S MAT 1103667 Chapter 1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial, berkelompok membentuk suatu masyarakat
yang memiliki kesamaan. Dari tiap – tiap kelompok masyarakat atau etnik tersebut
terbentuk kebudayaan masing – masing yang beragam. Fatimah (2011, hlm. 123)
menjelaskan “hingga saat ini jumlah etnik yang ada di Indonesia mencapai lebih
dari 500 etnik yang menggunakan 250 bahasa”. Tiap – tiap etnik masing – masing
cenderung mempertahankan kebudayaan yang mereka punya sebagai ciri khas atau
identitas mereka.
Keberagaman dari budaya yang ada di Indonesia sejatinya merupakan
peluang yang bagus ketika dihubungkan dengan pendidikan, khusunya
pembelajaran. Kebudayaan dan pembelajaran jika dihubungkan maka akan
menimbulkan variasi pembelajaran bagi pengajar serta minat yang lebih dari siswa.
Selain itu pembelajaran yang dihubungkan dengan kebudayaan yang berada
dilingkungan sekitarnya akan menambah wawasan serta pengenalan nilai kearifan
lokal budayanya baik bagi pengajar maupun siswa. Akan tetapi paradigma yang
muncul dimasyarakat yakni tidak ada kaitannya antara pendidikan maupun
pembelajaran dengan kebudayaan. Lebih khusus lagi dalam skripsi ini adalah
tentang paradigma masyarakat yang mengatakan kalau matematika tidak ada

hubungannya dengan kebudayaan.
Banyak siswa merasa kesulitan belajar matematika dikarenakan siswa hanya
melihat matematika sebagai hafalan rumus - rumus, hitungan dan abstrak. Junaedi
(2013, hlm. 3) menyebutkan bahwa “berbagai alasan yang dilontarkan siswa
tentang ketidaksukaannya terhadap matematika, antara lain matematika merupakan
pelajaran yang paling sulit, matematika membosankan, matematika ilmu pasti, dan
lain sebagainya”. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wahyudin (dalam Rosita,
2013, hlm. 208) mengatakan bahwa “matematika merupakan mata pelajaran yang

1
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2

sukar dipahami”. Dampak buruk dari hal itu adalah motivasi belajar siswa menurun
khususnya di bidang matematika.
Pandangan siswa tentang matematika tersebut bisa muncul juga karena

pengaruh dari guru dalam pembelajaran. Sumardyono (2004, hlm. 1) menyebutkan
bahwa “banyak penelitian yang menunjukkan bahwa persepsi atau sikap guru terhadap
matematika

mempengaruhi

persepsi

atau

sikapnya

terhadap

pembelajaran

matematika”. Jadi ketika guru dalam membelajarkan matematika tidak mendoktrin
siswa untuk menghafal kumpulan rumus, tidak sebatas proses berpikir maka sikap yang
samalah yang akan ditunjukkan oleh siswa, begitupun sebaliknya. Dengan pemahaman
guru yang baik dalam pembelajaran matematika maka akan terselenggara pembelajaran

yang baik.

Munculnya paradigma masyarakat tentang tidak ada kaitannya antara
matematika dan kebudayaan merupakan bentuk dari pandangan bahwa matematika
tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari – hari. Turmudi (dalam Ulum, 2013,
hlm. 2) menyebut bahwa “paradigma tersebut sebagai paradigma absolut dalam
memandang matematika. Paradigma absolut ialah paradigma yang memandang
bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang sempurna dan kebenaran yang
objektif, jauh dari urusan kehidupan manusia. Paradigma tersebut muncul dan
berkembang lebih dari 2000 tahun”.
Matematika secara tidak langsung sejatinya telah berada dalam kehidupan
manusia sejak dulu. Disadari ataupun tidak manusia telah banyak menggunakan
matematika untuk menyelesaikan permasalahannya. Dalam kehidupan sehari – hari
matematika hadir dalam kegiatan kebudayaan yang dilakukan tiap etnik manusia,
maka tidak dapat dipungkiri akan ada ide – ide matematis yang terkandung dalam
kebudayaan tersebut.
Menurut Turmudi (2012), konteks matematika dalam kehidupan sehari – hari
yang berkaitan dengan sifat – sifat utama dan pengetahuan antara lain:
1) Matematika sebagai objek yang ditemukan dan diciptakan manusia.
2) Matematika itu diciptakan bukan jatuh dengan sendirinya, namun muncul

dari aktivitas yang objeknya telah tersedia, serta dari keperluan sains dan
kehidupan keseharian.

Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3

3) Sekali diciptakan objek matematika memiliki sifat-sifat yang ditentukan
secara baik.
Kalimat pada poin 2 membuktikan bahwa adanya keterkaitan antara matematika
dan aktivitas kesehairan atau kebudayaan.
Sejalan dengan pendapat sebelumnya, deskripsi matematika dalam Buku
Panduan Lawrence University menyebutkan bahwa:
Lahir dari dorongan primitif manusia untuk menyelidiki keteraturan
dalam alam semesta, matematika merupakan suatu bahasa yang terus
menerus berkembang untuk mempelajari struktur dan pola. Berakar dalam
dan dipengaruhi oleh realitas dunia, serta didorong oleh keingintahuan

intelektual manusiawi, matematika menjulang tinggi menggapai alam
abstraksi dan generalitas, tempat terungkapnya hubungan-hubungan dan
pola-pola yang tak terduga, menakjubkan sekaligus amat bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Matematika adalah rumah alami baik bagi pemikiranpemikiran yang abstrak maupun bagi hukum-hukum alam semesta yang
konkret. Matematika sekaligus merupakan logika yang murni dan seni yang
kreatif (Sumardyono, 2004, hlm. 29).

Para ahli mulai memunculkan gagasan – gagasannya tentang kaitan erat
antara kebudayaan masyarakat dengan matematika. Hadi (dalam Karnilah, 2013,
hlm. 3) menjelaskan bahwa “matematika adalah kegiatan manusia. Matematika
dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Dunia nyata
diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan
sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain. Dunia nyata digunakan
sebagai titik awal pembelajaran”. Sedangkan menurut Clements (1996, hlm. 824)
“belajar dan pembelajaran matematika, termasuk semua bentuk-bentuk pendidikan
matematika, mau tidak mau akan dikelilingi oleh permasalahan yang terkait dengan
budaya.” Jadi kesimpulannya, paradigma yang mengatakan bahwa matematika
tidak ada kaitannya dengan kebudayaan adalah tidak benar. “Mathematics is a
social and cultural product” (Alangui, 2010, hlm. 1).
Ide - ide matematis dalam kebudayaan masyarakat telah menarik perhatian

para ahli matematika karena dipandang merupakan hal yang penting dalam
pembelajaran. Paradigma yang mengatakan bahwa matematika sama sekali tidak
ada kaitannya dengan kebudayaan dan kegiatan masyarakat mulai terkikis. Semakin
banyak para peneliti yang mulai mengkaji tentang interaksi matematis dalam

Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

4

kebudayaan masyarakat. Muncul berbagai studi yang dilakukan untuk mencari
interaksi – interaksi tersebut yang dikenal dengan ethnomathematics.
Pada tahun 1984 ethnomathematics dipelopori oleh tokoh bernama
D’Ambrosio. D’Ambrosio (2001a, hlm. 1) menjelaskan “ide dari ethnomathematics
muncul sebagai pandangan yang lebih luas tentang bagaimana matematika
berhubungan dengan dunia nyata. Matematika merupakan instrumen intelektual
yang dibuat oleh manusia untuk menjelaskan dunia nyata dan untuk membantu
memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari.” Barton (1996,

hlm. 196) dalam tesisnya menyebutkan bahwa “Ethnomathematics is a field of
study which examines the way people from other culture understand, articulate and
use concepts and practices which are from their culture and which the researcher
describe as mathematical”. Bahwa ethnomathematics adalah suatu kajian lapangan

yang meneliti cara masyarakat memahami kebudayaan, mengekspresikan, dan
menggunakan konsep serta praktik yang berasal dari kebudayaan mereka yang oleh
para peneliti dideskripsikan sebagai sesuatu yang matematis.
D’ambrosio (2001b, hlm. 17) menjelaskan berbagai macam dimensi dari
kajian ethnomathematics: yakni:
1. Dimensi konseptual. Ethnomathematics merupakan program penelitian
tentang sejarah dan filsofi dari matematika, dengan implikasi yang jelas
terhadap pembelajaran.
2. Dimensi sejarah. Bergantung pada sejarah interpretasi dari pengetahuan
tentang Mesir, Babilonia, dan lain – lain , yang merupakan asal dari
pengetahuan modern.
3. Dimensi kognitif. Ide-ide matematika khususnya seperti membandingkan,
mengelompokkan, mengukur, menjelaskan, generalisasi, menyimpulkan,
dan mengarah ke mana, mengevaluasi, adalah bentuk-bentuk pemikiran
sekarang yang muncul di seluruh spesies manusia.

4. Dimensi tantangan kehidupan sehari – hari. Budaya, yang merupakan
bentuk perilaku yang sesuai dan pengetahuan bersama, termasuk nilainilai.

Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

5

5. Dimensi epistimologi. Berfokus pada pengetahuan yang sudah ditetapkan,
sesuai dengan paradigma yang diterima dari waktu dan saat itu.
6. Dimensi politik. Ethnomathematics cocok dengan refleksi tentang dekolonisasi dan mencari kemungkinan nyata akses untuk subordinasi, yang
terpinggirkan, dan terbuang, atau dikecualikan.
7. Dimensi pendidikan. D’Ambrosio melihat ethnomathematics sebagai
jalan untuk renovasi pendidikan, mampu menyiapkan generasi mendatang
untuk membangun peradaban yang lebih bahagia.
Matematika erat kaitan dengan kebudayaan, sedangkan masing – masing
kebudayaan dari sekelompok masyarakat cenderung unik, artinya mempunyai
keragaman masing – masing. Tidak menutup kemungkinan sama halnya dengan

konsep matematika yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang kaitan matematika dan budaya.
Penelitian ethnomathematics di Departemen Pendidikan Matematatika UPI
telah memasuki tahun ke – 3. Tahun pertama di Kampung Baduy Banten dan tahun
kedua di Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya dan Kampung kuta di Kabupaten
Ciamis Jawa Barat. Ketiga lokasi tersebut notabene penduduknya merupakan suku
sunda, maka untuk tahun ketiga ini peneliti tertarik melakukan peneltitan
ethnomathematics di daerah suku Jawa. Keraton Kasepuhan Cirebon yang

merupakan keraton Jawa menjadi tempat observasi penelitian ethnomathematics
kali ini. Peneliti melakukan pengamatan pendahuluan di Keraton Kasepuhan
Cirebon. Pengamatan dilakukan tanggal 15 Januari 2015. Peneliti melukan survey
lapangan terlebih dahulu untuk membuka kemungkinan melaksanakan penelitian
di Keraton Kasepuhan Cirebon. Peneliti kemudian berbincang dengan salah
seorang abdi dalem keraton, hasil perbincangan mengisyaratkan kemungkinan
untuk melakukan penelitian di Keraton Kasepuhan Cirebon, penelitian terkait
dengan sistem penanggalan yang digunakan di Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai
penentu hari – hari besar keislaman dan upacara keraton. Sistem penanggalan di
Keraton Kasepuhan Cirebon menggunakan kalender Aboge (Alif, Rebo, Wage)
yang merupakan salah satu kalender jawa islam dan juga kebudayaan di keraton

Kasepuhan Cirebon digunakan untuk menentukan waktu hari – hari besar islam dan

Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

6

upacara adat keraton memiliki perbedaan hitungan dengan kalender masehi dan
hijriyah. Ini merupakan modal awal untuk dilaksanakannya penelitian di Keraton
Kasepuhan Cirebon.
Salah satu fokus penelitian ethnomathematics yakni unsur traditional. Gerdes
(1996, hlm. 14) menyebutkan bahwa “Uncovering latent mathematical content
‘hidden’ or ‘frozen’”. Konten matematika tersembunyi ini bisa berupa artefak
tradisional. traditional artefak memiliki cakupan luas meliputi kebudayaan,
penanggalan dan lain - lain. D’Ambrosio (2001b, hlm. 12) “the construction of
calendars, i.e. the counting and recording of time, is an excellent example of
ethnomathematics”. Sistem penanggalan merupakan potensi pokok permasalahan


yang dapat digali untuk menemukan konsep matematika yang terdapat di dalamnya.
Dikarenakan terbukanya peluang untuk melakukan penelitian tentang sistem
penanggalan yang digunakan di Keraton Kasepuhan Cirebon dan berdasarkan latar
belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan study ethnomathematics
dengan judul “Study Ethnomathematics Pada Kalender Aboge (Alif, Rebo, Wage)
Sebagai Penentu Waktu Hari – Hari Besar Islam Dan Upacara Adat Di Keraton
Kasepuhan Cirebon”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan
yang akan dikaji dalam penelitian ini seacara umum dirumuskan menjadi: Ide
matematika apa saja yang terdapat dalam kalender Aboge sebagai penentu waktu
hari – hari besar islam dan upacara adat pada keraton kasepuhan Cirebon?
C. Pertanyaan Penelitian
Rumusan masalah dalam penelitian ini dijabarkan menjadi beberapa
pertanyaan, yaitu:
1. Aspek – aspek matematika apa saja yang terungkap pada aturan penentuan hari
– hari besar Islam di Keraton Kasepuhan dengan menggunakan kalender
Aboge?
2. Aspek – aspek matematika apa saja yang terungkap pada aturan penentuan
upacara adat di Keraton Kasepuhan dengan menggunakan kalender Aboge?
Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

7

3. Bagaimana aturan penanggalan yang berlaku di Keraton Kasepuhan Cirebon di
tinjau dari aspek – aspek matematika?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini yakni mengungkap ide – ide matematika yang
terdapat dalam kalender Aboge di Keraton Kasepuhan Cirebon.
E. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian
Ethnomathematics khususnya di Indonesia, dalam hal mengungkap keterkaitan

antara matematika dengan budaya asli Indonesia.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan untuk mengembangkan
kurikulum matematika sekolah berdasarkan budaya lokal setempat yang berasal
dari budaya setiap etnik di Indonesia, sehingga diharapkan mampu
meningkatkan pendidikan matematika di Indonesia.
3. Penelitian ini dapat menjadi panduan bagi peneliti lain yang tertarik untuk
mengungkap aspek-aspek matematika pada fokus ethnomathematics.
4. Penelitian ini diharapkan dapat merubah opini selama ini yang memandang
bahwa matematika tidak berkaitan dengan budaya. Dengan perubahan tersebut,
diharapkan siswa di dalam proses pembelajaran matematika tidak akan lagi
merasa sukar atau takut belajar matematika.
F. Definisi Operasional
1. Ethnomathematics. Ethnomathematics adalah suatu kajian yang meneliti cara
sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan,
dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang
digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis
2. Penentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya orang atau
sesuatu yang menentukan.
3. Kalender Aboge. Kalender Aboge (Alif, Rebo, Wage) merupakan salah satu
kalender jawa islam yang digunakan untuk menentukan waktu hari – hari besar
keislaman dan upacara adat keraton seperti Maulid Nabi Muhammad SAW,
panjang jimat dan satu suro.

Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

8

4. Hari – Hari besar Islam. Hari – hari besar Islam yang dimaksud dalam skripsi
ini adalah hari – hari yang biasa diperingati oleh umat islam.
5. Upacara Adat. Serangkaian kegiatan yang dilakukan di suatu daerah atau oleh
suatu masyarakat berdasarkan kebiasaan, agama dan kepercayaannya secara
turun - temurun
6. Keraton Kasepuhan Cirebon. Keraton kasepuhan adalah keraton tertua didaerah
Cirebon. Memilik arsitektur bangunan yang sarat akan makna keislaman.
Merupakan tempat tinggal pendiri cirebon beserta keturunannya yang saat ini
dikepalai oleh seorang sultan

Muhammad Alfi Syahrin, 2015
STUDY ETHNOMATHEMATICS PADA KALENDER ABOGE (ALIF, REBO, WAGE) SEBAGAI PENENTU
WAKTU HARI – HARI BESAR ISLAM DAN UPACARA ADAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu