Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Obesitas pada Siswa di SMP Negeri 1 Tebing Tinggi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Obesitas
Kata obesitas berasal dari bahasa latin : obesus, obedere yang artinya
gemuk atau kegemukan. Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak
abnormal atau berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2015).
Obesitas menunjukkan adanya penumpukan lemak yang berlebihan di
dalam tubuh, yang ditandai dengan peningkatan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT)
di atas normal. Secara klinis, seseorang dinyatakan mengalami obesitas bila
terdapat kelebihan berat badan sebesar 15% atau lebih dari berat badan idealnya.
Dengan pengukuran yang lebih ilmiah, penentuan obesitas didasarkan pada
proporsi lemak terhadap berat badan total seseorang. (Misnadiarly, 2007). Ratarata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria.
Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar
25 – 30% pada wanita dan 18 – 23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih
dari 30% dan pria lebih dari 25% mengalami obesitas (Adriani dan Wirjatmadi,
2012).
2.2 Remaja
2.2.1

Definisi Remaja
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat


penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga
mampu bereproduksi. Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa. Perubahan pada remaja dibagi dalam tiga tahap
yaitu remaja awal (early adolescent) terjadi pada usia 12 – 14 tahun, pertengahan

7
Universitas Sumatera Utara

8

(middle adolescent) terjadi pada usia 15 – 17 tahun, dan akhir (late adolescent)
terjadi pada usia 18 – 21 tahun. Menurut World Health Organization (WHO),
batasan remaja secara umum adalah mereka yang berusia 10 tahun sampai 19
tahun (Proverawati, 2010).
2.2.2

Permasalahan Gizi Remaja
Cukup banyak masalah yang berdampak negatif terhadap kesehatan dan


gizi remaja. Dalam beberapa hal, masalah gizi remaja merupakan kelanjutan dari
masalah gizi pada usia kanak-kanak, yaitu anemia defisiensi besi serta kelebihan
dan kekurangan berat badan. Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja
akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah
dewasa dan berusia lanjut. Pola makanan yang tidak sehat diantaranya banyak
mengonsumsi makanan yang berkalori tinggi, yang banyak mengandung gula, dan
minuman berkalori tinggi tetapi jarang sekali mengonsumsi sayuran, buah, dan
makanan berserat lainnya (Mitayani dan Sartika, 2010).
Ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan
pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung
berlanjut hingga dewasa dan lansia. Ada 3 alasan mengapa remaja dikategorikan
rentan. Pertama, percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan
energi dan zat gizi yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan ketiga
kecanduan alkohol dan obat dan disamping itu, tidak sedikit remaja yang makan
secara berlebihan dan akhirnya mengalami obesitas (Arisman, 2010).

Universitas Sumatera Utara

9


2.3 Epidemiologi Obesitas
2.3.1

Distribusi dan Frekuensi

a. Berdasarkan Orang
(1) Kelompok Umur
Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa, prevalensi gizi lebih
secara nasional pada kelompok balita di Indonesia sebesar 11,9%. Pada kelompok
umur sekolah dasar 5 – 12 tahun mencapai 18.8% terdiri dari gemuk 10,8% dan
sangat gemuk atau obesitas 8,8%. Pada kelompok remaja umur 13 – 15 tahun
sebesar 10,8%, terdiri dari 8,3% gemuk dan 2,5% sangat gemuk atau obesitas.
Pada kelompok umur remaja akhir usia 16 – 18 tahun, prevalensi mencapai 7,3%
terdiri dari 5,7% untuk kegemukan dan 1,6% untuk obesitas. Prevalensi pada
kelompok dewasa umur >18 tahun sangat tinggi yaitu 15,4% untuk kegemukan
dan 13,5% untuk obesitas. Hal ini menunjukkan bahwa, obesitas dapat terjadi
pada setiap kelompok umur baik anak-anak, remaja, maupun dewasa.
(2) Jenis Kelamin
Secara keseluruhan, sekitar 13% dari populasi dunia pada orang dewasa
(11% laki-laki dan 15% perempuan) yang mengalami obesitas pada tahun 2014

(WHO, 2015). Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi penduduk laki-laki
dewasa yang obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun
2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%) sementara prevalensi obesitas perempuan
dewasa (>18 tahun) 32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5% dari
tahun 2010 (15,5%). Prevalensi gizi lebih relatif lebih tinggi pada remaja
perempuan dibanding dengan remaja laki-laki yaitu terdiri dari perempuan
sebanyak 1,5% dan laki-laki sebanyak 1,3% (Aini, 2012). Prevalensi obesitas

Universitas Sumatera Utara

10

pada remaja di Minahasa adalah 26,33% yang terdiri dari 4,30% remaja laki-laki
dan 22.03% remaja perempuan (Kussoy et al, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa,
obesitas dapat terjadi baik pada laki-laki maupun pada perempuan namun
prevalensi perempuan yang obesitas lebih banyak daripada laki-laki.
a. Berdasarkan Tempat
Obesitas tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga terjadi di
negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, prevalensi obesitas pada usia
12 – 19 tahun sebesar 20,5% pada tahun 2011 – 2012 (Ogden et al , 2013). Di

Inggris, prevalensi obesitas pada usia 11 – 15 tahun sebesar 19,9% pada tahun
2013 diantaranya obesitas pada anak laki-laki sebesar 20,4% sedangkan pada anak
perempuan sebesar 19,4% (HSE, 2015). Di Malaysia, prevalensi obesitas pada
remaja mencapai 6,6%. Di Cina, kurang lebih 10% remaja mengalami obesitas,
sedangkan di Jepang, prevalensi obesitas pada umur 6-14 tahun berkisar antara 511% (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil
Riskesdas 2013 prevalensi gemuk dan obesitas pada remaja umur 13 – 15 tahun
sebesar 10,8%, terdiri dari 8,3% gemuk dan 2,5% sangat gemuk atau obesitas.
Sebanyak 13 provinsi dengan prevalensi kegemukan diatas nasional, yaitu Jawa
Timur (8,9%), Kepulauan Riau (9,2%), DKI Jakarta (9,4%), Bengkulu (12,1%),
Sumatera Selatan (9,5%), Kalimantan Barat (9,6%), Sumatera Utara (10,9%),
Bangka Belitung (9,7%), Bali (9,7%), Kalimantan Timur (11,3%), Lampung
(11,4%), Sulawesi Utara (13,1%) dan Papua (13,8%).
b. Berdasarkan Waktu
Menurut WHO (2015), prevalensi obesitas di seluruh dunia mengalami
peningkatan lebih dari dua kali lipat antara tahun 1980 dan 2014. Pada tahun
2014, lebih dari 1,9 miliar orang dewasa di seluruh dunia berusia 18 tahun ke atas

Universitas Sumatera Utara

11


mengalami kelebihan berat badan. Di Amerika Serikat, prevalensi obesitas pada
usia 12 – 19 tahun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Obesitas pada
anak laki-laki mengalami peningkatan pada tahun 2009 – 2010 sebesar 19,6%
menjadi 20,3% pada tahun 2011 – 2012 dan obesitas pada anak perempuan juga
mengalami peningkatan dari 17,1% pada tahun 2009 – 2010 menjadi 20,7% pada
tahun 2011 – 2012 (Ogden et al, 2013). Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil
Riskesdas 2013 prevalensi kegemukan pada usia 13 – 15 tahun juga mengalami
peningkatan dari tahun 2010 – 2013. Pada tahun 2010, prevalensi kegemukan di
Indonesia sebesar 2,5% menjadi 10,8% pada tahun 2013.
2.3.2

Determinan

a. Jenis Kelamin
Jenis kelamin tampaknya juga ikut berperan dalam timbulnya obesitas
meskipun dapat terjadi pada kedua jenis kelamin. Di negara-negara maju, karena
merupakan masalah kesehatan masyarakat, penelitian yang berkaitan dengan
obesitas cukup banyak dilakukan. Dari survey yang dilakukan terhadap populasi
dewasa umur 20 – 74 tahun dan Amerika Serikat, dilaporkan bahwa obesitas lebih

banyak dijumpai pada kaum wanita dibanding pria (Misnadiarly,2007).
Obesitas tiga kali lebih banyak dijumpai pada wanita, keadaan ini
disebabkan metabolisme pada wanita lebih rendah (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
b. Pendidikan Orangtua
Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting
yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki
menjadi lebih baik. Pengetahuan gizi tentang gizi yang baik akan berpengaruh
terhadap kebiasaan makan keluarga karena pengetahuan gizi mempunyai peranan

Universitas Sumatera Utara

12

yang sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang.
(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI, 2014).
c. Pola Makan
(1) Kecukupan Energi
Pola makan remaja akan menentukan jumlah zat-zat gizi yang diperlukan
oleh remaja untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Jumlah makanan yang

cukup sesuai dengan kebutuhan akan menyediakan zat-zat gizi yang cukup pula
bagi remaja guna menjalankan kegiatan fisik yang sangat meningkat. Pola makan
pada dasarnya merupakan variabel yang secara langsung berhubungan dengan
status gizi. Pola makan diketahui dengan banyak cara antara lain dengan menilai
asupan gizi (Hendrayati et al, 2010).
Kebutuhan energi diperlukan remaja untuk kegiatan sehari-hari maupun
untuk proses metabolisme tubuh. Pada remaja perempuan usia 13 – 15 tahun
kebutuhan energinya sebesar 2.125 kal/hari sedangkan pada remaja laki-laki usia
13 – 15 tahun kebutuhan energinya sebesar 2.475 kal/hari (Kementerian
Kesehatan RI, 2013).
Apabila ingin melakukan perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan
keadaan gizi seseorang, biasanya dilakukan perbandingan pencapaian konsumsi
zat gizi individu tersebut terhadap AKG (Supariasa, 2002).
Kecukupan energi =

Konsumsi
x
Angka Kecukupan Energi

%


Universitas Sumatera Utara

13

(2) Kebiasaan Makan Utama
Menurut Budiyanto (2004), kebiasaan makan utama diukur berdasarkan
frekuensi makan dengan mengonsumsi sejumlah makanan lengkap dalam satu
hari. Kebiasaan makan berasal dari budaya kelompok yang diajarkan kepada
anggota keluarga. Keluarga Indonesia pada umumnya makan 3 kali sehari yaitu
pada saat sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Beberapa keluarga
mengembangkan pola makan dua kali sehari yaitu makan siang dan malam.
(3) Kebiasaan Konsumsi Jajanan
Kebiasaan senang mengonsumsi jajanan membuat tubuh memperoleh
tambahan energi sehingga tanpa disadari asupan energi ke dalam tubuh melebihi
kebutuhan dan dampaknya berupa bertambahnya timbunan lemak dalam tubuh.
Kebiasaan seperti itu akan memudahkan terjadinya obesitas pada usia remaja
(Moehyi, 2003).
Jenis makanan jajanan menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) dapat
digolongkan menjadi tiga golongan yaitu :

a. Makanan sepinggan
Makanan sepinggan merupakan kelompok makanan yang dapat disiapkan
di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di tempat penjualan. Contoh makanan
sepinggan, yaitu mie instan, nasi goreng, siomay, pizza, burger, bakso, mi ayam
dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

14

b. Makanan camilan
Makanan camilan adalah makanan yang dikonsumsi diantara dua waktu
makan. Makanan camilan terdiri dari makanan camilan basah dan makanan
camilan kering. Makanan camilan basah dapat disiapkan di rumah terlebih dahulu
atau disiapkan di tempat penjualan, seperti pisang goreng, lemper, lumpia, risoles,
dan lain-lain. Makanan camilan kering umumnya diproduksi oleh industri pangan
baik industri besar, industri kecil, dan industri rumah tangga, seperti produk
ekstrusi (brondong), keripik, biskuit, kue kering, coklat dan lain-lain.
c. Minuman
Kelompok minuman yang biasanya dijual meliputi yang pertama air

minum, baik dalam kemasan maupun yang disiapkan sendiri. Kedua, minuman
ringan seperti minuman sari buah, minuman berkarbonasi, es sirup dan lain-lain.
Ketiga, minuman campur seperti es buah, es cendol, es doger, dan lain-lain.
d. Aktifitas Fisik
Ketersediaan televisi telah meningkatkan angka kejadian obesitas di
kalangan remaja. Anak-anak dan remaja menghabiskan lebih banyak waktu di
depan komputer atau perangkat video game daripada bermain di luar ruangan.
Singkatnya, olahraga kini kian berkurang, sementara nafsu memakan santapan,
terutama pangan yang berkadar lemak tinggi justru meningkat. Semua ini
berujung pada obesitas (Arisman, 2011)
Penelitian terhadap anak di Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang
sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton TV 5 jam per hari mempunyai

Universitas Sumatera Utara

15

risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang menonton TV
2 jam setiap harinya (Hidayati et al, 2006)
Keragaman dalam ukuran tubuh, komposisi tubuh dan aktivitas fisik,
kebiasaan di antara populasi dengan latar belakang geografis, budaya dan
ekonomi yang berbeda membuat aktivitas fisik sulit untuk diukur sehingga untuk
menjelaskan perbedaan dalam aktivitas fisik, FAO memperkirakan melalui
perhitungan faktorial yang dikombinasikan antara waktu yang dialokasikan untuk
kegiatan kebiasaan dan besar energi kegiatan-kegiatan. Besar energi kegiatan
dihitung sebagai kelipatan BMR per menit juga disebut sebagai Physical Activity
Ratio (PAR), dan kebutuhan energi 24 jam adalah dinyatakan sebagai kelipatan
dari BMR per 24 jam dengan menggunakan nilai PAL (James dan Schofield
dalam FAO, 2001). Berikut ini tabel estimasi standar faktorial dari total
pengeluaran energi berdasarkan FAO, 2001 :

Universitas Sumatera Utara

16

Tabel 2.1 Estimasi Standar Faktorial dari Total Pengeluaran Energi
No

Jenis Kegiatan

Aktivitas Ringan
Tidur
Perawatan Pribadi (Berpakaian, mandi)
Makan
Berangkat ke/dari sekolah (naik angkutan
4
umum, naik becak, antar-jemput)
Duduk (belajar di sekolah, les di sekolah,
5
les di luar sekolah, belajar di rumah)
6 Berjalan
Kegiatan yang dilakukan sambil duduk
7 (main play station, main computer, main
gadget)
Total
Aktivitas Sedang
1. Tidur
2. Perawatan Pribadi (Berpakaian, mandi)
3. Makan
Duduk (belajar di sekolah, les di sekolah,
4.
les di luar sekolah, belajar di rumah)
5. Berjalan
6. Kegiatan santai (nonton TV, mengobrol)
7. Bermain music
8. Senam
Olahraga (sepak bola, futsal, basket, kasti,
9. bola volli, renang, tenis meja, tenis
lapangan, badminton, dll)
Total
Aktivitas Berat
1. Tidur
2. Perawatan Pribadi (Berpakaian, mandi)
3. Makan
4. Duduk (belajar di sekolah, les di sekolah,
les di luar sekolah, belajar di rumah)
5. Berjalan
6. Olahraga (sepak bola, futsal, basket, kasti,
bola volli, renang, tenis meja, tenis
lapangan, badminton, dll)
7. Ekstrakulikuler (drumband, bela diri,
menari, dll)
Total
Sumber : FAO, 2001
1
2
3

Durasi
PAR
(Jam)

Total (PAL)

8
1
1
1

1,0
2,3
1,5
1,2

8,0
2,3
1,5
1,2

8

1,5

12,0

1
4

3,2
1,5

3,2
6

24

34,2/24= 1,42

8
1
1
8

1,0
2,3
1,5
1,5

8,0
2,3
1,5
12,0

1
1
1
1
2

3,2
1,4
1,5
4,1
4,1

3,2
1,4
1,5
4,1
8,2

24

42/24=1,75

8
1
1
8

1,0
2,3
1,5
1,5

8,0
2,3
1,5
12,0

1
3

4,1
4,1

4,1
12,3

2

4,1

8,2

24

50,3/24= 2,1

Universitas Sumatera Utara

17

Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang dalam waktu 24
jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik.
PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan dalam kkal per kilogram berat
badan dalam 24 jam. Rumus yang digunakan untuk menentukan PAL yaitu :
(FAO, 2001)
��� =

���






4 �

� �



Keterangan :
PAL : Physical Activity Level
PAR : Physical Activity Ratio
Berikut ini tabel kategori aktivitas fisik standar berdasarkan nilai Physical
Activity Level (PAL).

Tabel 2.2

Kategori Aktivitas Fisik Standar Berdasarkan Nilai Physical
Activy Level (PAL)

No.

Kategori aktivitas fisik berdasarkan
nilai Physical Activity Level (PAL)
1
Ringan
2
Sedang
3
Berat
Sumber : FAO, 2001

Nilai PAL
1.40 – 1.69
1.70 – 1.99
2.00 – 2.40

Berdasarkan Riskesdas (2013), aktifitas fisik dibagi menjadi dua kategori,
yaitu :
a. Kurang aktif, jika tidak melakukan aktifitas fisik sedang dan berat
b. Aktif, jika melakukan minimal aktifitas fisik sedang atau berat

Universitas Sumatera Utara

18

2.4 Pengukuran Obesitas
Ukuran yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang menderita
obesitas adalah berdasarkan berat badan dan tinggi badan, yaitu menggunakan
suatu indeks berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan kuadrat
dalam meter, yang disebut indeks massa tubuh (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

IMT =

�� ��

��2 �

BB = berat badan
TB = tinggi badan

IMT pada anak disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin anak karena
anak laki-laki dan perempuan memiliki kadar lemak tubuh yang berbeda.
Berdasarkan Kepmenkes RI

Nomor : 1995/MENKES/SK/XII/2010, Menteri

Kesehatan RI pada tahun 2011 telah mengeluarkan kategori standar antropometri
penilaian status gizi anak yang mengacu pada standar World Health Organization
(WHO) 2005. Berikut ini tabel Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak
Berdasarkan Indeks :
Tabel 2.3 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Indeks
Indeks Massa Tubuh menurut
Umur (IMT/U)
Anak Umur 5 – 18 Tahun

Kategori
Status Gizi
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Obesitas

Ambang Batas
(Z-Score)
2SD

Sumber :Kemenkes RI, 2011

Universitas Sumatera Utara

19

2.5 Dampak Obesitas
2.5.1

Dampak Sosial dan Emosional

a. Percaya Diri Rendah
Anak-anak maupun remaja sering kali mengganggu atau mencela teman
mereka yang kelebihan berat badan dan seringkali mengakibatkan teman mereka
tersebut kehilangan rasa percaya diri dan meningkatkan risiko terjadinya depresi
(Misnadiarly, 2007).
b. Problem Pada Pola Tingkah Laku dan Pola Belajar
Seseorang yang kelebihan berat badan cenderung lebih sering merasa
cemas dan memiliki kemampuan bersosialisasi lebih rendah daripada seseorang
dengan berat badan normal. Hal ini akan menyebabkan orang tersebut menarik
diri dari pergaulan sosial (Misnadiarly, 2007). Obesitas pada anak maupun remaja
dapat menurunkan tingkat kecerdasan, karena aktivitas dan kreativitas menjadi
menurun dan cenderung malas (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).
c. Depresi
Isolasi sosial dan rendahnya rasa percaya diri menimbulkan rasa perasaan
tidak berdaya pada sebagian remaja yang kelebihan berat badan. Bila remaja
kehilangan harapan bahwa hidup mereka akan menjadi lebih baik, pada akhirnya
mereka akan mengalami depresi. Seorang remaja yang mengalami depresi akan
kehilangan rasa tertarik pada aktivitas normal, lebih banyak tidur dari biasanya
atau sering kali menangis (Misnadiarly, 2007).
2.5.2

Dampak Klinis
Obesitas yang terjadi pada masa remaja cenderung berlanjut ke usia

dewasa dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan salah satu faktor

Universitas Sumatera Utara

20

risiko penyait degeneneratif (Arisman, 2010). Adapun penyakit degeneratif
tersebut diantaranya :
1. Diabetes tipe 2
Kelebihan massa lemak dikaitkan dengan keadaan resistensi insulin yang
berhubungan dengan diabetes mellitus. Resiko diabetes mellitus akan meningkat
secara linear sesuai dengan peningkatan IMT. Obesitas akan meningkatkan angka
kejadian diabetes mellitus 3-4 kali dibandingkan orang dengan IMT normal.
Angka penyandang diabetes meningkat seiring epidemik obesitas. Seiring dengan
peningkatan obesitas, WHO memperkirakan tahun 2030 sekitar 21,3 juta orang
Indonesia terkena diabetes (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).
2. Hipertensi
Hubungan antara angka kejadian hipertensi dan berat badan meningkat
tajam sesuai dengan peningkatan berat badan. Risiko terjadinya hipertensi
meningkat 1,6 kali untuk overweight dan menjadi 2,5 – 3,2 kali untuk obesitas
(Adriani dan Wirjatmadi, 2012).
3. Stroke
Angka kejadian penyakit arteri koroner menunjukkan hubungan linear
bermakna dengan IMT. Risiko terjadinya stroke untuk obesitas adalah 1,5 – 3
kali. Pola makan yang salah karena seringnya mengonsumsi fast food yang
mempunyai kandungan kolesterol tinggi juga bisa memicu terjadinya stroke usia
muda. Kolesterol tidak baik bagi kesehatan, terutama bila terjadi penyumbatan
pada pembuluh darah, dan mengenai pembuluh darah otak bisa membuat
seseorang terkena stroke. Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan jumlah
penderita stroke di Indonesia identik dengan wabah kegemukan (Adriani dan
Wirjatmadi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

21

4. Kanker
Obesitas merupakan faktor risiko terhadap terjadinya penyakit kanker.
Laki – laki yang obesitas mempunyai risiko lebih besar terkena kanker usus besar
dan kanker kelenjar prostat, bila dibandingkan dengan laki – laki berbobot tubuh
normal. Adapun wanita yang obesitas berisiko tinggi terkena kanker payudara,
kanker indung telur (ovarium) dan kanker mulut rahim, terutama pada wanita
pasca menopause yaitu yang telah berhenti haidnya (Lean M, 2013).
5. Penyakit Kardiovaskuler
Seseorang yang memiliki berat badan di atas normal, bahkan memasuki
tahap obesitas akan mengalami risiko pengurangan fungsi jantung termasuk
ketidaknormalan denyut jantung. Hasil riset tim dari AS dan Italia, pimpinan Dr.
Giovanni de Simone melihat hal ini akan menjadi masalah tersendiri bagi
penderita obesitas (Lean M, 2013).
2.6 Pencegahan Obesitas
2.6.1

Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan menggunakan dua strategi pendekatan yaitu

strategi pendekatan populasi untuk mempromosikan cara hidup sehat pada semua
anak dan remaja beserta orang tuanya, serta strategi pendekatan pada kelompok
yang berisiko tinggi mengalami obesitas. Anak yang berisiko mengalami obesitas
adalah seorang anak yang salah satu atau kedua orangtuanya menderita obesitas
dan anak yang memiliki kelebihan berat badan semenjak masa kanak-kanak.
Usaha pencegahan dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan di
Pusat Kesehatan Masyarakat (IDAI, 2014).

Universitas Sumatera Utara

22

2.6.2

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan dengan menghambat

timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal.
Deteksi dini obesitas dengan cara melakukan pengukuran berat badan dan tinggi
badan sehingga diperoleh nilai IMT, melakukan penilaian secara visual dan
anamnesa yang dapat dilihat dari riwayat pola konsumsi makan dan aktifitas fisik.
Upaya yang dilakukan bagi anak maupun remaja penderita obesitas diantaranya
yaitu pengaturan makanan dan melakukan aktivitas fisik (IDAI, 2014).
2.6.3

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan dengan mencegah komorbiditas yang

dilakukan dengan menata laksana obesitas pada anak dan remaja. Prinsip tata
laksana obesitas pada anak maupun remaja berbeda dengan orang dewasa karena
faktor tumbuh kembang pada anak dan remaja harus dipertimbangkan. Tata
laksana obesitas pada anak dan remaja dilakukan dengan pengaturan diet,
peningkatan aktivitas fisik, mengubah pola hidup (modifikasi perilaku), dan
terutama melibatkan keluarga dalam proses terapi. Sulitnya mengatasi obesitas
menyebabkan kecenderungan untuk menggunakan jalan pintas, yaitu diet rendah
lemak dan kalori, diet golongan darah atau diet lainnya serta berbagai macam
obat. Penggunaan diet rendah kalori dan lemak dapat menghambat tumbuh
kembang anak maupun remaja, sedangkan diet golongan darah ataupun diet
lainnya tidak terbukti bermanfaat untuk digunakan dalam tata laksana obesitas
pada anak dan remaja (IDAI, 2014).

Universitas Sumatera Utara

23

2.7 Kerangka Konsep
Variabel Independen

Variabel Dependen

Karakteristik Individu :
Umur
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan Orangtua

Pola Makan :
Kecukupan Energi

Obesitas

Kebiasaan Makan Utama
Kebiasaan Konsumsi Jajanan

Aktivitas Fisik

Universitas Sumatera Utara