Peranan Bapas Dalam Diversi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Bapas Klas I Medan)

12

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut dengan Bapas merupakan
salah satu badan di bawah lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI. Kantor
Bapas biasanya terletak di wilayan Ibukota Provinsi, akan tetapi wilayah kerja
dari Bapas itu sendiri mencakup beberapa wilayah kabupaten/kota. Adakalanya
juga untuk 1 Provinsi terdapat beberapa Kantor Bapas, ini dilakukan untuk
mengantisipasi letak kabupaten/kota yang sangat jauh dari Ibukota Provinsi. Di
Indonesia saat ini terdapat ada 71 unit Bapas yang tersebar di 33 Provinsi,
sedangkan di Provinsi Sumatera Utara sendiri terdapat 2 Kantor Bapas yang
meliputi Bapas Klas I yang berada di Kota Medan dan Bapas Klas II yang berada
di Kota Sibolga.
Bapas Klas I Medan memiliki cakupan wilayah kerja yang meliputi : Kota
Medan, Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, Kota Tanjung
Balai, Kab. Langkat, Kab. Deli Serdang, Kab. Serdang Bedagai, Kab. Batubara,
Kab. Asahan, Kab. Labuhan Batu, Kab. Labuhan Batu Utara, Kab. Labuhan Batu
Selatan, Kab. Tanah Karo, Kab. Dairi, Kab. Pakpak Barat, dan Kab. Simalungun.
Sementara itu Bapas Klas II Sibolga memiliki cakupan wilayah kerja yang

meliputi : Kota Sibolga, Kab. Mandailing Natal, Kab. Nias, Kab. Nias Selatan,
Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Tapanuli Utara, Kab. Tapanuli Selatan. Kab. Padang

Universitas Sumatera Utara

13

Sidempuan, Kab. Toba Samosir, Kab. Samosir, Kab. Humbang Hansudutan, Kab.
Padang Lawas dan Kab. Padang Lawas Utara.1
Bapas bukanlah suatu badan atau lembaga baru di Indonesia karna pada
dasarnya Bapas sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan
Belanda di Indonesia dikenal Jawatan Reklasering pada tahun 1927 yang terletak
di Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun 1930 – 1935 berdasarkan
Surat Keputusan No.11 yang mana Jawatan Reklasering dan Pendidikan Paksa
dihapuskan, sedangkan tugas-tugasnya dilimpahkan kepada Kepenjaraan yang
selanjutnya disebut Inspektorat Reklasering dan Pendidikan Paksa yang mana
tugasnya : Menangani Lembaga-Lembaga Anak yang disebut Rumah Pendidikan
Anak (RPN) dan Menangani Lepas Bersyarat, Pidana Bersyarat dan Pembinaan
Lanjutan serta Anak yang dijatuhi hukuman oleh Hakim kembali ke Orang Tua.
Masa penjajahan Jepang badan ini tetap ada dan tidak dihapuskan hanya saja

tugasnya saja yang dikurangi, pada masa itu tugas pelaksanaan Lepas Bersyarat
sudah tidak ada lagi.
Pada Masa Kemerdekaan Indonesia Sistem Kepenjaraan berubah dengan
Sistem Pemasyarakatan ( 27 April 1964) dengan Keputusan Presedium Kabinet
Ampera No.75/U/Kep/II/66, Struktur Organisasi berubah menjadi Direktorat
Jendral Pemasyarakatan dengan dua direktoratnya bertugas membina klien di
dalam

Lembaga

Pemasyarakatan

dan

membina

klien

diluar


Lembaga

Pemasyarakatan yang mencakup pula Pembinaan Anak di dalam pemasyarakatan
yang disebut Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak
1

Edy Ikhsan, Diversi dan Keadilan Restoratif Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan
Masyarakat, Medan : Pustaka Indonesia, 2014, hlm.58.

Universitas Sumatera Utara

14

(BISPA).

Berdasarkan

Surat

Keputusan


Menteri

Kehakiman

RI

No.M.02.PR.07.03 Tahun 1987 tentang Organisasi dan Tata Kerja BISPA maka
Balai BISPA diganti dengan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dan di
klasifikasikan menjadi dua yaitu BAPAS Klas I dan BAPAS Klas II berdasarkan
lokasi, beban kerja dan wilayah kerja. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen
Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-23 tanggal 9 Maret, dapat diangkat Pembimbing
Kemasyarakatan yang berasal dari LAPAS/RUTAN/Cab.RUTAN pada daerah
yang tidak dapat dijangkau yang berfungsi melaksanakan tugas Bapas.2
Sebelum adanya Bapas tersebut ada suatu lembaga yang dikenal dengan
Pra Yuwana yang didirikan pada tahun 1957 oleh Departemen Kehakiman. Pra
Yuwana ini awalnya dikenal dengan Pro Juventute yang merupakan suatu
organisasi yang didirikan oleh pemuda-pemuda yang sudah ada sejak zaman
penjajahan belanda bahkan telah mendapat pengakuan dari pemerintahan belanda
pada masa itu, organisasi ini bergerak untuk memberikan bimbingan kepada

orangtua yang mengalami kesulitan dalam memberikan nasihat dan bimbingan
kepada anak-anak yang terlibat kejahatan.
Pada tahun 1967 Pra Yuwana adalah lembaga yang ditugaskan membantu
pelaksanaan peradilan anak. Tujuan lembaga ini melindungi anak dan mencegah
anak-anak lainnya agar tidak melakukan pelanggaran hukum dan kesusilaan dan
membimbing anak-anak. Pra Yuwana sekaligus berfungsi sebagai Lembaga
Conseling yang memberikan bantuan/nasihat, pengawasan serta tindakan

2

Saiful Azhar, Peran Bapas Dalam Penanganan Anak Berhadapan Dengan Hukum,
Medan : Pusaka Indonesia, 2014, hlm. 24.

Universitas Sumatera Utara

15

selanjutnya bagi kliennya, apakah dimasukan ke panti asuhan pendidikan atau
dikirim ke pengadilan.
Tahun 1968 Direktorat Jenderal Kepenjaraan mendirikan Bimbingan

Pemasyarakatan (Bispa) yang petugasnya diangkat dari Akademi Sosial yang
dipersiapkan menjadi Pembimbing Petugas Kemasyarakatan yang langsung
menangani anak-anak pelanggar hukum. Dalam perkembangan selanjutnya,
berhubung kekurangan petugas dan kekurangan dana maka tugas Pra Yuwana
diambil alih. Pra Yuwana tidak lagi di bawah Departemen Kehakiman, namun di
bawah pengawasan Departemen Sosial. Tugas Pra Yuwana hanya mengenai
perempuan dan anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun. Dengan adanya
pengalihan tersebut, maka Pra Yuwana tidak lagi aktif dalam penanganan anak
yang bermasalah dengan kriminal, akan tetapi kegiatannya beralih pada anak-anak
yang putus sekolah dan sebagainya.3
Pentingnya suatu usaha dan upaya terhadap perlindungan anak memang
sudah lama disadari. Berbagai cara dilakukan untuk dapat mewujudkan usaha
perlindungan tersebut, termasuk dengan hadirnya Bapas dalam ruang lingkup
anak sebagai salah satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara atau
Pemerintah kepada anak, karena Bapas sendiri merupakan salah satu instrumen
pemerintah.
Perlindungan kepada anak harus diusahakan oleh setiap orang atau
masyarakat termasuk juga Negara sebagai organisasi tertinggi dari masyarakat dan
3


http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact
=8&ved=0ahUKEwjM99OStp3MAhUEm5QKHYxBC5sQFghIMAY&url=http%3A%2F%2Frep
ository.usu.ac.id%2Fbitstream%2F123456789%2F48542%2F3%2FChapter%2520II.pdf&usg=AF
QjCNE6ikbWcu5bHJPNNFdbNkK5F8gvLA&bvm=bv.119745492,d.dGo. Diakses Tanggal 20
April 2016, Pukul 23.05 WIB.

Universitas Sumatera Utara

16

Pemerintah sebagai alat untuk menjalakan negara tersebut. Perlindungan yang
dilakukan oleh Negara atau Pemerintah terhadap anak dengan memberikan
dukungan sarana dan prasarana (negara sebagai fasilitator) sedangkan
perlindungan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anak dengan cara berperan
serta dalam mengupayakan terselenggaranya perlindungan anak. Lebih jauh lagi
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
memuat secara rinci mengenai perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi
kewajiban dan tanggung jawab dari pemerintah, sebagai berikut :
1.
2.

3.
4.
5.
6.

Anak dalam situasi darurat
Anak yang berhadapan dengan hukum.
Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi.
Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual.
Anak yang diperdagangkan.
Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza).
7. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan.
8. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental.
9. Anak yang menyandang cacat, dan
10. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita
luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai
sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluasluasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani
dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam

suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam
berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam
kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Kegiatan

Universitas Sumatera Utara

17

perlindungan anak yang diberikan tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri,
sehingga

usaha

perlindungan

yang

dilakukan


tidak

berakibat

negatif.

Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat
yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efesien. Usaha perlindungan
anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas, dan hal-hal lain
yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak
terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan
hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.4
Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang seutuhnya.
Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan
setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut
meminta. Hukum pidana menjadi legitimasi untuk mengurangi dan membatasi
penikmatan hak asasi seseorang, tak terkecuali anak yang berkonflik dengan
hukum. Anak yang berkonflik dengan hikum memang menjadi objek dari

keberadaan hukum pidana, akan tetapi terdapat sejumlah hak dan kebebasan yang
tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun. Sejumlah hak ini dikenal dengan
hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh
negara walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak tersebut adalah hak
atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari pemidanaan yang berlaku

4

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak : dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2014, hlm. 40-41.

Universitas Sumatera Utara

18

surut, dan hak sebagai subjek hukum (Pasal 4 Ayat (2) Konvensi Internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik).5
Dunia hukum mengalami perubahan cara pandang dalam penanganan anak
yang melakukan perbuatan melawan hukum. Banyak negara yang mulai
meninggalkan mekanisme sistem peradilan pidana anak yang bersifat represif
karena sistem tersebut dianggap gagal memperbaiki tingkah laku dan mengurangi
tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Hal ini dikarenakan peningkatan
kesadaran bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Secara kejiwaan masa
anak-anak adalah periode yang rentan yang membuat anak menjadi belum
mandiri, belum memiliki kesadaran penuh serta kepribadian belum stabil atau
belum terbentuk secara utuh. Keadaan psikologi anak masih labil, tidak
independen, dan gampang terpengaruh. Kondisi demikian, perbuatan yang
dilakukan oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggung jawabkan oleh anak
sendiri, karena anak bukan pelaku murni, melainkan juga dapat dipandang sebagai
korban.
Anak seharusnya tidak dihadapkan pada sistem peradilan jika ada cara
yang lebih tidak menekan untuk menangani perbuatan yang melawan hukum,
maka dari itu dalam rangka memberikan pemenuhan hak terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan
hukum

terhadap

anak-anak

Indonesia.

Menerbitkan

berbagai

peraturan

perundang-undangan yang merumuskan perlindungan terhadap anak-anak yang
berhadapan dengan hukum, salah satu implementasinya adalah dengan lahirnya

5

Ibid, hlm. 204-205.

Universitas Sumatera Utara

19

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
selanjutnya disebut UU SPPA. Kehadiran UU SPPA sekaligus memberlakukan
proses pemeriksaan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana yang
penanganannya melibatkan beberapa Lembaga Negara yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, Departemen Hukum dan HAM, serta Departemen Sosial
secara terpadu dengan mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak-anak.
Sistem peradilan pidana yang diatur dalam UU SPPA, telah memberikan
perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dalam proses
peradilan pidananya, meskipun proses peradilan pidana yang harus dilalui
jalurnya sama yaitu Polisi, Jaksa, Peradilan, dan Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA), namun yang berbeda adalah terlihat pada perlakuan yang diberikan
pada umumnya oleh aparat dalam setiap jenjang sistem peradilan pidana,
misalnya adanya polisi khusus yang khusus menangani perkara anak dan polisi
khusus yang dimaksud disini adalah Penyidik Polri yang terpilih dan memiliki
dedikasi dan memahami masalah anak. Penyidik Polri yang dapat di tetapkan
sebagai Penyidik Anak harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan
(Pasal 26 Ayat (2) UU SPPA), demikian juga yang berlaku pada Jaksa Khusus
Anak, Hakim Anak dan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak. 6
Dicantumkannya konsep diversi sebagai bentuk penanganan terhadap anak
yang bermasalah dengan hukum merupakan bentuk pembaharuan dalam sistem
peradilan anak di Indonesia. Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa
proses peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan.

6

Ibid, hlm. 211-212.

Universitas Sumatera Utara

20

Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak
atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik
untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana. Pertimbangan
dilakukannya diversi merupakan filosofi sistem peradilan pidana anak untuk
melindungi dan merehabilitasi anak pelaku tindak pidana.7
Diversi tidak bertujuan untuk mengabaikan hukum dan keadilan sama
sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk
membuat orang mentaati hukum. Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat
untuk

taat

dan

menegakkan

hukum

negara,

pelaksanaannya

tetap

mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian
kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi,
kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi dilakukan dengan alasan
untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelangar hukum agar menjadi orang
yang baik kembali melalui jalur non formal (luar pengadilan) dengan melibatkan
sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus
anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana. 8

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam latar belakang diatas, maka
permasalahan yang akan diuraikan sebagai berikutnya :
1. Bagaimana pengaturan Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ?
7

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam Hukum Pidana,
Medan : USU Press, 2010, hlm. 11.
8
Ibid, hlm. 14-15.

Universitas Sumatera Utara

21

2. Bagaimana peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I Medan dalam
pelaksanaan proses Diversi ?
3. Apa saja faktor yang menghambat Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I
Medan dalam melaksanakan proses Diversi ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini yaitu :
1. Untuk mencapai pemahaman bagaimana peranan Bapas dalam melaksanakan
proses Diversi
2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menghambat Bapas dalam
melaksanakan proses Diversi
Karya tulis ini diharapkan akan dapat menambah dan memperkaya
literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya peran Bapas dalam
proses pelaksanaan diversi. Karya tulis ini diharapkan juga dapat menjadi bahan
acuan untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi. Disamping itu
melalui skripsi ini kiranya dapat memberikan sumbangan pemikran khususnya
mengenai faktor yang menhambat Bapas dalam melaksanakan proses diversi.
Penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat secara teoritis dan praktis
sebagai berikut :
a. Secara Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih untuk ilmu
pengetahuan

seluas-luasnya

secara

umum

serta

membantu

dalam

mengembangkan ilmu hukum pidana khususnya. Terlebih lagi menambah

Universitas Sumatera Utara

22

informasi terhadap pemikiran yang berkonsentrasi dalam perlindungan hukum
kepada anak di Indonesia melalui mekanisme Diversi. Skripsi ini juga
diharapkan mampu memenuhi pengetahuan para pihak yang ingin atau pun
sedang mendalami pengetahuan mengenai BAPAS antara lain oleh mahasiswa,
akademisi maupun masyarakat luas.
b. Secara Praktis
Memberikan informasi dan tambahan masukan serta konstribusi pemikiran
kepada aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim, advokat dan institusi
lainnya yang terkait dan juga kepada masyarakat luas dalam mengikutsertakan
perannya terhadap pengembangan konsep Diversi.

D. Keaslian Penulis
Mengenai keaslian penulisan skripsi ini dibuat sendiri oleh penulis setelah
memahami mengenai peran Bapas dalam pelaksanaan diversi, maka penulis
merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut.
Setelah dilakukan penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara melalui uji bersih dan hasilnya dikeluarkan pada tanggal 4
Februari 2016, menyatakan bahwa belum terdapat tulisan yang mengangkat
tentang “ Peran Bapas Dalam Diversi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap
Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Bapas Klas I Medan)”.
Penulisan skripsi ini dapat dikatakan masih baru, sehingga keabsahannya dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan akademis.

Universitas Sumatera Utara

23

E. Tinjauan Kepustakaan.
1. Pengertian Anak
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah
keturunan kedua. Konsideran Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, mengatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas bangsa, memiliki
peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelansungan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Setiap anak kelak haruslah mampu
memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan yang seluasluasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun
sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk
mewujudkan kesejaterahan anak dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Berbagai
peraturan perundang-undangan di Indonesia baik yang pernah berlaku maupun
yang masih berlaku tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kritetia anak,
definisi anak hanya ditentukan oleh satu aspek yaitu batas usia seseorang akan
tetapi dapat dikecualikan apabila telah menikah. Batas usia anak memberikan
pengelompokan terhadap seseorang untuk kemudian dapat disebut sebagai
seorang anak. Batas usia adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud
kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status
menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung
jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum

Universitas Sumatera Utara

24

yang dilakukana anak itu.9 Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini,
menjadikan kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Menentukan batas usia dalam kaitannya
dengan definisi anak, maka kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia
anak mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undangundang, misalnya :
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejaterahan Anak,
mendefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun
dan belum pernah kawin.
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun Hak Asasi Manusia, mendefinisikan
bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum
pernah kawin.
c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 trntang Ketenagakerjaan,
mendefinisikan bahwa anak orang yang berumur dibawah 18 tahun.
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dikonotasian menjadi
anak berusia 7 sampai 15 tahun.
e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih didalam
kandungan.

9

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hlm. 127.

Universitas Sumatera Utara

25

f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, mendefinisikan anak adalah seseorang yang telah berumur 12 tahun
tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak melakukan
tindak pidana.10
Tidak adanya keseragaman mengenai definisi atau kriteria anak di
Indonesia menciptakan suatu konsekuensi tersendiri dalam sistem hukum yang
berlaku yang mana seseorang dapat dikategorikan sebagai anak berdasarkan
keadaan hukum yang ada pada saat itu. Setiap orang yang bersinggungan dengan
hukum pidana maka untuk dapat menentukan orang tersebut dikategorikan
sebagai anak atau bukan, maka akan merujuk kepada ketentuan UU SPPA karena
dalam hukum pidana pengertian anak pada hakikatnya menunjuk kepada
persoalan batas usia pertanggungjawaban pidana.
2. Pengertian Bapas
Balai Pemasyarakatan atau yang dikenal dengan istilah Bapas mulai
dikenal dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatn.
Namun Bapas memiliki beberapa pengertian dari beberapa peraturan yang saling
berkaitan, yaitu :
a. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyebutkan
Bapas

adalah

pranata

untuk

melaksanakan

bimbingan

klien

pemasyarakatan.11
b. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
menyebutkan Bapas adalah unit pelaksanaan teknis pemasyarakatan yang
10
11

Ibid, hlm. 8-10.
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pemasyarakatan.

Universitas Sumatera Utara

26

melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan,
pengawasan, dan pendampingan. 12
Khusus dalam penanganan terhadap anak, peran Bapas sendiri mulai
terlihat jelas sejak berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Pidana Anak pada tanggal 3 Januari 1998 yang mana terdapat petugas
khusus yang kehadirannya sangat penting dalam acara peradilan pidana anak di
Indonesia yaitu Petugas Pembimbingan Kemasyarakatan atau lebih dikenal
dengan sebutan Bapas. Salah satu yang menjadi tugas dari Bapas ini adalah
melakukan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) yang mana hasil dari Penelitian
Kemasyrakatan ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dan
diperhatikan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dalam memeriksa perkara
anak. Pada saat lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang sekaligus mencabut Undang-Undang No. 3 Tahun
1997, memasukan diversi sebagai salah satu bentuk penyelesaian perkara anak
yang juga melibatkan peran serta Bapas di dalam proses diversi tersebut selain
Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim.13
3. Pengertian Diversi
Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.14 Ide dasar diversi atau
pengalihan ini adalah untuk menghindari efek negatif pemeriksaan konvensional
peradilan pidana anak terhadap anak, baik efek negatif proses peradilan maupun
12

Pasal 1 angka 24 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

13

Edy Ikhsan, Op.Cit, hlm. 58.
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak.
14

Anak.

Universitas Sumatera Utara

27

efek negatif stigma (cap jahat) proses peradilan, maka pemeriksaan secara
konvensional dialihkan, dan kepada anak tersebut dikenakan program-program
diversi tersebut.15 Diversi pada hakikatnya bertujuan untuk tetap menjamin anak
tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun mental. Diversi itu sendiri
dapat juga dikatakan selaras atau mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan
terhadap anak.
Tujuan dari pemidanaan anak itu sendiri adalah untuk tetap memberikan
jaminan kepada anak agar tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun
secara mental. Melaksanakan perampasan kemerdekaan terhadap anak khususnya
dalam bentuk penjara melalui mekanisme peradilan pidana memberikan
pengalaman

yang

traumatis

terhadap

anak,

sehingga

anak

terganggu

perkembangan dan pertumbuhan jiwanya. Pada waktu anak bersentuhan dengan
dunia peradilan maka hal tersebut akan menjadi pengalaman pahit dan bayangbayang gelap kehidupan anak yang tidak mudah dilupakan karena pada dasarnya
anak belum siap secara mental.16 Pelaksanaan diversi dilatar belakangi keinginan
menghindarkan efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh
keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat
penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut
discretion atau dalam bahasa Indonesia disebut diskresi.17

15

Marjoko, Penerapan Diversi Dalam Penanganan Anak Berkonflik Hukum, Medan :
Pusaka Indonesia, 2014, hlm. 24.
16
Koesno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika Oleh Anak, Malang : UMM Prees, 2014, hlm. 28-29.
17
Marlina, Op.Cit, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

28

4. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian
perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai
dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.18 Istilah sistem peradilan
pidana anak merupakan terjemahan dari istilah “The Juvenile Justice System”
yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan jumlah institusi yang
tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan
penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak dan
fasilitas-fasilitas penahanan anak. Penggunaan kata sistem peradilan pidana anak,
mengandung istilah “sistem peradilan pidana” dan istilah “anak”. Kata “anak”
dalam frasa “sistem peradilan pidana anak” mesti dicantumkan, hal ini bertujuan
untuk dapat membedakan dengan sistem peradilan pidana orang dewasa. Sistem
peradilan pidana anak merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Sistem
peradilan pidana (Criminal Justice System) menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.19
Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan Terpidana.
Sistem peradilan pidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja
sama yaitu: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan
(LAPAS). Keempat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu
“integrated criminal justice system” atau dikenal dengan “sistem peradilan pidana
terpadu”. Sistem perdilan pidana juga dikatakan sebagai bentuk jaringan
18

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

19

M. Nasir Djamil, Op.Cit, hlm. 43-44.

Anak.

Universitas Sumatera Utara

29

(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,
baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun pelaksanaan
pidananya.20 Walaupun sistem peradilan pidana anak merupakan bagian dari
sistem peradilan pidana akan tetapi sistem peradilan pidana anak berbeda dengan
sistem peradilan pidana tersebut. Perbedaan tersebut terletak pada objeknya yaitu
hanya khusus anak, pada sistem peradilan pidana anak meliputi segala aktivitas
pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak. Menekankan
atau memusatkan pada “kepentingan anak” harus merupakan pusat perhatian
dalam

pemeriksaan

perkara

pidana

anak.21

Sistem

peradilan

pidana

diselenggarakan dengan memperhatikan kesejaterahan anak. Kesejaterahan anak
itu penting karena:
a. Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang landasannya telah
diletakan oleh generasi sebelunya.
b. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka perlu
mendapat kesempatan untuk tumbuh, berkembang secara wajar.
c. Bahwa didalam masyarakat terdapat anak-anak yang mengalami hambatan
kesejaterahan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi.
d. Anak belum mampu memelihara dirinya. 22
Pada dasarnya sistem peradilan pidana merupakan upaya penanggulangan
kejahatan yang bersifaf penal yaitu menggunakan hukum pidana sebagai sarana
utama yang meliputi hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Melalui
sistem peradilan pidana masyarakat berharap agar intrumen-intrumen didalam
20

Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 80-81.
Ibid, hlm. 84.
22
Ibid, hlm. 90.
21

Universitas Sumatera Utara

30

sistem peradilan pidana tersebut bergerak secara terpadu dalam mencapai suatu
tujuan yang dihendaki bersama yaitu mencegah terjadinya kejahatan. Sistem
peradilan pidana memiliki dua tujuan yaitu untuk melindungi masyarakat dan
menegakan hukum. Hadirnya diversi dalam tatanan sistem peradilan pidana
menggeser presfektif dari sistem peradilan pidana tersebut yang awalnya
mengedepankan pemidanaan atau penjatuhan hukuman terhadap si pelaku.23

F. Metode Penelitian.
1. Jenis Penelitian
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan maka dalam
penelitian ini digunakan 2 (dua) metode yaitu Yuridis Normatif dan Empiris.
Yuridis Normatif adalah metode penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka yaitu berupa pendekatan dengan perundang-undangan dan pendekatan
konsep. Metode Empiris adalah metode yang dilakukan untuk mendapat data
primer.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian dilakukan di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I
Medan.
3. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder
yang didukung oeh data primer. Data sekunder yang dimaksud adalah sebagai
berikut :

23

Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 1993, hlm. 13.

Universitas Sumatera Utara

31

a. Bahan Hukum Primer yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat
dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan sebagainya.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan
informasi atau hasil kajian tentang Balai Pemasyarakatan.
4. Metode Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini menggunakan metode Library Research (Penelitian
Kepustakaan). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatancatatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan
dipecahkan24 serta Wawancara yang dilakukan dilakukan di Balai Pemasyarakatan
Klas I Medan.
5. Analisa Data
Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari penelitian
kelapangan akan dianalisa secara kualitatif. Perolehan data dari analisis
kualitatif ini adalah diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan
teknik pengumpulan data yang bermacam-macam. Data kuliatatif adalah data
yang non angka yaitu berupa kata, kalimat, pernyataan dan dokumen. Dalam
penelitian kualitatif, analisa data lebih difokuskan selama proses dilapangan
bersamaan dengan pengumpulan data.25

24
25

M. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 27.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung : Alfabeta, 2013, hlm. 87.

Universitas Sumatera Utara

32

G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, dimana tiap-tiap babnya akan
menguraikan :
BAB I :

Berisikan pendahuluan yang menguraikan latar belakang judul
penulisan diangkat, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, tinjauan kepustakaan
dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini membahas mengenai pengaturan penerapan diversi yang
meliputi asas-asas dalam sistem peradilan pidana anak, tujuan sistem
peradilan pidana, pendekatan yang digunakan dalam diversi, tujuan
diversi, tindak pidana yang dapat dilakukan diversi, pihak-pihak yang
terlibat dalam diversi dan syarat-syarat pelaksanaan diversi.
BAB III : Bab ini membahas mengenai kedudukan Bapas dalam diversi, tugas
Bapas dalam diversi dan proses pelaksanaan diversi.
BAB IV : Bab ini membahas mengenai faktor-faktor yang menghambat Bapas
Klas I Medan dalam pelaksanaan diversi baik faktor internal maupun
eksternal.
BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab terdahulu serta berisikan
saran terhadap penerapan diversi kepada anak.

Universitas Sumatera Utara