan sebagainya.

  3) Perilaku peran sakit (

  the sick role behavior)

  Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup hak-hak orang sakit (

  right) dan kewajiban sebagai

  orang sakit (

  obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh

  orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (

  the sick role).

  Tindakan ini meliputi: a) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.

  b) Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan penyembuhan penyakit yang layak.

  c) Mengetahui cara memperoleh perawatan dan pelayanan kesehatan, serta memiliki kesadaran untuk tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain (Kholid, 2012; h. 29-32).

3. Kontrasepsi IUD

  a. Definisi IUD

  IUD (Intra Uterine Device) atau AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) adalah bahan inert sintetik (dengan atau tanpa unsur tambahan untuk sinergi efektifitas) dengan berbagai bentuk, yang dipasangkan ke dalam rahim untuk menghasilkan efek kontraseptif (Saifuddin, 2006; h. 492).

  IUD atau AKDR adalah salah satu alat kontrasepsi modern yang telah dirancang sedemikian rupa (baik bentuk, ukuran, bahan, dan masa aktif fungsi kontrasepsinya), diletakkan di dalam kavum uteri sebagai usaha kontrasepsi, menghalangi fertilisasi, dan menyulitkan telur berimplantasi dalam uterus (Hidayati, 2009; h. 29).

  AKDR atau IUD atau Spiral adalah suatu benda kecil yang terbuat dari plastik yang lentur, mempunyai lilitan tembaga atau juga mengandung hormon dan dimasukan ke dalam rahim melalui vagina dan mempunyai benang (Handayani, 2010; h. 139-140).

  b. Macam-macam IUD 1) Menurut bentuknya IUD dibagi menjadi:

  a) Bentuk terbuka (open device), misalnya Lippes Loop, CU-T, Cu-7, Margulies, Spring Coil, Multiload, Nova-T, dan lainnya.

  b) Bentuk tertutup (closed device), misalnya Ota ring, Antigon, Grafenberg ring, Hall stone ring, dan lain-lain. Pada bentuk tertutup, jika terjadi dislokasi ke dalam rongga perut, IUD harus dikeluarkan karena dapat menyebabkan masuknya usus ke dalam lubang atau cincin, kemudian terjadilah ileus.

  2) Menurut tambahan obat atau metal:

  a) Unmedicated Devices (Inert Devices, First Generation Devices), misalnya Lippes Loop, Margulies, Saf-T Coil, Antigon, dan lain-lain.

  b) Medicated Devices (Bio Active Devices, Second Generation Devices), misalnya Cu-T-200, 220, 300, 380A, Cu-7, Nova-T, ML- Cu 250, 375, Progestasert, dan lain-lain (Sofian, 2011; h. 220). c. Mekanisme Kerja Mekanisme kerja IUD ialah menciptakan lingkungan yang tidak kondusif karena adanya reaksi benda asing. Kondisi ini menyebabkan penyerbukan leukosit yang dapat menghancurkan sperma, ovum bahkan blastocysta (Anton dan Andari, 2008; h. 136).

  Menurut Hartanto (2010; h. 205) mekanisme kerja yang pasti dari

  IUD belum diketahui. Ada beberapa mekanisme kerja IUD yang telah diajukan yaitu: 1) Timbulnya reaksi radang lokal yang non-spesifik di dalam cavum uteri sehingga implantasi sel telur yang telah dibuahi terganggu.

  2) Produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan terhambatnya implantasi.

  3) Gangguan/terlepasnya blastocyst yang telah berimplantasi di dalam endometrium.

  4) Pergerakan ovum yang bertambah cepat di dalam tuba fallopii. 5) Immobilisasi spermatozoa saat melewati cavum uteri. 6) Mencegah spermatozoa membuahi sel telur (mencegah fertilisasi). 7) Untuk IUD yang mengandung tembaga mencegah terjadinya pembuahan (fertilisasi) dengan memblok bersatunya ovum dan sperma, mengurangi jumlah sperma yang mencapai tuba fallopi dan menginaktifkan sperma.

  8) Untuk IUD yang mengandung hormon, menebalkan lendir serviks sehingga menghalangi pergerakan sperma.

  d. Efektifitas IUD

  IUD mempunyai efektivitas cukup tinggi, 0,6-0,8 kehamilan/100 perempuan dalam satu tahun pertama (Varney, 2007; h. 417) atau 1,5-3 kehamilan per 100 wanita pada tahun pertama, dan angka tersebut menjadi lebih rendah pada tahun-tahun berikutnya (Sofian, 2011; h. 223) e. Efek samping IUD dan penanganannya

  1) Nyeri dan mulas Kejang, nyeri dan mulas-mulas, serta pegal pada pinggang biasanya terjadi sehabis insersi IUD, umumnya akan hilang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Pengobatannya dengan analgetika dan spasmolitika.

  2) Perdarahan Dapat terjadi perdarahan pasca-insersi, bercak di luar haid,

  (spotting) atau perdarahan meno atau metroragia. Perdarahan ditangani dengan memberikan obat-obatan seperti: Ermetrin, Metergin, Daflon, Kalsium, Vitamin K dan C dan sebagainya. Tidak perlu diberikan antibiotik. Bila dengan cara-cara tersebut perdarahan tidak berhenti atau tetap banyak, dianjurkan untuk mencabut IUD. 3) Keputihan (Leukorea, Fluor Albus)

  Keputihan yang berlebihan mungkin disebabkan oleh reaksi organ genetalia terhadap benda asing yang biasanya terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah insersi. Sebelum dilakukan pengobatan, carilah dahulu penyebabnya. Untuk pengobatan, dapat diberikan tablet oral atau tablet vaginal. 4) Dismenorea (nyeri selama haid)

  Tidak seluruhnya wanita yang memakai IUD akan menderita nyeri haid, biasanya hanya terjadi pada wanita-wanita yang sebelumnya memang sering mengeluh nyeri sewaktu haid. Pengobatannya dengan analgetika dan spasmolitika.

  5) Dispareunia (nyeri sewaktu koitus) Wanita jarang merasakannya, sering pihak suami mengeluh sakit karena benang yang panjang atau cara pemotongan benang seperti bambu runcing. Penanganannya dengan memendekkan benang dan buatlah agar ujungnya tumpul.

  6) Ekspulsi (IUD keluar dengan sendirinya) Sering dijumpai pada masa 3 bulan pertama setelah insersi, setelah 1 tahun angka ekspulsi akan berkurang. Biasanya terjadi sewaktu sedang haid. Faktor-faktor yang berperan pada terjadinya ekspulsi adalah: a) Faktor IUD

  (1) Jenis IUD, yaitu ekspulsi lebih jarang terjadi pada jenis IUD tertutup.

  (2) Ukuran IUD, yaitu makin besar ukurannya semakin kecil kemungkinan terjadinya ekspulsi.

  b) Waktu pemasangan Angka ekspulsi lebih tinggi pada pemasangan dini (beberapa hari postpartum) dan pada pemasangan langsung dalam waktu bulan pertama pasca persalinan.

  c) Faktor akseptor (1) Umur dan paritas akseptor, yaitu makin tinggi usia dan paritas, makin rendah kejadian ekspulsi.

  (2) Adanya kelainan pada alat genetalia, yaitu misalnya inkompetensi serviks dan kelainan uterus. Ekspulsi lebih sering terjadi pada kanalis servikalis yang terbuka.

  7) Infeksi Radang panggul dijumpai sekitar 2% akseptor pada tahun pertama pemakaian, namun infeksi ini bersifat ringan dan tidak perlu dicabut karena dapat ditangani dengan pemberian antibiotik. (Sofian, 2011; h. 228).

4. Personal Hygiene Genetalia

  a. Definisi Personal hygiene secara harfiah diartikan kebersihan diri. Yang meliputi berbagai upaya yang dilakukan terkait dengan kebersihan seluruh tubuh. Personal hygiene genetalia atau lebih dikenal dengan vulva hygiene adalah menjaga dan merawat kebersihan daerah genetalia atau organ kelamin bagian luar (Nurjanah, 2012; h.120).

  Kebiasaan baik merawat daerah genetalia dengan cara tepat dan alami mempengaruhi kecantikan serta kesehatan organ intim perempuan.

  Masalah keputihan bisa teratasi, selain masalah hormonal seperti menstruasi tak teratur hingga masalah menopause (Burhani, 2012; h. 98).

  Ekosistem vagina adalah lingkaran kehidupan yang ada di vagina. Ekosistem ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu estrogen dan laktobasilus (bakteri baik). Jika keseimbangan ini terganggu, bakteri laktobasilus akan mati dan bakteri pathogen akan tumbuh sehingga tubuh akan rentan terhadap infeksi (Burhani, 2012; h. 61).

  b. Cara Perawatan Genetalia 1) Cara cebok yang benar

  Menurut Nurjanah (2012; h. 122) cara cebok yang benar adalah: a) Dari arah depan ke belakang, yaitu dari bibir vulva bagian atas, kemudian ke arah anus.

  b) Menyiramkan air disertai bantuan perabaan tangan untuk membersihkannya.

  c) Mengeringkan dengan handuk atau kain kering dan bersih. 2) Menjaga kelembaban

  Dalam kondisi normal, organ genetalia cukup lembab, namun tidak sampai terlalu berlendir. Kelembaban daerah ini memang tidak dapat diukur tetapi asal tidak terlalu becek berarti daerah genetalia tersebut dikatakan normal. Cara menjaga agar tidak terlalu lembab adalah dengan memilih bahan celana dalam berbahan katun yang bisa menyerap keringat dan jangan terlalu ketat, sebab bisa memerangkap keringat yang menyebabkan iritasi. Jika aktifitas tinggi sebaiknya sering mengganti celana dalam (Burhani, 2012; h. 102-103).

  3) Menjaga kebersihan genetalia Menjaga kebersihan genetalia dengan selalu membasuh dengan air bersih. Jangan terlalu sering menggunakan produk pembersih vagina. Gunakan pembersih vagina yang tidak mengganggu kestabilan pH di sekitar vagina. Salah satunya produk pembersih yang terbuat dari bahan dasar susu. Produk seperti ini mampu menjaga keseimbangan pH sekaligus meningkatkan pertumbuhan flora normal dan menekan pertumbuhan bakteri yang tak bersahabat. Sabun antiseptik biasa umumnya bersifat keras dan dapat membunuh flora normal di vagina. Ini tidak menguntungkan bagi kesehatan vagina dalam jangka panjang (Shadine, 2012; h. 18)

  4) Mencukur rambut kemaluan Manfaat mencukur rambut kemaluan (Nurjanah, 2012; h. 130):

  a) Mencegah penyebaran kuman

  b) Memberikan sirkulasi udara di daerah sekitar

  c) Mendapat pahala 5) Pemakaian Pantyliner

  Pemakaian Pantyliner tidak dianjurkan digunakan setiap hari, sebaiknya pantyliner hanya digunakan ketika keputihan. Akan lebih baik jika membawa celana dalam pengganti daripada menggunakan pantyliner tiap hari (Burhani, 2012; h. 80).

  6) Pemakaian Tissue Hindari terlalu sering menggunakan tissue toilet (khususnya yang wangi) setiap buang air kecil atau besar. Kalau memungkinkan, misalnya di rumah, ganti kebiasaan ini dengan menggunakan handuk atau kain kecil yang bersih. Hindari pula pemakaian tissue atau pembalut yang dapat menyebabkan alergi (Shadine, 2012; h. 202). 7) Mengganti pembalut

  Bagi para wanita yang sedang menstruasi/haid untuk tidak malas mengganti pembalut karena ketika menstruasi kuman-kuman mudah untuk masuk dan pembalut yang telah ada gumpalan darah merupakan tempat berkembangnya jamur dan bakteri. Usahakan untuk mengganti setiap 4 jam sekali, 2-3 kali sehari atau sudah merasa tidak nyaman. Jangan lupa bersihkan vagina sebelumnya ketika mengganti pembalut (Burhani, 2012; h. 85).

  8) Hindari penyebab iritasi Hindari kontak vagina dengan produk yang bisa mengiritasi vagina seperti produk kesehatan wanita (seperti pantyliners, pembalut) yang mempunyai wangi, bedak dan losion (Burhani, 2012; h. 80). 9) Penggunaan toilet umum

  Sedapat mungkin usahakan dulu untuk mendapatkan toilet dengan WC jongkok agar lebih sehat dan nyaman, karena kontaminasi yang mungkin terjadi jauh lebih minim daripada WC duduk. Apabila mendapatkan toilet dengan WC duduk, untuk mengantisipasi dan mencegah kontaminasi bakteri dari WC duduk, sebaiknya sebelum menggunakan WC, bersihkan terlebih dahulu bagian permukaan WC yang akan diduduki dengan menyiramkan air. Hal ini dapat pula dilakukan dengan menggunakan tissue toilet yang tersedia. Jika masih belum yakin akan kebersihannya, meskipun sudah dibersihkan bagian permukaan WC, masih dapat dilakukan alternatif lain, yaitu dengan menempeli bagian permukaan WC itu menggunakan tissue sebagai pengalas, kemudian baru diduduki (Nurjanah, 2012; h. 133).

  10) Setia pada pasangan Hal ini juga merupakan salah satu tips menjaga dan merawat alat kelamin, hindari untuk “jajan” atau selingkuh (Burhani, 2012; h. 85).

  11) Konsumsi makanan bergizi Menjaga kesehatan tubuh dengan mengkonsumsi makanan yang sehat dan bervariasi (Shadine, 2012; h. 202)

5. Leukore

  a. Definisi Menurut Manuaba (2010; h. 529) leukore atau keputihan adalah semua pengeluaran cairan alat genetalia yang bukan darah. Keputihan bukan penyakit tersendiri, tetapi merupakan manifestasi gejala dari hampir semua penyakit kandungan. Oleh karena itu, penyebab utama keputihan harus dicari dengan melakukan anamnesis (wawancara), pemeriksaan kandungan, dan pemeriksaan laboratorium.

  Leukore atau keputihan merupakan sekresi vaginal abnormal pada wanita. Keputihan yang disebabkan oleh infeksi biasanya disertai dengan rasa gatal di dalam vagina dan di sekitar bibir vagina bagian luar, kerap pula disertai bau busuk, dan menimbulkan rasa nyeri sewaktu berkemih atau bersenggama (Shadine, 2012; h. 1).

  Keputihan atau fluor albus merupakan suatu kondisi dimana cairan yang keluar dari vagina (bukan darah) jumlahnya berlebihan. Biasanya encer atau agak kental, berbau agak amis atau menyengat, dan warnanya bening atau putih kekuningan (Nurjanah, 2012; h. 28).

  Pada kondisi yang normal, vagina dapat mengeluarkan cairan yang berasal dari rahim. Umumnya cairan yang keluar sedikit, jernih, dan tidak berbau. Jika cairan (bukan darah) yang keluar dari vagina berlebihan, keadaan tersebut disebut leukore atau keputihan.

  Selama kehamilan, menjelang menstruasi, pada saat ovulasi, dan akibat rangsangan seksual, vagina cenderung lebih banyak mengeluarkan cairan, gejala tersebut masih termasuk normal. Namun apabila cairan yang keluar berlebihan, terkadang menimbulkan rasa gatal, dan bau tidak sedap maka perlu diwaspadai (Burhani, 2012; h. 48)

  Leukore atau keputihan bukan suatu penyakit tersendiri, tetapi dapat merupakan gejala dari suatu penyakit lain. Keputihan yang berlangsung terus-menerus dalam waktu yang cukup lama dan menimbulkan keluhan, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya (Shadine, 2012; h. 2).

  b. Etiologi Leukore dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti infeksi mikroorganisme yaitu bakteri, jamur, virus atau parasit. Juga dapat disebabkan karena gangguan keseimbangan hormon, stress, kelelahan kronis, peradangan alat kelamin, benda asing dalam vagina, dan adanya penyakit dalam organ reproduksi seperti kanker leher rahim (Shadine, 2012; h. 2).

  Menurut Joseph dan Nugroho (2011; h. 35) penyebab leukore yaitu: 1) Infeksi kencing nanah, misalnya, menghasilkan cairan kental, bernanah dan berwarna kuning kehijauan.

  2) Parasit

  Trichomonas vaginalis menghasilkan banyak cairan, berupa cairan encer berwarna kuning kelabu.

  3) Keputihan yang disertai bau busuk dapat disebabkan oleh kanker. 4) Kelelahan yang sangat berat.

  Nurjanah (2012, hal; 30) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efek perlindungan yang diberikan oleh mikroflora normal dalam vagina yaitu: 1) Pemberian Antibiotika

  Pemberian antibiotika dalam jangka panjang akan menekan jumlah bakteri baik dalam vagina terutama jenis jamur, bahkan dapat mengubah sifat bakteri baik menjadi jahat.

  2) Pembilasan vagina Pembilasan vagina menggunakan air biasa atau dengan larutan meskipun hanya untuk sementara waktu akan menyebabkan perubahan keasaman vagina atau menekan jumlah bakteri tertentu.

  3) Hubungan seksual Cairan sperma yang masuk dapat meningkatkan keasaman vagina, pH dapat mencapai 7,2 selama 6-8 jam. Akibatnya, vagina menjadi rentan terhadap infeksi kuman penyebab penyakit menular seksual.

  4) Benda asing Tertinggalnya benda asing yang masuk vagina akan mengganggu mekanisme pembersihan vagina yang alami, sehingga memudahkan terjadinya infeksi.

  c. Jenis Leukore Menurut para pakar sex (pakar seksologi), leukore atau keputihan ada dua jenis yaitu: 1) Keputihan fisiologis

  a) Tidak gatal

  b) Tidak bau

  c) Datangnya menjelang masa subur d) Biasanya juga datang menjelang perempuan dewasa haid.

  2) Keputihan patologis

  a) Gatal

  b) Berbau amis atau anyir

  c) Berubah warnanya

  3) Kondisi normal yang dapat menyebabkan sekret keluar berlebihan

  a) Bayi baru lahir hingga berusia kira-kira 10 hari. Hal ini terjadi karena pengaruh hormon estrogen dari ibunya.

  b) Masa sekitar menarche. Keadaan ini ditunjang oleh hormon estrogen.

  c) Seorang perempuan yang mengalami kegairahan seksual. Hal ini berkaitan dengan kesiapan vagina untuk menerima penetrasi pada vagina.

  d) Masa disekitar ovulasi karena produksi kelenjar-kelenjar mulut rahim.

  e) Kehamilan yang menyebabkan meningkatnya suplai darah ke daerah vagina dan mulut rahim serta penebalan dan melunaknya selaput lendir vagina.

  f) Akseptor kontrasepsi pil dan akseptor spiral

  g) Pengeluaran lendir yang bertambah pada perempuan yang sedang menderita penyakit kronik atau pada perempuan yang mengalami stress (Shadine, 2012; h. 3-5).

  d. Diagnosis Berupa iritasi pada area genital, rasa panas, gatal dan nyeri yang dapat terasa di daerah vulva dan paha, perineum (kulit diantara vagina dan anus), dapat pula disertai nyeri saat berkemih dan senggama.

  Dapat juga terjadi perdarahan bercak setelah senggama akibat kontak langsung dengan leher rahim yang meradang. Keluar cairan keputihan yang berbuih dan berwarna putih keabuan atau berwarna kuning kotor kehijauan serta berbau busuk yang menusuk. Dalam kondisi parah, vagina dan leher rahim dapat bengkak dan meradang kemerahan.

  1) Keluarnya cairan berwarna putih kekuningan atau putih kelabu dari saluran vagina. Cairan ini dapat encer atau kental, dan kadang-kadang berbusa. Mungkin gejala ini merupakan proses normal sebelum atau sesudah haid pada wanita tertentu.

  2) Pada penderita tertentu, terdapat rasa gatal yang menyertainya.

  Biasanya keputihan yag normal tidak disertai dengan rasa gatal. Keputihan juga dapat dialami oleh wanita yang terlalu lelah atau yang daya tahan tubuhnya lemah. Sebagian besar cairan tersebut berasal dari vagina yang terinfeksi, atau alat kelamin luar. 3) Pada bayi perempuan yang baru lahir, dalam waktu satu hingga sepuluh hari, dari vaginanya dapat keluar cairan akibat pengaruh hormon yang dihasilkan oleh plasenta atau uri. 4) Gadis muda juga kadang mengalami keputihan sesaat sebelum masa pubertas, biasanya gejala ini akan hilang dengan sendirinya (Shadine,

  2012; h. 9-10).

  e. Pencegahan 1) Selalu membersihkan dengan baik organ kelamin, terutama vagina.

  2) Meminimalisir penggunaan sabun antiseptik khusus vagina. 3) Mengganti pembalut sesering mungkin dan tepat waktu, minimal 4 kali sehari.

  4) Memilih pakaian dalam yang tepat, yaitu dari bahan kain yang dapat menyerap keringat dan mengurangi penggunaan celana ketat untuk menjaga kelembapan daerah organ kelamin. 5) Langsung melakukan pemeriksaan organ reproduksi jika terjadi keluhan yang berarti (Nurjanah, 2012; h. 33).

  

6. Pengetahuan dan perilaku pengguna KB IUD tentang hygiene genetalia

hubungannya dengan kejadian leukore

  Menurut Manuaba (2010; h. 530) penyebab terjadinya leukore atau keputihan adalah infeksi, benda asing, dan keganasan. Hal ini didukung oleh teori Sofian (2012; h. 228), yang menyebutkan bahwa salah satu efek samping dan komplikasi pemakaian IUD adalah keputihan atau leukore.

  Keputihan yang berlebihan disebabkan oleh reaksi organ genetalia terhadap benda asing yang biasanya terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah insersi.

  Menurut Shadine (2012; h. 15) keputihan dapat dicegah dengan selalu menjaga kebersihan daerah genetalia dan membiasakan diri untuk berperilaku hidup sehat agar daya tahan tubuh baik. Pengetahuan akan keputihan secara tepat akan membantu dalam membedakan antara keputihan yang normal dengan keputihan yang patologis.

  Penelitian Nurhadini, dkk (2011) tentang hubungan personal hygiene dengan keputihan pada wanita usia subur di wilayah kerja puskesmas Lingkar Timur menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara personal hygiene dengan keputihan. Hasil uji statistik dalam penelitian Melati, dkk (2011) tentang hubungan pengetahuan dan ketrampilan vulva hygiene dengan kejadian keputihan pada ibu rumah tangga di desa Sawahjoho Warungasem Batang, membuktikan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan ketrampilan vulva hygiene dengan kejadian keputihan.

B. Kerangka Teori

  Faktor Predisposisi

  • Pendidikan

  Keganasan

  • Pekerjaan - Sosek - Kepercayaan Faktor Penduk Pengguna IUD

  ung

  Infeksi

  • Ketersediaan sarana dalam Hygiene kebersihan genetalia Leukore - Pengetahuan - Perilaku Faktor Pendorong - Referensi

  Benda asing:

  • Pembinaan Nakes

  IUD

  • Fasilitas (media informasi)

  Gambar 1. Bagan kerangka teori pengetahuan dan perilaku pengguna KB IUD tentang kebersihan genetalia hubungannya dengan leukore (Sumber : Modifikasi Green (1980) dalam Kholid (2012), Manuaba (2010), Sofian

  (2012), Shadine (2012), Notoatmodjo (2010) )