Titin Mutiana BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Isolasi dan Identifikasi Bakteri 2.1.1. Isolasi Bakteri Mikroorganisme pada suatu lingkungan alami merupakan populasi

  campuran dari berbagai jenis mikroorganisme pada tanah, air, udara, makanan, maupun yang terdapat pada tubuh hewan dan tumbuhan. Pemisahan mikroorganisme diperlukan untuk mengetahui jenis, mempelajari kultural, morfologi, fisiologi, dan karakteristik mikroorganisme tersebut. Teknik pemisahan tersebut disebut isolasi yang disertai dengan pemurnian (Irianto, 2006). Isolasi merupakan serangkaian proses pemisahan mikroorganisme supaya didapatkan kultur murni (isolat). Isolat-isolat tersebut kemudian ditumbuhkan pada medium terpisah supaya dapat tumbuh dengan baik. Medium pertumbuhan bakteri harus diperbarui setiap 6 bulan supaya sumber nutrisi bagi bakteri tetap terpenuhi sehingga bakteri tidak mengalami kematian. Pemindahan bakteri dari satu tempat ketempat yang lain harus menggunakan prosedur kerja aseptik.

  

Aseptik berarti berada dalam kondisi yang bebas dari mikroorganisme lain yang

  tidak dikehendaki. Teknik aseptik sangat penting jika bekerja di Laboratorium Mikrobiologi, selain melindungi laboran juga menghindari kontaminasi mikroorganisme lain (Singlenton & Sainsbury, 2006).

  

5 Teknik kultur untuk mendapatkan biakan murni terbagi menjadi tiga macam teknik, yaitu (Pelczar & Chan, 2008): 1)

  Cara Penuangan (Pour Plate) Cara penuangan merupakan metode inokulasi mikroba yang dilakukan dengan cara menuangkan suspensi mikroba sebanyak 1 ml kedalam cawan petri steril kosong. Cawan petri tersebut selanjutnya dituangi medium agar dengan suhu

  o o

  40 C-45 C (hangat kuku) dan diratakan dengan cara cawan petri digerak-gerakan membentuk angka 8. Medium selanjutnya diinkubasi selama 1-2 hari dan diamati ada tidaknya pertumbuhan mikroba. 2)

  Cara Penyebaran (Spread Plate) Cara penyebaran merupakan metode inokulasi mikroba yang dilakukan dengan cara menuangkan suspensi mikroba sebanyak 0,1 ml diatas medium agar cawan yang telah memadat. Suspensi tersebut kemudian diratakan dengan menggunakan batang L secara pelan-pelan supaya tidak merusak permukaan medium agar cawan. Medium cawan selanjutnya diinkubasi selam 1-2 hari dan diamati ada tidaknya pertumbuhan mikroba.

  3) Cara Penggoresan (Streak Culture) Cara penggoresan merupakan cara yang ditujukan untuk memurnikan mikroba dari populasi mikroba atau dapat juga untuk subkultur isolat murni dari medium lama ke medium baru. Teknik tersebut hanya bisa dilakukan dari medium cair ke medium agar atau dari medium agar ke medium agar lainnya dan dilakukan dengan cara mengoreskan ujung jarum ose yang telah mengandung mikroba ke permukaan medium agar lain. Menurut Maryanto & Kurniawan

  (2015), proses mengores mikroba pada medium, dapat dilakukan dengan mengikuti pola tertentu seperti bentuk kuadran, segitiga, huruf T, atau berkreasi sendiri sesuai dengan keinginan. Hal yang diperhatikan dalam cara pengoresan adalah setiap goresan yang satu harus bersambung dengan goresan berikutnya sehingga pada goresan terakhir diharapkan mikroba tumbuh membentuk satu koloni yang berasal dari satu sel dan terpisah dari koloni lainnya.

2.1.2. Identifikasi Bakteri

  Identifikasi merupakan cara untuk mengetahui nama ilmiah suatu makhluk hidup dalam suatu kelompok tertentu berdasarkan karakteristik persamaan dan perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing makhluk hidup. Identifikasi suatu isolat bakteri yang diperoleh dari hasil isolasi dapat dilakukan melalui pengamatan morfologi, dan pengujian fisiologi isolat bakteri yang dilanjutkan dengan membandingkan hasil pengamatannya dengan ciri-ciri mikroorganisme yang sudah dikenal. Identifikasi mikroorganisme yang baru diisolasi memerlukan perincian, deskripsi dan perbandingan dengan deskripsi mikroorganisme tertentu yang telah dipublikasikan untuk jasad-jasad renik lain yang serupa (Pelczar & Chan, 2008).

  Pengamatan morfologi dapat dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis, sedangkan pengujian fisiologi bakteri dapat dilakukan dengan uji biokimia. Menurut Dwidjoseputro (1998), pengamatan secara makroskopis yang dapat diamati meliputi bentuk koloni yaitu berbentuk titik, bulat, tidak teratur seperti akar dan berfilamen atau berbenang serta kumparan. Tepi koloni dapat berbentuk utuh, berombak, berbelah, bergerigi, berbenang dan keriting. Warna koloni terdiri dari keputihan, kekuningan, kemerahan, coklat, jingga, pink, hijau, dan ungu. Elevasi koloni meliputi rata, timbul mendatar, timbul melengkung, dan timbul mencembung, timbul membukit, timbul berkawah. Struktur koloninya halus mengkilat, kasar, berkerut, atau kering seperti bubuk. Menurut Cappuccino & Sherman (1987), pengamatan morfologi bakteri secara mikroskopis dapat dilakukan dengan mengamati bentuk sel bakteri, ukuran bakteri, pewarnaan gram dan pewarnaan endospora.

  Beberapa uji biokimia yang biasa digunakan untuk pengatamatan fisiologi diantaranya pengujian fermentasi karbohidrat, methyl red, vogest proskauer,

  

indol , H S, sitrat, dan katalase. Uji biokimia tersebut dilakukan untuk mengetahui

  2

  karakteristik dan spesifik dari bakteri dengan melihat aktifitas enzimatisnya serta untuk memperkuat data-data yang diperoleh sehingga isolat bakteri mudah diidentifikasi (Cappuccino & Sherman, 1987).

2.2. Tanaman Strawberry 2.2.1. Klasifikasi Tanaman Strawberry

  Tanaman strawberry diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Sub classis : Rosidae Ordo : Rosales Familia : Rosaceae Genus : Fragaria Species : Fragaria x ananassa Duch. (Cronquist, 1981)

2.2.2. Deskripsi Tanaman Strawberry

  Tanaman strawberry (Fragaria x ananassa) (Gambar 2.1.) merupakan tanaman herba parennial (tahunan). Tanaman strawberry telah dikenal sejak zaman Romawi, tetapi bukan jenis yang dikenal saat ini. Strawberry yang dibudidayakan sekarang disebut sebagai strawberry modern (komersial) dengan nama ilmiah Fragaria x ananassa. Strawberry tersebut adalah hasil persilangan antara Fragaria virginiana dari Amerika Utara dengan Fragaria chiloensis dari Chili, Amerika Selatan (Rukmana, 1998).

  Secara morfologi, struktur akar tanaman strawberry terdiri atas pangkal akar (collum), batang akar (corpus), ujung akar (apex), bulu akar (pilus radicalis), serta tudung akar (caliptra). Tanaman stroberi berakar tunggang (radix primaria) yang terus tumbuh dan berukuran besar (Rukmana, 1998). Akar muncul dari batang yang pendek dan tebal berbentuk rumpun, dari rumpun tersebut dapat muncul tunas yang akan menjadi crown baru, stolon dan bunga. Secara botani stolon merupakan batang samping yang tumbuh keluar dari ketiak daun pada dasar rumpun dan menjalar sepanjang permukaan tanah. Stolon dapat digunakan sebagai alat untuk menghasilkan tanaman baru (Cahyono, 2011).

  Batang tanaman strawberry beruas-ruas pendek, dan mengandung banyak air. Batang tertutup oleh pelepah daun sehingga tampak seperti rumpun tanpa batang. Cabang merayap (stolon) merupakan cabang kecil yang tumbuh mendatar atau menjalar diatas permukaan tanah. Stolon yang tumbuh mandiri dapat dipotong atau dipisah dari induk dan digunakan sebagai bibit. Daun tanaman strawberry merupakan daun majemuk yang tersusun pada tangkai daun yang berukuran agak panjang. Tangkai daun berbentuk bulat serta permukaannya ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Helaian daun bersusun tiga (trifoliata), bagian tepi daun bergerigi, berwarna hijau dan berstruktur tipis (Rukmana, 1998).

  Tanaman strawberry berbunga sempurna, tersusun dalam malai (panicula)

  

yang berukuran panjang dan terletak pada ujung tanaman. Bunga strawberry

  memiliki 10 sepal (kelopak bunga), 5 petal (daun mahkota), 20-35 stamen (benang sari), dan ratusan pistillum (putik), yang menempel pada receptacle (dasar bunga) dengan pola melingkar (Cahyono, 2011). Umumnya buah strawberry berbentuk kerucut hingga bulat. Buah yang tampak secara visual merupakan buah semu berganda yang berasal dari dasar bunga (receptaculum) dan bakal buah, kemudian berubah bentuk menjadi gumpalan daging buah. Biji strawberry berukuran kecil terletak diantara daging buah. Setiap buah strawberry menghasilkan antara 200-300 butir biji yang merupakan alat perbanyakan tanaman secara generatif (Rukmana, 1998).

  (a) (b) (c)

Gambar 2.1. Morfologi Daun, Akar dan Buah Tanaman Strawberry

  Keterangan: (a) Daun Strawberry (Rahmawati, 2017), (b) akar strawberry (Dok. Pribadi) dan (c) Buah Strawberry (Rahmawati, 2017)

2.2.3. Manfaat dan Kandungan Kimia dalam Tanaman Strawberry

  Buah strawberry dimanfaatkan sebagai makanan dalam keadaan segar ataupun diolah menjadi berbagai produk misalnya, sirup, jus dan selai strawberry.

  Hal tersebut karena kandungan dalam buah strawberry yang bermanfaat bagi kesehatan. Strawberry merupakan sumber penting fitokimia yang mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan manusia (Selvia dkk., 2014). Strawberry mengandung asam askorbat, hydrolyzable tannins (ellagitannins, gallotannins dan asam ellagic), turunan asam hidroksisinamat berserta esternya, saponin dan senyawa fenolik yang terdiri dari asam fenolat, anthosianin, protosianidin dan flavonoid (Selvia dkk., 2014; Rahmawati, 2017). Efek dari senyawa-senyawa tersebut antara lain berperan sebagai perlindungan terhadap sel kanker, pencegahan penyakit jantung ischemic, anti-mutagenic hingga mempunyai fungsi sebagai antimikroba (Selvia dkk., 2014).

2.3. Bakteri Endofit

  Bakteri endofit merupakan bakteri yang terdapat didalam sistem jaringan tumbuhan seperti akar, batang, daun, ataupun bunga dan buah (Damayanti, 2010).

  Menurut Sunarmi (2010) dan Suriaman (2010), endofit merupakan mikroorganisme yang sebagian atau seluruh hidupnya berada didalam jaringan tanaman inang tanpa menyebabkan gejala penyakit pada tanaman inang tersebut. Keberadaan bakteri endofit terjadi secara alami dan dapat berasosiasi dengan tanaman dalam jangka waktu yang lama (Damayanti, 2010). Bakteri endofit awalnya berasal dari lingkungan eksternal dan masuk kedalam tanaman melalui stomata, lentisel, luka (seperti adanya trichomes yang rusak), melalui akar lateral dan akar yang berkecambah (Suriaman, 2010). Menurut Nursanty& Suhartono (2012) bahwa bakteri endofit hidup didalam jaringan vaskular tumbuhan, sehingga kemungkinan keberadaanya banyak ditemukan pada bagian akar dan batang. Hal tersebut karena akar merupakan jalan alternatif lain yang diduga sebagai jalur masuknya bakteri,yaitu melalui penyerapan unsur hara tanaman, sedangkan jaringanvaskuler pada batang merupakan jalur penyebaran unsur hara kebagian tubuh tanaman (Pranoto dkk., 2014).

  Bakteri endofit yang berada di dalam jaringan tanaman merupakan mikroorganisme yang masih belum tereksplorasi keberadaannya. Beberapa bakteri endofit mempunyai pengaruh yang menguntungkan bagi tanaman inang, seperti memacu pertumbuhan tanaman, meningkatkan fiksasi N bagi tanaman, memudahkan dalam penyerapan nutrisi, mensistesis hormon tanaman, atau meningkatkan resistensi tanaman dari patogen. Pengaruh bakteri endofit terhadap resistensi tanaman terjadi karena beberapa bakteri endofit dapat menghasilkan senyawa bioaktif sebagai metabolit sekunder yang memiliki daya antimikroba (Elviasaridkk.,2016)

  Umumnya pada tanaman tingkat tinggi mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder.

  Kemampuan mikroba endofit dalam memproduksi metabolite sekunder sesuai dengan tanaman inangnya merupakan salah satu peluang yang sangat besar untuk memproduksi metabolite sekunder dari mikroba endofit yang diisolasi dari tanaman inangnya (Radji, 2005). Salah satu faktor mikroba endofit mampu menghasilkan metabolit sekunder yang sama dengan tanaman inang karena diduga sebagai akibat transfer genetik dari tanaman inang ke dalam mikroba endofit (Tan & Zou, 2001).

  Sunarmi (2010), menyatakan bahwa mikroorganisme endofit akan mengeluarkan suatu metabolit sekunder yang merupakan senyawa antibiotik itu sendiri. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang disintesis oleh suatu mikroba, tidak untuk memenuhi kebutuhan primernya (tumbuh dan berkembang) tetapi untuk mempertahankan eksistensinya dalam berinteraksi dengan lingkungannnya. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikrooraganisme endofit merupakan senyawa antibiotik yang mampu melindungi tanaman dari serangan mikroba patogen, atau hewan pemangsa sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agen biokontrol.

  Koloni mikroorganisme endofit hidupnya bersifat mikrohabitat dan merupakan sumber metabolite sekunder yang berguna dalam bioteknologi, pertanian dan farmasi. Beberapa endofit memproduksi senyawa antibiotik dalam kultur yang aktif berpengaruh terhadap bakteri patogen pada manusia, hewan dan tanaman (Sunarmi, 2010). Pemanfaatan mikroba endofit dalam memproduksi senyawa aktif memiliki beberapa kelebihan antara lain, dapat diproduksi dalam skala besar dan kemungkinan diperoleh komponen bioaktif yang berbeda (Tanaka, 1999).

2.4. Agen Antimikroba

  Antimikroba adalah senyawa yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Handayani (2015), zat antimikroba dapat bersifat membunuh bakteri (bakterisidal), menghambat pertumbuhan bakteri

  (bakteristatik), fungisidal, fungistatik, ataupun menghambat germinasi spora bakteri. Umumnya antimikroba adalah bahan penghambat pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan dalam menghambat organisme khusus sehingga sering disebut dengan istilah antibakterial atau antifungal (Hidayahti, 2010). Zat antimikroba yang dihasilkan oleh organisme tertentu dikenal sebagai antibiotik.

  Menurut Pelczar & Chan (1988), antibiotik didefinisikan sebagai produk metabolit yang dihasilkan oleh organisme tertentu yang dalam konsentrasi rendah bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain namun toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Antibiotik memiliki spektrum aktivitas yang beragam. Hal tersebut dipengarui oleh kerja zat antimikroba yang dihasilkan oleh mikroorganisme.

  Menurut Hidayahti (2010), faktor yang mempengaruhi kerja zat antimikroba antara lain: a.

  Konsentrasi atau intensitas bahan antimikroba, semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi pula daya penghambatan atau daya bunuhnya.

  b.

  Sifat antimikroba, ada golongan atau bahan dengan kemampuan bekerjanya relatif cepat dalam menghambat atau mematikan mikroorganisme dan ada yang memiliki aktivitas rekatif sangat lambat, sehingga tergantung sifat antimikroba.

  c.

  Jumlah, macam, umur dan kondisi mikroorganisme atau jasad yang dikenal, menghambat atau mematikan mikroorganisme dalam jumlah besar lebih sukar daripada mikroorganisme dalam jumlah kecil. d.

  Keasaman dan kebasahan (pH), mikroorganisme pada kondisi asam dapat dibasmi dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan mikroorganisme yang sama dalam kondisi basa.

  e.

  Suhu dan waktu, kenaikan suhu yang sedang secara besar dapat mematikan

  o

  keefektifan suatu bahan antimikroba. Setiap kenaikan 10 C dapat menyebabkan penggandaan angka kematian. Mikroorganisme yang ada dalam bahan antimikroba dalam waktu yang lama akan terhambat pertumbuhannya atau dapat mati. Hal tersebut karena, waktu memberikan kontribusi dalam peresapan bahan antimikroba kedalam sel mikroorganisme.

  Menurut Handayani (2015), antimikroba berdasarakan struktur kimia dan mekanisme kerjanya dikelompokan menjadi lima diantaranya, a) agen yang menghambat sistesis dinding sel mikroorganisme. b) Agen yang bekerja secara langsung pada membran sel mikroorganisme untuk merusak permeabilitas membran sel dengan cara meningkatkan permeabilitas membran dan menyebabkan kebocoran senyawa intraselular. c) Agen yang menganggu fungsi ribosom subunit 30S atau 50S secara reversible menghambat sistesis protein. d) agen yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat mikroorganisme. penghambatannya pada sistesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap transkripsi dan replikasi mikroorganisme. e) Antimetabolit, yaitu substansi yang secra kompetitif menghambat metabolit mikroorganisme, karena memiliki struktur yang mirip dengan substrat normal bagi enzim metabolisme.

2.5. Kapang Fusarium oxysprorum 2.5.1. Klasifikasi Kapang Fusarium oxysporum

  Menurut Semangun (2001), Fusarium oxysprorum diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio : Amastigomycota Classis : Deuteromycetes Ordo : Moniliales Familia : Tuberculariaceae Genus : Fusarium Species : Fusarium oxysprorum 2.5.2.

   Deskripsi Kapang Fusarium oxysprorum Fusarium oxysprorum merupakan kapang yang tersebar luas pada tanaman

  maupun dalam tanah (Sunarmi, 2010). F.oxysprorum diidentifikasi sebagai penyebab penyakit layu fusarium pada tanaman. Menurut Semangun (2001) penyakit layu fusarium merupakan penyakit sistemik yang menyerang tanaman mulai dari titik perakaran sampai titik tumbuh. Penyakit layu fusarium terspesifik disebabkan oleh Fusarium oxysporum.

  Ciri-ciri dari kapang Fusarium oxysporum secara makroskopis (in vitro) yaitu dalam 4 hari pertumbuhan dapat mencapai diameter 3-5,5 cm. Area miselium berwarna putih atau peach, warna sebalik koloni kekuningan atau keunguan dan beberapa strain mungkin sporodochia berwarna oranye (Frisvad & Filtenborg, 1995). Ciri-ciri dari F.oxysporum secara mikroskopis yaitu memiliki 3 spora tak kawin, yaitu mikrokonidia, makrokonidia dan klamidospora. Konidiofor bercabang atau tak bercabang. Makrokonidia mempunyai 3-5 septa, bentuknya memanjang dengan bagian ujung yang meruncing seperti bentuk sabit.

  Mikrokonidia merupakan konidia bersel 1 atau 2, berjumlah banyak, elips- silindris, lurus-lonjong, pendek dan sederhana dan terbentuk secara tunggal atau berangkai-rangkai (Frisvad & Filtenborg, 1995). Konidia dari kapang Fusarium

  

oxysporum mengalami penebalan pada kondisi yang tidak sesuai atau disebut

  dengan klamidospora (fase istirahat) (Samosir, 2007). Klamidospora didalam hifa atau didalam konidia, hialin, halus atau kasar, (sub) globose, dan memiliki diameter 5- 15 μm. Klamidospora dihasilkan diujung maupun ditengah miselium bisa berpasangan maupun tunggal (Frisvad & Filtenborg, 1995).

2.5.3. Gejala Serangan Fusarium oxysprorum

  Gejala awal terbentuknya penyakit tanaman yang disebabkan oleh Fusarium

  

oxysprorum adalah perubahan warna daun yang paling tua atau daun yang dekat

  dengan tanah. Gejala serangan terdapat bercak berwarna coklat kemerahan dan pada gejala berat daun menjadi berwarna kuning, bentuk bercak tidak teratur dan tidak memiliki pusat bercak. Gejala tersebut juga sering dijumpai pada tepi daun (Samosir, 2007). Daun yang terinfeksi akan layu dan mengering, tetapi tetap menempel pada tanaman. Kelayuan berlanjut kebagian daun yang muda dan tanaman akan segera mati. Gejala yang paling khas adalah gejala pada bagian dalam berupa garis-garis berwarna coklat kehitaman dari pangkal batang menuju kesemua arah melalui jaringan pembuluh (Semangun, 2001).

2.6. Pengujian Aktivitas Bahan Antimikroba

  Menurut Hidayahti (2010), pengujian aktivitas bahan antimikroba yang dilakukan secara in vitro ada dua cara yaitu: 1)

  Metode Dilusi Metode dilusi digunakan untuk menentukan Kadar Hambat Minimum

  (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) dari bahan antimikroba. Prinsip metode tersebut yaitu menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi medium cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Masing-masing tabung reaksi yang telah diisi dengan bahan antimikroba yang telah diencerkan secara serial,

  o

  kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Pengamatan dilakukan dengan mengamati kekeruhan konsentrassi terendah bahan antimikroba pada tabung yang ditunjukan dengan hasil biakan yang tampak jernih dan tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji, ditetapkan sebagai Kadar Hambat Minimum (Pratiwi, 2008). Biakan masing tabung yang jernih ditumbuhkan pada medium agar padat, dan diinkubasi selama 24 jam serta diamati ada tidaknya koloni yang tumbuh.

  Hasil inkubasi dari seri konsentrasi terendah yang menunjukan tidak adanya koloni ditetapkan sebagai Kadar Bunuh Minimum (Pratiwi, 2008).

  2) Metode Difusi Cakram (Uji Kirby-Bauer)

  Prinsip metode difusi cakram yaitu menempatkan kertas cakram yang mengandung bahan antimikroba tertentu pada cawan petri berisi medium padat yang telah dicampur dengan mikroba yang akan diuji. Medium tersebut kemudian

  o

  diinkubasi pada suhu 37 C selama 18-24 jam kemudian dilakukan pengamatan terkait zona bening yang terbentuk disekitar kertas cakram. Daerah bening yang terbentuk menunjukan tidak adanya pertumbuhan mikroba. Mikroba yang sensitif terhadap bahan antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah hambatan disekitar cakram, dan mikroba yang resisten tetap menunjukan pertumbuhan pada tepi kertas cakram.

2.7. Penelitian Relevan

  Beberapa penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dan dapat dijadikan sebagai rujukan penelitian, yaitu: a.

  Diniyah (2010) melakukan penelitian tentang potensi bakteri endofit pada akar tanaman kentang sebagai penghambat bakteri Ralstonia solanacearum dan kapangFusarium sp. serta kapang Phytopthora inverans penyebab penyakit layu pada tanaman. Hasil penelitian menunjukan bahwa bakteri endofit yang diisolasi dari akar tanaman kentang (Pseudomonas pseudomallei, Bacillus mycoides dan

  

Klebsiella ozaenae ) memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan

bakteri dan kapang penyebab penyakit layu pada tanaman.

  b.

  Melliawati, dkk (2006) dalam penelitian tentang pengkajian bakteri endofit penghasil senyawa bioaktif untuk proteksi tanaman, menyatakan bahwa sekitar seratus bakteri endofit dari berbagai tanaman hutan Indonesia yang berguna memproteksi serangan mikrobia patogen tanaman (Xanthomonas campestris,

  

Pseudomonas solanacearum, Colletroticum gleosporioides dan Fusarium

oxysporum ).

  c.

  Selvia, dkk (2014) dalam penelitian tentang uji efek antimikroba ekstrak etanol stroberi (Fragaria vesca L.) terhadap Staphylococcus epidermidis, menyatakan bahwa ekstrak ethanol strawberry mampu menghambat pertumbuhan bakteri

  

Staphylococcus epidermidis karena kandungan senyawa fenolat pada jaringan

tanaman dan buah.

  d.

  Leiwakabessy & Latupeirissa (2013) dalam penelitian tentang eksplorasi bakteri endofit sebagai agen pengendali hayati pada tanaman Kersen (Muntingia

  

calabura L.), menyatakan bahwa umumnya bakteri endofit yang ditemukan pada

  berbagai tanaman berasal dari genus Pseudomonas, Bacillus, Enterobacter,

  

Agrobacterium , dan beberapa bakteri endofit yang dibudidayakan yaitu Pantoea,

Enterobacter, Methylobacterium, Agrobacterium, dan Bacillus.

  e.

  Fairuzah, dkk (2013) dalam penelitian tentang efektivitas bakteri antagonis untuk pengendalian penyakit cabang jamur upas (Corticium salmonicolor), menyatakan bahwa umumnya bakteri endofit yang ada pada tanaman yaitu,

  

Actinobacter, Agrobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Clavibacter, Enterobacter,

Erwinia, Klebsiella, Phyllobacterium, Pseudomonas dan Serratia.

  f.

  Suriaman (2010) melakukan penelitian tentang bakteri endofit pada akar tanaman kentang (Solanum tuberrosum) yang berpotensi memfiksasi nitrogen diudara dan menghasilkan hormon IAA. Hasil penelitian menunjukan bahwa ditemukan bakteri endofit dari genus Pseudomonas, Bacillus dan Klebsiella pada akar tanaman kentang.

  g.

  Fithriyah (2015) menyatakan bahwa 5 bakteri endofit yang berhasil diisolasi dari rumput kebar (Biophytum sp.), termasuk dalam genus Bacillus (Bacillus

  

megaterium), Staphylococcus (Staphylococcus saprophyticus), dan Enterobacter

(Enterobacter gergoviae) yang berperan antagonis terhadap bakteri patogen.