T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PrinsipPrinsip Pengaturan tentang Pencegahan dan Kebakaran Hutan T1 BAB II

Bab II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hutan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian hutan adalah tanah
luas yang ditumbuhi pohon-pohon (biasanya tidak dipelihara orang),
tumbuhan yang tumbuh di atas tanah yang luas (biasanya di wilayah
pegunungan) dan yang tidak dipelihara orang yang liar (tentang binatang dan
sebagainya). Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.1
Hutan sebagai salah satu bagian dari lingkungan hidup merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan salah satu kekayaan alam yang
sangat penting bagi umat manusia. Hal ini didasarkan pada banyaknya
manfaat yang diambil dari hutan. Misalnya hutan sebagai penyangga paruparu dunia. Menurut Black Law Dictionary, hutan (forest) adalah suatu daerah
tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan tempat hidup segala binatang.2
Pengertian lain, hutan adalah suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan
hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah yang terletak pada

1


Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang yang terdapat dalam buku Dr. Iskandar, SH.,
M.Hum., Hukum Kehutanan, Mandar Maju, Bengkulu, 2015, hal. 1
2
Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang
Kehutanan), Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012, hal. 9.

suatu kawasan serta membentuk suatu ekosistem yang berada dalam
keseimbangan yang dinamis.3
Hutan adalah suatu lapangan pohon-pohon secara keseluruhan yang
merupakan persekutuan hidup alam hayati besertaalam lingkungannya, dan
yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Hutan merupakan harta
kekayaan yang tidak ternilai, oleh karena itu hasil dari hutan perlu dijaga,
dipertahankan dan dilindungi agar hutan dapat berfungsi dengan baik. Istilah
hutan

merupakan

terjemahan

dari


kata

bos

(Belanda)

dan

forrest(Inggris).Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang dan

dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan, seperti pariwisata.
Di dalam hukum Inggris kuno, forrest (hutan) adalah suatu daerah tertentu
yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burungburung hutan.4
Hutan merupakan salah satu penentu penyangga kehidupan dan
sumber kesejahteraan rakyat, semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu
eksistensinya harus juga secara terus menerus, agar tetap abadi, dan ditangani
dengan budi pekerti yang luhur, berkeadilan, berwibawa, transparan, dan
professional serta bertanggung jawab.5


B. Hukum Kehutanan Indonesia
1. Pengertian Hukum Kehutanan

3

Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan, Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 2001, hal.14.
Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 40
5
Abdul Muis Yusuf, Prof.Mohammad Taufik Makarao, Hukum Kehutanan di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta :, 2011 hal. 1

4

Idris Sarong Al Mar mengatakan “bahwa yang disebut dengan hukum
kehutanan adalah serangkaian kaidah-kaidah atau norma-norma (tidak
tertulis) dan peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan
dalam hal-hal hutan dan kehutanan. Biro Hukum dan Organisai
Departemen Kehutanan merumuskan hukum kehutanan adalah “kumpulan
(himpunanan) peraturan yang tertulis yang berkenaan dengan kegiatan
yang bersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya”.6

Salim mengatakan “hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah atau
ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar negara dengan hutan dan
kehutanan dan hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan
kehutanan.”7
Salim mengemukakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap
sebagai norma hukum konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar
umum atau sebagai petunjuk bagi hukum yang berlaku. Dengan kata lain,
asas hukum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif.8
Salim juga mengatakan bahwa yang disebut dengan asas hukum
bukanlah kaidah hukum konkret, melainkan merupakan latar belakang
peraturan yang konkret dan yang bersifat umum atau abstrak dan untuk
menemukan asas-asas hukum tersebut harus dicari sifat umum dalam

6

Idris Sarong Al Mar. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar
Grafika, 2008, hal. 5
7
Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 5

8
Ibid hal 8

kaidah atau peraturan yang konkret. Hal ini berarti menunjuk pada
kesamaan yang terdapat dalam ketentuan yang konkret itu.9
Pasal 2 Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
disebutkan pasal-pasal dalam penyelenggaraan kehutanan di Indonesia.
Asas-asas tersebut meliputi :
a. Asas Manfaat dan Lestari. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar
setiap

pelaksanaan

penyelenggaraan

kehutanan

memperhatikan

keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial, budaya, dan

ekonomi atau pemanfaatan sumber daya hutan harus dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.
b. Asas Kerakyatan dan Keadilan. Asas kerakyatan dan keadilan
dimaksudkan

agar

setiap

penyelenggaraan

kehutanan

harus

memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga
negara sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat meningkatkan
kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu dalam pemberian
wewenang pengelolaan dan izin pemanfaatan hutan harus dicegah

terjadinya praktek-praktek yang tidak sesuai.
c. Asas Kebersamaan. Asas kebersamaan dimaksudkan agar dalam
penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga
terjalin keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara
masyarakat setempat dengan pemerintah.
9

ibid

d. Asas Keterbuakaan. Asas keterbuakaan yang dimaksud agar setiap
kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat
dan memperhatikan aspirasi masyarakat.
e. Asas Keterpaduan. Asas keterpaduan dimaksudkan agar setiap
penyelenggaraan

kehutanan

dilakukan

secara


terpadu

dengan

memperhatikan kepentingan Nasional, sektor lain, dan masyarakat
setempat.10
2. Sumber-sumber Hukum Kehutanan
1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
pemberatasan perusakan hutan.
4) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN
Aggrement On Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN
tentang Pencemaran Asap Lintas Batas)
5) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan.
6) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32
Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

7) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003
tentang Pengendalian Kebakaran hutan dan atau Lahan.
10

Pasal 2, Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan

8) Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur nomor 7 tahun 2003
tentang Pencegahan dan Penaggulangan Bahaya Kebakaran di
Kabupaten Kotawaringin Timur.

C. Kebakaran Hutan di Indonesia
Sudah banyak sekali kasus kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia
ini berikut adalah beberapa contoh kebakaran hutan yang pernah terjadi di
Indonesia
“Analisa Peta Kepo Hutan Greenpeace mengungkapkan banyak
kebakaran terjadi di konsesi perkebunan milik industri yang sama dengan
kebakaran tahun lalu. Bencana ini terjadi berulang kali karena perusahaan
mengabaikan peringatan pemerintah sejak November 2015 lalu untuk segera
menyekat kanal-kanal agar gambut kembali basah dan tidak mudah terbakar.
Ini adalah salah satu langkah penting pencegahan yang harus dilakukan

selama 12 bulan terakhir.
Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan:

“Seperti jarum jam, kebakaran kembali terjadi. Perusahaan lebih tertarik
memamerkan pemadaman dengan bom air, padahal sebenarnya kebakaran
tersebut bisa dicegah dengan membasahi kembali gambut yang telah mereka
keringkan untuk perkebunan kelapa sawit, kertas dan pulp. Dan justru
perusahaan lebih mengutamakan keuntungan daripada kesehatan masyarakat
dan lingkungan, dan masih memperdebatkan apakah wilayah gambut masih
bisa dieksploitasi.”
“Kebakaran tahun lalu telah merenggut nyawa banyak balita dan orang tua,
dan membuat hampir lima juta anak-anak tidak masuk sekolah selama
sebulan.
Perusahaan-perusahaan yang telah menolak mengambil langkah untuk
mencegah kembalinya kebakaran, tangan mereka bukan hanya penuh abu tapi
juga darah. Pemerintah harus mengambil tindakan jika perusahaan
mengabaikannya.”
Polisi dan kuasa hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
punya peta sendiri yang menunjukkan kawasan mana saja yang terjadi
kebakaran hutan pada tahun lalu, namun hanya segelintir yang dituntut.

Ironisnya, polisi telah menghentikan penyelidikan terhadap 15 perusahaan
yang terbakar pada tahun 2015 lalu.

Meskipun 1.296 titik api terpantau dalam kawasan konsesi pada Agustus
ini, Kamis lalu, Kepolisian RI hanya menyelidiki 9 perusahaan di Provinsi
Riau. Sementara itu, 85 petani telah ditetapkan sebagai tersangka di Riau –
mungkin menargetkan petani lebih mudah dibanding perusahaan dan
keterkaitannya.
Akses publik terhadap peta yang menunjukkan siapa yang
bertanggungjawab atas api yang terpantau di lahannya sangat penting.
Greenpeace kecewa terhadap pemerintah yang masih bersikukuh
merahasiakan peta konsesi dalam format shapefile, itulah mengapa
Greenpeace saat ini sedang berjuang melawan kebijakan tersebut di Komisi
Informasi Publik (KIP). Argumentasi dan kesaksian ahli sudah selesai dan
kami berharap ada keputusan bersejarah dalam kasus ini yang akan diambil
dalam waktu dekat.
Greenpeace mendukung kuat upaya penegakkan hukum yang dilakukan
pemerintah atas PT BMH baru-baru ini untuk membuat jera perusahaan yang
lalai mencegah dan mengatasi
kebakaran di wilayah konsesi
tanggungjawabnya.
“Ini merupakan pesan kuat bagi perusahaan-perusahaan yang punya
komitmen nol deforestasi seperti APP, APRIL dan perusahaan lainnya untuk
melihat risiko kegagalan keberlanjutan terkait dengan kebakaran hutan.
Perusahaan pemasok dan anak perusahaan yang tersangkut kasus hukum dan
diputuskan bersalah oleh pengadilan harus dikeluarkan dari rantai pasok
sampai mereka berubah dan perbaikan terjadi.11
Koalisi organisasi masyarakat sipil untuk penyelamatan hutan Indonesia
dan iklim global menyampaikan masukan atas proses INDC (Intended
Nationally Determined Contributions) Indonesia. Masukan Koalisi ini
berdasarkan draft yang beredar secara resmi. Banyak hal dalam draft dokumen
INDC yang akan disampaikan bulan ini ke UNFCCC masih lemah, kurang
jelas dan tidak partisipatif.
Kenyataan bahwa emisi dan dari deforestasi tidak menurun dan bahkan
cenderung meningkat, tidak juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan komitmen penurunan emisinya seperti yang tercermin dalam
Draft Dokumen INDC. Penentuan angka penurunan emisi yang 29% sampai
tahun 2030 tidak jelas dasarnya, sementara rencana pembangunan yang lebih
menekankan eksploitasi sumber daya alam lebih besar justru cenderung
meningkatkan emisi.
Juru bicara koalisi, Sisilia Nurmala Dewi dari HuMA menegaskan “Kami
sangat menyarankan bahwa INDC memasukan unsur-unsur Specifik, Terukur,
Relevan, dan berbasis waktu (Specific, Measurable, Relevant, Timebound/SMART) untuk bisa mencapai target penurunan emisi yang bisa
diverifikasi di masa depan. Hal ini juga seharusnya mencakup kegiatan yang
kredibel yang akan dilakukan Pemerintah mulai saat ini sampai dengan dan
11

http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/Praktik-Bisnis-Merusak-Tidak-DihukumKebakaran-Hutan-dan-Asap-Kembali-Terjadi/, diakses tanggal 9 Juni 2017

tahun 2020, yang akan membangun fondasi pembangunan bertanggung jawab
jangka panjang, serta jalan menuju nol emisi.”
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melalui Abetnego
Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional menggarisbawahi “Problem ikutan yang
“menghantui” masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia adalah “Kabut
Asap” yang hadir selama kurun waktu 15 tahun terakhir ini. Tercatat kurang
lebih lebih 120 ribu masyarakat di tiga propinsi di Indonesia, menderita ISPA
saat kebakaran hutan dan lahan di tahun 2014. Dan menurut kami, adalah
tugas obligasi Negara untuk memastikan nol deforetasi”.12

Kontraproduktif antara target penurunan emisi dengan model
pembangunan, yang tetap mengedepankan penggunaan energi kotor
penggundulan dan pemmbongkaran kawasan hutan. Bagaimana mungkin
menurunkan emisi karbon 29% pada 2030, jika karbon yang dihasilkan dari
pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta tCO2 pada
2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024. Belum lagi emisi karbon yang
dibakar dari minyak dan gas, baik dari pembangkit listrik maupun kendaraan
bermotor. Tidak jelas upaya pemerintah dalam upaya memperbaiki moda
transportasi publik yang tidak rakus energi fosil. Sementara itu kawasan
hutan-kawasan hutan yang difungsikan untuk menyerap emisi, justru makin
banyak yang dirusak dan dibongkar untuk menggali batubara dalam rangka
memenuhi kebutuhan PLTU sekitar 250 juta ton/tahun.
“Forest Watch Indonesia melihat sisi lain pengelolaan sumber daya alam
di Indonesia, sebagai negara kepulauan, justru perlindungan pulau-pulau kecil
terabaikan. “Dalam draft rencana INDCs, disebutkan bahwa “Indonesia
sebagai negara kepulauan, sehingga adaptasi perubahan iklim berbasis darat
dan laut sebagai strategi yang terpadu dalam menjamin ketahanan pangan, air,
dan energi”. Dalam draft INDCs juga dikatakan bahwa “pulau-pulau kecil
adalah wilayah yang sangat rentan dalam hal perubahan iklim, seperti banjir,
kekeringan, dan kenaikan permukaan air laut”. Hal ini dikarenakan memang
tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, sangat dipengaruhi oleh kondisi
ekosistem hutan alam di pulau kecil tersebut. Kajian yang dilakukan FWI
menunjukkan, dari total 7 juta ha daratan di pulau-pulau kecil hanya tersisa 48
% yang memiliki tutupan hutan alam.13 Kondisi seperti ini menunjukkan
bahwa perlunya keterpaduan upaya dalam hal adaptasi dan mitigasi
menghadapi perubahan iklim di pulau-pulau kecil” tandas Bob Purba,
Direktur Forest Watch Indonesia.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN, kembali
menegaskan bahwa melalui INDC pemerintah harus sejalan dengan komitmen
12

http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/Praktik-Bisnis-Merusak-Tidak-DihukumKebakaran-Hutan-dan-Asap-Kembali-Terjadi/, diakses tanggal 9 Juni 2017
13
http://fwi.or.id/publikasi/kabut-asap-indc-indonesia/, diakses tanggal 9 Juni 2017

Presiden Joko Widodo yang tegas mengakui kontribusi masyarakat adat
dalam mitigasi dan adptasi perubahan iklim. AMAN juga mengkritik INDC
yang mengingkari Masyarakat Adat sebagai Indigenous Peoples yang jelas
bertentangan dengan Putusan MK 35, berbagai dokumen resmi pemerintah
dan merupakan pengabaian terhadap rekomendasi Komite PBB untuk Hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Hanky Satrio dari AMAN menegaskan
“Setidaknya ada 24,6 juta hektar wilayah adat yang masih berhutan yang
dapat dijaga dan sekitar 30 juta lagi dapat direhabilitasi, tetapi jika INDC tetap
mengingkari Masyarakat Adat sebagai Indigenous Peoples maka Pemerintah
Indonesia tidak pantas mendapatkan manfaat dari kontribusi masyarakat adat
dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim”.
Bukti minimnya perlindungan hutan dan lahan gambut terlihat dari kasus
kebakaran hutan dan asap yang masih terjadi hingga saat ini. Moratorium
hutan yang diperpanjang bulan Mei lalu sampai 2017, terbukti tidak kuat
melindungi hutan dan gambut Indonesia. Seruan penguatan moratorium sudah
disampaikan di awal tahun oleh koalisi dan hal tersebut tidak mendapat
respon yang baik dari Pemerintah. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan menunjukkan bahwa tingkat deforestasi justru meningkat
meskipun moratorium diberlakukan. Kenaikan tingkat deforestasi ini terjadi di
hutan sekunder atau di wilayah berhutan di dalam konsesi yang tidak
dilindungi oleh kebijakan moratorium. Perpanjangan ini juga tidak
menyelesaikan masalah tumpang tindih izin yang ada di hutan moratorium
yang mencapai 5,7 juta hektar. Dengan demikian, sekitar 48,5 juta hektar
hutan hujan Indonesia masih tetap terancam.”14
Data Kebakaran Hutan di Indonesia.15
No

Tahun

Luas Kebakaran

1

2014

44.411,36hektar

2

2015

261.060,44 hektar

Data Kebakaran Hutan di Kalimantan16
No

14

Tahun

Luas Kebakaran

http://fwi.or.id/publikasi/kabut-asap-indc-indonesia/, diakses tanggal 9 Juni 2017
http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran diakses tanggal 11 Juni 2017
16
ibid
15

1

2014

8.245,14 hektar

2

2015

146.969,66 hektar

Data Kebakaran Hutan di Kalimantan Tengah17
No

Tahun

Luas Kebakaran

1

2014

4.022,85 hektar

2

2015

122.882,90hektar

Data Kebakaran Hutan di Kabupaten Kotawaringin Timur18
No

Tahun

Luas Kebakaran

1

2014

4.536.00 hektar

2

2015

8.715.60 hektar

D. Pengaturan Kebakaran di Indonesia
1. Konsep Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran
Hutan
Pengertian pencegahan kebakaran hutan adalah suatu tindakan
sebelum api menyebar menyebar lebih luas maka dari itu di perlukannya

17

Ibid
Data kejadian kebakaran hutan, lahan dan kebun di seluruh kecamatan tahun 2014 dinas
kehutanan dan perkebunan kabupaten Kotawaringin Timur tahun 2014 dan Data kejadian kebakaran
hutan, lahan dan kebun di seluruh kecamatan tahun 2015 dinas kehutanan dan perkebunan
kabupaten Kotawaringin Timur tahun 2015.

18

suatu tindakan seperti tidak membuang sampah sembarangan yang dapat
membuat terjadinya kebakaran hutan dan lain sebagainya.
Pengertian

Penanggulangan

kebakaran

hutan

adalah

tindakan

menghadapi atau mengatasi kebakaran hutan yang sudah terjadi, hal-hal
apa saja yang harus di lakukan seperti melakukan pemadaman kebakaran
agar tidak menyebar lebih luas lagi.
Tugas dari pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan
a. Pemerintah yang membuat kebijakan tentang mencegah dan
menanggulangi kebakaran hutan dan membentuk lembaga yang
bertugas mengendalikan kebakaran hutan.
b. Pemerintah daerah membuat kebijakan tentang mencegah dan
menanggulangi kebakaran hutan dan menunujuk instansi yang
berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan.
c. Pemegang Izin bertanggung jawab apabila terjadi kebakaran hutan
yang berada di areal kerjanya seperti pemadaman serta melakukan
penanaman kembali (reboisasi) jika tempat yang terbakar adalah
areal kerjanya.
d. Masyarakat

juga

memegang

peran

pencegahan

dan

penanggulangan kebakaran hutan yaitu melakukan tindakan awal
pemdaman dan melaporkan jika terjadi kebakaran hutan.

2. Perjanjian ASEAN
ASEAN sendiri telah membuat suatu perjanjian yang di buat dalam
koferensi yang di namakan Agreement On Transboundary Haze Pollution
yang bertujuan untuk untuk mengatasi masalah kabut asap lintas batas
negara.Persetujuan ini merupakan reaksi terhadap krisis lingkungan hidup
yang melanda Asia Tenggara.
Krisis ini terutama disebabkan oleh pembukaan lahan dengan cara
pembakaran di pulau Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Melayu dan
beberapa tempat lainnya yang tentu saja mempengaruhi beberapa negara
yang berada tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunnei
Darussalam.
Isi dari perjanjian ini adalah pencegahan yang di mana berisi di
antaranya pencegahan dan monitoring.“Masing-masing Pihak harus
melakukan tindakan untuk mencegah dan mengendalikan Kegiatan yang
berkaitan dengan kebakaran lahan dan / atau kebakaran hutan yang dapat
terjadi Polusi kabut lintas batas, yang meliputi:
a. Mengembangkan dan menerapkan peraturan legislatif dan peraturan
lainnya

Langkah-langkah,

serta

program

dan

strategi

untuk

dipromosikan Kebijakan zero burning untuk mengatasi kebakaran
lahan dan / atau kebakaran hutan Menghasilkan polusi kabut lintas
batas;

b. Mengembangkan kebijakan lain yang tepat untuk mengekang aktivitas
itu Dapat menyebabkan kebakaran lahan dan / atau kebakaran hutan;
c. Mengidentifikasi dan memantau daerah rawan terjadinya lahan Dan /
atau kebakaran hutan;
d. Memperkuat manajemen kebakaran dan pemadaman kebakaran lokal
Kemampuan dan koordinasi untuk mencegah terjadinya tanah Dan /
atau kebakaran hutan;
e. Membarikan pengetahuan dan membangun kesadaran dan mengajak
masyarakat berpartisipasi dalam kebakaran Pengelolaan untuk
mencegah kebakaran lahan dan / atau kebakaran hutan dan kabut asap
Polusi yang timbul dari kebakaran tersebut;
f. Mempromosikan dan memanfaatkan pengetahuan dan praktik pribumi
Dalam pencegahan dan pengelolaan kebakaran; dan
g. Memastikan bahwa pemerintahdan / atau lainnya yang relevan dalam
mengambil langkah untuk mengendalikan pembakaran terbuka dan
mencegah Pembukaan lahan dengan menggunakan api.”19
Selain itu juga ada monitoring yang terdapat dalam Pasal 7
yaitu mengenai monitoring yang berisi :
1. Masing-masing Pihak harus mengambil tindakan yang tepat untuk
memantau:
a. Semua daerah rawan kebakaran,
19

Agreement On Transboundary Haze Pollution, Pasal 9 huruf a-g.

b. Semua kebakaran lahan dan/atau kebakaran hutan
c. Kondosi lingkungan yang kondusif untuk lahan tersebut
dan/atau kebakaran hutan dan,
d. Polusi kabut yang timbul dari kebakaran lahan dan / atau
hutan tersebut.
2. Setiap Pihak harus menunjuk satu atau lebih badan untuk berfungsi
sebagai Pusat Pemantauan Nasional, untuk melakukan pemantauan
Untuk di ayat (1) diatas sesuai dengan yang bersangkutan Prosedur
nasional.
3. Para Pihak, jika terjadi kebakaran, harus memulai Tindakan segera
untuk mengendalikan atau memadamkan api.”20

3. Peraturan Perundang-undangan Indonesia
a. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 47
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan

20

Agreement On Transboundary Haze Pollution, Pasal 7 ayat (1)-(3).

b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan
per- orangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.21
Dalam pasal ini memuat tentang maksud dari perlindungan dan
kawasan hutan dan usaha-usaha apa saja yang di lakukan untuk
melakuakn perlindungan hutan dan kawasaan hutan.
Pasal 49
“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran
hutan di areal kerjanya.”22
Setiap orang merupakan pemegang hak atau izin bertanggung jawab
bila terjadi kebakaran di daerah tempat seseorang itu bekerja.
Pasal 50
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan
hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan
kerusakan hutan.
21
22

Pasal 47, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ibid, Pasal 49.

(3) Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki
kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan
radius atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan
sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan
pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan
di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat
yang berwenang;
f. menerima,

membeli

atau

menjual,

menerima

tukar,

menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan
yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan
yang diambil atau dipungut secara tidak sah;

g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi
atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan,
tanpa izin Menteri;
h. sai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
bersamasama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak
ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat
yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang
lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut
hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang
berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan
tanpa izin pejabat yang berwenang;
l. membuang

benda-benda

yang

dapat

menyebabkan

kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan
atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan;
dan
m. mengeluarkan,

membawa,

dan

mengangkut

tumbuh-

tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undangundang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari
pejabat yang berwenang.

(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut
tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pasal ini berisi larangan-larangan yang tidak boleh di langgar
oleh masyarakat baik yang mendapatkan izin membakar maupun tidak
mendapat izin.23
b.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan hidup.
Pasal 21 ayat (3) huruf c
(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:24
c. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Jadi dalam pasal ini kebakaran hutan merupakan salah satu
kriteria baku kerusakan ekosistem.

c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Kerusakan Hutan.
Pasal 6

23

Pasal 50, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 21, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
hidup.

24

(1) Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah membuat
kebijakan berupa:
a. koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan;
b. pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan
hutan;
c. insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian
hutan;
d. peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis
sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan
e. pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan.
(2) Pemerintah

dan

Pemerintah

Daerah

sesuai

dengan

kewenangannya menetapkan sumber kayu alternatif dengan
mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan
teknologi pengolahan.
(3) Selain membuat kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
upaya

pencegahan

perusakan

hutan

dilakukan

melalui

penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta
masyarakat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sumber kayu alternatif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Menteri.25
Dalam pasal ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah
membuat suatu kebijakan untuk mencegah terjadinya kerusakan
hutanyang dilakukan melalui penghilangan kesempatan dengan
meningkatkan peran serta masyarakat.
Pasal 7
Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan
hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan
hutan.26
Pasal 8
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan
pemberantasan perusakan hutan.
(2) Pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara menindak
secara hukum pelaku perusakan hutan, baik langsung, tidak
langsung, maupun yang terkait lainnya.

25

Pasal 6, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Kerusakan Hutan.
26
Ibid Pasal 7.

(3) Tindakan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan.27
Dalam

pasal

ini

pemerintah

berekewajiban

melakuakan

pemberantasan perusakan hutan cara menindak secara hukum pelaku
perusakan hutan, baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait
lainnya.
Pasal 9
Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana perusakan hutan dilakukan
berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-Undang ini.28
Pasal 10
Perkara perusakan hutan harus didahulukan dari perkara lain untuk
diajukan ke sidang pengadilan guna penyelesaian secepatnya.29
d. Peraturan

Pemerintah

Nomor

45

Tahun

2004

Perlindungan Hutan
Pasal 1 ayat (1)
27

Pasal 8, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Kerusakan Hutan.
28
Ibid Pasal 9.
29
Ibid Pasal 10.

tentang

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan
membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,
yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,
daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan
dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas
hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat
yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Pasal ini30 berisi tentang usaha untuk mencegah dan
membatasi kerusakan hutan yang di sebabkan oleh manusia
dan faktor-faktor lainnya serta hak-hak atas hutan.
Pasal 6 huruf a
Prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi:
a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan
hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.31
Pasal ini berisi penjelasan tentang prinsip-prinsip perlindungan
hutan yang meliputi tentang mencegah dan membatasi kerusakan
hutan.

30
31

Pasal 1 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Ibid Pasal 6 huruf a.

Pasal 8 ayat (4) huruf b
(4)

Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) meliputi :
b. mengamankan areal kerjanya yang menyangkut hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan termasuk tumbuhan dan
satwa;32
Dalam pasal ini berisi perlindungan hutan dimana seseorang

yang areal tempat dia bekerja terdapat hutan dan juga makhluk
harus melindunginya.
Pasal 10 ayat (2) huruf b
(2) Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi kegiatan antara lain :
b.

pencegahan,

pemadaman

dan

penanganan

dampak

kebakaran;33
Jadi pada pasal ini kegiata perlindungan hutan dapat dilakukan
dengan pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak
kebakaran.
Pasal 18

32
33

Pasal 8 ayat (4) huruf b, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Ibid Pasal 10 ayat (2) huruf b.

1) Perlindungan hutan dari kebakaran sebagaimana dimaksud
pada Pasal 6 huruf a, adalah untuk menghindari kerusakan
hutan yang disebabkan oleh:
a. perbuatan manusia;
b. daya-daya alam.
2) Perbuatan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, antara lain :
a. melakukan pembakaran hutan tanpa izin; atau
b. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan
kebakaran.
3) Daya-daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, antara lain akibat petir, gunung berapi, reaksi sumber
daya alam dan atau gempa.34
Maksud dari pasal ini adalah melindungi dari sumber-sumber
penyebab kebakaran seperti manusia dan faktor alam misalnya
seperti petir.
Pasal 19
1) Setiap orang dilarang membakar hutan.
2) Pengecualian dari larangan membakar hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperbolehkan dilakukan secara

34

Pasal 18, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat
dielakkan, meliputi :
a. pengendalian kebakaran hutan;
b. pembasmian hama dan penyakit;
c. pembinaan habitat tumbuhan dan satwa;
3) Pelaksanaan pembakaran hutan untuk tujuan khusus atau
kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus mendapat izin dari pejabat yang
berwenang.
4) Pembakaran hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang
tidak dapat dielakkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Menteri.35
Dalam pasal ini menjelaskan bahwa pembakaran hutan dapat
dilakukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dapat dielakan seperti
serangan oleh hama dan hal tersebut harus mendapat izin
sebelumnya.
Pasal 20
1) Untuk mencegah dan membatasi kerusakan. hutan yang
disebabkan oleh kebakaran sebagaimana dimaksud pada
Pasal 6 huruf a, dilakukan kegiatan pengendalian, yang
meliputi :
35

Pasal 19, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

a. pencegahan;
b. pemadaman;
c. penanganan pasca kebakaran.
2) Kegiatan pengendalian kebakaran hutan dilakukan pada
tingkat :
a. nasional;
b. provinsi;
c. kabupaten/kota;
d. unit atau kesatuan pengelolaan hutan.
3) Pengendalian kebakaran hutan tingkat nasional dilakukan
oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri.
4) Pengendalian kebakaran hutan tingkat provinsi dilakukan
oleh dan menjadi tanggung jawab Gubernur.
5) Pengendalian kebakaran hutan tingkat kabupaten/kota
dilakukan

oIeh

dan

menjadi

tanggung

jawab

Bupati/Walikota.
6) Pengendalian

kebakatan

hutan

tingkat

kesatuan

pengelolaan hutan dilakukan oleh dan menjadi tanggung
jawab Kepala Kesatuan Pengelo1aan Hutan.

Pada pasal berisi tentang perlindungan hutan terhadap hutan
dimualai dari pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca
kebakaran.36
Pasal 21
1) Pada tingkat nasionaI Menteri menetapkan program
pengendalian .kebakaran hutan tingkat nasional.
2) Pada tingkat provinsi Gubernur menetapkan program
pengendalian kebakaran hutan tingkat provinsi
3) Pada tingkat kabupaten/kota, Bupati/Walikota menetapkan
rencana pengendalian kebakaran hutan.
4) Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan, Kepala Kesatuan
Pengelolaan

Hutan

menetapkan

rencana

kegiatan

pengendalian kebakaran hutan.37
Pada pasal mentakan bahwa program pengendalian kebakaran
hutan

dilaksanakan

pada

tingkat

nasional,

provinsi,

kabupaten/kota, sampai kesatuan pengelola hutan.
Pasal 22
1) Dalam

pelaksanaan

pengendalian

kebakaran

hutan,

Pemerintah membentuk lembaga pengendalian kebakaran

36
37

Pasal 20, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Ibid Pasal 21.

hutan pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan unit
pengelolaan hutan.
2) Lembaga pengendalian kebakaran hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disebut brigade pengendalian
kebakaran hutan.
3) Brigade pengendalian kebakaran hutan sebagaimana
dimaksud

pada

ayat

(2)

bertugas

menyusun

dan

melaksanakan program pengendalian kebakaran hutan.
4) Koordinasi dan tata hubungan kerja brigade pengendalian
kebakaran hutan diatur dengan Keputusan Menteri.38
Pada pasal ini berisi tentang lembaga yang di betuk oleh
pemerintah untuk mengendaliakn kebakaran hutan dan bertugas
untuk menyusun dan melaksanakan program pengendaliaj
kebakaran hutan.
Pasal 23
1) Dalam rangka pencegahan kebakaran hutan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 20 ayat ( 1) huruf a, dilakukan
kegiatan:
a. Pada tingkat nasional, antara lain :
1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional;
2. mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan;
38

Pasal 22, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

3. menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat;
4. menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran
hutan;
5.membuat

program

penyuluhan

dan

kampanye

pengendalian kebakaran;
6. menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran;
dan
7. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
b. Pada tingkat provinsi, antara lain :
1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan provinsi;
2. membuat model-model penyuluhan;
3. melaksanakan pelatihan pencegahan kebakaran hutan;
4.

membuat

petunjuk

pelaksanaan

pemadaman

kebakaran hutan;
5. mengadakan peralatan pemadam kebakaran hutan;
dan
6. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
c. Pada tingkat kabupaten/kota, antara lain :
1. melakukan evaluasi lokasi rawan kebakaran hutan;
2. melaksanakan penyuluhan;
3. membuat petunjuk teknis pelaksanaan pemadaman
kebakaran hutan;
4. mengadakan peralatan kebakaran hutan; dan

5. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
d. 1. Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan produksi,
kesatuan

pengelolaan

hutan

lindung,

izin

pemanfaatan hutan, izin penggunaan kawasan hutan
dan hutan hak, antara lain:
a) melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran
hutan;
b) menginventarisasi faktor penyebab kebakaran;
c) menyiapkan regu-regu pemadam kebakaran;
d) membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran
hutan;
e) mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan;
dan
f) membuat sekat bakar .
2. Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan konservasi,
antara lain:
a) melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran
hutan;
b) menginventarisasi faktor penyebab kebakaran;
c) menyiapkan regu-regu pemadam kebakaran;
d) membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran
hutan;

e) mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan;
dan
f) membuat sekat bakar.
2) Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan pencegahan
kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur oleh Menteri.39
Pada pasal ini berisi tentang kegiatan-kegiatan apa saja yang
dilakukan dalam melaksanakan pencegahan pembakaraan hutan
baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, sampai satuan
pengelola hutan.
Pasal 24
1) Dalam

rangka

pemadaman

kebakaran

sebagaimana

dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf b, maka setiap
Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin
Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau
Kepala

Kesatuan

Pengelolaan

Hutan,

berkewajiban

melakukan rangkaian tindakan pemadaman dengan cara :
a. melakukan deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. mendayagunakan seluruh sumber daya yang ada;
c. membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api;

39

Pasal 23, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

d.memobilisasi

masyarakat

untuk

mempercepat

pemadaman.
2) Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang izin
Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan melakukan :
a. koordinasi dengan instansi terkait dan tokoh masyarakat
dalam rangka mempercepat pemadaman, evakuasi,
litigasi dan mencegah bencana;
b. pelaporan kepada Bupati/Walikota tentang kebakaran
hutan yang terjadi dan tindakan pemadaman yang
dilakukan.
3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, Bupati/Walikota melakukan :
a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan koordinasi
instansi terkait dan tokoh masyarakat;
c. penyampaian laporan kepada Gubernur dan Menteri
tentang kebakaran hutan yang terjadi, tindakan yang
sudah dan akan dilakukan.
4) Berdasarkan informasi dan atau laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Gubernur melakukan :
a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;

b. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan koordinasi
instansi terkait dan tokoh masyarakat;
c. penyampaian laporan kepada Menteri tentang kebakaran
hutan yang terjadi, tindakan yang sudah dan akan
dilakukan.
5) Berdasarkan informasi dan atau laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3),dan ayat (4), Menteri melakukan:
a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. koordinasi dan mobilisasi tenaga, sarana dan prasarana
kebakaran hutan.
6) Dalam rangka koordinasi dan mobilisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf b, Menteri membentuk Pusat
Pengendalian Operasi Kebakaran Hutan.40
Dalam pasal ini Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang
Izin Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, berkewajiban melakukan
rangkaian tindakan pemadaman yang bekerja sama dengan
bupati/walikota.

Pasal 25

40

Pasal 24, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Koordinasi dan tata hubungan kerja pemadaman kebakaran
sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 diatur dengan Keputusan
Menteri.41
Pasal 26
Untuk membatasi meluasnya kebakaran hutan dan mempercepat
pemadaman kebakaran setiap orang yang berada di dalam dan di
sekitar hutan wajib :
a. melaporkan kejadian kebakaran hutan kepada Kepala Desa
setempat,

petugas

Kehutanan,

Kepala

Kesatuan

Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan,
Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik
Hutan Hak;
b. membantu memadamkan kebakaran hutan.42
Dalam pasal ini setiap orang wajib meleporkan kejadian
kebakaran hutan kepada pihak yang tau cara mengatasi kebakaran
hutan agar kebakaran cepat dapat di padamkan.
Pasal 27

41
42

Pasal 25, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Ibid Pasal 26.

Dalam rangka penanganan pasca kebakaran hutan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf c, dilakukan upaya kegiatan
yang meliputi:
a. identifikasi dan evaluasi;
b. rehabilitasi;
c. penegakan hukum.43
Jadi dalam dalam pasal ini untuk menangani pesca kebakaran
di lakukan identifkasi dan evaluasi, rehabilitasi, serta penegakan
hukum bagi para pelaku.
Pasal 28
1) Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin
Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan
Hutan, atau Pemilik Hutan Hak melakukan kegiatan
identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada
Pasa1 27 huruf a.
2) Kegiatan identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), berupa :
a. pengumpulan data dan informasi terjadinya kebakaran;
b. pengukuran dan sketsa lokasi kebakaran;
c. analisis tingkat kerusakan dan rekomendasi;

43

Pasal 27, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.44
Masih berhubnungan dengan Pasal 27, pada pasal ini Kepala
Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan,
Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, atau Pemilik Hutan
Hak melakukan kegiatan identifikasi dan evaluasi.
Pasal 29
1) Berdasarkan hasil kegiatan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 28 ayat (2), dilakukan kegiatan rehabilitasi.
2) Kegiatan rehabilitasi dilakukan oleh Kepala Kesatuan
Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan,
Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, atau Pemilik
Hutan Hak.
3) Kegiatan rehabilitasi diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersendiri. Bagian Ketiga Tanggung Jawab Pidana dan
Perdata 45
Selain itu juga Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang
Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan
Hutan, atau Pemilik Hutan Hak melakukan kegiatan rehabilitasi.

44
45

Pasal 28, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Ibid Pasal 29.

Pasal 30
1) Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin
Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak
bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal
kerjanya.
2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. tanggung jawab pidana;
b. tanggung jawab perdata;
c. membayar ganti rugi; dan atau
d. sanksi administrasi.46
Bagi para Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin
Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak bertanggung
jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya baik dalam
tangguang jawab pidana, perdata, membayar ganti rugi, maupun
sanksi administrasi.
Pasal 31

46

Pasal 30, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana kebakaran hutan
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.47

e. Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016

tentang

Pengendalian

Kebakaran Hutan
Pasal 5
(1) Organisasi Dalkarhutla sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf

a

merupakan

organisasi

pelaksana

pengendalian

kebakaran hutan dan lahan.
(2) Organisasi Dalkarhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dibentuk berdasarkan:
a. Tingkat Pemerintahan;
b. Tingkat Pengelolaan.48
Dalam pasal ini Menteri lingkungan hidup dan kehutanan
mendirikan suatu organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan
(Dalkarhutla) dengan tujuan terjaminnya efektifitas dan efisiensi
jangkauan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Pasal 65
47

Pasal 31, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Pasal 5, Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR
P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan.

48

Kegiatan Dalkarhutla, sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. perencanaan;
b. penyelenggaraan pencegahan;
c. penyelenggaraan penanggulangan;
d. penyelenggaraan penanganan pasca kebakaran;
e. koordinasi kerja;
f. status kesiagaan.49
Pasal ini menyebutkan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh
dalkarhutla dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Pasal 69
1) Penyelenggaraan
pemberdayaan

pencegahan
masyarakat,

karhutla

mencakup

penyadartahuan,

pengurangan

resiko karhutla, kesiapsiagaan, pelaksanaan peringatan dini dan
patroli pencegahan.
2) Kegiatan pencegahan karhutla sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi:
a. penerapan agroforestry, agro silvo pastura, silvo pastura dan
kegiatan sejenisnya;
b. sosialisasi dan/atau penyuluhan pencegahan karhutla melalui
berbagai ragam metode;
49

Pasal 65, Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR
P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan.

c. kampanye pencegahan kebakaran hutan dan lahan dalam
rangka penyadarantahuan pencegahan karhutla;
d.

pembuatan

bahan

kampanye

dan/atau

alat

peraga

pencegahan karhutla;
e. gerakan pencegahan karhutla;
f. pendampingan masyarakat peduli api;
g. praktek pembukaan lahan tanpa bakar;
h. pembuatan dan/atau pengelolaan sekat bakaran;
i. pembuatan kompos hasil limbah vegetasi;
j. pengelolaan bahan bakaran;
k. pembuatan sekat kanal, embung dan kantong air;
l. pemantapan organisasi dan prosedurnya;
m. simulasi mobilisasi berbagai tingkatan;
n. peningkatan koordinasi melalui rapat kerja, rapat koordinasi,
kunjungan kerja dan lain-lain;
o. peringatan dini dan aplikasi sistem peringkat bahaya
kebakaran atau sistem sejenisnya;
p. pembuatan, pemasangan dan sosialisasi rambu-rambu dan
papan peringatan pencegahan karhutla;
q. pembuatan, penyajian dan penyebar-luasan informasi
kerawanan karhutla melalui peta atau sejenisnya;

r. pembuatan, penyajian dan penyebar-luasan informasi
sumberdaya pengendalian karhutla nasional, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan dan desa; dan
s. patroli pencegahan dalkarhutla.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pencegahankarhutla
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal.50
Dalam pasal ini menjelaskan tentang apa saja kegiatan dalam
penyelenggaraan pencegahan karhutla yang mencangkup mencakup
pemberdayaan masyarakat, penyadartahuan, pengurangan resiko
karhutla, kesiapsiagaan, pelaksanaan peringatan dini dan patroli
pencegahan.
Pasal 71
(1) Penyelenggaraan penanggulangan karhutla, meliputi:
a. deteksi dini;
b. pemadaman awal;
c. koordinasi pemadaman;
d. mobilisasi pemadaman;
e. pemadaman lanjutan;
f. demobilisasi pemadaman;

50

Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016
tentang Pengendalian Kebakaran Hutan Pasal 69.

g. evakuasi dan penyelamatan.
(2) Kegiatan penanggulangan karhutla meliputi:
a. penerapan deteksi dini melalui berbagai macam metode
pengamatan seperti deteksi melalui menara pengawas, aplikasi
berbagai jenis kamera/CCTV, penginderaan jauh (potret udara
atau citra satelit);
b. pengolahan data dan informasi hotspot;
c. penyebarluasan data dan informasi hotspot;
d. penetapan level kesiagaan;
e. penetapan Posko dalkarhutla;
f. pelaksanaan pengukuran api (size up);
g. pendirian posko lapangan;
h. pemadaman langsung;
i. pembuatan ilaran api;
j. pemadaman tidak langsung;
k. dukungan pemadaman udara;
l. penyapuan bara api atau mopping up;
m. keselamatan diri.
(3) Evakuasi dan penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf g, berupa dukungan evakuasi dan penyelamatan dilakukan
terhadap:
a. korban manusia yang berasal dari penduduk sekitar lokasi
kebakaran atau personil Dalkarhutla

b. tumbuhan langka dan satwa liar (TSL) yang memungkinkan
untuk dievakuasi.
c. aset publik berupa fasilitas umum yang bersifat vital dan berada
di sekitar areal bencana.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penanggulangan
karhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal.51
Pasal ini menjelaskan tentang Penyelenggaraan penanggulangan
karhutla dimulai dari jenisnya, kegiatan penyelenggaraan karhutla dan
evakuasi bagi korban.
Pasal 73
(1) Penyelenggaraan penanganan pasca karhutla, meliputi:
a. pengawasan areal bekas terbakar;
b. inventarisasi luas karhutla;
c. penaksiran kerugian; dan
d. koordinasi penanganan pasca karhutla.
(2) Kegiatan penanganan pasca karhutla, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi:
a. penaksiran luas;
b. analisa vegetasi bekas terbakar;

51

Pasal 71, Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR
P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan.

c. penaksiran kerugian;
d. rekomendasi pelaksanaan rehabilitasi areal bekas terbakar
e. investigasi sebab-sebab kebakaran;
f. melakukan penandaan dengan garis Polisi dan/atau garis PPNS
Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
g. detasering terhadap areal pasca karhutla;
h. melakukan penyidikan; dan
i. monitoring dan menindaklanjuti segala hal terkait pelaksanaan
penanganan proses penegakan hukum bidang karhutla.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penanganan pasca
karhutla sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lanjut
dengan Peraturan Direktur Jenderal.52
Dalam pasal ini menjelaskan tentang penyelenggaraan penanganan
pasca karhutla seperti kegiatannya yang harus di lakukan dalam
menangani pasca kebakaran hutan.

3. Peraturan Daerah
a. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun
2003 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Pasal 3

52

Peraturan Menteri Linkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016
tentang Pengendalian Kebakaran Hutan Pasal 73.

Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan/atau
pencemaran lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan.53
Pasal 4
Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau
lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/lahan di lokasi
usahanya.54
Dalam pasal ini dijelakan bahwa setiap p