Pendugaan Stok Karbon di Atas Permukaan Tanah di Arboretum Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Indonesia
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap. Kawasan
hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan
hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai
kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. Penetapan kawasan hutan juga
ditujukan untuk menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan
sebagai penggerak perekonomian lokal, regional, nasional, serta penyangga
kehidupan lokal, regional, nasional dan global (Departemen Kehutanan, 2011).
Menurut UU RI No. 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan. Pengertian hutan dapat ditinjau dari beberapa faktor antara lain: wujud
biofisik lahan dan tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional
pengelolaan atau kegiatan tertentu lainnya, dan status hukum lahan hutan
(Departemen Kehutanan, 2007).
Hutan bukan hanya kumpulan pohon-pohon yang dieksploitasi hasil kayunya
saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat
tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah,

jasad renik tanah, hewan, dan alam lingkungannya. Semuanya itu mempunyai
keterkaitan yang saling bergantung satu sama lain. Selain saling bergantung, di dalam

Universitas Sumatera Utara

hutan juga terjadi persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari,
ataupun tempat tumbuh (Arief, 2001).
Hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki ciri-ciri yaitu iklim
yang selalu basah, tanah podsol, latosol, aluvial, dan regosol, drainase tanah baik,
serta terletak jauh dari pantai. Tegakannya didominasi oleh pohon-pohon yang selalu
hijau dan tidak menggugurkan daun. Hutan hujan tropis juga memiliki berbagai jenis
kayu penting yang berasal dari suku dipterocarpaceae seperti Shorea, Dipterocarpus,
Vatica, dan Dryobalanops, serta genus-genus lain seperti Agathis, Altingia, Dialium,
Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Kompassia, dan Octomeles. (Suhendang (2002).
Menurut Kementerian Kehutanan (2011), Indonesia mengalami perubahan
penutupan hutan dan lahan yang cukup cepat. Perubahan ini terutama terjadi setelah
adanya perubahan iklim politik di Indonesia sejak tahun 1999. Aktivitas pemantauan
penutupan lahan secara nasional dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Pemantauan penutupan lahan menggunakan Citra Landsat 7 ETM+ dengan
resolusi spasial 30 meter (citra resolusi sedang) sehingga dianggap cocok

untuk melakukan pemantauan sumber daya hutan pada skala nasional. Dengan
resolusi spasial 30 meter cukup memudahkan penafsir dalam mengidentifikasi
obyek-obyek yang ada diatas citra. Sementara itu citra resolusi sedang
umumnya mampu untuk menjangkau wilayah yang relative luas karena
cakupan sapuan citra satelitnya yang cukup luas (185 km).
2. Pemetaan penutupan lahan dengan citra Landsat 7 ETM+ ini hanya bisa
dilakukan setiap tiga tahunan mengingat sulitnya untuk mendapatkan citra
satelit yang bebas awan.

Universitas Sumatera Utara

3. Penggunaan citra resolusi tinggi seperti Quickbird atau Ikonos akan
memberikan informasi yang lebih detil namun biasanya hanya dapat
menjangkau wilayah yang relative sempit.
4. Pemetaan penutupan lahan menggunakan sistem klasifikasi 23 kelas
penutupan lahan. Penafsiran citra dilakukan dengan metode penafsiran visual
dengan mendelineasi kelas penutupan lahan dengan kunci interpretasi.
Karbon Hutan
Cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar
antara 7,5 – 264,70 ton C/ha. Secara umum pada hutan lahan kering primer mampu

menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan lahan
kering sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap
tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam
dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang menyebabkan
berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap kemampuannya
menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa primer dan hutan rawa
sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif memiliki kemampuan
menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar daripada hutan rawa dan mangrove
karena kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar
sebagai tempat menyimpan karbon (Hairiah et al.,2001).
Cadangan karbon untuk berbagai jenis pohon dan umur di hutan tanaman.
Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan karbon lebih rendah dibandingkan
hutan alam. Pada hutan tanaman didominasi oleh tanaman yang cenderung

Universitas Sumatera Utara

monokultur dan tanaman berumur muda. Apabila dilihat dari produktivitasnya
menyimpan karbon (persatuan luas dan per satuan waktu) maka ada kemungkinan
hutan tanaman akan memiliki kemampuan menyimpan karbon pada tegakannya
dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan di hutan alam karena daurnya lebih

pendek (Hairiah et al.,2001).
Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan karbon lebih rendah
dibandingkan hutan alam. Pada hutan tanaman didominasi oleh tanaman yang
cenderung monokultur dan tanaman berumur muda. Apabila dilihat dari
produktivitasnya menyimpan karbon (persatuan luas dan per satuan waktu) maka ada
kemungkinan hutan tanaman akan memiliki kemampuan menyimpan karbon pada
tegakannya dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan di hutan alam karena
daurnya lebih pendek (Hairiah et al.,2001).
Cadangan karbon pada kawasan non hutan pada berbagai jenis tanaman dan
umur berkisar antara 0,7 – 932,96 ton/ha. Kemampuan penyimpan karbon dapat juga
terjadi diluar kawasan hutan pada beberapa pemanfaatan lahan yang terdapat berbagai
tumbuhan. Savana atau padang rumput dan semak belukar memiliki keterbatasan
dalam menyimpan karbon, sementara untuk hutan kota dan ruang terbuka hijau yang
didominasi oleh tumbuhan berupa pepohonan kemampuan menyimpan karbonnya
lebih tinggi bahkan hampir sama dengan kawasan hutan lahan kering primer. Lahan
yang kelola masyarakat dalam bentuk agroforestri yang di dalamnya terdapat
pepohonan juga potensial dalam menyimpan karbon (Hairiah et al.,2001).
Jumlah karbon yang tersimpan dalam hutan di seluruh dunia mencapai 830
milyar ton. Jumlah ini sama dengan kandungan karbon dalam atmosfir yang terikat


Universitas Sumatera Utara

dalam CO2. Secara kasar, sekitar 40% atau 330 milyar ton karbon tersimpan dalam
bagian pohon dan bagian tumbuhan hutan lainnya di atas permukaan tanah,
sedangkan sisanya sekitar 60% atau 500 milyar ton tersimpan dalam tanah hutan dan
akar-akar tumbuhan di dalam tanah (Suhendang, 2002).
Panjang jangka penyimpanan karbon di dalam hutan akan sangat tergantung
pada pengelolaan hutannya sendiri termasuk cara mengatasi gangguan yang mungkin
terjadi. potensi penyerapan karbon ekosistem dunia tergantung pada tipe dan kondisi
ekosistemnya yaitu komposisi jenis, struktur dan sebaran umur (khusus untuk hutan)
(Hairiah dkk, 2001).
Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon
Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan iklim.
Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan
(reservoir) karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran
bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga. Ketika terjadi
penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan
dilepaskan kembali ke atmosfer (Rusmantoro, 2003).
Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat
dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara.

Siklus karbon global melibatkan transfer karbon dari berbagai reservoir. Jika
dibandingkan dengan sumber karbon yang tidak reaktif, biosfer mengandung karbon
yang lebih sedikit, namun demikian siklus yang terjadi sangat dinamik di alam (Vlek,
1997).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Karbon di dalam berbagai reservoir dari siklus global
Lokasi
Udara
Darat

CO2-atmosfer
Biomassa
Bahan organik tanah
Produksi bersih/tahun
Pelepasan dari fosil
Laut
Biomassa
C-organik terlarut

C-anorganik (HCO3)
Produksi bersih/tahun
Sedimen C-anorganik (HCO3)
Batu bara dan minyak

Satuan C (ton x 1010)
70
59
85
6.3
0.5
0.3
100
3.500
45
2.000.000
1.000

Sumber: IPPC The International Panel on Panel Climate Change (2000)


Sejumlah besar kalsium karbonat dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu
telah terlarut dan tercuci dari permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang
sama telah terpresipitasi dari air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal
(residence time) karbon di dalam atmosfer dalam pertukarannya dengan hidrosfer
berkisar antara 5 – 10 tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman dan
binatang sekitar 300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan dengan
residence time untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon dalam sedimen dan
bahan bakar fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997).
Hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan
metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah
748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX
sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan
kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan dem ikian untuk tahun 1994 tingkat emisi
CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah
menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan

Universitas Sumatera Utara

sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat
penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah

memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara
global di atmosfer (Widjaja, 2002).
Pemanasan Global
Pemanasan global adalah salah satu isu lingkungan penting yang saat ini
menjadi perhatian berbagai pihak. Akibat pemanasan global, terjadi peningkatan
temperatur rata-rata laut dan daratan bumi yang disebabkan oleh kegiatan industri dan
semakin berkurangnya penutupan lahan khususnya hutan akibat laju deforestasi
akhir-akhir ini. Menurut Departemen Kehutanan (2007), penyebab dari pemanasan
global adalah efek gas rumah kaca yaitu energi yang diterima dari sinar matahari
yang diserap sebagai radiasi gelombang pendek dan dikembalikan keangkasa sebagai
radiasi inframerah gelombang panjang. Gas-gas rumah kaca menyerap radiasi
inframerah dan terperangkap di atmosfer dalam bentuk energi panas. Peristiwa ini
dikenal dengan efek rumah kaca dimana panas yang masuk akan terperangkap di
dalamnya dan tidak dapat menembus ke luar sehingga dapat membuat kondisi umum
menjadi lebih panas.
Sugiharto (2007) menyatakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengatasi masalah pemanasan global, salah satunya dengan meningkatkan
kemampuan hutan yang luasannya semakin menurun sehingga tetap mampu
mempertahankan fungsi ekologi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan. Pada
protokol Kyoto dikenal dengan adanya mekanisme pembangunan bersih atau Clean

Development Mechanism (CDM), dimana negara-negara industri dan negara

Universitas Sumatera Utara

penghasil polutan diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara
membayar negara negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka
miliki sehingga terjadi penyerapan dan penyimpanan sejumlah besar karbon. Dengan
potensi hutan yang masih luas yang dimiliki Indonesia, tentu halini menjadi peluang
emas bagi negara kita untuk memperoleh manfaat besar dari keberadaan hutannya
dengan memperoleh insentif dari perdagangan karbonyang dapat dialokasikan untuk
proyek atau program lingkungan seperti rehabilitasi dan konversi.
Siklus karbon pada ekosistem hutan menyangkut proses penyerapan dan emisi
karbon ke atmosfer. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor atau kondisi yaitu :
1) Kondisi vegetasi yang meliputi jenis atau tipe vegetasi atau hutan; 2) Kondisi
tempat tumbuh dan lingkungan yang meliputi faktor edafis, klimatis dan faktor hayati
lainnya; 3) Kondisi pengelolaan yang meliputi pengaturan ruang (tata ruang),
penentuan peruntukan/penggunaanlahan dan hutan; 4) Kondisi gangguan seperti
perubahan lingkungan, kemarau, ledakan gangguan hama dan penyakit, gangguan
perbuatan manusia seperti pembakaran, eksploitasi tidak terkelola dengan baik dan
lain-lain (Melillo et al., 1993 dalam Zak et al., 2000).

Siklus Karbon merupakan proses penyerapan dan emisi karbon, yang hasil
akhirnya adalah akumulasi atau stok karbon di tegakan atau hutan. Neraca Karbon
akan menggambarkan perubahan stok karbon dari waktu ke waktu di dalam
ekosistem hutan tersebut di dalam suatu ruang. Ada beberapa konsep umum yang
mengukur hasil yang terjadi pada siklus karbon ini yaitu: 1) Produksi Primer Bruto
(Gross Primary Production) yang merupakan penyerapan karbon dari atmosfer
melalui proses fotosintesis dengan bantuan energi matahari dan klorofil pada

Universitas Sumatera Utara

vegetasi; 2) Produksi Primer Neto (Net Primary Production) merupakan gambaran
jumlah energi yang difiksasi menjadi bahan kimia (karbon) oleh vegetasi dikurangi
oleh energi respirasi oleh vegetasi (autotrophic) berupa pelepasan karbon dioksida ke
atmosfer; dan Produksi Ekosistem Neto (Net Ecosystem Production), merupakan
gambaran metabolisme ekosistem total yaitu pembentukan bahan organik (karbon)
neto di suatu ekosistem (Hairiah et al.,2001).
Neraca Karbon dapat sebagai salah satu cermin kualitas tata kelola ekosistem
hutan. Faktor penting yang terkait mempengaruhi neraca karbon antara lain: 1) Faktor
yang mempengaruhi siklus karbon (fotosintesis, respirasi dan dekomposisi); 2) Faktor
prasyarat berupa kepastian ruang kelola, kepastian bentuk penggunaan/pengelolaan,
kepastian hak pengelolaan, yang dijamin secara legal; dan Faktor harmonisasi
kepentingan para pihak di dalam pengelolaan ekosistem hutan, untuk pencapaian
tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan(Brown et al.,1995).
Arboretum
Arboretum berasal dari bahasa latin arboreta (pohon) dan rium (tempat),
dengan demikian arboretum merupakan tempat atau wilayah untuk menanam pohon.
Arboretum adalah tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk
tujuan penelitian atau pendidikan. Secara umum arboretum memiliki kegunaan
sebagai tempat mengkoleksi berbagai jenis pohon. Arboretum sangat layak untuk
dijadikan objek wisata edukatif karena selain memiliki nilai estetika dan keindahan,
di dalamnya terdapat beraneka ragam jenis flora maupun fauna untuk dijadikan objek
penelitian. Di perkotaan, arboretum dapat dijadikan sebagai solusi pemenuhan ruang

Universitas Sumatera Utara

terbuka hijau, konservasi keanekaragaman hayati, mitigasi perubahan iklim, serta
daerah resapan air (Hairiah, et al., 2007).
Arboretum telah terdapat di beberapa kota di Indonesia antara lain, Arboretum
Nyaru Menteng-Bukit Batu (Palangkaraya), Arboretum Bogor, Arboretum Bangko
(Jambi), dll. Namun tidak sedikit kota besar maupun kota kecil yang belum
memenuhi luas RTH dan belum memiliki arboretum. Bahkan saat ini justru
pembangunan diarahkan untuk kemajuan sektor industri dan perekonomian. Padahal,
jika ingin menambah sektor perekonomian tanpa mengurangi nilai natural suatu kota,
misalnya dengan mengembangkan suatu arboretum sebagai pusat pendidikan dan
penelitian di ibu kota. Di beberapa kampus di Indonesia kini juga telah memiliki
arboretum sebagai tempat pendidikan, penelitian dan konservasi misalnya, Arboretum
Kehutanan UGM, Arboretum UNPAD, Arboretum Kehutanan IPB, Arboretum
Sumber Brantas (Batu), dll (Hairiah, et al., 2007).
Menurut Hairiah (2007), arboretum memiliki banyak manfaat, diantaranya
adalah sebagai berikut:


Tempat pembelajaran mengenai lingkungan dan keanekaan hayati untuk
berbagai jenjang pendidikan dan umum.



laboratorium lapangan, arboretum merupakan sumber daya plasma nutfah
(bank genetik) yang menyimpan berbagai koleksi jenis tanaman langka
khususnya dari daerah jawa barat, tanaman obat-obatan, tanaman pohon
produksi dan kolam percobaan, berbagai jenis hewan liar.



Melindungi mata air yang ada di sekitar kawasan arboretum

Universitas Sumatera Utara



Melestarikan model ekologi pedesaan seperti pekarangan tradisional,
rumah baduy, kolam, sawah, kebun dan lain-lain.



Tempat wisata pendidikan dan rekreasi.
Menurut Gultom (2012) dan Tambunan (2012), terdapat 22 jenis pohon di

Arboretum USU yang terdiri dari pohon kehutanan dan pohon buah-buahan. 5 jenis
pohon kehutanan yang paling banyak ditemukan adalah Pulai (Alstonia scholaris)
yang berjumlah 384 pohon, Mindi (Melia azedarach) berjumlah 265 pohon, Gmelina
(Gmelina Arborea) berjumlah 236 pohon, Jati (Tectona Grandis) berjumlah 127
pohon dan Mahoni (Swietenia mahagoni) berjumlah 75 pohon. Penanaman jenis yang
tepat pada lahan yang sesuai merupakan cara yang tepat dalam pengembangan
Arboretum. Arboretum USU seluas 64, 813 Ha dibangun di lahan Kampus USU
Kuala Bekala. Arboretum USU yang disahkan pada tahun 2006 masih tergolong baru
dan akan digunakan sebagai tempat dimana jenis-jenis pohon dan tanaman ditanam
dan dipelihara untuk menjadi koleksi.

Universitas Sumatera Utara