Peranan Bapas Dalam Diversi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Bapas Klas I Medan)

33

BAB II
PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Filosofi sistem peradilan pidana anak adalah untuk mengutamakan
perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak yang mana anak dianggap sebagai
manusia yang mempunyai sejumlah keterbatasan sehingga tidak dapat di samakan
dengan orang dewasa. Anak akan selalu memerlukan perlindungan khususnya dari
negara dalam keadaan apapun, terlebih lagi apabila seorang anak bersentuhan
dengan hukum.
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana
terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
menimbulkan bahaya daripada kebaikannya. Alasan dasarnya yaitu pengadilan
akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya,
seperti anak tersebut dianggap jahat sehingga lebih baik untuk menghindarkannya
ke luar sistem pengadilan. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum
didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut dengan discretion
atau diskresi.26
Diskresi di dalam penegakan hukum memang tidak dapat dihindarkan,
mengingat keterbatasan-keterbatasan baik dalam kualitas perundang-undangan,

sarana dan prasarana, kualitas penegak hukum maupun partisipasi masyarakat.
Diskresi ini merupakan refleksi pengakuan bahwa konsep tentang penegakan
hukum secara total (total enforcement) dan penegakan hukum secara penuh (full

26

Diskresi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan
dalam penanganan perkara tindak pidana apakah ingin meneruskan perkara atau menghentikan
perkara, mengambil tindakan tertentu dengan kebijakan yang dimilikinya.

Universitas Sumatera Utara

34

enforcement) tidak mungkin terjadi. Hikmah yang terjadi adalah bahwa diskresi
inilah yang menjadi sumber pembaharuan hukum apabila direkam dan dipantau
dengan baik dan sistematis.27
Pelaksanaan diversi memang didasari oleh keberadaan diskresi oleh aparat
penegak hukum, akan tetapi terdapat perbedaan antara diskresi dan diversi yaitu,
pada diskresi pengambilan kebijakan yang diambil oleh aparat penegak hukum

mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang yang artinya bahwa hanya didasari
dari penilaian subjektif semata sedangkan pada diversi merupakan suatu kebijakan
yang bersifat kelembagaan karena merupakan suatu kewajiban dan memiliki
kualifikasi atau aturan-aturan yang jelas.28
Di Indonesia sendiri pada dasarnya dimungkinkan untuk menyelesaikan
perkara pidana anak melalui jalur luar pengadilan, ketentuan ini dapat dilihat pada
Surat Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No.P.1/20 tanggal 30 Maret 1951
yang menjelaskan bahwa anak adalah mereka yang menurut hukum pidana
melakukan perbuatan yang dapat dihukum yang belum berusia 16 (enam belas)
tahun. Jaksa Agung melaui surat ini menjelaskan bahwa menghadapkan anakanak ke depan pengadilan, hanya sebagai langkah terakhir (ultimum remedium).
Setiap anak masih dimungkinkan ada penyelesaian lain yang dipertimbangkan
secara masak faedahnya.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam
pelaksanaannya dianggap sudah tidak relevan lagi dengan keadaan yang ada pada
saat ini sehingga perlu dilakukan perubahan yang didasarkan peran dan tugas
27
28

Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 22.
Marlina, Op.Cit, hlm. 4.


Universitas Sumatera Utara

35

masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk sama-sama
bertanggung

jawab

meningkatkan

kesejaterahan

anak

dan

memberikan


perlindungan khususnya bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Lahirnya UU
SPPA didasari oleh beberapa dasar pemikiran yaitu :29 Pertama, dasar filosofis
bahwa pandangan hidup Bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara yaitu
Pancasila. Penjabaran nilai-nilai dari pancasila setidaknya mencrminkan keadilan,
ketertiban dan kesejaterahan yang diinginkan masyarakat. Nilai-nilai pancasila
yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dan kemanusiaan yang adil dan beradap,
sehingga sebagai bangsa yang bermartabat permasalahan anak harus harus
ditangani dengan memprioritaskan yang terbaik bagi anak.
Kedua, dasar sosiologis bahwa Pelaksanaan lembaga peradilan pidana
anak dapat menguntungkan atau merugikan mental, fisik dan sosial anak. Pada
saat ini tindak pidana yang dilakukan oleh anak cenderung terus meningkat dan
hampir semua tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa juga dilakukan
oleh anak. Terlebih lagi dalam pelaksanaan lembaga peradilan tersebut anak
sering kali dijadikan sebagai objek dan perlakuan yang di terima oleh anak
cenderung merugikan anak tersebut. Ketiga, dasar yuridis bahwa Pasal 28 ayat (2)
UUD 1945 menyatakan bahwa : setiap anak berhak atas kelansungan atas hidup,
tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi.
Terlepas dari seperti apa kondisi dan keadaan seorang anak, dia harus tetap
diberikan perlindungan. Keempat, dasar psikopolitik masyarakat adalah suatu
kondisi nyata didalam masyarakat mengenai tingkat penerimaan atau tingkat

29

Lidya Rahmadani Hasibuan, Diversi Dan Keadilan Restoratif Justice Pembaharuan
Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Medan : Pusaka Indonesia, 2014, hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara

36

penolakan terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang
dilakukan oleh anak baik lansung maupun tidak lansung merupakan suatu akibat
dari tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam bersinggungan dengan
anak atau merupakan sebagai bagian dalam proses interaksi anak dengan
lingkungannya. Paradigma inilah yang harus ditanamkan kepada para penegak
hukum dalam menghadapi anak yang melakukan tindak pidana.30
A. Asas-Asas Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Asas hukum merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan
hukum, hal ini dikarenakan bahwa asas hukum ini merupakan suatu landasan bagi
lahirnya suatu peraturan tersebut. C.W. Paton mengemukakan pendapatnya
mengenai asas sebagai suatu sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan

berkembang dikarenakan hukum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturanperaturan belaka. Asas hukum itu sendiri mengandung nilai-nilai didalamnya
sehingga oleh karena itu asas hukum tersebut menjadi jembatan antara peraturanperaturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.31
UU SPPA memuat beberapa asas yang menjadi hakikat dari keberadaan
undang-undang ini. Asas-asas ini diletakan untuk mempertegas tujuan yang ingin
di capai melalui undang-undang ini ataupun untuk menjadi tolak ukur dalam
bekerjanya undang-undang ini.32 Asas-asas tersebut adalah :
1. Asas Perlindungan.
Bertujuan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan
hukum dengan tetap mementingkan kepentingan si anak agar anak masih
30

M. Nasir Jamil, Op. Cit, hlm. 52-54.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006, hlm, 45.
32
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
31

Universitas Sumatera Utara

37


bisa menggapai masa depannya yang masih panjang dengan cara
memberikan kesempatan kepada anak melalui pembinaan sehingga anak
menemukan jati dirinya untuk menjadi manusia mandiri, bertanggung
jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Perlindungan anak dapat dilakukan baik secara lansung maupun tidak
lansung dari tindakan yang membahayakan anak.
2. Asas Keadilan.
Bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan
bagi anak. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian perkara
anak harus menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari dari stigmatisasi terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum.
3. Asas Non Diskriminasi.
Bahwa tidak adanya perlakuan yang berbeda-beda kepada anak yang
didasari oleh suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya,
bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau
mental anak.
4. Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak.
Segala tindakan dan pengambilan keputusan yang menyangkut anak, baik

yang

dilakukan

keluarga,

masyarakat

maupun

pemangku

hukum,

kelansungan hidup dan tumbuh kembang anak harus selalu menjadi
pertimbangan utama. Seperti halnya Hakim dalam memutus perkara harus
yakin bahwa putusannya dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk

Universitas Sumatera Utara


38

mengembalikan dan mengantarkan anak menuju masa depan yang baik
untuk mengembangkan dirinya.
5. Asas Penghargaan Terhadap Pendapat Anak.
Bahwa anak tidak boleh dipandang sebelah mata. Anak harus diberikan
kebebasan

dalam

rangka

mengembangkan

kreativitasnya

dan

intelektualitasnya (daya nalar) dengan melakukan penghormatan atas hak
anak untuk berpartisipasi dalam menyatakan pendapatnya sesuai dengan

tingkat usia anak dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut
hal yang mempengaruhi kehidupan anak.
6. Asas Kelansungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak.
Merupakan hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus dilindungi
oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
7. Asas Pembinaan dan Pembimbingan Anak.
Suatu kegiatan yang bertujuan meningkatkan kualitas jasmani dan rohani
anak mulai dari ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap
dan perilaku, pelatihan keterampilan dan profesional anak baik yang
dilakukan didalam maupun diluar proses peradilan pidana.
8. Asas Proporsional.
Bahwa segala perlakuan terhadap anak harus dilakukan secara seimbang,
yang harus disesuaikan dengan batas keperluan, umur dan kondisi anak.
Anak yang sedang berhadapan dengan hukum harus diberikan bantuan dan
perlindungan agar tetap diperlakukan secara manusiawi. Perlakuan terhadap

Universitas Sumatera Utara

39


anak harus melihat situasi, kondisi mental dan fisik, keadilan sosial dengan
kemampuannya pada usia tertentu.
9. Asas Perampasan Kemerdekaan dan Pemidanaan Sebagai Upaya Terakhir.
Bahwa pada dasarnya seorang anak tidak boleh untuk dirampas
kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara.
10. Asas Penghindaran Pembalasan.
Semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana (korban, anak dan
masyarakat) dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan
menentramkan tidak berdasarkan pembalasan. Penghindaran pembalasan
adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan
pidana anak.33
Selain asas-asas di atas, di dalam UU SPPA ini juga menganut beberapa
asas mengenai proses penyelesaian perkara anak di pengadilan (asas dalam hukum
acaranya), yaitu :
1. Pembatasan Umur.
Bahwa seorang anak yang dapat di periksa di Sidang Pengadilan Anak
ditentukan secara limitatif yaitu minimum berumur 12 tahun dan maksimum
18 tahun dan belum pernah kawin. Apabila seorang anak pada saat
melakukan tindak pidana belum berusia 18 tahun dan diajukan ke sidang
pengadilan setelah berusia lewat dari 18 tahun akan tetapi belum mencapai
umur 21 tahun maka anak tersebut akan tetap diajukan ke Pengadilan Anak.
2. Pembatasan Ruang Lingkup Masalah.

33

Edy Ikhsan, Op. Cit, hlm. 33-35.

Universitas Sumatera Utara

40

Bahwa masalah yang di periksa di Pengadilan Anak hanyalah menyangkut
masalah anak saja. Pemeriksanaan hanya untuk perkara pidana saja
sehingga masalah-masalah lain di luar pidana bukan merupakan wewenang
dari Pengadilan Anak.
3. Ditangani Pejabat Khusus.
Bahwa perkara anak harus ditangani oleh pejabat khusus yang diangap
memiliki kompetensi tentang anak yaitu Penyidik Anak, Penuntut Umum
Anak dan Hakim Anak.
4. Suasana Pemeriksaan.
Bahwa dalam pemeriksaan perkara anak harus dijauhkan dari suasana yang
dapat membuat anak takut ataupun merasa terintimidasi. Dalam
pemeriksaan tersebut para aparat penegak hukum tidak menggunakan
atribut mereka yang biasanya digunakan dalam proses persidangan dewasa.
5. Keharusan Splitsing.
Bahwa seorang anak tidak boleh disidangkan atau diadili bersama-sama
dengan orang dewasa baik yang berstatus sipil maupun militer. Apabila
seorang anak melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa
maka anak akan tetap di periksa di Pengadilan Anak.
6. Acara Pemeriksaan Tertutup.
Bahwa acara pemeriksaan di persidangan harus dilakukan secara tertutup
untuk umum dan yang boleh berada didalam adalah pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan saja kecuali pada saat agenda pembacaan putusan
maka persidangan dapat dibuka untuk umum.

Universitas Sumatera Utara

41

7. Diperiksa Oleh Hakim Tunggal.
Bahwa pada dasarnya proses pemerisaan di pengadilan hanya dilakukan
oleh Hakim Tunggal saja akan tetapi dalam keadaan tertentu seperti
ancaman tindak pidana yang dilakukan oleh anak lebih dari 7 tahun atau
lebih atau sulit pembuktiannya maka proses pemeriksaan dimungkinkan
untuk dilakukan oleh Hakim Majelis.
8. Masa Penahanan Lebih Singkat.
Bahwa masa penahanan terhadap anak dilakukan lebih singkat dari pada
orang dewasa. Oleh Penyidik anak hanya dapat di tahan maksimal 15 hari (7
hari dan diperpanjang 8 hari), Oleh Penuntut Umum hanya dapat di tahan
maksimal 10 hari (5 hari dan diperpanjang 5 hari), Oleh Hakim hanya dapat
di tahan maksimal 25 hari (10 hari dan diperpanjang 15 hari).
9. Hukuman Lebih Ringan.
Bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada anak lebih ringan dari pada orang
dewasa. Anak hanya dihukum maksimal 10 tahun penjara atau setengah dari
hukuman maksimal penjara orang dewasa.34

B. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Pidana Anak yang dianggap sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum
secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan

34

Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 107-108.

Universitas Sumatera Utara

42

dengan hukum sehingga dibutuhkan undang-undang yang baru. Lahirnya UU
SPPA dianggap menjadi jawaban dari kekurangan undang-undang sebelumnya
(UU No.3 Tahun 1997), penamaan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak memang lebih tepat dari pada Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak
dikarenakan undang-undang tersebut berisi pengaturan yang berhubungan dengan
sistem peradilan pidana anak yaitu mulai dari Penyidikan oleh Polisi Anak
(Penyidik Anak), Penuntutan oleh Penuntut Umum Anak, Pengadilan oleh
Pengadilan Anak dan Hakim Anak sampai dengan Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA).35
Sistem peradilan pidana anak pada dasarnya bertujuan memberikan yang
paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tetap
tegaknya wibawa hukum. Sistem peradilan pidana anak diselengarakan dengan
tujuan untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap dan perilaku anak
sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini dilakukannya
dengan mengupayakan rehabilitasi melalui mekanisme pembimbingan atau
pendidikan.
Lebih jauh lagi Gordon Bazemore menyatakan bahwa tujuan dari sistem
peradilan pidana anak itu sendiri berbeda-beda, tergantung pada paradigma sistem
peradilan pidana anak yang dianut didalamnya, yaitu : Pertama, tujuan sistem
peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual (Individual
Treatment Paradigm). Menurut paradigma ini yang dipentingkan adalah
penekanan pada permasalahan yang dihadapi oleh pelaku bukan pada perbuatan
35

Wagiati Soetedjo, Hukum Pidana Anak, Bandung : PT. Refika Aditama, 2013, hlm.

165-166.

Universitas Sumatera Utara

43

atau kerugian yang diakibatkan dari perbuatan tersebut. Penjatuhan sanksi pidana
dalam sistem peradilan pidanan anak dengan paradigma pembinaan individual
adalah tidak relevan dan secara umum tidak layak, karena hal tersebut dianggap
tidak dapat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Sebaliknya pencapaian tujuan
sanksi harus ditonjolkan pada indikator-indikator yang mengindentifikasi pelaku
sehingga dapat dimintakan untuk dibina dalam program pembinaan tertentu sesuai
dengan kebutuhan sipelaku. Fokus utama untuk pengidentifikasi pelaku dan
pengembangan pendekatan positif untuk mengoreksi masalah, yang biasanya
mengutamakan proses konseling kelompok dan keluarga atau dengan kata lain
menggunakan interaksi secara lansung didalamnya. Menurut sistem peradilan
pidana dengan paradigma pembinaan individual, maka segi perlindungan dilakuan
dengan melibatkan masyarakat secara lansung melainkan bukan dengan bagian
fungsi peradilan pidana anak.
Kedua, tujuan sistem peradilan pidana anak dengan paradigma retributif
(Retributive Paradigm). Mengedepankan atau mengutamakan penjatuhan pidana
kepada sipelaku. Tujuan penjatuhan sanksi tercapai dilihat dengan kenyataan
apakah pelaku telah dijatuhi pidana dan dengan pemidanaan yang tepat, pasti,
setimpal serta adil. Untuk menciptakan perlindungan masyarakat dilakukan
dengan cara pengawasan sebagai strategi terbaik, seperti penahanan, penangkapan
dan pengawasan elektronik. Keberhasilan perlindungan masyarakat dengan
melihat pada keadaan apakah pelaku telah ditahan, apakah residivis berkurang
dengan pencegahan atau penahanan.

Universitas Sumatera Utara

44

Ketiga, tujuan sistem peradilan pidana anak dengan paradigma restoratif
(Restorative Paradigm). Bahwa didalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi,
maka diikutsertakan korban untuk berhak aktif terlibat dalam proses peradilan.
Tercapainya tujuan penjatuhan sanksi dengan melihat pada apakah korban telah
direstorasi, kepuasaan korban, besar ganti rugi, kesadaran pelaku atas
perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan
kerja dan keseluruhan proses yang terjadi. Orientasinya adalah bukan hanya
meniti beratkan pada keadaan bagaimana pelaku dapat dihukum tetapi lebih
kepada bahwa hukuman yang dijatuhkan tersebut dapat mengembalikan keadaan
korban sebagaimana awalnya. Penjatuhan sanksi mengikutsertakan pelaku,
korban, masyarakat dan para penegak hukum secara aktif. Pelaku bekerja aktif
untuk menrestore kerugian korban, dan menghadapi korban atau wakil korban.
Korban aktif dalam semua tahapan proses dan akan membantu dalam menetukan
sanksi bagi si pelaku. Masyarakat terlibat sebagai mediator, membantu korban dan
mendukung pemenuhan kewajiban pelaku. Penegak hukum memfasilitasi
berlansungnya mediasi.36
Selain dari tujuan sistem peradilan pidana anak yang dikemukakan oleh
Gordon Bazemore di atas, tujuan sistem peradilan pidana anak terdapat juga pada
The Beijing Rules37 yang menyatakan bahwa “sistem peradilan bagi anak akan
mengutamakan kesejateraan anak dan akan mematikan bahwa reaksi apapun
36

Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, 2011, hlm. 38-40.
37
The Beijing Rules adalah sebutan dari Peraturan-Peraturan Minimum Standar
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak yang di sahkan melalui
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/33 tanggal 29 November Tahun 1985. The Beijing Rules
salah satu instrumen hukum yang sering digunakan sebagai landasan administrasi peradilan bagi
anak.

Universitas Sumatera Utara

45

terhadap pelanggar-pelanggar hukum anak akan selalu sepadan dengan keadaankeadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran
hukumnya”. Dengan demikian tujuan penting dalam peradilan anak adalah
memajukan kesejaterahan anak (penghindaran sanksi-sanksi yang sekedar
menghukum semata) dan menekankan pada prinsip proporsionalitas (tidak hanya
didasarkan pada pertimbangan beratnya pelanggaran hukum tetapi juga pada
pertimbangan keadaan-keadaan pribadinya, seperti status sosial, keadaan
keluarga, kerugian yang ditimbulkan atau faktor lain yang berkaitan dengan
keadaan pribadi yang akan mempengaruhi kesepadanan reaksi-reaksinya).
Lahirnya UU SPPA ini sebagai bentuk pembaharuan sistem peradilan
pidana anak di Indonesia. Abintoro Prakoso menyatakan bahwa tujuan
pembaharuan sistem peradilan pidana anak adalah sebagai berikut :
(1) Melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar
dapat menyonsong masa depannya yang masih panjang serta memberi
kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan memperoleh jati
dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan
berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
(2) Mewujudkan hukum yang secara konprehensif melindungi anak yang
berhadapan dengan hukum, adanya perubahan paradigma yang
mendasarkan peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga
negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
meningkatkan kesejaterahan anak serta memberikan perlindungan
khusus yang berhadapan dengan hukum.
Kondisi aparat penegak hukum yang cendrung bersikap kaku dalam hal
pemahaman untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak sebagai pelaku
tindak pidana menjadi salah satu alasan untuk mendorong perubahan dalam sistem
peradilan pidana anak, karena tinginya kasus-kasus anak yang berakhir di penjara.
Sementara itu dengan model pemenjaraan yang ada di Indonesia pada saat ini

Universitas Sumatera Utara

46

dianggap gagal dalam melakukan pembinaan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum, hal ini dapat dilihat masih banyaknya anak yang kembali terlibat
dalam proses hukum (residivis). Kritikan terhadap efektifitas penjara terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum telah melahirkan pemikiran-pemikiran baru
dalam mencari alternatif hukuman lain untuk anak selain hukuman penjara. 38
Pembaharuan sistem peradilan pidana anak merupakan salah satu bentuk
dari pembaharuan hukum pidana (penal reform) yang dilakukan melalui
pembaharuan peraturan perundang-undangan dibidang peradilan anak itu sendiri
yang merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pidana (penal policy).39
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan perwujudan dari
perubahan

dan

pembaharuan terhadap

berbagai

aspek kebijakan yang

melatarbelakanginya, berupa kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan
penegakan hukum. Usaha untuk membuat suatu kebijakan peraturan hukum
pidana yang baik pada hakikatnya tidak terlepas dari tujuan penanggulangan
kejahatan.
Di

Indonesia

penggunaan

hukum

pidana

sebagai

sarana

untuk

menanggulangi kejahatan sudah dianggap hal yang wajar dan normal sehingga
eksistensinya tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini dapat dilihat dari praktek
peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku selama ini yang mana
penggunaan hukum pidana sudah menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan lagi.

38

Edy Ikshan, Op Cit, hlm. 31.
Menurut Marc Ancel Politik Hukum Pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan
secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi
juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara
atau pelaksana putusan pengadilan.
39

Universitas Sumatera Utara

47

Sehingga dapat dikatakan pula bahwa kebijakan atau politik hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan atau politik kriminal40 yang merupakan suatu
usaha dalam penanggulangan kejahatan. 41
Penanggulangan kejahatan tidak hanya berorientasi kepada pemberantasan
kejahatan itu semata, melainkan juga mengandung konsepsi perlindungan
didalamnya, karena pada dasarnya politik kriminal tersebut dilaksanakan dengan
pendekatan yang bersifat rasional. Konsepsi perlindungan tersebut akan
membawa konsekuensi pada pendekatan rasional, seperti yang dikemukakan oleh
Johannes Andenaes bahwa apabila orang mendasarkan hukum pidana pada
konsepsi

perlindungan

masyarakat

maka

tugas

selanjutnya

adalah

mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum harus dicapai
dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi
individu.42
Berbicara mengenai penanggulangan kejahatan maka terdapat dua bentuk
kebijakan yang digunakan, yaitu dengan menggunakan penal (menggunakan
sanksi pidana) dan kebijakan non penal (menggunakan sanksi diluar sanksi pidana
seperti sanksi perdata, administrasi dan lain-lain). Kebijakan penal lebih
mengedepan penjatuhan sanksi kepada pelaku dengan tujuan untuk dapat
menanggulangi kejahatan sedangkan dengan menggunakan kebijakan non penal
merupakan suatu usaha yang mengenyampingkan sanksi pidana sebagai alat
menanggulangi kejahatan, dan usaha yang dilakukan tersebut meliputi bidang
40

Menurut Sudarto Politik Kriminal adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan
melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan
norma-norma sentral dari masyarakat.
41
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 21.
42
Ibid, hlm. 35-36.

Universitas Sumatera Utara

48

yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari
usaha-usaha non penal adalah untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu
namun secara tidak lansung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.43
Konsep diversi yang menjadi roh dalam UU SPPA ini merupakan wujud
dari

pembaharuan

hukum

pidana

yang

tidak

hanya

bertujuan

untuk

menanggulangi kejahatan melainkan juga untuk memberikan perlindungan
terhadap anak. Diversi juga merupakan wujud dari kebijakan non penal yang pada
dasarnya

menjauhkan

penggunan

sanksi

pidana

didalamkan

melainkan

memberikan sanksi baru yang berada diluar jalur sanksi pidana dengan sanksi
yang lebih baik bagi si pelaku karena sanksi tersebut dibuat secara bersama-sama
dengan mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak tanpa menghilangkan
tanggung jawab anak sebagai pelaku dan juga tetap menegakan wibawa hukum.
Bahwa pemidanaan dimaksudkan sebagai alternatif terakhir penghukuman suatu
perbuatan pidana (ultimum remeium), dengan kata lain ultimum remedium itu
mensyaratkan terlebih dahulu upaya pemberian sanksi lain (non penal) berupa
ganti rugi, denda, peringatan atau hal lainnya sebelum digunakan sarana pidana
berupa penjara (sanksi badan).

C. Pendekatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Hadirnya diversi sebagai mekanisme baru proses penyelesaian perkara
pidana anak dalam peradilan pidana anak menimbulkan konsekuensi mengenai
metode atau pendekatan apa yang digunakan didalamnya, dengan harapan agar

43

Ibid, hlm. 26-28.

Universitas Sumatera Utara

49

diversi tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Model pendekatan
yang digunakan harus mempunyai semangat yang sama dengan diversi yaitu
perlindungan anak dari proses peradilan. Maka agar dapat tercapainya cita-cita
dari diversi tersebut digunakan suatu pendekatan yang sesuai dengan semangat
diversi itu sendiri, yaitu Restoratif Justice atau Keadilan Restoratif.44
Pendekatan dengan menggunakan restoratif justice dinilai tepat dan sesuai
dengan diversi karena sama-sama menjauhkan sipelaku dari pembalasan sebagai
konsekuensi atas perbuatannya, yang mana pembalasan tersebut berupa bentuk
penderitaan bagi sipelaku. Peradilan pidana anak dengan restoratif justice
bertujuan untuk :
1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak
2. Mengutamakan penyelesaian diluar proses peradilan
3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan
4. Menanamkan rasa tanggung jawab anak
5. Mewujudkan kesejaterahan anak
6. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
7. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
8. Meningkatkan keterampilan hidup anak45
Konsep

pada

pendekatan

restoraif

justice

menggunakan

proses

penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan
membawa korban dan pelaku bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk
44

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa Keadilan
Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
45
M.Nasir Djamil, Op Cit, hlm.133-134.

Universitas Sumatera Utara

50

bersama-sama berbicara. Pertemuan tersebut diupayakan oleh mediator selaku
pihak netral (tidak memihak) antara korban dan pelaku, dalam pertemuan itu
mediator memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memberikan gambaran
yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Tujuan dari
penjelasan yang diberikan pelaku kepada korban ini agar korban nantinya dapat
memahami dan menerima kondisi pelaku yang menyebabkan pelaku melakukan
tindak pidana yang menimbulkan kerugian bagi korban. Penjelasan pelaku ini
juga menunjukan bahwa sipelaku mau bertanggung jawab atas perbuatannya
tersebut kepada korban dan juga kepada masyarakat.46
Pendekatan restoratif justice awalnya dikenal dan dilaksanakan di Negara
Kanada pada tahun 1970, dengan melaksanakan sebuah program penyelesaian
kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan konvensional
yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut dengan Victim Offender
Mediation (VOM).47 Program yang dilaksanakan tersebut merupakan sebagai
tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku
tindak pidana, dengan cara mempertemukan pelaku dan korban terlebih dahulu
dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukuman bagi anak
pelaku yang kemudian menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan
perkara. Program ini bertujuan untuk memberikan rasa tanggung jawab bagi
masing-masing pihak (baik pelaku maupun korban) karena melalui program ini

46

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia ; Pengembangan Konsep Diversi Dan
Restoratif Justice, Bandung : PT Refika Aditama, 2009, hlm. 180-181.
47
Victim Offender Mediation adalah suatu proses yang menyediakan kemauan korban
sebagai pokok dari kejahatan dan kekerasan untuk bertemu dengan pelaku, dalam suasana aman
dan teratur dengan membuat tanggung jawab lansung dari pelaku dengan adanya bentuk
kompensasi kepada korban.

Universitas Sumatera Utara

51

pelaku dan korban dianggap sama-sama mendapatkan manfaat yang sebaikbaiknya sehingga di harapkan dapat mengurangi angka residivis di kalangan anakanak pelaku tindak pidana.
Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Kanada mengemukakan lima
prinsip dalam restoratif justice, yaitu :
1. Restoratif justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam
hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam
perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif.
Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini
merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut
duduk bersama memecahkan persoalan ini.
2. Restoratif justice mencari solusi untuk mengembalikan dan
menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku. Hal ini juga upaya penyembuhan atau
pemulihan korban atas tindak pidana yang menimpanya.
3. Restoratif justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi
pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus
menunjukan rasa penyesalannya dan mengakui semua kesalahannya
serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian
bagi orang lain.
4. Restoratif justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga
masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat
tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara
korban dan pelaku serta mereintegrasikan kembali keduanya dalam
kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari
masa lalunya demi masa depan yang lebih cerah.
5. Restoratif justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk
mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan
mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan
bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan
yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Hal ini karena faktor
kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada di dalam
masyarakat itu sendiri seperti faktor ekonomi, sosial budaya dan bukan
bersumber pada diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus
kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan
diposisikan sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat.48

48

Marlina, Hukum Penitensier, Bandung : PT Refika Aditama, 2011, hlm. 74-75.

Universitas Sumatera Utara

52

Pendekatan restoratif justice merupakan suatu pendekatan yang lebih
menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku
tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana
yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan
seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Restoratif justice itu sendiri memiliki
makna keadilan yang merestorasi. Restorasi berbeda dengan restitusi yang
terdapat di dalam proses peradilan pidana konvensional yang mana meniti
beratkan hanya kepada ganti rugi terhadap korban (ganti rugi berupa materi),
sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi
pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini
bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban
dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi
kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja
sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Helen Cowie dan Dawn Jenifer mengidentifikasikan aspek-aspek utama
dalam restoratif justice sebagai berikut :
1. Perbaikan, bahwa bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau
menerima kekalahan, tudingan atau pembalasan dendam tetapi tentang
keadilan.
2. Pemulihan hubungan, bahwa bukanlah bersifat hukuman bagi para
pelaku kriminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan
memperbaikinya dengan sejumlah cara, tetapi melalui proses
komunikasi yang terbuka dan lansung, antara korban dan pelaku
kriminal yang berpotensi mengubah cara berhubungan satu sama lain.
3. Reintegrasi, bahwa pada tingkatannya yang terluas, memberikan arena
tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil.
Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan

Universitas Sumatera Utara

53

kriminalitas serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang
lain.
Peradilan anak dengan model restoratif justice berangkat dari asumsi
bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku anak tidaklah efektif tanpa adanya
kerja sama dan ketelibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip ini yang
menjadi dasarnya adalah bahwa keadilan yang paling baik terlayani apabila setiap
pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses
peradilan, dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka
dengan sistem peradilan anak.49
Konsep ini menjadi penting karena proses pemidanaan konvensional tidak
memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku
untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Pada dasarnya
dalam proses peradilan pidana konvensional setiap tindak pidana tanpa
memperhitungkan perbuatannya akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum
yang hanya menjadi kewenangan para penegak hukum, sehingga partisipasi aktif
dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi karena semuanya hanya
bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.50

D. Tujuan Diversi
Sebagaimana yang diuraikan diatas bahwa dalam perkembangan hukum
pidana di Indonesia terdapat suatu mekanisme atau proses baru dalam

49

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm.

203.
50

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorativejustice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-. Diakses Tanggal 16 April
2016, Pukul 15.48 WIB.

Universitas Sumatera Utara

54

penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak yang disebut dengan
diversi yang dicantumkan dalam UU SPPA. Diversi merupakan bentuk
pembaharuan dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia yang beban
tugasnya di limpahkan pada aparat penegak hukum sebagaimana peradilan pidana
biasanya, hanya saja aparat penegak hukum yang di tunjuk merupakan aparat
penegak hukum yang memang dikhususkan untuk menangani perkara pidana
anak.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pelaksanaan diversi
oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum
yang disebut diskresi. Diskresi adalah prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum
yang berlaku umum, artinya mungkin saja secara formal tidak ada dalam hukum
tertulis tapi telah dikembangkan menjadi praktik yang dapat diterima. Apabila
dilihat tujuan diversi tidaklah jauh berbeda dari diskresi yaitu menangani
pelanggaran hukum diluar pengadilan atau sistem peradilan yang formal, diversi
dan diskresi memiliki makna yang hampir sama karena keduanya dapat digunakan
untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana anak.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses
peradilan pidana formal ke proses di luar pengadilan pidana dengan atau tanpa
syarat. Hakikatnya tujuan diversi adalah sebagai berikut :
1. Untuk menghindari penahanan
2. Untuk menghindari cap/label sebagai penjahat.
3. Untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku.
4. Agar pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya.

Universitas Sumatera Utara

55

5. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana.
6. Untuk memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban
dan pelakunya tanpa harus melalui proses formal.
7. Program diversi akan menghindarkan anak mengikuti proses peradilan.
8. Menjauhkan anak-anak dari pengaruh-pengaruh dan implikasi negatif
dari proses peradilan.51
UU SPPA yang merupakan legitimasi dari diversi itu sendiri mempunyai
tujuan yang berorientasi kepada dimensi mencapai perdamaian antara korban dan
anak, menyelesaian perkara anak diluar proses peradilan,menghindarkan anak dari
perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan
menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.52 Penerapan diversi dalam bentuk
peradilan formal lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan kepada
anak dari tindakan pemenjaraan. Kegiatan perlindungan anak juga dapat terlihat
jelas dengan menggunakan kebijakan diversi yang dapat dilakukan di semua
tingkat peradilan. Diversi adalah konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari
proses formal ke proses informal. Proses pengalihan ditujuakan untuk
memberikan perlindungan anak terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. 53
Hakikat dari tujuan dilakukannya diversi itu agar anak dapat terhindar dari
dampak negatif penerapan pidana. Diversi juga mempunyai esensi tetap menjamin
anak tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun mental karena pada
dasarnya diversi mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan terhadap anak

51

Lilik Mulyadi, Wajah Sisitem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Bandung : PT
Alumni, 2014, hlm. 111-112.
52
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
53
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia......... Op.Cit, hlm. 162.

Universitas Sumatera Utara

56

yaitu untuk tetap memberikan jaminan kepada anak agar tumbuh dan berkembang
baik secara fisik maupun mental.54 Menyelesaikan perkara anak melalui jalur
peradilan yang biasanya akan berakhir dengan pemenjaraan dan membawa
dampak yang negatif bagi anak, yang akan dapat mempengaruhi kelansungan
masa depan anak tersebut. Kondisi yang terjadi pada anak oleh karena keadaan
anak yang belum sempurna secara mental (labil) yang membuat anak belum siap
untuk menanggung beban yang besar. Secara teoritis terdapat beberapa akibat
yang ditimbulkan melalui penyelesaian perkara anak lewat jalur peradilan, yaitu :
1. Dehumanisasi, yaitu proses pengasingan yang dilakukan oleh
masyarakat

terhadap

mantan

narapidana

(anak).

Dehumanisasi

hakikatnya merupakan penolakan terhadap kehadiran seorang mantan
narapidana baik secara psikis maupun sosiologis. Dengan demikian,
akan menempatkan mereka dalam keterasingan terhadap lingkungan
sosialnya. Dehumanisasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti
sikap sinis terhadap anak yang merupakan mantan narapidana,
pengejekan dan semua perilaku yang dapat menempatkan anak dalam
keterasingan baik secara psikis maupun sosial.
2. Stigmatisasi, merupakan pemberian label atau cap jahat kepada mereka
yang

pernah

mengalami

penerapan

pidana

khususnya

pidana

perampasan kemerdekaan. Pada masyarakat, stigmatisasi tidak dapat
dihindarkan karena pada dasarnya orang yang terlanjur mendapat
stigma oleh masyarakat sebagai penjahat akan selalu dipandang sebagai

54

Koesno Adi, Op.Cit, hlm. 134.

Universitas Sumatera Utara

57

penjahat sekalian dia sudah keluar dari lembaga. Stigmatisasi oleh
masyarakat dapat juga dikatakan sebagai wujud dari sosial punisment
yang jauh lebih berat ketimbang pidana yang diberikan oleh lembaga
pengadilan, sebab stigmatisasi biasanya berlansung dalam waktu yang
cukup lama bahkan terkadang seumur hidup.55
Dehumanisasi dan stigmatisasi ini secara tidak lansung menjadi faktor
kriminogen bagi anak. Sebab dengan tidak diterimanya anak dalam lingkungan
sosial yang baik akan menjadikan anak tersebut kembali pada komunitas
kejahatan yang dapat menerimanya. Anak tidak memperoleh perlakuan dari
lingkungan sosialnya sebagaimana mestinya akan membuat anak mencari
lingkungan yang dapat menerima keberadaannya. Pengalihan dari proses yustisial
menuju ke proses non yustisial juga merupakan cara penanggulangan kejahatan
yang dilakukan oleh anak yang pada dasarnya sebagai upaya untuk
menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana.

E. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Diversi
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa diversi merupakan suatu
pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses
diluar peradilan pidana. Diversi yang juga merupakan bagian dari sistem peradilan
pidana anak dengan bentuk pengalihan merupakan suatu upaya yang wajib untuk
dilaksanakan dalam setiap tingkatan pemeriksaan, sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 7 ayat 1 UU SPPA yang menyatakan bahwa pada tingkat penyidikan,

55

Ibid, hlm. 145-146.

Universitas Sumatera Utara

58

penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan
diversi.
Berdasarkan ketentuan dari Pasal 7 tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa proses pelaksanaan diversi menjadi kewajiban dari aparat penegak seperti
penyidik, penuntut umum dan hakim sesuai dengan dimana tingkatan
pemeriksaannya berada.
1. Penyidik, merupakan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.56 Pada saat penanganan perkara pidana anak penyidik yang
berwenang untuk menanganinya adalah penyidik khusus yang disebut
dengan “penyidik anak” yaitu penyidik yang ditetapkan secara lansung
oleh Pimpinan Lembaga Kepolisian, sebagaimana Pasal 26 ayat 1 UU
SPPA yang berbunyi :
“Penyidik terhadap perkara anak dilakukan oleh Penyidik yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.”
Seorang penyidik agar dapat diangkat sebagai Penyidik Anak, terdapat
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh seorang
anggota kepolisian, yang dimuat dalam Pasal 26 ayat 3 UU SPPA, yaitu
:
a. Telah berpengalaman sebagai penyidik.
56

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

59

b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak,
c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
2. Penuntut Umum, merupakan jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.57 Pada saat penanganan perkara pidana anak penuntut umum
yang berwenang untuk menanganinya adalah penuntut umum khusus
yang disebut dengan “penuntut umum anak” yaitu penuntut umum yang
ditetapkan secara lansung oleh Jaksa Agung, sebagaimana Pasal 41 ayat
1 UU SPPA yang berbunyi :
“Penuntut terhadap perkara anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Jaksa Agung.”
Penuntut Umum yang dapat diangkat sebagai Penuntut Umum Anak,
terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh
seorang jaksa, yang dimuat dalam Pasal 41 ayat 2 UU SPPA, yaitu :
a. Telah berpengalaman sebagai penuntut umum.
b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak,
c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
3. Hakim, merupakan pejabat peradilan negara yang yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.58

Pada

saat

penanganan perkara pidana anak hakim yang berwenang untuk

57

Pasal 1 angka 6 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana.
58
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.

Universitas Sumatera Utara

60

menanganinya adalah hakim

khusus yang disebut dengan “hakim

anak” yaitu hakim yang ditetapkan secara lansung oleh Ketua
Mahkamah Agung, sebagaimana Pasal 43 ayat 1 UU SPPA yang
berbunyi :
“Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara anak dilakukan
oleh hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah
Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung
atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua
Pengadilan Tinggi.”
Hakim yang dapat diangkat sebagai Hakim Anak, terdapat beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh seorang hakim,
yang dimuat dalam Pasal 43 ayat 2 UU SPPA yaitu :
a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan
umum.
b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak,
c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
Diversi yang menjadi kewajiban untuk dilaksanakan dalam proses
penyelesaian perkara pidana anak, tidak hanya melibatkan aparat penegak hukum
(polisi, jaksa dan hakim) yang merupakan unsur pokok dari proses diversi tersebut
melainkan juga melibatkan beberapa elemen didalamnya guna untuk memperoleh
atau mencapai kesepakatan yang bisa dikehendaki bersama untuk menyelesaikan
perkara pidana anak tersebut dengan tetap mengutamakan kepentingan yang
terbaik bagi anak. Sebagaimana yang sudah dicantumkan oleh Pasal 8 ayat 1 UU

Universitas Sumatera Utara

61

SPPA59 yang menentukan pihak-pihak lain diluar aparat penegak hukum yang
terlibat dalam proses pelaksanaan diversi, yaitu :
1. Anak dan orang tua/Walinya, merupakan anak yang menjadi pelaku
dalam tindak pidana yang didampingi oleh orang tuanya selaku
perwakilan dari pihak keluarga si anak. Wali adalah orang atau badan
yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang
tua anak, kehadiran wali disini untuk mendampingi anak sama halnya
dengan orang tua.
2. Korban, merupakan orang yang mengalami kerugian baik fisik maupun
psikis dan/atau materi atas perbuatan yang dilakukan oleh anak sebagai
pelaku. Korban dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu korban dewasa
dan anak. Untuk dapat membedakannya Pasal 1 angka 4 UU SPPA
secara limitatif menyatakan bahwa :
“Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut
anak korban adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana.”
Secara tersirat dapat disimpulkan bahwa yang dikategorikan sebagai
korban dewasa adalah seseorang yang telah berusia 18 tahun keatas dan
korban anak adalah seseorang yang belum genap berumur 18 tahun.

59

Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menyebutkan bahwa “Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan
Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan
dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.”

Universitas Sumatera Utara

62

3. Pembimbing Kemasyarakatan

atau

biasa

disebut

dengan

PK,

merupakan pejabat fungsional Bapas yang menjalankan penelitian
kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan
terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan. Petugas Bapas
yang dapat diangkat menjadi PK terlebih dahulu harus memenuhi
syartat yang telah ditentukan oleh Pasal 64 ayat 2 UU SPPA sebagai
berikut :
a. Berijazah paling rendah diploma tiga (D-3) bidang ilmu sosial atau
setara atau telah berpengalaman bekerja sebagai pembantu
Pembimbing Kemasyarakatan bagi lulusan :
1) Sekolah Menengah Kejuruan bidang pekerjaan sosial
berpengalaman paling singkat 1 (satu) tahun; atau
2) Sekolah Menengah Atas dan berpengalaman di bidang pekerjaan
sosial paling singkat 3 (tiga) tahun.
b. Sehat jasmani dan rohani.
c. Pangkat/golongan ruang paling rendah Pengatur Muda Tingkat
I/II/b.
d. Mempunyai minat, perhatian dan dedikasi di bidang pelayanan dan
pembimbingan pemasyarakatan serta perlindungan anak.
e. Telah mengikuti pelatihan teknis Pembimbingan Kemasyarakatan
dan memiliki sertifikat.
Seorang petugas/pegawai Bapas yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud diatas tidak serta merta membuatnya lansung
menjadi seorang Pembimbing Kemasyarakatan atau PK, tetapi haruslah
lebih dahulu menjadi Pembantu Pembimbing Kemasyarakatan atau
PPK yang bertugas untuk membantu tugas dari PK. Bahwa untuk
menjadi seorang PK maka terlebih dahulu harus menjadi seorang PPK
yang nantinya akan dilakukan penilaian untuk diangkat menjadi PK,
biasanya dilihat juga dari tingkat pendidikannya apabila PPK berlatar
belakang S1 maka dia akan menjabat menjadi PPK minimal 1 tahun,

Universitas Sumatera Utara

63

apabila D-3 minimal 2 tahun dan apabila hanya dari lulusan SLTA
minimal 3 tahun.60
4. Pekerja Sosial Profesional, merupakan seorang yang bekerja baik di
lemabaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan
profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang
diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek
pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan
masalah sosial anak. Pasal 66 UU SPPA mencantumkan syarat untuk
dapat diangkat menjadi Pekerja Sosial Profesional sebagai berikut :
a. Berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4)
di bidang pekerjaan sosial atau kesejaterahan sosial.
b. Berpengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun dibidang praktek
pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kes