BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas - Yunan Wisnu Wardhana BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas
Berdasarkan pasal 1 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.
Kecelakaan lalu lintas selalu mengandung unsur ketidak-sengajaan dan tidak disangka- sangka serta akan menimbulkan perasaan terkejut, heran dan trauma bagi orang yang mengalami kecelakaan tersebut. Hal ini seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU No 14 tahun 1992), pasal 92 butir (1) menyebutkan bahwa : kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja, melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda.
2.2 Penggolongan Kecelakaan Lalu Lintas
Penggolongan dan penanganan perkara kecelakaan lalu lintas dalam Undang- Undang no. 22 tahun 2009, pasal 229 menyebutkan bahwa:
(1) Kecelakaan lalu lintas digolongkan atas:
a. Kecelakaan lalu lintas ringan;
b. Kecelakaan lalu lintas sedang; c. Kecelakaan lalu lintas berat. (2) Kecelakaan lalu lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang. (3) Kecelakaan lalu lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang. (4) Kecelakaan lalu lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat. kelalaian pengguna jalan, ketidaklaikan kendaraan, serta ketidaklaikan jalan dan/atau lingkungan. Pertolongan dan perawatan korban kecelakaan diatur dalam Undang-Undang no. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas.
- Pasal 231 UU no 22 tahun 2009 menyebutkan bahwa : (1) Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas, wajib:
a. menghentikan kendaraan yang dikemudikannya;
b. memberikan pertolongan kepada korban;
c. melaporkan kecelakaan kepada kepolisian negara Republik Indonesia terdekat; dan d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan. (2) Pengemudi kendaraan bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat.
- Pasal 232 UU no 22 tahun 2009 menyebutkan bahwa : Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib:
a. memberikan pertolongan kepada korban kecelakaan lalu lintas;
b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada kepolisian negara Republik Indonesia; dan/atau c. memberikan keterangan kepada kepolisian negara Republik Indonesia.
Adapun penggolongan kecelakaan lalu lintas menurut Undang-Undang Republik Indonesia no. 14 Tahun 1992 tentang Lalu lintas dan angkutan jalan adalah:
a. Kecelakaan Fatal Kecelakaan fatal merupakan suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak sengaja, melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya mengakibatkan korban meninggal dunia.
b. Kecelakaan Berat Kecelakaan berat merupakan suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak sengaja, melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya mengakibatkan korban luka berat. c. Kecelakaan Ringan Kecelakaan ringan merupakan suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak sengaja, melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya mengakibatkan korban luka ringan.
d. Kecelakan dengan Kerugian Harta Benda Kecelakaan dengan kerugian harta benda merupakan suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak sengaja, melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya mengakibatkan kerugian harta benda.
2.3 Penggolongan Korban Kecelakaan Lalu Lintas
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 1993, tentang Prasarana dan lalu lintas jalan, korban kecelakaan lalu lintas digolongkan sebagai berikut:
a. Korban Meninggal Dunia Korban meninggal dunia merupakan korban yang dipastikan meninggal dunia sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah kecelakaan tersebut.
b. Korban Luka Berat Korban luka berat merupakan korban yan luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 hari sejak terjadi kecelakaan.
c. Korban Luka Ringan Kategori korban luka ringan merupakan korban yang tidak termasuk dalam kategori korban meninggal dunia dan korban luka berat.
2.4 Faktor-faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan adalah suatu kejadian yang disebabkan oleh banyak faktor, yang pada dasarnya disebabkan oleh kurang efektifnya gabungan dari faktor-faktor utama, yaitu : pemakai jalan (manusia), jalan dan kendaraan. Ada tiga unsur dasar yang menentukan keamanan jalan raya, yaitu : pemakai jalan, kendaraan, serta fisik jalan itu sendiri (Wedasana, 2011). Untuk mengatur ketiga unsur utama tersebut diperlukan peraturan perUndang-Undangan, standar- diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
2.4.1 Faktor Kendaraan
Menurut pasal 1 dari Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, “Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu. Kendaraan bermotor dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis, yaitu : sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, mobil barang dan kendaraan khusus.”
Kendaraan merupakan sarana angkutan yang penting dalam kehidupan modern, ini karena dapat membantu manusia dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari serta memudahkan manusia dalam mencapai tujuan dengan cepat, selamat dan hemat sekaligus menunjang nilai aman dan nyaman. Kendaraan berperan penting dalam menentukan keamanan jalan raya (Soesantiyo, 1985).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setiap kendaraan bermotor harus dilengkapi dengan peralatan pengereman yang meliputi rem utama dan rem parkir dan memiliki sistem roda yang meliputi roda-roda dan sumbu roda. Roda-roda tersebut berupa pelek-pelek dan ban-ban hidup serta sumbu atau gabungan sumbu-sumbu roda yang dapat menjamin keselamatan. Di samping sistem roda, kendaraan bermotor juga harus memiliki suspensi berupa penyangga yang mampu menahan beban, getaran dan kejutan untuk menjamin keselamatan dan perlindungan terhadap penggunanya. Lampu-lampu tambahan pada kendaraan bermotor bisa mengurangi resiko kecelakaan (Pignataro, 1973).
Sebab-sebab kecelakaan yang disebabkan oleh faktor kendaraan antara lain:
1. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh perlengkapan kendaraan : a. Alat-alat rem tidak bekerja dengan baik.
b. Alat-alat kemudi tidak bekerja dengan baik.
c. Ban atau roda dalam kondisi buruk.
d. Tidak ada kaca spion. a. Syarat lampu penerangan tidak terpenuhi.
b. Menggunakan lampu yang menyilaukan.
c. Lampu tanda rem tidak bekerja.
3. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pengamanan kendaraan, misalnya: karoseri kendaraan yang tidak memenuhi syarat keamanan.
4. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh mesin kendaraan, contohnya : mesin tiba-tiba mogok di jalan.
5. Karena hal-hal lain dari kendaraan, contohnya : a. Muatan kendaraan terlalu berat untuk truk dan lain-lain.
b. Perawatan kendaraan yang kurang baik (persneling blong, kemudi patah dan lain- lain).
2.4.2 Faktor Jalan
Penyimpangan dari standar perencanaan dan kriteria perencanaan jalan bagi suatu ruas jalan hanya akan mengakibatkan turunnya nilai aman ruas jalan tersebut. Bila dalam pelaksanaan terpaksa menyimpang dari ketentuan standar, maka informasi atas rawan kecelakaan harus segera dipasang sebelum suatu jalan dibuka untuk umum. Selain itu pada lokasi rawan harus diberi informasi yang jelas mengenai kondisi jalan tersebut sehingga pengemudi mengetahui kondisi sekitarnya dan lebih berhati-hati. Informasi tersebut dapat berupa delineator (garis pembatas jalan) yang khusus digunakan pada waktu malam hari dan dilengkapi dengan cat yang dapat memantulkan cahaya, tonggak di tepi jalan, mata kucing dan marka dengan cat yang dapat memantulkan cahaya.
Jalan sebagai landasan bergeraknya kendaraan harus direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan bagi pemakainya. Perencanaan geometrik jalan harus memperhatikan lalu lintas yang akan lewat pada jalan tersebut, kelandaian jalan, alinyemen horizontal, persilangan dan komponen pada penampang melintang (Soesantiyo, 1985).
Faktor yang disebabkan oleh faktor jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh perkerasan jalan : a. Lebar perkerasan yang tidak memenuhi syarat.
b. Permukaan jalan yang licin dan bergelombang.
2. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh alinyemen jalan : a. Tikungan yang terlalu tajam.
b. Tanjakan dan turunan yang terlalu curam.
3. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pemeliharaan jalan : a. Jalan rusak.
b. Perbaikan jalan yang menyebabkan kerikil dan debu berserakan.
4. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh penerangan jalan : a. Tidak adanya lampu penerangan jalan pada malam hari.
b. Lampu penerangan jalan yang rusak dan tidak diganti.
5. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh rambu-rambu lalu lintas : a. Rambu ditempatkan pada tempat yang tidak sesuai.
b. Rambu lalu lintas yang ada kurang atau rusak.
c. Penempatan rambu yang membahayakan pengguna jalan.
2.5 Perangkat Pengatur Lalu Lintas
Keadaan lalu lintas yang heterogen dan pertambahan volume kendaraan yang semakin meningkat, cenderung mengakibatkan terjadinya hambatan baik kemacetan maupun kecelakaan. Sebagai usaha untuk mengurangi hambatan dan mengatur lalu lintas sehingga menjadi tertib dan aman, diperlukan perangkat teknis lalu lintas. Perangkat teknis tersebut antara lain : rambu, marka, lampu sinyal, alat atau tanda yang ditempatkan pada jalan, di sisi jalan atau pun menggantung di atas jalan. Pemberian perangkat teknis ini harus ada standarisasinya sehingga tidak menimbulkan keraguan bagi pengemudi. Fungsi utama perangkat teknis lalu lintas ini adalah untuk mengatur arus lalu lintas. Adapun perangkat-perangkat teknis yang dimaksud adalah :
2.5.1 Rambu Lalu Lintas (Traffic Signs)
Rambu lalu lintas adalah perangkat yang memuat lambing, huruf, angka, kalimat dan/atau perpaduan diantaranya, dan digunakan sebagai peringatan, larangan, perintah atau petunjuk bagi pemakai jalan 2010), yaitu: rambu peringatan, rambu larangan, rambu perintah, rambu petunjuk dan rambu darurat. pengemudi berhati-hati dalam menjalankan kendaraannya. Biasanya rambu jenis ini memiliki warna dasar kuning. Contoh dari rambu peringatan misalnya :
- Rambu yang menunjukkan adanya lintasan kereta api.
- Rambu yang menunjukkan adanya persimpangan berbahaya bagi para pengemudi.
b. Rambu larangan adalah rambu yang digunakan untuk melarang semua jenis lalu lintas atau tertentu untuk memakai jalan, jurusan, atau tempat-tempat tertentu.
Warna dasar jenis rambu ini adalah merah dengan gambar atau tulisan penuh. Contoh jenis rambu ini misalnya: - Rambu dilarang berhenti.
- Rambu kendaraan harus lewat jalan tertentu.
c. Rambu perintah adalah rambu yang digunakan untuk memerintah semua jenis lalu lintas atau tertentu untuk memakai jalan, jurusan, atau tempat-tempat tertentu.
Warna dasar jenis rambu ini adalah biru atau merah dengan gambar/tulisan warna putih. Contoh jenis rambu ini misalnya:
- Rambu perintah untuk berhenti.
- Rambu untuk wajib mengitari bundaran.
d. Rambu petunjuk adalah rambu yang digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan kepada pengemudi atau pemakai jalan lainnya, tentang arah yang harus ditempuh atau letak kota yang akan dituju lengkap dengan nama dan arah letak itu berada. Warna dasar jenis rambu ini adalah hijau dan tulisan warna putih. Contoh jenis rambu ini adalah arah petunjuk di jalan tol.
e. Rambu Darurat adalah rambu-rambu yang dipasang guna memberikan info kepada pengendara yang melintas, biasanya hanya diberi tulisan dengan seadanya atau ranting-ranting pohon (biasanya untuk memberi peringatan ada lubang). Informasi yang ditampilkan pada rambu harus tepat dalam pengertian sesuai dengan pesan yang ditampilkan melalui kata-kata, simbol-simbol atau bentuk setiap saat dibutuhkan tetapi tidak boleh secara sembarangan yang malah tidak diperhatikan. Menurut SK. MENHUB No.61 Tahun 1993 persyaratan penempatan rambu lalu lintas adalah sebagai berikut:
1. Untuk rambu-rambu yang ditempatkan pada sisi jalan. Jarak antar sisi rambu bagian bawah sampai dengan jalur jalan kendaraan minimal 1,75 meter, maksimal 2,65 meter.
2. Untuk rambu-rambu yang ditempatkan di atas permukaan jalur kendaraan, jarak sisi bagian rambu terbawah sampai dengan permukaan jalan minimal 5,00 meter.
3. Jarak antar bagian rambu terdekat dengan bagian paling tepi dari perkerasan jalan yang dapat dilalui kendaraan minimal 0,60 meter.
2.5.2 Marka Jalan
Menurut UU Republik Indonesia No.22 tahun 2009 Pasal 1, marka lalu lintas adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong serta lambang lainnya yang fungsinya untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas. Marka lalu lintas ini dicatkan langsung pada perkerasan atau tepi jalan. Contoh dari marka lalu lintas antara lain : garis pembatas jalur, tanda belok dan lurus pada jalur jalan, garis dilarang untuk berpindah ke jalur disebelahnya, tanda stop, zebra dan lain-lain.
cross
Pemberian marka terutama digunakan untuk mengontrol posisi kendaraan ke arah sisi/samping jalan, termasuk di dalamnya : marka jalur, alur/chanell sistem marka, larangan menyiap pada dua jalur dua arah atau sebagai pembatas tepi perkerasan dan halangan pada tepi, disebelah atau dekat perkerasan.
Marka melintang banyak digunakan untuk bahu jalan/shoulder. Kata dan simbol dan “Garis Henti” pada tempat persimpangan pejalan kaki. Karena sudut pandangan kecil pada marka jalan bagi pengemudi, maka garis melintang harus diperbesar atau sesuai dengan rencana untuk memberikan penglihatan yang sama tebalnya dengan marka memanjang. Hal ini berlaku juga untuk marka dalam bentuk huruf dan simbol lainnya.
Lampu Pengatur Lalu Lintas
Lampu pengatur lalu lintas adalah semua alat pengatur lalu lintas yang dioperasikan dengan tenaga listrik yang berfungsi untuk mengarahkan atau memperingatkan pengemudi kendaraan bermotor, pengendara sepeda atau pejalan kaki (Oglesby, 1988). Apabila dipasang dengan baik, maka alat ini akan dapat memberikan keuntungan dalam kontrol lalu lintas dan keamanan. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dengan pemasangan Traffic Signal adalah : 1. Memberikan gerakan lalu lintas yang teratur.
2. Menurunkan frekuensi kecelakaan tertentu, antara lain kemungkinan kecelakaan terhadap pejalan kaki yang menyeberang jalan.
3. Memberikan interupsi yang berarti bagi lalu lintas berat untuk member waktu pada lalu lintas lain untuk lewat, memasuki atau melewati persimpangan dan juga untuk pejalan kaki.
4. Lebih ekonomis dan efektif dibandingkan dengan kontrol sistem manual.
5. Memberi kepercayaan diri pada pengemudi dengan pemberian batas-batas berhenti ataupun berjalan.
2.6 Geometrik Jalan
Faktor geometrik jalan sangat mempengaruhi terjadinya daerah rawan kecelakaan lalu lintas, disamping faktor-faktor lainnya yang ditinjau. Geometrik jalan meliputi jalur lalu lintas, lajur lalu lintas, alinyemen, dan persimpangan.
2.6.1 Jalur lalu lintas
Menurut Sukirman (1999), jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa lajur kendaraan. Lajur kendaraan adalah bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah. Batas jalur lalu lintas dapat berupa median, bahu, trotoar, pulau jalan, dan separator. Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar jalur peruntukkannya. Lebar jalur minimum untuk jalan umum adalah 4,5 meter, sehingga memungkinkan 2 kendaraan besar yang terjadi sewaktu-waktu dapat menggunakan bahu jalan. Jalur lalu lintas terdiri atas beberapa tipe, yaitu
: b. 1 jalur-2 lajur-1 arah (2/1 UD);
c. 2 jalur-4 lajur-2 arah (4/2 D); d. 2 jalur-n lajur-2 arah (n12 D), dimana n = jumlah lajur. Berikut ini terdapat informasi lebar jalur dan bahu minimum, seperti pada Tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Lebar jalan dan bahu jalan perkotaan.Lebar lajur (m) Lebar bahu sebelah luar (m) Kelas Tanpa Trotoar Ada Trotoar
Disarankan Minimum Disarankan Minimum Disarankan Minimum Jalan (m) (m) (m) (m) (m) (m)
I 3,6 3,5 2,5 200 1 0,5
II 3,6 3 2,5 2 0,5 0,25
III A 3,6 2,75 2,5 2 0,5 0,25
III B 3,6 2,75 2,5 2 0,5 0,25
- III C 3,6 1,5 1,5 0,5 0,25
Keterangan: * = jalan 1-jalur-2-arah, lebar 4,50 m Sumber: RSNI Geometri jalan Perkotaan, Badan Standar Nasional, 2004.
2.6.2 Lajur lalu lintas
Lajur lalu lintas adalah bagian dari jalur lalu lintas tempat lalu lintas bergerak, untuk satu kendaraan 2012). Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) (1997) berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0,80. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen horizontal memerlukan kemiringan melintang normal. Besaran kemiringan untuk perkerasan aspal dan beton sebaiknya 2- 3%, sedangkan untuk perkerasan kerikil sebesar 4-5%.
Alinyemen jalan merupakan serangkaian garis lurus yang dihubungkan dengan lengkung. Perencanaan alinyemen sangat penting untuk menentukan tingkat aman dan efisien di dalam memenuhi kebutuhan lalu lintas. Alinyemen dipengaruhi oleh topografi, karakteristik lalu lintas dan fungsi jalan. Alinyemen jalan pada garis besarnya dibagi menjadi alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal harus diperhatikan melalui pendekatan tiga dimensi sehingga menghasilkan alinyemen jalan dengan tingkat keselamatan dan apresiasi visual yang baik.
2.6.3.1 Alinyemen Horizontal Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.
Alinyemen horizontal dikenal juga dengan nama situasi jalan atau trase jalan. Alinyemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur peralihan saja ataupun busur lingkaran saja (Sukirman, 1999).
Kecelakaan lebih cenderung terjadi pada tikungan daripada jalan lurus karena adanya gaya gesek antara ban dan perkerasan. Efek keselamatan dari suatu tikungan tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik geometriknya, tetapi juga oleh geometri dari segmen jalan yang berdekatan, bahaya akan meningkat ketika tikungan muncul secara tidak terduga, seperti ketika suatu tikungan ada ketika setelah jalan yang cukup panjang atau ketika tersembunyi dari pandangan karena adanya bukit.
Efek keselamatan dari pelurusan tikungan adalah salah satu fokus yang utama.
Bilamana suatu tikungan tajam diperbaiki, transisi dari bagian lurus ke lengkung dari suatu jalan akan lebih halus, panjang bagian lengkung bertambah besar dan panjang keseluruhan sedikit berkurang. Dalam hal ini diharapkan adanya perubahan tingkat kecelakaan dengan adanya perbaikan tikungan didasarkan pada perubahan derajat lengkung dengan memperhitungakan reduksi minor pada panjang jalan yang mengikuti pelurusan lengkung.
Hubungan antara kecelakaan dengan derajat lengkung harus diperlakukan sebagai hubungan yang kasar, karena lengkung horizontal dpertimbangkan sebagai lengkung yang berdiri sendiri tanpa memperhatikan alinyemen segmen jalan yang berdekatan dan area hubungan yang tidak sepenuhnya benar untuk efek-efek yang meningkatnya derajat lengkung akan menyebabkan pengurangan jumlah kecelakaan pada tikungan, rata-rata 3 kecelakaan per derajat lengkung setiap 100 juta tahun kendaraan yang melewati tikungan. Pelurusan tikungan tajam di sebuah jalan dengan LHR 2000 kendaraan mengurangi sekitar 1 kecelakaan setiap 8 tahun untuk setiap pengurangan derajat lengkung sebesar 5 derajat (LPKM-ITB,1997).
2.6.3.2 Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dan median. Sering juga disebut sebagai penampang memanjang jalan (Sukirman, 1999). Alinyemen vertikal menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan penuh.
Menurut Wedasana (2011), dalam perencanaan kelandaian jalan perlu diperhatikan panjang landai tersebut yang masih tidak menghasilkan pengurangan kecepatan yang dapat menggangu kelancaran jalannya lalu lintas. Panjang maksimum landai yang masih dapat diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas yang berarti, atau biasa disebut istilah panjang kritis landai, adalah panjang yang mengakibatkan pengurangan kecepatan sebesar 25 km/jam.
2.6.4 Persimpangan
Perbaikan simpang termasuk perubahan elemen fisik dari jalan raya yang berpotongan dan alat kontrol lalu lintas. Perbaikan ini difokuskan pada pengurangan konflik dan perbaikan pengambilan keputusan oleh pengemudi. Langkah-langkah yang dapat dijadikan pegangan dalam memilih perbaikan keselamatan pada persimpangan termasuk :
a. Collision diagram, menunjukkan jejak kendaraan, waktu kejadian, dan kondisi cuaca untuk setiap kejadian kecelakaan.
b. Condition diagram, menunjukkan karakter fisik yang penting mempengaruhi pergerakan kendaraan pada persimpangan.
c. Field review, untuk mendeteksi bahaya yang dapat dilihat dari Collision dan Condition diagram. keselamatan pada persimpangan dan ketidak tepatan regresi. Perbaikan simpang juga dapat menunjukkan kelemahan simpang secara simultan. Seorang peneliti, sebagai contoh telah menyimpulkan bahwa penurunan tingkat kecelakaan sebesar 30% atau lebih dapat dilakukan pada persimpangan-persimpangan yang memiliki kelemahan- kelemahan yang dapat diperbaiki seperti jarak pandang yang buruk, kurang layaknya marka dan rambu peringatan serta tidak adanya pulau-pulau (LPKM-ITB,1997).
2.7 Teknik Analisis Data Kecelakaan Lalu Lintas Pada penelitian tugas akhir ini menggunakan metode analisis Cusum.
Cusum (Cumulative Summary) adalah suatu prosedur yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi black spot. Grafik cusum merupakan suatu prosedur statistik standar sebagai kontrol kualitas untuk mendeteksi perubahan dari nilai mean. Nilai cusum dapat dicari dengan rumus (Austroads, 1992 dalam Isa, 2013):
1. Mencari Nilai Mean (W) =
Dimana : W = Nilai Mean X i = Jumlah Kecelakaan L = Jumlah Setasion T = Waktu/Periode
2. Mencari Nilai Cusum Kecelakaan tahun pertama : Pehitungan untuk mencari nilai cusum kecelakaan tahun pertama adalah dengan mengurangi jumlah kecelakaan tiap tahu dengan nilai mean.
So = (X1 – W)
Dimana : So = Nilai cusum kecelakaan untuk tahun pertama X1 = Jumlah kecelakaan tiap tahun W = Nilai mean
Untuk mencari nilai cusum selanjutnya adalah dengan menjumlahkan nilai
cusum tahun pertama dengan hasil pengurangan jumlah kecelakaan dan nilai mean
pada tahun selanjutnya, yaitu :
S1 = {So + (X1 – W)}
Dimana : S1 = Nilai cusum kecelakaan So = Nilai cusum kecelakaan untuk tahun pertama X1 = Jumlah kecelakaan W = Nilai mean
2.8 Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan Lalu Lintas
2.8.1 Prinsip Dasar Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan Lalu Lintas
Berdasarkan Pd.T-09-2004-B yang digunakan PU dengan metode
Pembobotan/Weighting antara lain :
1. Penanganan lokasi rawan kecelakaan sangat bergantung kepada akurasi data kecelakaan, karenanya data yang digunakan untuk upaya ini harus bersumber pada instansi resmi.
2. Penanganan harus dapat mengurangi angka dan korban kecelakaan semaksimal mungkin pada lokasi kecelakaan.
3. Solusi penanganan kecelakaan dipilih berdasarkan pertimbangan tingkat pengurangan kecelakaan dan pertimbangan ekonomis.
4. Upaya penanganan yang ditujukan meningkatkan kondisi keselamatan pada lokasi kecelakaan dilakukan melalui rekayasa jalan, rekayasa lalu lintas dan manajemen lalu lintas.
2.8.2.1 Kriteria Penanganan Lokasi Tunggal
Penanganan lokasi tunggal merupakan penanganan persimpangan atau segmen ruas jalan tertentu (Wedasana, 2011). Kriteria lokasi tunggal antara lain: a. Lokasi penanganannya merupakan titik (persimpangan) atau segmen ruas jalan sepanjang 200 m sampai dengan 300 m.
b. Lokasi kecelakaannya relatif mengelompok (clustered).
c. Memiliki faktor penyebab yang relatif sama yang terjadi secara berulang dalam suatu ruang dan rentang waktu yang relatif sama.
d. Identifikasi lokasi kecelakaan didasarkan atas tingkat kecelakaan dan tingkat fatalitas kecelakaan tertinggi yang dilakukan dengan teknik analisis statistik tertentu serta berdasarkan peringkat kecelakaan.
e. Rata-rata tingkat pengurangan kecelakaan dengan pendekatan ini umumnya mencapai 33% dari total kecelakaan.
2.8.2.2 Kriteria Penanganan Ruas Kecelakaan Lalu Lintas (Route)
Penanganan ruas atau route jalan merupakan penanganan terhadap ruas-ruas jalan dengan kelas atau fungsi tertentu dan tingkat kecelakaannya di atas rata-rata (Wedasana,2011). Kriteria penanganan ruas atau rute antara lain : a. Lokasi penanganan merupakan ruas jalan atau segmen ruas jalan (minimum 1km). b.Memiliki tingkat kecelakaan yang tinggi dibandingkan segmen ruas jalan lain.
c. Identifikasi lokasi kecelakaan didasarkan atas tingkat kecelakaan atau tingkat fatalitas kecelakaan tertinggi per km ruas jalan. d.Rata-rata pengurangan tingkat kecelakaan dengan pendekatan ini mencapai 15% dari total kecelakaan.
2.8.3 Situasi Kecelakaan Lalu Lintas dan Usulan Penanganan
Kondisi kecelakaan dan usulan penanganan lokasi kecelakaan untuk ruas jalan perkotaan diberikan pada Tabel 2.2, Tabel 2.3 dan Tabel 2.4, merupakan usulan-usulan penanganan berdasarkan penyebab kecelakaan yang diadop dari berbagai literatur.
Tabel 2.2. Situasi kecelakaan lalu lintas secara umum dan usulan penanganan.Penyebab Kecelakaan Usulan Penanganan No.
1. Slip/ licin
a. Perbaikan tekstur permukaan jalan
b. Delineasi yang lebih baik
22. Tabrakan
a. Pagar (guadrail) dengan/rintangan pinggir b. Pagar keselamatan (safety fences)
Jalan
c. Pos jaga
3. Konflik pejalan
a. Pemisahan pejalan kaki / kendaraan kaki/kendaraan b.Fasilitas penyeberangan untuk pejalan kaki c. Fasilitas perlindungan pejalan kaki
44 Kehilangan kontrol
a. Marka jalan
b. Delineasi
c. Pengendalian kecepatan
d. Pagar (guadrail)
55 Malam hari (gelap) a.Rambu-rambu yang memantulkan cahaya b.Delineasi c.Marka-marka jalan d.Penerangan jalan
6. Jarak pandang buruk a.Perbaikan alinyemen jalan b.Perbaikan garis pandang
77 Jarak pandang buruk pada a.Perbaikan alinyemen jalan tikungan b.Perbaikan ruang bebas samping
(pembersihan, tanaman, dsb) c.Perambuan d.Kanalisasi/marka jalan
88 Tingkah laku a.Marka jalan mengemudi/disiplin b.Median Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan DPU, 2004.
Tabel 2.3. Situasi kecelakaan lalu lintas untuk ruas jalan perkotaan dan usulan penanganan untuk persimpangan.No Penyebab Kecelakaan Usulan Penanganan
a.Penjaluran / kanalisasi b.Lampu-lampu isyarat lalu lintas
1. Pergerakan membelok c.Larangan membelok menggunakan rambu d.Bundaran
2. Mendahului a.Kanalisasi / lajur mendahului b.Marka jalan c.Rambu untuk mendahului
3. Konflik pejalan kaki/ a.Tempat perlindungan pejalan kaki pengendara b.Fasilitas penyeberangan jalan sebidang c.Fasilitas penyeberangan jalan tidak sebidang d.Pagar pengaman e.Rambu pejalan kaki
4. Jarak pandang yang buruk a.Meningkatkan jarak pandang melalui pada persimpangan perbaikan ruang bebas samping b.Menghilangkan penghalang/rintangan yang mengganggu penglihatan pengemudi
(tanaman, dsb). c.Menghilangkan aktivitas (berjualan, dsb) dari ROW jalan d.Memasang rambu STOP pada jalan minor. kendaraan parkir perbaikan b.Ruang bebas samping c.Menghilangkan penghalang/rintangan yang mengganggu penglihatan pengemudi
(tanaman, dsb). d.Menghilangkan aktivitas (berjualan, dsb) dari ROW jalan e.Memasang rambu STOP pada jalan minor.
6. Malam hari/ gelap a.Meningkatkan penerangan (lampu jalan) b.Rambu yang memantulkan cahaya c.Marka yang memantulkan cahaya d.Delineasi Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan DPU, 2004.
Tabel 2.4. Situasi kecelakaan lalu lintas untuk ruas jalan perkotaan dan usulan penanganan untuk ruas jalanNo. Penyebab Kecelakaan Usulan Penanganan
1. Kendaraan parkir a.Kontrol perparkiran b.Pengadaan tempat parkir
2. Kecepatan tinggi a.Pengaturan batas kecepatan melalui rambu batas kecepatan b.Pengurangan kecepatan pada lokasi- lokasi yang ramai dengan pejalan kaki c.Alat-alat pengendalian kecepatan (pita penggaduh/rumble strep, rumble
area, road hump)
d.Penerapan alat pengontrol kecepatan (kamera) e.Penegakan hukum Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan DPU, 2004.
2.9 Upaya Peningkatan Keselamatan
2.9.1 Sektor-sektor yang Dapat Diintervensi untuk Meningkatkan Keselamatan
Sektor-sektor yang dapat diintervensi untuk meningkatkan keselamatan adalah sebagai berikut :
1. Standar keselamatan kendaraan.
2. Koordinasi dan menejemen keselamatan jalan.
3. Sistem data kecelakaan lalu lintas.
4. Perencanaan dan desain keselamatan jalan.
5. Perbaikan lokasi-lokasi berbahaya (black spot dan black zone).
6. Riset keselamatam jalan.
7. Kampanye dan sosialisasi keselamatan jalan.
8. Penjaminan atas keselamatan dan peran jasa asuransi.
9. Pelatihan dan pengujian pengemudi.
10. Pendidikan keselamatan jalan untuk anak.
11. Pertolongan pertama bagi korban kecelakaan lalu lintas.
12. Perhitungan biaya kecelakaan lalu lintas.
13. Polisi lalu lintas dan penegak hukum.
14. Peraturan lalu lintas. Pendekatan yang digunakan adalah :
1. Manajemen dan rekayasa (engineering);
2. Menegakkan hukum (enforcement);
3. Mendidik masyarakat public relation, edukasi dan eartisipasi masyarakat;
4. Motivasi (encouragement); 5. Melayani kegawatdaruratan (emergency response).
2.10 Studi Terdahulu
Adapun beberapa studi terdahulu yang memiliki kaitan dengan studi kali ini diantaranya :
1. Skripsi saudara Rifky Hidayah Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, tahun 2013 dengan judul “Analisis Karakteristik Kecelakaan Lalu Lintas Dan Upaya
Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus di Ruas Jalan Perkotaan di Kabupaten Purbalingga)
” memakai metode Pembobotan (angka AEK) terbagi atas meninggal dunia, luka berat, dan luka ringan. Pembobotan dilakukan dengan mengacu pada Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Pdt T-09-2004-B tahun 2004 yaitu: korban meninggal berbobot 12, korban luka berat berbobot 3, dan korban luka ringan berbobot 3, dan kerusakan pada kendaraan saja berbobot 1.
2. Skripsi saudara Krisna Ditia Bhina Sakti Universitas Muhammadiyah Purwokerto, tahun 2015 dengan judul “Analisis Identifikasi Lokasi Daerah Rawan Kecelakaan
Lalu Lintas Di Jalan Nasional Tambak
- – Buntu Kabupaten Banyumas” dengan
metode Analisis Cusum (Cumulative Summary) yaitu suatu prosedur yang dapat digunakan untuk mengindetifikasi daerah rawan kecelakaan (black spot).