Arah Politik Hukum dan Pembangunan Hukum Masa Kini

Arah Politik Hukum dan Pembangunan Hukum Masa Kini
Pendahuluan
Politik Hukum di Indonesia mengalami perubahan terus menerus dari masa ke masa sesuai
dengan kehendak pemerintahan suatu negara. Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Lama tentu
saja berbeda dengan Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Baru.
Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Lama direpresentasikan oleh kehendak
pemerintahan yang berkuasa saat itu, yakni untuk membawa hukum yang cenderung diarahkan pada
pengawalan politik, di mana politik pada saat itu dianggap sebagai panglima. Artinya, politik dalam
negara Indonesia ketika itu kedudukannya diletakkan di atas segala-galanya, melebihi ekonomi maupun
hukum.
Politik Hukum semacam ini juga berlangsung pada masa Orde Baru, di mana pada masa ini
telah terjadi perubahan Politik Hukum oleh pemerintahan negara yang ada waktu itu. Pemerintahan Orde
Baru memiliki kecenderungan kuat ke arah Liberalisasi dan Kapitalisasi Sistem Ekonomi Indonesia. Ini
dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan UndangUndang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) pada Tahun 70-an ketika Soeharto baru berkuasa.
Aturan perundangan yang lahir setelahnya, kesemuanya mengacu pada arah sistem liberal kapital, bahkan
sampai terjadi de-regulasi, de-birokrasi, de-nasionalisasi melalui paket-paket aturan dari pemerintah
hingga menjelang akhir kejatuhan Orde Baru.
Paradoks-nya sistem ekonomi liberal kapital yang dikehendaki oleh Orde Baru ini adalah sitem
ekonomi Liberal Kapital yang abstrak/semu, oleh sebab sistem ini terbentuk bukan karena melalui
mekanisme ekonomi/pasar melainkan terbentuk karena campur tangan pemerintah sendiri dengan cara
menerapkan sistem politik yang tidak demokratis dan sistem pemerintahan yang sentralistik, otoriter, dan

represif.
Titik berat arah Politik Hukum yang diambil pemerintah saat itu adalah Pembangunan Nasional.
Pembangunan Nasional ini dimaknai sebagai pembentukan TRILOGI yakni Stabilitas Nasional yang
mantab, Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi, dan Pemerataan hasil-hasil Pembangunan. Oleh sebab itu
maka konsekwensi logis dari Trilogi Pembangunan ini adalah Kekuasaan Orde Baru yang dengan efisien
dan efektif digunakan mengendalikan kekuasaan politik di legislatif, kekuasaan birokrasi di eksekutif,
maupun kekuasaan hukum di yudikatif. Meski secara hukum, campur tangan presiden ke dalam
pengadilan tidak dibolehkan, tetapi itu tidak dapat menahan kekuatan politik Orde Baru untuk
mencampuri urusan pengadilan. Maka, kekuatan politik nyata (real politics) bekerja diam-diam dan tetap
menempatkan pengadilan di bawah kekuasaannya. Hal ini menunjukkan, independensi pengadilan hanya
di atas kertas, tidak dalam realitas di masyarakat yang sarat intervensi politik. Wajah hukum tampak
begitu "muram" dan terlebih ini ditegakkan dengan karakter aparat penegak hukum yang kejam, keras,
dan tanpa mempertimbangkan hak-hak asasi manusia yang juga seharusnya dilindungi oleh hukum acara.
Dapat dikatakan bahwa Politik Hukum pemerintahan Orde Baru adalah bahwa hukum
dikehendaki oleh pemerintah Orde Baru kearah pembangunan ekonomi semata. Hukum diciptakan untuk
mengontrol kekuatan politik dan hukum diterbitkan untuk melindungi investasi baik modal asing maupun
modal nasional.

Pokok Permasalahan
Seperti kita ketahui bersama bahwa setelah pemerintahan Orde Baru berkuasa sebagaimana

paparan pada latar belakang di atas, maka setelah itu adalah pemerintahan Orde Reformasi yang
memegang tampuk kekuasaan di Indonesia. Dengan demikian dapat dirumuskan ”Bagaimanakah Politik
Hukum dan Pembangunan Hukum Pemerintah Orde Reformasi saat ini?”

Pembahasan
Berdasarkan tujuan nasional, Strategi politik hukum masa kini adalah untuk
menghindari ancaman dalam bidang:
1. Politik dalam negeri
2. Ekonomi
3. Teknologi
Sejak tahun 1998, orde politik yang disebut reformasi bertolak belakang dengan watak orde
sebelumnya. Jika sebelumnya otoriter dan tertutup, orde 1998 mengedepankan akuntabilitas publik dan
keterbukaan (transparancy). Perubahan besar I tu amat berpengaruh terhadap penegakan hukum. Ibarat
kotak yang tertutup rapat lalu dibuka, isinya berhamburan seraya mengibarkan panji-panji demokrasi
rakyat, berani merangsek maju, mendobrak pintu kekuasaan yang sebelumnya angker, apakah itu
pemerintah, kejaksaan, pengadilan, atau lainnya. Demokratisasi dalam hukum melahirkan lembagalembaga independen, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi,
dan banyak komisi lainnya. Kekuasaan yang semula terpusat mulai didelegasikan ke daerah lewat
legislasi otonomi daerah yang menimbulkan banyak masalah.
Kita tidak bias melewatkan realitas perubahan politik ini karena berdampak pada pekerjaan
hukum. Kini pekerjaan hukum harus dapat berdiri sendiri secara otentik karena tidak ada lagi kekuasaan

dan kekuatan hegemonial yang mendukungnya. Hakim, jaksa legislator, menjadi bulan-bulanan rakyat
atas nama demokrasi, akuntabilitas, dan transparansi. Siapa saja, kapan saja, dapat tampil di hadapan
Mahkamah Konstitusi untuk menggugat produk-produk legislatif.
Indonesia saat ini harus meniti jalan yang panjang untuk mewujudkan keinginan dalam
menegakkan supremasi hukum di Indonesia. Pemerintahan yang akan datang nampaknya, sebagaimana
pemerintah sekarang, akan menghadapi setumpuk pekerjaan rumah untuk mengatasi berbagai persoalan
rumit bangsa yang terkait dengan hokum seperti pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan ekonomi,
masalah narkoba, gangguan keamanan seperti gerakan separatis dan tata kelola negara.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan supremasi hokum tersebut adalah
dengan melakukan perubahan-perubahan di setiap aspek kehidupan bernegara, terutama perubahan dan
pembaruan terhadap aspek hukum atau yang dikenal dengan reformasi hukum. Program reformasi hukum
tidak bisa tidak harus digulirkan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat.
Perwujudan reformasi hokum ini dapat dilakukan melalui berbagai upaya seperti
penyempurnaan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan dan pengembangan budaya hukum,
pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya. Selain itu, keberhasilan
melaksanakan reformasi hokum tentunya juga harus ditunjang oleh kemauan politik, sikap jujur dan
transparan dari pemerintahan yang akan datang.
Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia adalah
bukan pada hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum itu sendiri.


Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi
strategis seperti yang dikatakan oleh Roscoe Pound berikut ini:
“The law, in its procedural as well substantive aspects, is essentially made and administered by persons,
whose views and interpretations are buffeted by the winds of change through the year, so that it has
become a “truism that the quality of justice depends more on the quality of the (persons) who administer
the law than on the content of law they administer”.
Namun sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia
adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat) serta judicial
corruption yang sampai dengan saat ini masih sulit diberantas.
Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para
penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit
diharapkan bisa ikut menciptakan good governance.
Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polisi
dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Kita perlu melihat "potret buram" hukum dan penegakan hukum dalam konteks l ebih besar
sehingga mampu menangkap maknanya secara utuh. Kita coba pahami carut-marut hukum
kita. Bagaimanapun, saat-saat berat ini harus dihadapi. Terpenting, kita tidak kehilangan kompas
untuk menjadikan negara hukum ini sebuah rumah yang mensejahterakan dan membahagiakan
seluruh rakyatnya.
Menurut Denny Indrayana, Doktor Ilmu Hukum University of Melbourne, Australia, ahli

Hukum Tata Negara UGM menyatakan “politik hukum seharusnya mengacu pada UUD 1945. Faktanya,
ada beberapa undang-undang yang diperintahkan UUD 1945 belum dikerjakan, salah satunya adalah UU
Kementerian Negara. itu justru menangkap kesan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah
terjebak pada proyek atau kepentingan jangka pendek. Kadang-kadang hanya copy paste dari satu perda
ke perda yang lain”.
Pembuatan perda-perda diabdikan untuk kepentingan politik jangka pendek, yaitu pemilihan
kepala daerah. Menjelang pilkada, akan muncul perda yang seakan-akan menunjukkan komitmen
bupati/wali kota untuk menegakkan moralitas. Tetapi, sebenarnya itu untuk mencari legitimasi agar
terpilih kembali. Namun, jika mengacu pada pendapat Jack Snyder dalam buku Dari Pemungutan Suara
ke Pertumpahan Darah (2003), “awal masa demokratisasi dan liberalisasi pers akan meningkatkan risiko
konflik nasionalis atau SARA. Hal itu terjadi karena dalam ruang demokrasi yang masih muda,
persaingan kelompok rakyat (popular-rivalries) dan propaganda elite (elite persuasion) bertarung dalam
panggung publik. Dalam demokrasi yang masih setengah-setengah, elite sering memanfaatkan kedudukan
mereka dalam pemerintahan, perekonomian, atau media massa untuk mengorbankan nasionalisme dan
menentukan wacana umum. Itulah yang sedang terjadi di Indonesia dengan munculnya aturan di daerah
atau di Jakarta yang membangkitkan sentimen golongan. Ada kelompok rakyat yang bersaing dan ada
pula para demagog yang melakukan propaganda.

Kesimpulan
Dengan berbagai paparan mengenai Politik Hukum masa Orde Reformasi di atas, maka dengan

demikian dapatlah dikatakan bahwa Politik Hukum dan Pembangunan Hukum pemerintah Orde
Reformasi adalah lebih banyak diarahkan oleh kehendak penguasa Orde Reformasi ke arah dua hal,
yang pertama adalah menciptakan hukum dalam rangka untuk mewujudkan cita-cita reformasi yakni
pemerintahan sipil untuk civil society, military back to camp mundur
dari panggung politik,
demokrasi dan transparansi, anti korupsi dan sebagainya; yang ke dua adalah menciptakan hukum
untuk memenuhi keinginan Lembaga-Lembaga Internasional seperti IMF, World Bank, UNDP, G-8,
CGI dalam kerangka pemulihan ekonomi dan keamanan nasional seperti Perimbangan keuangan
antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintah Daerah Otonom, pencabutan subsidi, Penetapan Harga
Minyak Internasioanl, Anti Terorisme, dan sebagainya.