Sistem Penentuan Dana OTSUS dan Realisas

ANALISIS REALISASI DANA OTONOMI KHUSUS DI PAPUA
DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK

ABSTRAK
Indonesia sebagai Negara Kesatuan, mewadahi banyak keragaman budaya yang
tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di tanah air
terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang. Berbagai suku, bahasa,
agama, sosial budaya, dan adat istiadat tumbuh subur di pelosok Nusantara dari
waktu ke waktu, dari masa ke masa termasuk daerah paling timur Indonesia,
Papua.
Kebijakan otonomi Khusus merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis
dalam

rangka

peningkatan

pelayanan,

akselerasi


pembangunan,

dan

pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua.
Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi
Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah air, serta akan
memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai
subjek sekaligus objek pembangunan.
Namun pada kenyataannya kebijakan yang telah bergulir setidaknya 10 tahun,
bagi papua dan papua barat seolah tidak mempengaruhi peningkatan
pembangunan apapun di daerah yang terkenal dengan berbagai kekayaan alam itu.
Banyak hal yang mempengaruhi masih sulitnya perkembangan pembangunan
ekonomi pada daerah tersebut, dua diantaranya dalah adanya inefektivitas
penyaluran dana dan berbagai penyimpangan dana yang terjadi.

Keyword : Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, Ekonomi Politik

LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai Negara Bangsa (Nation State), mewadahi banyak keragaman

budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang
tumbuh di tanah air terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang.
Berbagai suku, bahasa, agama, sosial budaya, dan adat istiadat tumbuh subur di
pelosok Nusantara dari waktu ke waktu, dari masa ke masa.
Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu—yang
menitikberatkan pada sistem yang terpusat (sentralistik) serta menggunakan
pendekatan keamanan—merupakan salah satu pemicu munculnya ketidakadilan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Papua, kondisi itu menjadi pemicu
munculnya pergolakan di masyarakat yang ditampilkan dalam berbagai bentuk
reaksi, antara lain, munculnya gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari
NKRI.
Presidium Dewan Papua, pada awal tahun 2002, menerbitkan sebuah buku
karangan Yorrys Th. Raweyai, dengan judul Mengapa Papua Ingin Merdeka.
Judul bukunya mengundang pertanyaan yang sama di banyak kalangan; mengapa
Papua (Irian) ingin merdeka? Pertanyaan itu lahir dari indikasi masih adanya
gerakan di Papua yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Organisasi Papua Merdeka (OPM), bendera Bintang Kejora,
dan semangat sebagian kaum muda Papua untuk memisahkan diri dari NKRI,
masih belum padam.
Untuk meredam keinginan sebagian rakyat Papua memisahkan diri dari

NKRI serta guna mempercepat pembangunan di Papua dan memperkecil
kesenjangan, Pemerintah mulai memberikan perhatian yang sungguh-sungguh
kepada Provinsi Papua dan Papua Barat agar dapat tumbuh dan berkembang
sebagaimana wilayah lain di tanah air. Pada tahun 1999, Pemerintah menerbitkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 19992 tentang Pemerintahan Daerah.
Pengaturan dalam Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri. Namun, ruang
yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu dianggap masih

belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat
Papua, baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah
Papua.
Berbagai kalangan di Papua menuntut untuk mengembangkan kekhasan
budayanya dalam konteks NKRI melalui kebijakan pada tingkat nasional yang
bersifat khusus. Aspirasi dan tuntutan yang berkembang itu, kemudian direspon
oleh pemerintah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus bagi
Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi
Pemerintah Daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri
sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula

tanggung jawab yang lebih besar bagi Pemerintah Daerah dan rakyat Papua untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di
Papua bagi kemakmuran rakyat Papua.
Kebijakan otonomi Khusus merupakan suatu kebijakan yang bernilai
strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan
pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua.
Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi
Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah air, serta akan
memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai
subjek sekaligus objek pembangunan.
TUJUAN PENELITIAN
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui realisasi dan dampak dari dana otonomi
khusus yang diberikan pemerintah kepada papua melalui prespektif ekonomi
politik.
PEMBAHASAN
Dana Otonomi Khusus
UU No. 21 Tahun 2001 mengamanatkan pemberian dana Otonomi Khusus oleh
Pemerintah Pusat kepada tiga daerah, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, dan

Nangroe Aceh Darussalam. Tujuan pemberian dana Otonomi khusus tersebut

adalah untuk menyejahterakan dan memajukan rakyat Papua. Secara khusus, dana
Otonomi khusus diperuntukkan bagi pengembangan pendidikan dan kesehatan
rakyat Papua. Sepanjang 2002-2010 Pemerintah Pusat telah menggelontorkan
dana Otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat senilai
total Rp 28,84 triliun.
Sayangnya, selama 10 tahun UU Otonomi khusus yang telah dilaksanakan masih
terdapat banyak penyimpangan dalam penggunaan dana Otonomi khusus tersebut.
Dari total Rp 19,12 triliun yang telah disalurkan sejak 2002 hingga 2010, Rp
28,94 miliar diselewengkan dalam bentuk proyek fiktif, Rp 218,29 miliar dalam
bentuk kelebihan pembayaran atau pembayaran yang tidak sesuai ketentuan, dan
Rp 17,22 miliar dalam bentuk proyek terlambat dan tidak didenda. Sepanjang
peridoe yang sama pula dana Otonomi khusus senilai Rp 2,35 triliun oleh
Pemprov Papua dan Pemprov Papua Barat justru didepositokan di Bank Mandiri
dan Bank Papua.
Dalam penerapannya pemerintah malah makin giat menggelontorkan Dana
Otonomi Khusus pada 3 daerah di Indonesia yaitu Aceh, Papua dan Papua Barat.
Dalam APBN 2013, Dana Otonomi Khusus direncanakan sebesar Rp13,2 triliun.
Angka ini naik Rp1,3 triliun dari APBN-P 2012. Dana sebesar itu akan
dialokasikan masing-masing untuk Provinsi Papua Rp 4,3 triliun; Papua Barat Rp
1,8 triliun; dan Aceh Rp 6,1 triliun. Hal ini berarti kawasan Papua tahun ini

mendapatkan Dana Otonomi Khusus Sebesar Rp 6,1 triliun. Selain diberikan dana
otonomi khusus, kepada Provinsi Papua dan Papua Barat juga dialokasikan dana
tambahan infrastruktur sebesar Rp1 triliun.

Tabel Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur pada Papua
dan Papua Barat 2002 – 2013
Tahun

Papua

Papua Barat

2002

Rp 1,38 Triliun

2003

Rp 1,53 Triliun


2004

Rp 1,64 Triliun

2005

Rp 1,77 Triliun

2006

Rp 3,48 Triliun

2007

Rp 4,04 Triliun

2008

Rp 3,92 Triliun


2009

Rp 4,07 Triliun

Rp 1,71 Triliun

2010

Rp 3,49 Triliun

Rp 1,75 Triliun

2011

Rp 3,90 Triliun

Rp 1,39 Triliun

2012


Rp 3,89 Triliun

Rp 1,68 Triliun

2013

Rp 4,9 Triliun

Rp 2,2 Triliun

Dana Otonomi Khusus
dan Dana Tambahan
Infrastruktur untuk
Papua Barat mulai
diberikan pada tahun
2009

Sumber : Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia untuk Dana Otonomi Khusus Papua diolah

PDRB Papua

Sejak otonomi khusus diberlakukan selama sepuluh tahun ini, perubahan tidak
berjalan dengan optimal. Keberadaan dana otonomi khusus nampaknya tidak
berdampak signifikan terhadap pembangunan daerah. PDRB Papua sejak
diberlakukannya dana otonomi khusus pada tahun 2002 perubahan PDRB di
Papua hanya berubah sedikit, dan kemungkinan juga ditimbulkan karena inflasi.
Pada tahun 2000 dan 2001 PDRB Papua adalah sebesar Rp 18,41 milyar dan Rp
21,6 milyar. Sedangkan setelah dana otonomi khusus diberlakukan ternyata PDRB
hanya meningkat menjadi Rp 22,55 milyar (2003), Rp 23,89 milyar (2004), Rp
24,84 (2005), lalu setelah provinsi Papua terbagi menjadi Papua dan Papua Barat,
PDRB provinsi Papua yang baru berkembang cukup pesat menjadi Rp 43,61
milyar (2005), Rp 46,89 (2006), Rp 55,38 (2007), Rp 54,73 (2008), Rp 68,35
(2009), dan Rp 89,451 (2010).

Index Pembangunan Manusia dan Angka Kemiskinan
Salah satu alasan utama bagi pemerintah untuk menerepkan kebijakan tersebut
adalah untuk mencapai pemerataan dalam hal ekonomi. Bila dilihat dai beberapa
aspek ekonomi seperti, Papua memang mengalami ketertinggalan. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di Papua menunjukkan bahwa Provinsi Papua
termasuk daerah yang belakang. Pada tahun 1996, IPM Provinsi Papua sebesar
60,2 dengan peringkat kedua terbawah setelah Nusa Tenggara Barat dan lebih

rendah daripada IPM nasional sebesar 67,7. Namun, sayangnya kebijakan
Otonomi Khusus tidak mengatasi ketertinggalan provinsi tersebut. Hingga tahun
2009, Provinsi Papua masih berada di posisi bawah. Dari 33 provinsi, Papua
malah menempati posisi terakhir dengan IPM sebesar 64,53 (IPM nasional
sebesar 71,76).
Kemudian dalam hal angka kemiskinan, Provinsi Papua juga masih terpuruk.
Selama sembilan tahun sejak diterapkannya kebijakan tersebut, angka kemiskinan
di Papua masih tinggi.
Pada tahun 1999, jumlah penduduk Provinsi Papua yang berada di bawah garis
kemiskinan sebanyak satu juta jiwa, meningkat dari tahun 1996 sebesar 830 ribu
jiwa. Pada tahun 2010, jumlah penduduk yang berada di bawah kemiskinan di
Provinsi Papua sebesar 761 ribu jiwa dan 256 ribu jiwa di Provinsi Papua Barat,
menempati posisi pertama dan kedua dengan persentase jumlah penduduk miskin
terbanyak di Indonesia.
Efektivitas Dana Otsus
Bagaimana dampak dana Otsus terhadap kesejahteraan masyarakat Papua dan
Papua Barat? Dari sisi implementasi, ada peningkatan pada angka partisipasi
sekolah, angka melek huruf, dan rata-rata lama sekolah, penambahan infrastruktur
kesehatan dan tenaga medis, serta penurunan persentase penduduk miskin. Pada
2011, persentase penduduk miskin di Papua 31,98 persen, sedangkan di Papua
Barat 28,2 persen. Namun, menurut Gubernur Papua Barat Abraham Atururi,
meski ada penurunan persentase penduduk miskin, Papua Barat masih menempati
urutan kedua provinsi termiskin. Jumlah pengangguran terbuka juga masih

berkisar 5,5 persen, kendati sudah menurun ketimbang tahun 2009 sebesar 7,73
persen. Jika melihat tren persentase penduduk miskin pada gambar 2, maka
terlihat sebetulnya dana Otsus tidak berdampak signifikan.

Persentase Kemiskinan di Papua dan Papua Barat

Senada dengan penjelasan grafik tersebut, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian
Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa hasil evaluasi hasil
penelitian Kemendagri, LAN dan Partnership menunjukan bahwa sedikitnya
terdapat dua level kelemahan implementasi Otsus yang perlu segera dibenahi,
pertama pada level kebijakan yang terlihat dari belum adanya petunjuk teknis
sebagai penjabaran dari UU Otsus, belum ditetapkannya Perdasus tentang
pembagian, pengelolaan serta penerimaan keuangan sebagai bagian dari
implementasi otsus, dan pola hubungan kerja yang belum terbangun secara
sinergis antara eksekutif, legislatif dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di daerah.
Sedangkan yang kedua terletak pada level implementasi kebijakan. Menurut
Djohermansyah, hal ini terlihat pada kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
pelaksanaan otsus, kuantitas dan kualitas pelaksana otsus yang masih terbatas,
MRP yang masih multitafsir dan upaya yang dilakukan oleh Pemda dalam
implementasi otsus belum maksimal. Untuk itu, ke depan Kemendagri melalui
Dirjen Otda akan mengevaluasi implementasi otsus setiap tahun.

Pada awalnya, Otsus sangat didukung oleh pemangku kebijakan publik di Papua,
sebagaimana tercermin dari pernyataan Gubernur Papua pada saat itu, JP Salossa.
“Sekitar 75 persen warga Papua diperkirakan masih hidup di bawah garis
kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan
udara di daerah itu. Sarana dan prasarana transportasi di Papua sangat
berpengaruh terhadap kehidupan warga masyarakat Papua,” Gubernur merasa
optimis dengan pemberlakuan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua dapat
mengangkat ketertinggalan dan kemiskinan masyarakat di Tanah Papua.

Alokasi Dana Otsus tahun 2002 – 2012 Data dikompilasi dari BPS dan Ditjen Keuangan Daerah Kemdagri.

Sayangnya, sebagaimana terjelaskan pada gambar 3 yang membandingkan alokasi
dana Otsus dengan penduduk miskin dan indeks pembangunan manusia, alokasi
tersebut tidak mampu menjadi pengungkit signifikan. Alih-alih meningkatkan,
terlihat jumlah penduduk miskin masih tinggi, dan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) masih jauh di bawah rata-rata nasional, yaitu 72.
Mengapa terjadi inefektivitas?
Kami merangkum dari sejumlah hasil evaluasi dan penelitian, dan menyimpulkan
tiga penyebab utama pengelolaan inefektivitas:
Ruang partisipasi masyarakat dalam pengawasan masih terbatas. Salah satu
indikasinya ialah akses masyarakat sipil terhadap dokumen publik terkait

perencanaan dan penganggaran di Papua dan Papua Barat. Di satu sisi memang
Otsus memberi peluang bagi Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun, lembaga ini
harus lebih banyak diberi peran dalam memfasilitasi masyarakat sipil dalam
mendapatkan hak atas informasi publik. Prinsip transparansi dalam tata
pemerintahan yang baik sesungguhnya memberi kesempatan bagi masyarakat
untuk dapat terlibat dalam memantau pelayanan publik agar lebih berkualitas.
Partisipasi ini akan memungkinkan terjadinya verifikasi kualitas pelayanan
publik, sekaligus meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap hasil-hasil
pembangunan. Tidak tersedianya data yang dapat diakses oleh masyarakat sipil
dan bahkan pemerintah pusat tentu semakin menimbulkan pertanyaan lanjutan
bagaimana dana otsus dikelola oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat,
apakah dapat akuntabel? Dengan indikasi penyelewengan dana Otsus sebesar Rp
4,12 triliun sebagaimana temuan BPK maka aspek transparansi ini patut menjadi
prioritas untuk diselesaikan.
Mekanisme transfer bersifat tanpa syarat tertentu. Peraturan Menteri Keuangan
mengenai besaran dana otsus Papua dan Papua Barat setiap tahun memang
menyebutkan prioritas penggunaan untuk pendidikan dan kesehatan, namun tidak
disertai prasyarat tertentu supaya pemerintah di kedua provinsi dan kabupaten /
kota tidak mendapatkan transfer terlalu mudah. Secara jumlah juga menunjukkan
peningkatan yang signifikan. Pengalaman di banyak tempat dan berbagai negara
berkembang dan negara maju menunjukkan transfer tanpa syarat cenderung
menjadi disinsentif karena membuat pemerintah daerah lebih mengandalkan dana
tersebut ketimbang penerimaan daerah. Dampak lanjutannya ialah kondisi ilusi
fiskal, di mana dana transfer khusus ini tidak mampu meningkatkan
perekonomian daerah, dan hingga masa tenggat 25 tahun (berarti tersisa 13 tahun
lagi) berpotensi kedua provinsi tetap bergantung pada anggaran dari pusat.
Koordinasi lintas K/L dalam pengawasan perlu ditingkatkan. Salah satu
indikasinya ialah masing-masing Kementerian / Lembaga melakukan monitoring
dan evaluasi yang terpisah untuk kepentingan yang berbeda. Kementerian Dalam
Negeri secara berkala melakukan evaluasi bertahap pelaksanaan otsus, bekerja
sama dengan organisasi non-pemerintah. Contoh lain, monitoring dan evaluasi

Standar Pelayanan Minimum bidang Kesehatan, di mana jumlah Kabupaten di
Papua dan Papua Barat yang menyampaikan laporan tak mencapai 15%, jauh di
bawah provinsi lain yang sebagian besar sudah mencapai 100%. Data
menunjukkan dari beberapa tahun sampai 2010 dan 2011 tidak ada perbaikan
signifikan, itupun validitas data belum dapat dijamin. Secara kerangka logis,
harapannya capaian di tingkat IPM tentu kemungkinan besar bakal tercapai jika
capaian antara, yaitu target capaian SPM dapat diraih.
Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Papua
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keungan (BPK) menemukan indikasi
penyimpangan dana Otonomi Khusus Papua sejak tahun 2002 - 2010 yang telah
dialokasikan oleh pemerintah pusat ke Prov Papua sebesar Rp 28 Trilyun.
Berikut temuan penyimpangan penggunaan dana Otsus Papua yang ditemukan
BPK:
1. Rp 566 miliar pengeluaran dana Otsus tidak didukung bukti yang valid. Dalam
pemeriksaan tahun 2010 dan 2011, ditemukan Rp 211 miliar tidak didukung bukti
termasuk realisasi belanja untuk PT TV mandiri Papua dari tahun 2006-2009
sebesar

Rp

54

miliar

tidak

sesuai

ketentuan.

Dan

Rp

1,1

miliar

pertanggunganjawaban perjalan dinas menggunakan tiket palsu. Serta temuan
sebelumnya belum sepenuhnya ditindaklanjuti Rp 354 miliar.
2. Pengadaan barang dan jasa melalui dana Otsus senilai Rp 326 miliar tidak
sesuai aturan. Antara lain: Pertama, Rp 5,3 miliar terjadi di Kota Jayapura tahun
anggaran 2008 tidak melalui pelelangan umum. Kedua pengadaan dipecah Rp
1.077.476.613 terjadi di Kabupaten Merauke tahun 2007 dan 2008. Ketiga,
pengadaan tanpa adanya kontrak Rp 10 miliar yang terjadi di Kabupaten
Kaimana, Papua Barat, tahun anggaran 2009. Di samping itu terdapat temuan
tahun 2002-2009 yang belum ditindaklanjuti Rp 309 miliar.
3. Rp 29 miliar dana Otsus fiktif. Dalam tahun anggaran 2010 terdapat Rp 22,8
miliar dana Otsus yang dicairkan tanpa ada kegiatan atau fiktif. Rincian kegiatan

fiktif tersebut: detail engineering design PLTA Sungai Urumuka tahap tiga Rp 9,6
miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua.
Kedua, detail engineering design PLTA Sungai Mambrano tahap dua Rp 8,7 miliar
pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Ketiga, studi potensi energi
terbarukan di 11 kabupaten Rp 3,1 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi
Provinsi Papua. Keempat, fasilitas sosialisasi anggota MRP periode 2010-2015,
Rp 827,7 miliar pada Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan
Masyarakat daerah tahun 2010. Sedangkan bagian tindak lanjut tahun sebelumnya
Rp 6 miliar.
4. Rp 1,85 triliun dana Otsus periode 2008-2010, didepositokan. Dengan rincian
Rp 1,25 triliun pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379012 per 20
November 2008. Rp 250 miliar pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379304
per 20 Mei 2009 dan Rp 350 miliar pada Bank Papua dengan no seri A09610 per
4 Januari 2010. Penempatan dana Otsus dalam bentuk deposito bertentangan
dengan pasal 73 ayat 1 dan 2 Permendagri 13 th 2006.
Menyinggung soal sah tidaknya penunjukan Bank Mandiri sebagai pemegang kas,
UU juga memungkinkan hal itu. “Sebagaimana bunyi pasal 179 Permendagri 13
Tahun 2006. Pasal 1 berbunyi, bendahara umum daerah adalah saya sebagai
Kepala BPKAD, menunjuk bank daerah yang sehat untuk mengelola penerimaan
dan pengeluaran kas. Ayat 2, penunjukan itu harus dengan keputusan Kepala
Daerah dan Ayat 3, harus beritahukan DPRP. Ketiga-tiganya kita penuhi,”.
Permasalahan Strategik yang Belum Terpecahkan
Salah satu alasan masyarakat Papua menuntut kemerdekaan dari Republik
Indonesia karena selama puluhan tahun mereka diperlakukan tidak adil oleh
Pemerintah Pusat, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan hak asasi
manusia. Masyarakat Papua

merasa tidak mendapatkan hak-hak politiknya

(political rights), tidak mendapatkan persamaan hak dan kewajibannya sebagai
warga bangsa, tidak terlibat langsung dalam proses pembangunan, serta tidak
mendapatkan keamanan dan ketentraman. Mereka juga merasa dianggap sebagai
warga negara kelas dua, baik dalam proses pembangunan nasional secara

keseluruhan maupun dalam proses pembangunan di daerahnya sendiri. Di sinilah
pentingnya Wawasan Nusantara dimana segenap komponen bangsa seiring,
sejalan, harmoni, dan bersama-sama membangun NKRI. Melalui pemahaman
Wawasan Nusantara yang komprehensif integral, masyarakat Papua akan tetap
menjadi bagian dari NKRI.
Demikian pula, hasil pembangunan yang belum memberikan manfaat
maksimal bagi masyarakat Papua selama puluhan tahun sangat mengecewakan
masyarakat Papua. Ungkapan kekecewaan itu disalurkan dalam bentuk tuntutan
kemerdekaan atau memisahkan diri dari NKRI. Masyarakat Papua memiliki
kesempatan untuk menyampaikan aspirasi itu secara terbuka setelah pemerintahan
Orde Baru jatuh dan muncul era reformasi.
Secara umum, permasalahan stratejik di tanah Papua yang belum
terpecahkan sampai saat ini, antara lain:
1. Belum terbangunnya hubungan sistemik antara Pemerintah dengan
Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat dalam menjalankan
program otonomi khusus di Papua dan Papua Barat untuk mewujudkan
tanah Papua yang mandiri, maju, dan sejahtera.
2. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Papua belum meningkat,
akses pelayanan kesehatan dan pendidikan sukar diperoleh dengan mudah.
3. Sumber daya manusia masih kurang dengan mimimnya anggota
masyarakat Papua terdidik.
4. Infrastruktur yang tidak memadai sehingga tidak dapat

menunjang

pertumbuhan ekonomi masyarakat.
5. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Percepatan Pembangunan belum
berjalan baik.
6. Sumber kekayaan alam belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal
bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Papua.

7. Masih adanya gerakan separatis yang akan memisahkan Papua dari NKRI
sehingga keutuhan NKRI tetap menjadi ancaman.
Ancaman Disintegrasi Gerakan Separatis Papua
Papua, pada awalnya dikenal dengan nama Irian Barat sejak tahun 1969 hingga
1973. Pada tahun 1973, Presiden Soeharto mengganti nama Irian Barat menjadi
Irian Jaya. Nama Irian Jaya tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2000.
Berdasarkan aspirasi masyarakat Papua yang menghendaki pengembalian nama
Irian Jaya menjadi Papua, DPRD Provinsi Irian Jaya, melalui Surat Keputusan
Nomor 7/DPRD/2000 tertanggal 16 Agustus 2000 mengembalikan nama Irian
Jaya menjadi Papua. Pada tahun 2004, wilayah Papua dibagi oleh Pemerintah
menjadi dua provinsi; wilayah bagian timur tetap memakai nama Provinsi Papua,
sedangkan wilayah bagian barat diberi nama Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar)
yang kemudian berubah nama menjadi Papua Barat.
Sebelum keluarnya UU No.21 tahun 2001, kerap terjadi gerakan-gerakan separatis
di Papua. Salah satu contoh gerakan separatis di Papua adalah Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Salah satu pemicu utama muncul gerakan-gerakan separatis
seperti OPM biasanya disebabkan karena adanya pembangunan yang tidak
merata, terutama di tanah Papua. Pada konsideran UU No. 21 tahun 2001 pada
poin d yang menyatakan bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan
keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah
Otonomi Khusus.
Dalam penyelenggaraan pembangunan di Papua, pemberlakuan Otonomi Khusus
yang telah berjalan selama sepuluh tahun ini (2002-2013) belum dapat
meningkatkan pemahaman yang sama terhadap proses pembangunan di Papua.
Pembangunan di Papua masih berjalan apa adanya. Belum banyak perubahan
yang berarti dalam peningkatan pembangunan di Papua. Pemahaman konsepsi
Wawasan Nusantara juga belum sepenuhnya difahami oleh seluruh elemen
masyarakat di Papua. Terbukti, beberapa gerakan separatis8 masih muncul dengan
kasat mata. Padahal, Kebijakan Otonomi Khusus telah diberlakukan di Papua.

Dengan demikian, perlu ditingkatkan hubungan sistemik antara pemerintah dan
pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan di Papua guna
mendukung Otonomi Khusus.
Kesimpulan
Meskipun dana Otonomi Khusus yang dikucurkan pemerintah ke Papua telah
mencapai Rp38 triliun sejak 2002 hingga tahun ini, tetapi angka itu tidak paralel
dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Belum paralelnya nilai dana yang
dikeluarkan untuk Papua dengan tingkat kesejahteraan menunjukkan Otonomi
Khusus belum berhasil memberdayakan masyarakat Papua secara merata.
Memang hal ini masih menjadi PR besar pemerintah pusat dan daerah karena
meski dana yang dikucurkan sudah mencapai Rp38 triliun akan tetapi angka
kemiskinan di daerah paling ujung Indonesia ini masih tinggi. Untuk itu
diperlukan kebijakan dan program yang tepat agar komitmen pemerintah dalam
memajukan daerah dan masyarakat Papua bisa berjalan efektif. Terdapat berbagai
hambatan yang membuat sistem Otonomi Khusus itu belum maksimal kalau tidak
dikatakan gagal. Salah satu hambatan itu adalah ketidaksempurnaan aturan
pelaksanaan UU Otonomi Khusus, termasuk Peraturan Daerah Khusus dan
Peraturan Daerah Provinsi. Selain itu, juga adanya kelemahan dalam pengendalian
dan pengawasan terhadap pengelolaan dana Otsus oleh pemerintah pusat.
Hambatan lainnya datang dari akibat lemahnya koordinasi antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dan di antara pemerintah daerah itu sendiri. Pada
bagian lain dari pidatonya, dia mengajak semua pihak untuk berpartisipasi dalam
membangun Papua agar ketimpangan kesejahteraan wilayah itu dengan provinsi
lain bisa dihilangkan. Dia menilai sangat ironis kalau Papua yang sangat kaya
dengan sumber daya alamnya, setelah 50 tahun kembali ke NKRI, namun
rakyatnya masih miskin.
Saran
Pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan ruang lebih terbuka bagi
partisipasi masyarakat dalam perencanaan, penganggaran, dan pemantauan dana
Otsus. Partisipasi ini paralel dengan upaya pemerintah pusat dalam menjamin

keterbukaan informasi publik. Partisipasi masyarakat dilakukan untuk menilai 3
hal di masing-masing tahap pelaksanaan kegiatan, yaitu; (a) efektivitas, atau
sejauh mana manfaat program dengan menggunakan dana Otsus dapat dirasakan
masyarakat; (b) kepatuhan terhadap prosedur, atau apakah ada sanksi terhadap
kecurangan dan penyelewengan; dan (c) akses, atau apakah masyarakat mudah
mendapatkan informasi penting yang diperlukan. MRP perlu berperan lebih
strategis dengan memfasilitasi masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan di
setiap tahap program.
Perbaikan mekanisme transfer. Pemerintah pusat perlu merumuskan perbaikan
mekanisme transfer dari tanpa syarat menjadi bersyarat. Prasyarat yang digunakan
dibuat secara bertahap sesuai situasi di Papua dan Papua Barat yang memang
memerlukan kebijakan afirmatif. Sebagai contoh, pada tahun pertama pemerintah
pusat mengenakan persyaratan pelaporan monev SPM pendidikan dan kesehatan
minimal 70%, kemudian tahun kedua target dinaikkan mencapai 100%, lalu tahun
ketiga dan berikutnya dikaitkan dengan validitas data. Dapat juga ditambahkan
pada 3 tahun terakhir masa otsus, syarat pencapaian SPM diberlakukan.
Koordinasi lintas K/L dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Kementerian
Dalam

Negeri,

Kementerian

Keuangan,

Kementerian

Pendidikan

dan

Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Keuangan, Badan
Pengawas Keuangan Pembangunan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi. Pemerintah pusat dapat membentuk tim lintas
K/L dalam memantau dan mengevaluasi program dan penggunaan dana Otsus dan
dikaitkan dengan syarat dalam perubahan mekanisme transfer. Setiap temuan
bermasalah tentu harus diusut, supaya tidak ada istilah ungkapan ‘Dana Otsus tak
perlu diusik karena sebagai sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka’.

Daftar Pustaka
Afan Gaffar, Pembangunan Politik di Dalam Imu Politik. 1989, CV. Rajawali,
Jakarta.

Gabriel Almond dan Bingham Powell Jr., Pendekatan Pembangunan Terhadap
system Politik. 1989, CV. Rajawali, Jakarta.
Irham Fahmi, 2006, Analisis Investasi dalam Perspektif Ekonomi dan Politik,
Refika Aditama, Bandung
Irham Fahmi, 2010, Pengangantar Politik Ekonomi, Alfabeta, Bandung
Anonim, 2010, Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan
Papua Barat, FTP:
http://www.kemitraan.or.id/uploads_file/20130131073026.Evaluasi%20Otsus
%20Papua%20dan%20Papua%20Barat.pdf diakses pada 9 Juni 2013
Anonim, 2013 DANA OTONOMI KHUSUS RP30 TRILIUN TAK EFEKTIF
BANGUN PAPUA , FTP: buletininfo.com Diakses pada 26 mei 2013