Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Pelaku Pornografi Anak Melalui Media Internet (Studi Putusan No: 2191 PID.B 2014 PN.SBY)

38

BAB II
PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PORNOGRAFI MELALUI
MEDIA INTERNET MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Perkembangan Tindak Pidana Melalui Media Internet
Internet telah menghadirkan realitas kehidupan baru kepada umat manusia.
Internet telah mengubah jarak dan waktu menjadi tidak terbatas. Dengan medium
internet orang dapat melakukan aktivitas yang dalam dunia nyata (real) sulit
dilakukan, karena terpisah oleh jarak, menjadi lebih mudah suatu realitas yang
berjarak berkilo-kilo meter dari tempat kita berada, dengan medium internet dapat
dihadirkan di hadapan kita. Kita dapat melakukan transaksi bisnis, ngobrol,
belanja, belajar dan berbagai aktivitas lain layaknya dalam kehidupan nyata. 57
Perkembangan internet tidak dapat dipisahkan dari terjadinya perang dingin
antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat seusai perang Dunia II. Perang dingin
tersebut berimplikasi dengan semakin giatnya kedua Negara mengembangkan
teknologinya dengan peruntukan militer. Internet terhubung satu sama lainnya
melalui satu set peralatan atau komputer

yang disebut router


yang

menghubungkan jaringan-jaringan menjadi satu jaringan yang sangat besar.
Internet merupakan jaringan dari jaringan jaringan, sitem-sistem komputer lokal
yang tersambung ke sistem regional nasional dan internasional menurut Andi
Hamzah dalam bukunya “Aspek-Aspek Pidana di Bidang Komputer mengartikan
cyber crime sebagai kejahatan dibidang komputer secara umum dapat diartikan
sebagai penggunaaan komputer secara ilegal dan menurt M.Yoga.P. memberikan

57

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Op. Cit hlm.31

38

39

defenisi cybercrime yang lebih menarik yaitu kejahatan dimana tindakan kriminal
hanya bisa dilakukan dengan mengunakan teknologi cyber dan terjadi di

duniacyber. Semuanya dihubungkan dengan beraneka ragam sambungan, seperti
kabel, serat optik, kawat tembaga pasangan berpilin, transmisi gelombang mikro,
atau media komunikasi lain. Setiap komputer di jaringan berkomunikasi dengan
yang lain dengan konvensi bahasa mesin yang dikenal sebagai protokol, internet
atau IP. 58
Cyber crime saat ini merujuk pada suatu tindakan kejahatan yang
berhubungan dengan dunia maya (cyber space) dan tindakan kejahatan yang
menggunakan komputer. Ada ahli yang menyamakan antara tindak kejahatan
cyber (cyber crime) dengan tindak kejahatan komputer, dan ada ahli yang
membedakan diantara keduanya. Meskipun belum ada kesepahaman mengenai
defenisi kejahatan teknologi informasi , namun ada kesamaan pengertian universal
mengenai kejahatan komputer. Kejahatan komputer atau kejahatan di dunia cyber
adalah upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan
komputer tanpa izin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan
perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau
digunakan terebut.

59

Pada awalnya para ahli hukum terfokus pada alat/perangkat keras yaitu

komputer. Namun dengan adanya perkembangan teknologi informasi berupa
jaringan internet, maka fokus dari identifikasi terhadap defenisi cyber crime lebih
diperluas lagi yaitu seluas aktivitas yang dapat dilakukan didunia maya (cyber
58

Maskun, Op.,Cit, hlm 88-92
Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi
Informasi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 7-8
59

40

spce) melalui sistem informasi yang digunakan. Jadi tidak sekedar pada
komponen hardwere-nya saja kejahatan tersebut dimaknai sebagai cyber crime,
tetapi sudah dapat diperluas dalam lingkup dunia yang dijelajahi sebagai cyber
crime, tetapi sudah dapat diperluas dalam lingkup dunia yang dijelajah oleh sistem
teknologi informasi yang bersangkutan sehingga akan lebih tepat jika pemaknaan
dari cyber crime adalah kejahatan teknologi informasi. 60
Apabila seseorang menggunakan komputer atau bagian dari jaringan
komputer tanpa seijin yang berhak, tindakan tersebut sudah tergolong pada

kejahatan komputer. Keragaman aktivitas kejahtan yang berkaitan dengan
komputer atau jaringan komputer sangat besar dan telah menimbulkan
perbendaharaan bahasa baru, misalnya hacing, cracking, virus, time bomb, worm,
troyan horse, logical bomb, spaming, hoax, dan lain-lain sebagainya. Masingmasing memiliki karakter berbeda dan implikasi yang diakibatkan oleh
tindakannya pun tidak sama. Barda Nawawi Arief menunjuk pada sistematika
Draf Convention on Cyber Crime dari Dewan Eropa beliau menyamakan istilah
antara keduanya dengan memberikan defenisi cyber crime sebagai “crime related
to technology, computers, and the internet” atau secara sederhana berarti
kejahatan yang berhubungan dengnan teknologi, komputer dan internet. 61
Sebuah situs di internet, yaitu www.MypersonalLibraryOline.com (internetwork) didefinisikan sebagai jaringan komputer yang menghubungkan situs
akademik, pemerintahan, komersil, organisasi, maupun perorangan. Internet telah
menghadirkan realitas kehidupan baru kepada umat manusia. Internet telah
60

Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (CyberCrime): Urgensi
Pengaturan dan Celah Hukumnya, Jakarta, Rajawali Press, 2012, hlm.11
61
Ibid., hlm. 8

41


mengubah jarak dan waktu menjadi tidak terbatas. Dengan internet orang dapat
melakukan berbagai aktivitas yang dalam dunia nyata (real) sulit dilakukan,
karena terpisah oleh jarak, menjadi lebih mudah. Seiring dengan populernya InterNet, masyarakat penggunanya seakan-akan mendapati suatu dunia baru yang
dinamakn cyber space sebagaimana dipopulerkan oleh William Gibson dalam
novel Neuromancer yang merupakan khayalan tentang adanya alam lain pada saat
teknologi telekomunikasi dan informatika bertemu. 62
Kejahatan dalam dunia maya (cyber crime) secara sederhana dapat
diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan media internet
sebagai alat bantu. Memang defenisi ini relatif sederhana dan belum mencakup
semua aspek yang terkandung dalam kejahatan ini, tetapi pengertian ini kiranya
dapan dipakai sebagai pedoman dalam memahami jenis kejahatan ini. Jenis-jenis
kejahatan yang masuk kedalam kategori Cyber Crime diantaranya: 63
a) Cyber-Terorism
National Police Agency Of Japan (NPA) mendefenisikan Cyber Terorism
sebagai serangan elektronik melalui jaraingan komputer terhadap
infastuktur yang memiliki efek potensi paling penting pada kegiatan sosial
dan ekonomi bangsa.
b) Cyber-Pornography: penyebarluasan muatan atau materi yang bersifat
cabul, termaksudn pornografi, muatan tidak senonoh, dan pornografi

terhap anak.

62

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Op., Cit, hlm 31-32
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Bandung, Refika Aditama, 2005, hlm. 26
63

42

c) Cyber-harssment: pelecehan seksual melalui e-mail, wbsite, atau chat
programs.
d) Cyber-Stalking: Kejahatan melakukan pengintaian melalui penggunaan
komputer dan internet.
e) Hacking:penggunaan kemampuan membuat atau mengubahsuatu program
dengan maksud yang bertentangan dengan hukum.
f) Carding (credit-card fraund): melibatkan berbagai macam aktivitas yang
melibatkan kartu kredit. Carding muncul ketika seseorang yang bukan
pemilik kartu kredit mengguna kartu kredit tersebut secara melawan

hukum
Kemajuan teknologi informasi (internet) dan segala bentuk manfaat di
dalamnya membawa konsekuensi negatif tersendiri di mana semakin mudahnya
para penjahat untuk melakukan aksinya yang semakin merisaukan masyarakat.
Penyalahgunaan yang terjadi dalam cyber space inilah yang kemudian dikenal
dengan cyber crime atau digunakan istilah computer crime. Kejahatan yang
berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan
jaringan telekomunikasi dalam beberpa literatur dan prakteknya dikelompokan
dalam beberapa bentuk:
1. Unauthorized access to computer system and service, yaitu kejahatan
yang dilakukan kedalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak
sah, tanpa izin, atau tanpa pengetahuan dari pemilik sistem jaringan
komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker)
melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi

43

penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya
hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menebus
suatu sistem yang memiliki tingkat potensi tinggi. Kejahatan ini

semakin marak dengan berkembangannya teknologi internet
2. Illegal conteks, yaitu kejahatan dengan memasukan data atau informasi
ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, dan dianggap
melanggar hukum, atau menganggap ketertiban umum.
3. Data forgery, yaitu kejahatan dengan memalsukan data pada
dokumen-dokumen penting e-commerce dengan membuat seolah-olah
terjadi ” salah ketik” yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.
4. Cyber espionage, yaitu kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet
untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan
memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak
sasaran. Kejahatan ini biasanya data-data pentingnya tersimpan dalam
suatu sistem komputerisasi.
5. Cyber sabotage and extortion, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan
membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data,
program komputer atau sisitem jaringan komputer yang tersambungan
dengan internet. Biasanya bomb, virus komputer ataupun suatu
program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem
jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana
mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.
Dalam beberapa kasus setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku


44

kejahatan tersebut menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki
data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang telah
disabotase.
6. Offence against intellectual property, yaitu kekayaan yang ditunjukan
terhadap hak kekayaan intelektual yang dimiliki seseorang di internet.
7. Infringements of privancy, yaitu kejahatan yang ditunjukan terhadap
informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan
rahasia, kejahatan ini biasanya ditunjukan terhadap keterangan pribadi
seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan
secara komputerisasi, yang apabila diketahui oleh orang lain, maka
dapat merugikan orang secara materiel maupun imateriel, seperti
nomor kartu kredit, nomor pin ATM, keterangan tentang cacat atau
penyakit tersembunyi, dan sebagainya. 64
Indonesia baru bisa menikmati layanan internet komersial pada sekitar
tahun1994. Sebelumnya, beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia
telah terlebih dahulu tersambung dengan jaringan internet melalui gateway yang
menghubungkan universitas dengan network luar negeri. 65

Penggunaan Internet Indonesia saat ini diperkirakan baru mencapai 1,5 juta
orang. mereka inilah “penduduk maya” atau netizen indonesia. Jumlah ini masih
sedikit dibandingkan dengan jumlah pengguna Internet di negara lain yang jumlah
penduduknya juga banyak. Namun jumlah yang sedikit ini memiliki keuntungan
dimana kita dapat mulai menata aturan dunia cyber Indonesia ini dengan baik.
64

Maskun,Op., Cit,hlm 47-54
Abdul wahid dan Mohammad labib,Op., Cit, hlm. 34

65

45

Tidak ada alasan bahwa penataan tidak dapat dilakukan karena jumlah
penduduknya sudah banyak, seperti yang kita alami di dunia maya nyata di
indonesia.Ketentuan cybercrime di Indonesia banyak diatur dalam UU-ITE.
Sebelum diberlakukannya UU-ITE cybercrime di indonesia sudah diatur namun
masih tersebar di beberapa UU. Namun demikian, setelah ada UU-ITE pun ,
ketentuan yang tersebut dalam beberapa UU tersebut tetap berlaku.

Sebelum diberlakukannya UU-ITE, pengadilan menggunakan ketentuan
dalam mengadili cybercrime adalah dengan KUHP dan ketentuan dalam UndangUndang di luar KUHP yang mengatur tindak pidana. Ketentuan dalam KUHP
yang digunakan untuk mengenai cybercrime adalah ketentuan tentang pemalsuan
(pasal 263-276), pencurian (pasal 362-367), penipuan (378-395), perusakan
barang (pasal 407-412). Sedangkan ketentuan peraturan perundang-undangan
diluar KUHP yang dapat digunakan dalam menangani cybercrime (hukum pidana
materiel atau hukum pidana formil) antara lain sebagai berikut:
1. Undang-Undang RI No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang kemudian diganti dengan UU RI No. 31 Tahun
1999tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir diubah
dengan UU RI No.20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang RI
No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan, dan UndangUndang RI Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.

46

3. Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, kemudian
diubah melalui Undang-Undang Republik Indonesia. No.7 Tahun 1987
tentang perubanhan atas Undang-Undang No. 6 tahun 1982 tentang Hak
Cipta. Akhirnya kedua UU tersebut diganti dengan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta .
4. Undang-Undang RI No. 7 tahun1992 tentang perbankan juncto UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan.
5. Undang-Undang RI No.5 Tahun 1999 tentang persaingan Usaha.
6. Undang-Undang RI No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
7. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.
8. Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2002 tentang
pemberantasan tindak terisme menjadi Undang-Undang.
9. UndangUndang RI No. 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang UndangUndang sudah diubah dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2003
tentang perubahan atas Undang-Undang No 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua UU tersebut sudah dicabut dan
diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
10. Undang-Undang RI No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
11. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.

47

Saat ini cybercrime sudah diatur oleh instrumen internasional, yaitu
Convention on cybercrime, sejumalah negara sudah mengatur kejahatan tersebut
dalam hukum nasional, baik dengan cara mengamandemen ketentuan hukum
pidana, atau membuat peraturan perundang-undangan tersendiri di luar kodifikasi
hukum pidana. 66
Hasil survei AC Nielsen pada tahun 2001 terlihat bahwa indonesia ada pada
posisi ke enam terbesar di dunia, atau posisi ke empat di Asia dalam kategori asal
pelaku cybercrime maka dari pada itu perlu dibuat pengaturan khusus tentang
cybercrime, Indonesia di cap sebagai serang penjahat ”dunia maya” saat itu
banyak alamat interet protocol (IP) Indonesia yang diblokir, sehingga siapa saja
yang menggunakan fasilitas e-cemmerce dengan alamat di Indonesia akan ditolak
oleh penyelenggara perbelanjaan onlinei. Berdasarkan data dari Clear commerce,
dalam tahun 2002 Indonesia berada pada urutan kedua setelah ukraina sebagai
negara asal pemalsu kartu kredit (carder) terbesar didunia. Bahkan dalam tahun
2009, menurut Anton Taba, bahwa Indonesia menduduki ranking satu tempat
terjadinya kejahatan cybercrime, khususnya dalam kasus carding dan pembobolan
bank. Padahal, sebagian pelaku sudah diadili oleh pengadilan dijatuhi pidana
penjara, serta pelakunya sudah mengikuti pembinaan dilapas. 67
Selanjutnya dalam kejahatan dunia maya sering terjadi anak menjadi
korbanya dalam hal ini ketentuan menurut Convention on Cybercrime adalah
pornografi berkaitan dengan isi. Pengertian menurut konvensi ini adalah
pornografi
66

anak

melalui

Widodo, Op., Cit,
Ibid., hlm 14-15

67

komputer

hlm.45-46

(offences

related

to

child

48

pornography).Pengertian anak dalam konvensi ini adalah seorang anak yang
belum berusia 18 tahun. Negara-Negara peserta maupun bukan peserta konvensi
yang tidak menetapkan ukuran usia anak dalam peraturan perundang-undangan
nasional sebagaimana dimaksud dalam konvensi ini, diharapkan dalam
menetapkan batasan usia tertinggi anak tidak kurang dari 16 tahun. Perbuatanperbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap pornografi anak
adalah perbuatan pornografi meliputi kegiatan memproduksi dengan tujuan
mendistribusikan melalui sistem komputer, menawarkan melalui sistem komputer,
mendistribusikan atau mengirim melalui sistem kpmputer, mengakses melalui
sistem komputer memiliki dalam sistem komputer atau dalam media penyimpanan
data komputer. 68
Dalam konvensi ini diuraikan bahwa pornografi anak termaksud di
dalamnya aktivitas menampilkan adegan seksual yang melibatkan anak secara
langsung. Perbuatan seksual adalah perbuatan yang secara jelas menggambarkan
hubungan seksual, mencakup pertemuan langsung antara alat kelamin dengan alat
kelamin.Adapun kasus pornografi yang terjadi di indonesia, Polri mendapat
laporan dari Pabean Ameika Serikat bahwa sejumlah orang Indonesia melakukan
web-bosting gambar-gambar porno dari beberapa perusahaan web-bosting
Amerika serikat dan menyebarkan di Internet.
Berkaitan dengan pornografi di internet, Roy Suryo mengemukakan, bahwa
akses situs pornografi di internet umumnya dilakukan oleh pengguna internet
pemula dan jumlahnya relatif sedikit. Hasil riset yang sudah dilakukan di

68

Ibid., hlm.91-92

49

Indonesia, menunjukan bahwa presentase akses internet adalah untuk membaca email (42%), membaca berita (39%), dan sisanya untuk mencari informasi Produk,
riset, chatting, dan surfing, dan 20% diantaranya dapat mengarah ke situs porno.
Pada tahun 2006 ada sekitar 3.5000.000 buah pornografi anak yang dapat
ditemuai di internet. Hal ini dikemukakan oleh justin, seorang anak laki-laki
berkebangsaan Amerika Serikat yang memberikan kesaksian didepan pengadilan.
Dia mengungkapkan bahwa sejak usia 13 tahun sudah dieksploitasi oleh orangorang dewasa untuk menjadi model pornografi anak internet. 69
Dalam penelitian yang dilakukan olh Ninuk Widyantor, disimpulkan bahwa
film-film yang memuat pornografi, bacaan-bacaan yang bersifat pornografi,
termksud gambaran-gambaran porno mempunyai andil yang besar terhadap
terjadinya hubungan seksdiluar nikah, termaksud pemerkosaandan perbatan cabul.
Menurut Morgan, dugaan adanya pengaruh negatif pornografi terhadap perilaku
seksual pun makin hari makin meningkat sejak maraknya tindakan pemerkosaan,
dan sejak munculnya isu dari kaum feminis yang menyatakan, bahwa pornografi
adalah “teori” dan pemerkosaan adalah “Prakteknya” (Pornography is the theory,
rape is the pratice). Saat ini pornografi melalui internet di indonesia merupakan
komunitas baru, sehingga masih berlangsung suatu perdebatan tentang batasan
pengertian pornografi. 70
Dalam kerangka pertanggungjawaban pidana di internet (the frame work of
liabilty on the internet), paling sedikit ada 7 (tujuh) pihak yang dapat
dipertanggungjawabkan terhadap kejahatan pornografi di internet sesuai dengan
69
70

Ibid., hlm. 92-94
Ibid., hlm, 94-95

50

perannya masing-masing, antara lain pengguna internet, operator telekominikasi,
internet service provider, server, package, produser, dan author. Jika ada
ketentuan

yang

jelas

dalam

hukum

pidana

maka

para

pihak

dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana. Berkaitan dengan pengertian pornografi di
internet bahwa batasan pengertian pornografi di internet sebagaimana di
defenisikan dan dijelaskan dalam Convention on CyberCrime sudah tepat. Tindak
pidana tersebut dirumuskan sebagai tindak pidana formil sehingga pembuktiannya
lebih mudah. Namun jika dilihat dari objek, konvensi tersebut kurang cocok
dengan kondisi di indonesia, karena hanya melarang muatan pornogrfi yang
berobjek anak.
Berdasarkan keterangan diatas bahwa pornografi yang di-kriminalisasi di
indonesia adalah setiap orang yang memproduksi pornografi dengan tujuan untuk
didistribusikan melalui sistem komputer, membeli pornografi melalui sistem
komputer, membeli pornografi melalui sistem komputer untuk diri sendiri atau
orang lain, atau memiliki pornografi di dalam suatu sistem komputer atau dalam
suatu media penyimpanan data komputer. Pengertian pornografi bukan hanya
berobjek pada anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Dasar Yuridis melakukan
kriminalisasi pornografi dalam UU-ITE adalah ketentuan Pasal 9 Convention on
Cybercrime. Selain itu, negara-negara asing juga sudah melakukan kriminalisasi
terhadap perbuatan tersebut, yaitu Amerika Serikat dan Prancis. 71

71

Ibid., hlm.95-96

51

B. Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Pornografi Melalui Media Internet
Menurut Hukum Pidana di Indonesia
1. Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Pornografi menurut Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Pada dasarnya, pengaturan tindak pidana pornografi bukan suatu masalah
yang baru, sebab tindak pidana pornografi tidak hanya diatur dalam UndangUndang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, namun pornografi terlebih
dahulu diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam
KUHPidana, Pornografi merupakan kejahatan yang termasuk golongan tindak
pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid) yang termuat dalam Pasal 282-283,
Pasal 532 dan Pasal 533 KUHPidana. 72
Tindak pidana kesusilaan dalam KUHP tidak dapat menjangkau tindak
pidana pornografi yang semakin kompleks terjadi. Didasarkan hal tersebut maka
pada tahun 2008 keluar suatu produk hukum dalam bentuk Undang-Undang yang
secara khusus mengatur mengenai tindak pidana pornografi.Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi telah disahkan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang merupakan keberhasilan bangsa dan
negara Republik Indonesia dalam mengawali upaya menyelamatkan bangsa dan
negara, terutama generasi muda, anak-anak dan perempuan.Sebagai landasan
filosofi dari Undang-Undang Pornografi tersebut sebagaimana ditegaskan didalam
konsideran Undang-Undang Pornografi adalah bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum yang berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

72

Nurman Wirawan, Jurnal Hukum:Pertanggungjawaban Pidanan Terhadap
Penayangan Pornografi Dalam Dunia Maya Menurut UU No.4 Tahun 2008 Tentang Pornografi,
Program Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar, 2013, hlm.4-5

52

moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman, dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa , menghormati kebhinekaan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. 73
Pornografi merupakan perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul,
yang dituangkan dalam gambar atau tulisan, yang dalam arti luas termasuk bendabenda atau patung, yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan
sesuatu

yang

bersifat

asusila

atau

menyerang

rasa

kesusilaan

masyarakat.Pornografi dan pornoaksi adalah perbuatan yang berdampak negatif
terhadap perilaku generasi muda. Anak-anak dan perempuan banyak yang telah
menjadi korban, baik sebagai korban murni maupun sebagai “pelaku sebagai
korban”. Karena itu, pornografi dan pornoaksi dikategorikan sebagai perbuatan
pidana. 74
Tindak pidana pornografi hanya menunjuk kepada pelanggaran perbuatan,
dan dalam Undang-Undang Pornografi Pasal 4 s/d Pasal 12 bunyi ketentuan
hukumnya adalah “setiap orang dilarang.....” Dengan demikian, sangat jelas bunyi
ketentuan hukum dari suatu tindak pidana adalah larangan. Akan tetapi, suatu
tindak pidana terkait dengan soal apakah pelakunya mempunyai kesalahan atau
tidak, hal ini sesuai dengan Asas Legalitas : “Tidak di pidana jika tidak ada
kesalahan.” Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan
tindak pidana, dalam pandangan masyarakat ia dapat diceladan dapat dihindari
perbuatan yang dilakukan, pendapatnya ini terkait dengan makna “kelakuan”

73

Neng Jubaedah, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Perspektif Negara Hukum Berdasarkan Pancasila, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.3

53

menurutnya pula, yaitu kejadian yang ditimbulkan oleh seorang yang tampak
keluar dan diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. 75
Objek pornografi mengandung dua sifat, yaitu isinya mengandung
kecabulan dan eksploitasi seksual serta melanggar norma kesusilaan, pornografi
yang mengandung isi kecabulan harus berbentuk dalam suatu wujud, misalnya
dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, syair percakapan, pada wujud inilah yang terdapat isi
kecabulan. Wujud dari kecabulan melekat pada suatu benda di sebut benda
pornografi misalnya surat kabar, majalah, tabloid, dan media cetak sejenisnya
film atau yang dipersamakan dengan film. 76
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi, Pornografi diartikan sebagai berikut:
“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi kartun, percakapan, gerak tubuh , atau bentuk pesan
lainnya melaui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi kecabulan atau eksploitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dan masyarakat.”
Dalam defenisi tersebut, unsur pornografi bersifat jami’ karena kata-kata
“penggambaran tingkah laku” sebagaimana pada unsur satu mencakup
penggambaran segala tingkah laku “yang memuat kecabulan” atau eksploitasi
seks, yang dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi. Sedangkan kata-kata
“melalui

berbagai

media

komunikasi

dan/atau

disampaikan

dimuka

umum”bersifat mani’ sehingga apabila unsur yang bersifat jami tersebut tidak
disampaikan melalui berbagai media komunikasi dan/atau disampaikan di muka
75

Ibid., hlm. 18
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm.117

76

54

umum tidak tergolong pornografi. Undang-undang pornografi sebagaimana
undang-undang pada umumnya mempunyai daya dan tujuan represif, preventif
dan rehabilitatif. Oleh karena itu Undang-undang pornografi memuat jenis-jenis
tindak pidana dan hukumannya. 77
Dalam penjelasan UU pornografi di jelaskan bahwa, pengaturanpornografi
dalam undang-undang pornografi meliputi: 78
(1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, danpenggunaan
pornografi;
(2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi;
(3) pencegahan pembuatan,penyebarluasan, dan penggunaan pornografi
termasuk peran sertamasyarakat dalam pencegahannya.
Undang-undang ini menetapkansecara tegas tentang bentuk hukuman dari
pelanggaran pembuatan penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang
disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Adapun Tindak Pidana Pornografi yang diatur Dalam Undang-Undang
No.44 Tahun 2008 yaitu:
1. Pasal 29 jo Pasal 4 UU Pornografi
Dalam Pasal 4 UU pornografi No.44 Tahun 2008 menyatakan bahwa:
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan,
menyebarluaskan,
menyiarkan,
mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau
menyediakan pornografi yang secara eksplisit, memuat:
77

Muchsin, Majalah Hukum , Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta,
2009, hlm. 15-18
78
Rendy Saputra Mukti, Jurnal Hukum: Tinjaun Yuridis Terhadap Pornografi
Menurut KUHP Pidana Dan UU No.44 Tahun 2008, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas
Wijaya Putra, Surabaya, 2012, hlm.40

55

a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang
b. Kekerasan seksual
c. Masturbasi atau onani
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan
e. Alat kelamin atau
f. Pornografi anak”
Adapun Unsur-Unsur yang terdapat dalam Pasal 4 UU Pornografi No.44
Tahun 2008 adalah:
a. Setiap Orang
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Pornografi, yang dimaksud setiap
orang yaitu merujuk pada orang atau perorangan dan atau korporasi yang menjadi
subjek hukum pemegang hak dan kewajiban yang berada dalam keadaan sehat
baik jasmani maupun rohani.
b. Perbuatan Dilarang
Dilarang dalam Pasal ini maksudnya adalah bahwa ada perbuatan perbuatan
tertentu yang tidak boleh dilakukan yang tertera dalam Pasal ini. Apabila
perbuatan yang dilarang tersebut dilakukan maka pelaku pembuat dapat dikatakan
melakukan tindak pidana.
c. Memproduksi,
Menyebarluaskan,

Membuat,
Menyiarkan,

Memperbanyak,
Mengimpor,

Menggandakan,
Mengekspor,

Menawarkan, Memperjualbelikan, Menyewakan atau Menyediakan
Pornografi.
Bahwa ketentuan dalam unsur ini bersifat alternatif, apabila dengan
terpenuhinya salah satu perbuatan dalam unsur ini, maka unsur ini dapat dikatakan

56

telah terpenuhi. Adapun perbuatan-perbuatan yang dapat memenuhi unsur dalam
ketentuan Pasal ini adalah: 79
1) Memproduksi
Memproduksi adalah perbuatan dengan cara apapun yang ditunjuk untuk
menghasilkan suatu barang (produk), atau menghasilkan barang yang belum ada
menjadi ada. Dari sudut akibat suatu barang yang dihasilkan oleh perbuatan, maka
perbuatan memproduksi dapat disamakan dengan perbuatan membuat atau
perbuatan mengadakan. Merupakan perbuatan dengan cara dan bentuk apapun
mengenai sesutu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Membuat atau
memproduksi sesuatu barang yang belum ada menjadi ada.
2) Membuat
Membuat sama artinya dengan memproduksi. Perbuatan dengan cara
apapun terhadap suatu barang yang belum ada menjadi ada sama juga artinya
dengan perbuatan mengadakan. Ditinjau dari sudut penyelesaian tindak pidna,
tindak pidana dengan perbuatan membuat atau memproduksi merupakan tindak
pidana materil selesainya tindak pidana diletakan pada adanyanya objek
pornografi yang dihasilkan. Tanpa terbukti adanya benda pornografi yang
dihasilkan tindak pidana tidak terjadi, mungkin terjadi percobaan, asalkan
memenuhi, asalkan memenuhi syarat-syarat untuk dapat dipidanya percobaan
kejahatan.
3) Memperbanyak dan Menggandakan

79

Adami Chazawi, Tindak Pidana......., Op.Cit., hlm.120-131

57

Memperbanyak adalah perbuatan dengan bentuk dan cara apapun terhadap
suatu benda in casu pornografi yang sudah ada tetapi belum banyak menjadi
banyak atau bertambah banyak. Syarat perbuatan memperbanyak ialah sebelum
perbuatan dilakukan benda sudah ada. Dengan perbuatan memperbanyak maka
benda tersebut bertambah banyak. Dalam pengertian ini sama dengan perbuatan
menggandakan hanya saja menggandakan jumlah benda yang digandakan dan
jumlah benda yang digunakan tindak sama dengan jumlah benda yang
diperbanyak.

Dilihat

dari

sudut

sudut

syarat

penyelesaian

perbuatan.

Memperbanyak selesai secara sempurna, apabila benda yang menjadi objek
perbuatan sudah bertambah banyak dari keadaan semula. Jika benda tersebut
merupakan objek tindak pidana dengan demikian tindak pidana selesai pula tindak
pidana dengan perbuatan dengan memperbanyak seperti Pasal 29 UUP,
merupakan tindak pidana formil-materil. Dirumuskan secara formil, tetapi
penentuan selesainya tindak pidana diletakan pada telah bertambah banyaknya
objek pornografi yang dihasilkan oleh petrbuatan ”memperbanyak”
4) Menyebarluaskan
Dari sudut harfiah berasal dari kata dasar “sebar”, artinya berserakah,
berpencar, menyebarluaskan adalah perbuatan yang bentuk dan dengan cara apa
pun terhadap suatu benda yang semula keberadaannya tidak tersebar menjadi
terjadi tersebar secara luas. keberadaan benda tersebut tersebar dibanyak tempat
atau dimana- mana atau pada banyak orang (umum). Cara orang menyebarluaskan
bisa dengan menyerahkan, membagi-bagikan, mengambur-hamburkan, menjual
belikan menempel, mengirimkan, menyiarkan dan lainnya.

58

5) Menyiarkan
Menyiarkan artinya memberi tahukan kepada umum. Dalam tindak pidana
Pasal 29 UUP, menyiarkan adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap
pornografi yang mengakibatkan diketahui oleh orang banyak (umum), perbuatan
menyiarkan dirumuskan dalam bentuk abstrak bentuk konkretnya dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti menggunakan, mengirimkan, memperdengarkan,
mempertontonkan, membagi bagikan dan lain-lain. Ada beberapa syarat yang
perlu agar wujud perbuatan menyiarkan selesai yaitu sebagi berikut: 80
a) Telah ada wujud konkretnya, seperti mengumumkan, mengirimkan,
mempertontonkan, telah selesai dilakukan.
b) Pornografi yan disiarkan telah diketahui dilihat atau didengar orang
banyak (umum)
c) Orang banyak mengetahui atau mendengar pornografi disebabkan
langsung oleh perbuatan menyiarkan yang dilakukan si pembuat. Bukan
sudah diketahui sebelumnya.
6) Mengimpor dan Mengekspor
Mengimpor adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap benda
pornografi yang semula berada diluar wilayah hukum indonesia masuk kedalam
wilayah hukum indonesia terwujud dan selesainya perbuatan mengimpor,
tergantungpada kapan saat benda pornografi masuk kewilayah hukum indonesia.
Apabila sejak semula pembuat telah menguasainya di luar wilayah hukum

80

Ibid., hlm.127-128

59

indonesia maka perbuatan memasukan kedalam negeri terjadi pada saat sipembuat
masuk kedalam wilayah hukum indonesia.
Mengekspor adalah kebalikan dari mengimpor atau memasukan ke
indonesia perbuatan ini dilakukan di dalam wilayah hukum indonesia, dan baru
terwujud secara sempurna apabila objek pornografi telah melewati atau keluar
dari wilayah hukum indonesia.
7) Menawarkan
Menawarkan adalah perbuatan dengan cara apa pun terhadap suatu benda
dengan menunjukannya atau mengajukannya kepada orang-orang (umum) dengan
sesuatu maksud agar orang itu melakukan perbuatan tertentu terhadap benda yang
ditawarkan. Misalnya agar orang lain membelinya, mengambilnya, menukarnya,
mengedarkannya, dan lainnya. Agar orang lain berbuat sesuatu terhadap benda
yang ditawarkan merupakan syarat yang tidak dapat dihilangkan dari perbuatan
menawarkan.
8) Memperjualbelikan
Memperjualbelikan berasal dari kata jual dan beli. Jual beli adalah
perjanjian dua pihak dimana pihak yang satu disebut penjual dan pihak yang satu
disebut pembeli yang berkewajiban membayar harga tertentu pada pihak penjual.
Menjualbelikan adalah perbuatan yang dilakukan terhadap suatu benda dengan
menjualnya dan dibeli oleh orang lain dengan harga tertentu yang disepakati
9) Menyewakan
Menyewakan terdapat dalam perjanjian sewa-menyewa yang merupakan
suatu perjanjian antara dua pihak dimana pihak yang satu menyewakan

60

mengikatkan dirinya untuk memberikan manfaat atau kenikmatan atas suatu
barang kepada pihak lain yang disebut penyewa selama waktu tertentu selama
pembayaran harga tertentu yang disanggupi pembayarannya kepada pihak yang
menyewakan. Dalam perjanjian sewa- menyewa terdapat perbuatan menyewakan
di satu pihak dan perbuatan menerima sewa di pihak lain.
10) Menyediakan
Menyediakan adalah perbuatan dengan cara apapun mengenai suatu benda
dengan menempatkan benda tersebut sedemikian rupa sehingga siap untuk
sewaktu-waktu diperlukan dapat segera digunakan kalau dihubungkan dengan
unsur objek perbuatan dan objek tindak pidana pornografi, pengertian
menyediakan seperti tersebut diatas maka pornografi baru disediakan saja. Belum
melakukan apapun terhadap pornografi tersebut. Tindak pidana menyediakan
telah selesai secara sempurna (vooltoid) pornografi tersebut digunakan untuk
suatun keperluan itulah yang dimaksud dengan menyediakan tindak pidana
dengan perbuatan menyediakan merupakan tindak pidana formil murni.
d. Persenggamaan,

termasuk

persenggamaan

yang

menyimpang,

Kekerasan seksual, Masturbasi atau onani, Ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan, Alat kelamin atau,
Pornografi anak.
Unsur ini juga bersifat alternatif, artinya apabila salah satu unsur dalam
perbuatan ini telah terpenuhi maka dapat dikatakan unsur telah terpenuhi,
Perbuatan yang dapat diancam dalam ketentuan ini adalah :
1) Persenggamaan, Termasuk Persenggamaan yang menyimpang

61

Persenggaman merupakan kata lain dari persetubuhan atau bersetubuh.
Bersetubuh adalah perbuatan memasukan alat kelamin pria kedalam alat kelamin
perempuan pasangannya yang kemudian dari alat kelamin laki-laki mengeluarkan
sperma sebagaiman pada umumnya membuahkan kehamilan. 81 Menurut
penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a Yang dimaksud dengan persenggamaan
yang menyimpang antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya
dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.
2) Kekerasan Seksual
Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf b Yang dimaksud dengan
kekerasan seksual antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan
kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan.
3) Masturbasi atau onani
Onani atau yang disebut pula sebagai masturbasi atau "zelfbevlekking”
(penodaan diri) itu merupakan panyalahgunaan seksual; yaitu dengan jalan
memanipulasikan alat kelamin sedemikian rupa sehingga mendapatkan "kepuasan
seksual" (kepuasan semu). Gejala onani atau masturbasi pada masa kanak-kanak
itu hendaklah jangan dipandang sebagai gejala umum atau lumrah. Gejala tersebut
jarang terjadi pada anak normal. Berlangsungnya secara khas individuil, atau
terjadi karena efek lingkungan-hidup yang kurang menguntungkan bagi
perkembangan anak. Namun demikian, onani pada masa pubertas dan masa
adolesens itu lebih banyak terjadi. Terutama pada diri anak-anak laki pada

81

Ibid., hlm. 137-138

62

umumnya, onani ini boleh dikatakan merupakan gejala umum, merupakan gejala
yang biasa lumrah atau sering terjadi. 82
4) Ketelanjangan Atau Tampilan Yang Mengesankan Ketelanjangan
Ketelanjangan asal kata telanjang, artinya tidak tertutup, tidak berpakaian
ketelanjangan artinya tampak tubuh orang tanpa ditutupi oleh pakaian atau tidak
berpakaian. Tampilan yang mengesankan ketelanjangan adalah tampilan tubuh
yang berpakaian tetapi masih tampak jelas bagian-bagian tubuh yang merangsang
seksual, misalnya vagina, buah dada perempuan. UUP memberi keterangan yang
menyatakan bahwa mengesankan ketelanjangan adalah suatu kondisi seseorang
yang menggunakan penutup tubuh tetapi masih menampakan alat kelamin secara
eksplisit.Terkandung unsur syahwat yang merangsang syahwat dari tubuh yang
telanjang, terutama bagian tubuh tertentu, oleh sebab itu menjadi celaan seketika
bagian tubuh tersebut ditampakan dalam wujud tertentu misalnya, foto atau
gambar bergerak, VCD majalah dan lain-lain. 83Menurut penjelasan Pasal 4 UU
Pornografi Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan” adalah suatu
kondisi seseorangyang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan
alat kelamin secara eksplisit.
5) Alat kelamin
Alat

kelamin

adalah

organ

tubuh

yang

digunakan

langsung

dalammengadakan hubungan kelamin dalam hal manusia mengadakan keturunan.
Secara eksplisit alat kelamin mengandung dua syarat. Pertama, tampakan alat
82

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, Mandar Maju,
Bandung, 1981, hlm. 128
83
Adami chazawi, Tindak Pidana........,Op.Cit., hlm.141

63

kelamin tersebuut harus jelas, gablang tidak boleh samr-samar atau suram. Kedua,
tampakan alat kelaminnya harus secara tubuh tidak boleh hanya sebagian saja.
Misalnya hanya tampak satu bundaran gambar atau foto saja. 84
6) Pornografi Anak
Menurut Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f UU pornografi, bahwa
pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang
melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.
Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Pornografi bertalian atau berhubungan
dengan Pasal 29 Undang-Undang Pornografi yang merupakan ketentuan sanksi
yang apabila melanggar perbuatan yang dilarang dalam Pasal 4 Ayat (1), atau
yang biasanya disebut dengan juncto. Adapun bunyi Pasal 29 Undang-Undang
Pornografi adalah :
“Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan,
mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”
2. Pasal 30 Jo Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pornografi
Pasal 4 Ayat (2) menyatakan bahwa:
“Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak
84

Ibid.,

64

langsung layanan seksual.”
Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) tersebut adalah :
a. Setiap Orang
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Pornografi, yang dimaksud setiap
orang yaitu merujuk pada orang atau perorangan dan atau korporasi yang menjadi
subjek hukum pemegang hak dan kewajiban yang berada dalam keadaan sehat
baik jasmani maupun rohani.
b. Perbuatan Dilarang
Dilarang dalam Pasal ini maksudnya adalah bahwa ada perbuatan perbuatan
tertentu yang tidak boleh dilakukan yang tertera dalam Pasal ini. Apabila
perbuatan yang dilarang tersebut dilakukan maka pelaku pembuat dapat dikatakan
melakukan tindak pidana.
c. Menyediakan Jasa Pornografi
Menyediakan berasal dari kata sedia yang artinya mengadakan sesuatu.
Objek yang disediakan ialah jasa pornografi, belum digunakan untuk suatu tujuan.
Apabila dihubungkan dengan unsur objek perbuatan dan objek tindak pidana
yakni jasa pornografi. Tindak pidana dengan perbuatan menyediakan merupakan
tindak pidana formil murni. 85
d. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan, Menyajikan secara eksplisit alat
kelamin, Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
menawarkan atau mengiklankan.
85

Ibid., hlm.146

65

Ketentuan yang terdapat dalam unsur ini adalah ketentuan alternatif, apabila
salah satu perbuatan telah terpenuhi, maka sudah dapat dikatakan tindak pidana
pornografi yang menyediakan jasa pornografi. Adapun perbuatan-perbuatannya
adalah: 86
1) Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan
Pada unsur tersebut terdapat dua bagian. Pertama. Pornografi yang secara
eksplisit

menyajikan

ketelanjanga.

Kedua,

tampilan

yang mengesankan

ketelanjangan. Tampilan yang mengesankan ketelanjangan adalah tampilan tubuh
yang berpakaian tetapi masih tampak jelas bagian-bagian tubuh yang merangsang
seksual. UUP yang memberi keterangan yang menyatakan bahwa mengesankan
ketelanjangan adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh,
tetapi masih menampakan alat kelamin secara eksplisit. Dapat disebut juga
dengan tubuh setengah telanjang. Bagian-bagian tumbuh yang kelihatan tubuh itu
adalah alat kelamin misalnya buah dada meskipun dada juga merangsang syahwat
kaum lelaki karena sudah diberikan keterangan autentik dalam UUP.
2) Menyajikan secara Ekplisit alat kelamin
Alat kelamin adalah organ tubuh yang digunakan dalam hal orang
melakukan senggama. Senggama adalah perbuatan dua orang yang berlainan jenis
memasukan alat kelaminpria kedalam alat kelamin wanita pasangannya yang
dalam keadaan di dalam alat kelamin wanita alat kelamin pria mengeluarkan
sperma sebagaimana biasanya dapat membuahkan kehamilan.Alat kelamin adalak
86

Ibid., hlm.149-152

66

alat kelamin pria atau kelamin wanita. Oleh sebab penyajian alat kelamin
pornografi secara eksplisit, maka tampakan alat kelamin harus jelas gamblang,
tidak boleh samar-samar.
3) Mengeksploitasi Aktivitas Seksual
Mengeksploitasi aktivitas seksual adalah kegiatan mendayagunakan atau
memanfaatkan aktivitas seksual semaksimal mungkin untuk kepentingan atau
keuntungan diri sendiri. Jasa pornografi yang mengesploitasi aktivitas seksual
dapat dikelompokkan kedalam dua macam aktivitas seksual. Pertaman, Aktivitas
orang dalam rangka orang menyalurkan nafsu birahinya, seperti orang
bersenggama dan bermastrubasi. Kedua, aktivitas yang menampakkan secara
eksplisit terhadap bagian tubuh yang sensual, yang merangsang syahwat lawan
jenis yang melihatnya.
4) Memamerkan aktivitas Seksual
Memamerkan adalah perbuatan dengan cara apa pun yang mengandung
unsur seksual dengan melibatkan, mempertunjukan secara terbuka kepada orangorang sehingga mengetahui perbuatan tersebut. Dicontohkan seorang pengusaha
hiburan malam menyuguhkan perempuan-perempuan seksi. Orang yang dipidana
menurut ketentuan Pasal ini bukan subjek yang melakukan aktivitas seksual tetapi
subjek hukum yang menyediakan jasa sehingga dapat terlaksananya aktiovitas
seksual tersebut.
5) Menawarkan

67

Menawarkan

adalah

mengajukajn

dengan

cara

menunjukan,

memperlihatkan suatu pada orang lain dengan maksud agar supaya orang lain
tersebut melakukan perbuatan tertentu terhadap apa yang ditawarkan. Dalam
melakukan perbuatan menawarkan ialah perbuatan terhadap sesuatu benda dengan
mengajukannya kepada pihak lain dengan sesuatu masud tertentu. Di dalam
perbuatan menawarkan terkandung suatu permintaan atau harapan pada pihak lain
untuk melakukan suatu perbuatan terhadap benda itu. 87
6) Mengiklankan
Mengiklankan adalah mengajukan objek yang diiklankan tidak secara
langsung pada orang tertentu, melainkan melakukan penawaran secara umum
melalui iklan dengan tulisan atau gambar atau kedua-duanya.
7) Layanan Seksual
Layanan seksual adalah layanan yang berhubungan dengan alat kelamin dan
atau nafsu syahwatnya. Suatu layanan yang diberikan kepada orang dalam rangka
orang menyalurkan atau melampiaskan nafsu seksualnya, seperti layanan untuk
melakukan persenggama.
Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Pornografi juga bertalian atau berhubungan
dengan Pasal 30 Undang-Undang Pornografi yang merupakan ketentuan sanksi
yang apabila melanggar perbuatan yang dilarang dalam Pasal 4 Ayat (2), atau
yang biasanya disebut dengan juncto. Adapun bunyi Pasal 30 Undang-Undang
Pornografi adalah :

87

Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai .Kesopanan,PT RajaGrafindo Persada,
Malang, 2005,hlm.32

68

“Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus limapuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”
Orang yang menyediakan jasa Pornografi sebagaimana yang dimaksud
Pasal 30 UU Pornografi Jo Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pornografi ini tidak
boleh di pidana sebagai sipembuat (dader), tetapi dipidana sebagai pembuat
pembantu (medeplichtige) saja terhadap pembuat yang mengadakan pameran
pornografi atau sebaliknya. Pidananya akan lebih ringan dari pembuat pelaksana
(pleger), orang yang melaksanakan pameran pornografi tersebut. Tentu hal ini
yang bukan dikehendaki oleh pembentuk UUP. Karena maksud pembuat UUP
bahwa orang menyediakan jasa pornografi adalah pembuat tunggal (dader),
berdiri sendiri, dan lain dari pada orang yang menggunakan jasa pornografi yang
in casu melaksanakan kegiatan pameran pornografi orang yang disebutkan
terakhir ini juga sebagai pembuat tunggal dan bertanggung jawab terpisah dengan
norang yang menyediakan jasa pornografi. 88
3. Pasal 31 Jo Pasal 5 Undang-Undang Pornografi
Pasal 5 Undang-Undang Pornografi mengatakan:
“Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)”
Adapun unsur-unsurnya yaitu :
a. Setiap Orang
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Pornografi, yang dimaksud setiap
orang yaitu merujuk pada orang atau perorangan dan atau korporasi yang menjadi
88

Ibid., hlm.146-147

69

subjek hukum pemegang hak dan kewajiban yang berada dalam keadaan sehat
baik jasmani maupun rohani.
b. Perbuatan Dilarang
Dilarang dalam Pasal ini maksudnya adalah bahwa ada perbuatan perbuatan
tertentu yang tidak boleh dilakukan yang tertera dalam Pasal ini. Apabila
perbuatan yang dilarang tersebut dilakukan maka pelaku pembuat dapat dikatakan
melakukan tindak pidana.
c. Meminjamkan atau Mengunduh
Ketentuan yang terdapat dalam unsur ini adalah ketentuan alternatif, apabila
salah satu perbuatan telah terpenuhi, maka sudah dapat dikatakan tindak pidana
pornografi yang menyediakan jasa pornografi. Adapun perbuatan-perbuatannya
adalah:
1) Meminjamkan
Meminjamkan adalah perbuatan menyerahkan benda kepada orang lain
untuk sementara waktu dengan maksud dimanfaatkan kegunaanya tanpa imbalan
atau kontrapsepsi. Mengunduh adalah mengambil faile dari jaringan internet atau
jaringan komunikasi lainnya seperti flashdisk, harddisk, CD, VCD dan lain-lain.
Dengan

personal

komputer

persenggaman. 89
2) Mengunduh

89

Ibid., hlm. 153-154

orang

bisa

mengcopy

gambar

bergerak

70

Berdasarkan penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Pornografi bahwa yang
dimaksud dengan “mengunduh” (download) adalah mengambil fail darijaringan
internet atau jaringan komunikasi lainnya.
d. Pornografi
Menurut Pasal 1 Angka 1 bahwa Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi,
foto, tulisan, suara, bunyi, gambarbergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnyamelalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukan di muka umum,yang memuat kecabulan atau eksploitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Dan adapun sanksi atas perbuatan yang ditentukan oleh Pasal 5 UndangUndang Pornografi adalah yang terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang
Pornografi, yaitu:
“Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
4. Pasal 31 Jo Pasal 6 Undang-Undang Pornografi
Pasal 6 Undang-Undang Pornografi mengatakan:
“Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),kecuali yang diberi
kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.”
Adapun unsur-unsurnya yaitu :
a.

Setiap Orang

Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Pornografi, yang dimaksud setiap
orang yaitu merujuk pada orang atau perorangan dan atau korporasi yang menjadi

71

subjek hukum pemegang hak dan kewajiban yang berada dalam keadaan sehat
baik jasmani maupun rohani.
b. Dilarang
Dilarang dalam Pasal ini maksudnya adalah bahwa ada perbuatan
perbuatan tertentu yang tidak boleh dilakukan yang tertera dalam Pasal ini.
Apabila perbuatan yang dilarang tersebut dilakukan maka pelaku pembuat dapat
dikatakan melakukan tindak pidana.
c. Memperdengarkan,

Mempertontonkan,

Memanfaatkan,

Memiliki,

Menyimpan
Ketentuan ini bersifat alternatif, dimana dengan terpenuhinya s