makalah sistem pemerintahan islam dan jihad

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan yang menggunakan Al Quran dan
Sunnah sebagai rujukan dalam semua aspek kehidupan. Dasar negaranya adalah al-Quran dan alSunnah. Selain berbeda dengan sistem pemerintahan lain, sistem ini juga mengundang perbedaan
pendapat diantara para ulama. Hal ini sangat menarik untuk di bahas, oleh karena itu dalam
makalah ini kita membahas tentang sistem pemerintahan Islam sehingga kita mampu mengerti
bagaimana sistem pemerintahan itu dari sudut pandang Islam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat kita rumuskan beberapa masalah, yaitu:
1. Apa pengertian sistem pemerintahan Islam?
2. Apa dasar-dasar pemerintahan Islam?
3. Bagaimana pendapat ulama tentang sistem pemerintahan Islam?
C. Tujuan
Tujuan pemakalah menyusun makalah ini selain untuk memenuhi tugas terstruktur juga untuk
menambah wawasan pembaca tentang sistem pemerintahan menurut humum Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Sistem Pemerintahan Islam

Sistem pemerintahan Islam disebut juga dengan al-Khilafah yang artinya suatu susunan
pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam. Sebagaimana yang dibawa dan
dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. semasa beliau masih hidup, dan kemudian dijalankan
oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu
Thalib). Yang kepala negaranya disebut Khalifah.1[1]
B. Dasar-Dasar Pemerintahan Islam Menurut Al-Qur’an Dan Al-Hadits
Berikut dasar-dasar pemerintah Islam yang wajib menjadi pokok pendirian negara.
Dimanapun pemerintahan Islam itu di susun, dibangun dan di zaman bagaimanapun umat Islam
berada. Dasar ini selain sesuai dengan pemerintahan yang dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin
juga terdapat dalam ayat al-Quran, yaitu:
1) Kejujuran dan keikhlasan serta bertanggung jawab dalam menyampaikan amanat kepada ahlinya
(rakyat) dengan tidak membeda-bedakan bangsa dan warna kulit
2) Keadilan yang mutlak terhadap seluruh umat manusia dalam segala sesuatu
3)

Tuhid (mengesakan Allah), sebagaimana diperinahkan dalam ayat-ayat al-Qur’an supaya
menaati Allah dan Rasul-Nya

4) Kedaulatan rakyat yang dapat dipahami dari perintah Allah yang mewajibkan kita taat kepada
ulil amri (wakil-wakil rakyat).

Ke empat dasar diatas sesuai dengan firman Allah Swt yang artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh
kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qu’ran) dan Rasul-Nya (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59).2[2]
1
2

C. Pendapat Ulama Tentang Sistem Pemerintahan Islam
Pandangan ulama klasik dan pertengahan, pada dasarnya menerima keabsahan sistem
pemerintahan Islam (khilafah). Perbedaan pendapat tentang sistem khilafah terjadi di kalangan
ulama kontemporer.
Sarjana Islam pertama yang menuangkan teori politiknya mengenai pandangan ulama tentang
khilafah dalam suatu karya tulis, adalah Syihab al-Din Ahmad Ibn Abi Rabi’ yang hidup di
Baghdad semasa pemerintah Mu’tashim abad IX Masehi. Kemudian menyusul pemikir-pemikir
seperti al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun. Mereka inilah yang

kiranya dianggap cukup untuk mewakili pemikiran politik Islam pada zaman klasik dan
pertengahan.
Ibn Abi Rabi’ berpandangan tentang khilafah, bahwa manusia satu sama lain saling memerlukan,
kemudian berkumpul dan menetap di suatu tempat. Dari proses ini maka tumbuh kota-kota yang
pada akhirnya membentuk pemerintahan (negara). Sebagai seorang ulama, Ibn Abi Rabi’
memilih sistem monarki di bawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal dari sekian
banyak bentuk pemerintahan yang ada. Untuk urusan agama, Ibn Abi Rabi mengatakan bahwa
Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja dengan segala keutamaan, telah
memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya, dan mempercayakan hamba-hamba-Nya kepada
mereka.
Adapun al-Mawardi yang terkenal dengan perumus konsep imamah, menyatakan bahwa khilafah
diperlukan karena alasan; pertama adalah untuk merealisasi ketertiban dan perselisihan. Menurut
al-Mawardi, kata ulil amri dalam al-Quran adalah imamah (kepemimpinan). Lebih dari itu,
dalam karyanya al-Ahkam al-Sultaniyyah al-Mawardi mengemukakan bahwa imamah atau
khalifah adalah penggantian posisi Nabi untuk menjaga kelangsungan agama dan urusan dunia.
Secara tersirat bahwa bentuk negara yang ditawarkan al-Mawardi lebih kepada teokrasi,
menjadikan agama dan Tuhan sebagai pedoman dalam bernegara. Bahwa pemerintahan
merupakan sarana untuk menegakkan hukum-hukum Allah, sehingga pelaksanaannya pun
berdasar dan dibatasi oleh kekuasaan Tuhan.
Sejalan dengan al-Mawardi, al-Ghazali mengemukakan bahwa bentuk pemerintahan dalam Islam

adalah teokrasi atau khilafah. Sebab, kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat,
melainkan dari Allah. Al-Ghazali berdalil kepada al-Quran surat Ali Imran ayat 26 yang
menyatakan:
“Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki, di
tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Adapun Ibn Taimiyah menganggap bahwa mendirikan suatu negara untuk mengelola urusan
umat merupakan kewajiban agama yang paling agung, karena agama tidak mungkin tegak tanpa
negara. Alasan lain adalah Allah memerintahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar, serta misi atau
tugas tersebut tidak mungkin dilaksanakan tanpa kekuatan atau kekuasaan pemerintah. Lebih
lanjut ia mengatakan, pemerintahan pada masa Nabi dinamakan khilafah dan sesudahnya disebut
dengan istilah kerajaan. Meskipun demikian, Ibn Taimiyah tetap membolehkan kerajaan dengan
istilah khilafah (jawaz tasmiyyah al-muluk khulafa). Dengan kata lain, raja-raja yang berkuasa
boleh menggunakan istilah atau gelar khalifah. Hal ini karena menurut Ibn Taimiyah yang
penting ada seorang pemimpin negara ketimbang tidak ada, meskipun bentuknya kerajaan
asalkan para pemimpinnya menjaga agama dan keadilan.

Jika ulama klasik dan pertengahan lebih banyak memberikan pandangan tentang khilafah kepada
usaha perbaikan dan saran-saran terhadap pemerintahan yang sudah ada, menjelang akhir abad

XIX atau yang dikenal masa kontemporer pemikiran politik Islam mulai mengalami pergeseran
yang signifikan dan berkembanglah pluralitas pemikiran tentang sistem khilafah.
Munculnya pemikiran politik Islam kontemporer, banyak dilatarbelakangi oleh tiga faktor.
Pertama, faktor kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor internal,
dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharauan dan pemurnian Islam. Kedua,
karena hegemoni Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang
berujung dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah
dunia Islam, hingga runtuhnya kekhilafahan Turkni Utsmani. Ketiga, karena keunggulan Barat
dalam bidang ilmu, teknologi, organisasi dan politik.
Misalnya Jamaluddin al-Afghani yang menyerukan bahwa dalam usaha pemurnian akidah dan
ajaran Islam serta pengembalian keutuhan umat Islam, perlu dibentuk suatu ikatan politik yang
mempersatukan seluruh umat Islam (Jami’ah Islamiyah) atau Pan-Islamisme. Jami’ah tersebut
dibangun atas solidaritas akidah Islam, dengan tujuan membina kesetiakawanan dan persatuan
umat Islam untuk menentang sistem pemerintahan (di negeri sendiri) yang despotik dan
mengantinya dengan sistem pemerintahan yang diajarkan Islam, juga menentang kolonialisme
dan dominasi Barat, termasuk juga menentang sistem pemerintahan Utsmaniah yang absolut.
Demikian juga dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Tetapi ada yang menarik dari
gagasan Abduh terhadap sistem khilafah. Tidak ada salahnya umat Islam berkiblat kepada Barat
dalam pola pemerintahan, jika pola tersebut tidak secara jelas dilarang oleh al-Quran maupun
sunnah. Artinya, pemerintahan Islam tidak harus berbentuk khilafah, tapi boleh republik jika

dipandang lebih baik.
Gagasan yang hampir sejalan adalah Husain Haikal. Menurut Haikal prinsip-prinsip dasar
kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Quran dan sunah tidak ada yang langsung
berkaitan dengan kekhalifahan. Kehidupan bernegara bagi umat Islam itu baru mulai pada waktu
Nabi berhijrah dan menetap di Madinah. Nabi mulai meletakkan ketentuan-ketentuan dasar bagi
kehidupan keluarga, pembagian waris, usaha dan jual beli. Ayat-ayat yang diwahyukan dalam
periode Makkah terbatas pada ajakan untuk menegaskan Tuhan dan keimanan, serta nilai-nilai
kemanusiaan yang tinggi. Bahkan ketentuan-ketentuan dasar tentang kehidupan bermasyarakat,
kehidupan ekonomi dan budi pekerti tersebut belum menyentuh secara rinci dasar-dasar bagi
kehidupan bernegara, apalagi langsung menyinggung sistem pemerintahan.
Pandangan Abduh ini kiranya yang mendorong sahabat dan muridnya cenderung ke arah paham
nasionalisme dan sekularisme seperti Lutfi Sayyid, Thaha Husaen dan Ali Abd al-Raziq. Bahkan
Abdul Raziq mempertanyakan dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola
khilafah merupakan keharusan agama. Apabila ditinjau dari segi agama maupun rasio, pola
pemerintahan khilafah itu tidak relevan. Raziq membedakan antara misi kenabian dengan
pemerintahan. Misi kenabian bukanlah pemerintahan dan agama itu bukan negara dan harus
dibedakan mana yang Islam dan mana yang Arab, mana yang agama dan mana yang politik.
Raziq tidak sependapat dengan kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa mendirikan khilafah
merupakan suatu kewajiban, dan tidak ada satupun dasar yang mewajibkan itu, baik al- Quran,
hadis maupun ijma’.

Sementara pemikir politik Islam lain seperti Maududi berpendapat bahwa Islam adalah suatu
agama yang paripurna, yang mengatur segala aspek kehidupan, dan mendirikan khilafah Islam
merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar. Demikian juga pendapat Rasyid Ridha, Hasan alBana maupun Sayyid Qutb. Secara umum, teori-teori pemerintahan yang mereka ajukan terdapat

kesamaan, misalnya bahwa pola pemerintahan Islam adalah universal yang tidak mengenal
batas-batas dan ikatan-ikatan geografis, bahasa maupun kebangsaan.
Maududi kemudian mengajukan gagasan-gagasan politiknya secara lebih rinci, seperti teori
kedaulatan. Menurut Maududi, dalam sistem khilafah kedaulatan tertinggi adalah milik Allah,
bukan pada rakyat atau yang lazim disebut demokrasi, tetapi lebih tepat disebut teokrasi
meskipun tidak sama dengan teokrasi di Eropa. Manusia hanyalah pelaksana kedaulatan tersebut,
dengan membentuk badan-badan pemerintah. Pmerintahan hendaknya dilakukan oleh tiga
lembaga, yaitu: badan legislatif, eksekutif dan judikatif. Jabatan kepala negara, menurut
Maududi idealnya diduduki oleh orang yang mempunyai kriteria-kriteria tertentu seperti:
beragama Islam, laki-laki, dewasa, sehat fisik dan mental, warga negara yang terbaik, shaleh, dan
kuat komitmennya kepada Islam.
Hampir sejalan dengan al-Maududi, Taqiyuddin al-Nabhani yang memandang bahwa untuk
mengatur kehidupan politik umat Islam tidak perlu bahkan tidak boleh meniru pola lain, dan
supaya kembali pelaksanaan yang murni dari ajaran Islam, yaitu kembali kepada pola zaman alKhulafa’ al-Rasyidin. Taqiyuddin menganggap bahwa implementasi syariat sangat penting bagi
pemulihan cara hidup Islami dan negara merupakan syarat yang niscaya untuk mencapai tujuan
ini. Bentuk negaranya adalah khilafah. Sesuai karakteristik Islam yang universal itu, maka sistem

khilafah harus supra nasional, dan tidak mengakui pengkotak-kotakan yang berdasarkan faktor
geografis, suku, etnik dan kebangsaan.
Pengertian Jihad
Jihad ( ‫ ) جهاد‬adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam. Jihad
dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan agama Allah atau
menjaga agama tetap tegak, dengan cara-cara yang sesuai dengan garis perjuangan para Rasul
dan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan
kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran
kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu
menjadi khalifah Allah di bumi.
Arti kata Jihad sering di salahpahami oleh orang yang tidak mengenal prinsip-prinsip
agama Islam sebagai 'perang suci' (holy war); istilah untuk perang adalah Qital, bukan Jihad.
Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi
ummat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar).
Pada dasar kata arti jihad adalah "berjuang" atau "ber-usaha dengan keras" , namun bukan harus
berarti "perang dalam makna "fisik". Jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai
"perjuangan untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik. Jika mengartikan jihad hanya
sebagai peperangan fisik dan extern, untuk membela agama, akan sangat ber-bahaya, sebab akan
mudah di-manfaat-kan dan rentan terhadap fitnah.


Jihad di jalan Allah SWTadalah mengerahkan segala kemampuan dan tenaga untuk
memerangi orang-orang kafir dengan tujuan mengharap ridha Allah SWT dan meninggikan
kalimat-Nya.
Yang terpenting jihad adalah amal kebaikan yang Allah syari’atkan dan menjadi sebab
kokoh dan kemuliaan umat islam. Sebaliknya (mendapatkan kehinaan) bila umat Islam
meninggalkan jihad di jalan Allah.

 Jihad Menurut pandangan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jihad diartikan sebagai 1. Usaha dengan segala
upaya untuk mencapai kebaikan; 2. Usaha sungguh- sungguh membela agama Islam dengan
mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga; 3. Perang suci melawan orang kafir untuk
mempertahankan agama Islam. Berjihad berarti berperang di jalan Allah.
Kata jihad di dalam bahasa Arab, adalah mashdar dari kata: jâhada, yujâhidu, jihâd .
Artinya adalah saling mencurahkan usaha. Yang merupakan turunan dari kata jihadyang berarti
kesulitan atau kelelahan karena melakukan perlawanan yang optimal terhadap musuh . Jadi
makna jihad menurut bahasa (lughawi) adalah kemampuan yang dicurahkan semaksimal
mungkin; kadang-kadang berupa aktivitas fisik, baik menggunakan senjata atau tidak; kadangkadang dengan menggunakan harta benda dan kata-kata; kadang-kadang berupa dorongan sekuat
tenaga untuk meraih target tertentu; dan sejenisnya. Makna jihad secara bahasa ini bersifat
umum, yaitu kerja keras.


B.

Tujuan Jihad

Tujuan utama dari Jihad di dalam Islam adalah menghilangkan kekafiran dan
kesyirikan, mengeluarkan manusia dari gelapnya kebodohan, membawa mereka kepada cahaya
iman dan ilmu, menumpas orang-orang yang memusuhi Islam, menghilangkan fitnah,
meninggikan kalimat Allah SWT, menyebarkan agamaNya, serta menyingkirkan setiap orang
yang menghalangi tersebarnya dakwah Islam. Jika tujuan ini dapat dicapai dengan tanpa
peperangan, maka tidak diperlukan peperangan. Tidak boleh memerangi orang yang belum
pernah mendengar dakwah kecuali setelah mendakwah mereka kepada Islam. (Namun jika
dakwah telah disampaikan) dan mereka menolak maka pemimpin Islam harus memerintahkan
mereka untuk membayar jizyah, dan jika mereka tetap menolak, maka barulah memerangi
mereka dengan memohon pertolongan Allah SWT.
Jika sebelumnya dakwah Islam telah sampai kaum tersebut (dan mereka tetap
menolaknya) maka boleh memerangi mereka dari sejak semula, karena Allah SWT menciptakan
manusia untuk beribadah kepadaNya. Tidak diizinkan memerangi mereka kecuali bagi mereka
yang bersikeras mempertahankan kekafiran, atau berbuat zalim, memusuhi Islam, serta
menghalangi manusia untuk memeluk agama ini atau bagi mereka yang menyakiti kaum
muslimin. Rasulullah SAW tidak pernah memerangi satu kaumpun kecuali setelah mengajak

mereka kepada agama Islam.
 Macam-macam Jihad
1. Fardlu 'Ain; yaitu berjuang melawan musuh yang menyerbu ke sebagian negara kaum
muslim seperti jihad melawan kaum Yahudi yang menduduki negara Palestina. Semua orang
muslim yang mampu berdosa sampai mereka dapat mengeluarkan orang-orang Yahudi dari
negeri tersebut.
2. Fardlu Kifayah; yaitu jika sebagian telah memperjuangkannya, maka yang lain sudah tidak
berkewajiban untuk melakukan perjuangan tersebut, yaitu berjuang menyebarkan dakwah Islam
ke seluruh negara sehingga melaksanakan hukum Islam, dan barangsiapa yang masuk Islam serta
berjalan di jalan Islam kemudian terbunuh sehingga tegak kalimat Allah, maka jihad ini berjalan
terus sampai hari kiamat. Jika orang-orang meninggalkan jihad dan tertarik oleh kehidupan
dunia, pertanian dan perdagangan maka ia akan tertimpa kehinaan.

3. Jihad terhadap pemimpin Islam; yaitu dengan memberikan nasihat kepada mereka dan
pembantu mereka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Agama adalah nasihat, kami
bertanya , untuk siapa wahai Rasulullah? Beliau menjawab: untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya,
pemimpin-pemimpin Islam dan orang-orang muslim awam" (HR. Muslim). Dan beliau bersabda:
"Jihad yang paling mulia adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang zalim" (HR.
Abu Daud dan Tarmizi). Adapu cara untuk menghindarkan diri dari penganiayaan pemimpin kita
sendiri, yaitu agar orang-orang Isilam bertaubat kepada Tuhan, meluruskan akidah mereka atas
dasar ajaran-ajaran Islam yang benar sebagai pelaksanaan dari firman Allah: "Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri" (QS Ar-'Ad : 11).
4. Berjihad melawan orang kafir, komunis dan penyerang dari kaum ahli kitab, baik dengan
harta benda, jiwa dan lisan sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Dan berjihadlah menghadapi
orang-orang musyrik dengan harta bendamu, jiwamu dan lisanmu" (HR. Ahmad).
5. Berjihad melawan orang-orang fasik dan pelaku maksiat dengan tangan dan hati,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran maka
rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu
maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman" (HR. Muslim).
6. Berjihad melawan setan; dengan selalu menentang segala kemauannya dan tidak mengikuti
godaannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah
sebagai musuhmu, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka
menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala" (QS Faatir : 6).
7. Berjihad melawan hawa nafsu; dengan menghindari hawa nafsu, membawanya kepada
ketaatan kepada Allah dengan menghindari kemaksiatan-kemaksiatannya. Allah berfirman

melalui mulut Zulaihah yang mengakui telah membujuk Yusuf untuk berbuat dosa: "Dan aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh
kepada kejahatan, Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS
Yusuf : 53).
Jihad diwajibkan atas :
1.

Setiap muslim.

2.

Baligh.

3.

Berakal.

4.

Merdeka.

5.

Laki-laki.

6.

Mempunyai kemampuan untuk berperang.

7.

Mempunyai harta yang cukup baginya dan keluarganya selama kepergiannya dalam

berjihad.
 SYARAT JIHAD
Menurut Syaikh Abu Syujak syarat-syarat jihat ada tujuh antar lain:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Sehat
7. Kuat berperrang

 RUKUN JIHAD
Menurut Syaikh Abu Syujak rukun jihad antar lain:
1. Tegas dan siap mati ketika menghadapi serangan musuh, karena Allah Ta’ala
mengharamkan Mujahid mundur dari serangan musuh.
2. Dzikir kepada Allah Ta’ala dengan hati dan lisan dalam rangka meminta kekuatan Allah
Ta’ala dengan ingat janji, ancaman, dukungan serta pertolongan-Nya kepada wali-waliNya. Dengan dzikir seperti itu, hati menjadi tegar dan semangat perang menjadi kuat.
3. Ta’at kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dengan tidak melanggar perintah keduanya dan
meninggalkan larangan keduanya.
4. Tidak menimbulkan konflik ketika memasuki kancah perang, namun dengan satu barisan
yang tidak ada celah kosong didalamnya, hati yang menyatu, dan badan-badan yang rapat
seperti bangunan kokoh.
5. Sabar dan tetap dalam kesabaran, dan siap mati ketika memasuki kancah perang hingga
pertahanan musuh terbongkar dan barisan mereka terkalahkan, sebagaimana firman Allah
Ta’ala.
 Hukum Jihad
Berjihad di jalan Allah hukumnya fardu kifayah. Jika sebagian kaum muslimin telah
melakukannya maka gugurlah kewajiban itu bagi sebagian yang lain.
Jihad diwajibkan kepada setiap orang yang mampu berperang dalam beberapa keadaan
seperti:
a.

Apabila dirinya telah masuk dalam barisan peperangan.

b.

Jika pemimpin memobilisasi masyarakat secara umum.

c.

Jika suatu negeri/ daerah telah dikepung oleh musuh.

d.

Jika dirinya adalah orang yang sangat dibutuhkan dalam peperangan, seperti dokter,

pilot, dan yang semisalnya.
Jihad di jalan Allah SWT adakalanya wajib dengan jiwa dan harta sekaligus, yaitu bagi
setiap orang yang mampu dari segi harta dan jiwa, terkadang jihad itu wajib dengan jiwa semata
(hal ini berlaku) bagi orang yang tidak mempunyai harta dan adakalanya wajib hanya dengan
harta tidak dengan jiwanya, yaitu bagi orang yang tidak mampu untuk berjihad dengan badannya
namun dia termasuk orang yang mempunyai harta.
Bagi kaum wanita tidak ada jihad, jihad mereka adalah haji dan ‘umrah. Hal ini
berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha,
ketika beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah, apakah kaum wanita wajib berjihad? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: ‘Ya, kaum wanita wajib berjihad (meskipun) tidak ada peperangan di
dalamnya, yaitu (ibadah) haji dan ‘umrah.’”
 Adab dalam Berjihad
1. Termasuk adab dalam berjihad adalah : tidak berbuat khianat, tidak membunuh wanita dan
anak kecil, orang tua, para pendeta dan rahib (ahli ibadah ) yang tidak ikut berperang, akan tetapi
jika mereka ikut berperang atau mereka ikut menyusun siasat perang maka mereka boleh
dibunuh.
-

Termasuk di antara adab berjihad adalah bersih dari sifat ujub atau takabur, sombong dan riya'
serta tidak mengharapkan bertemu dengan musuh dan tidak boleh (menyiksa dengan) membakar
manusia atau hewan.

-

Diantaranya juga, mendakwahkan Islam kepada musuh sebelum berperang, jika mereka tidak
bersedia, maka mereka disuruh membayar jizyah atau upeti, namun jika menolak maka mereka
boleh diperangi.

-

Diantara adab jihad adalah berlaku sabar dan ikhlas serta menjauhi kemaksiatan, banyak
berdo'a untuk memperoleh kemenangan dan pertolongan Allah

 Kewajiban Seorang Pemimpin Dalam Berjihad
Seorang Imam atau yang mewakilinya berkewajiban meneliti pasukan dan perlengkapan
senjata mereka saat akan menuju medan perang, menolak orang yang hendak mengacau atau
mereka yang tidak layak untuk ikut berjihad, dan tidak boleh meminta bantuan kepada orang
kafir dalam berjihad kecuali dalam keadaan darurat. Dia juga berkewajiban menyediakan bekal
dan berjalan dengan tenang, mencari tempat bersinggah yang bagus untuk pasukannya dan
melarang mereka dari perbuatan kerusakan dan maksiat sebagaimana dianjurkan baginya untuk
selalu memberikan nasehat guna menguatkan jiwa para pasukan dan mengingatkan mereka akan
keutamaan mati syahid.
Menyuruh mereka untuk bersabar dan mengharapkan pahala dalam berjihad, membagi tugas
antara pasukan, menugaskan orang untuk berjaga, menyebarkan mata-mata guna mengintai
musuh, dan memberikan tambahan dari rampasan perang kepada sebagian pasukan (yang
dianggap lebih berjasa) seperti menambah seperempat bagian ketika berangkat dan sepertiga
ketika pulang selain seperlima gonimah (yang merupakan bagian Allah dan RasulNya), serta
bermusyawarah dengan para ulama dan cendekiawan dalam masalah ini.
A.Sumber Hukum Islam
II.1 Pengertian Sumber Hukum Islam
Pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan
yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang
dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi
Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa
pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat
beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad,
istishab, istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
II.2 Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at
islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu 105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan

apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[347],
Definisi tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama’,akan tetapi
dari beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur pokok,yaitu :
1. Bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafazt yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah
melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan
ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
2. Bahwa Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab
3. Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4. Bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan beberapa cara dan
keadaan,antara lain, yaitu :
1. Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki yang
mengucapkan kata-katanya
3. Wahyu datang seperti gemirincing lonceng
4. Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana rupanya
yang asli
Ayat-ayat yang diturunkan tadi dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1. Ayat-ayat Makkiyah
2. Ayat-ayat Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu
hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqih.Pengertian bahasa arab
“Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan secara ibarat (tamsil) adalah sumber hukum
atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqih.Pada umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan
Qiyas.
II.3 Sunnah Nabi/Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan
manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian
dari sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:

1. Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
2. Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
3. Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah
Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum yang ada dalam
Al-Qur’an.Sebagai

penganut

hukum

yang

ada

dalam

Al-Qur’an,sebagai

penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah dapat juga membentuk hukum
sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsurunsur sanad (keseimbangan antar perawi),matan (isi materi) dan rowi (periwayat).
Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :
1. Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi
2. Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak mencapai
tingkatan mutawattir
3. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan rawinya dan
berdasarkan sifat perawinya.
1. Matan, teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat yang tertentu.
2. Sanad, bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau tidaknya sesuatu
hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang sambung-bersambung menerima dan
menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari orang yang memberikannya sampai kepada
sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut rawi.
Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist dapat di golongkan ke dalam empat
tingakatan yaitu:


Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai pada
Nabi Muhammad SAW.



Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tersebar luas. Dari
nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.



Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada nabi
muhammad.



Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga tidak
sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Sunan berkedudukan sebagai dalil hukum islam. Hal ini didasarkan kepada nash Alquran yaitu: Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada
segenap manusia. Dan cukuplah allah menjadi saksi.(QS.annisa’:79)
Surat Al-Arab ayat 158 sebagai berikut :
158.katakanlah : “ hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan allah kepadamu semua yaitu
allah yang mempunyai kerjaan langit dan bumi, tidak ada tuhan selain dia. Yang menghidupkan
dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada allah dan rasulnya, nabi ysng ummi yang
beriman kepada allah dan kepada kalimat-kalimatnya (kitab-kitabnya) dan ikutilah dia, supaya
kamu mendapat petunjuk,” (QS. Al-a’rab : 158)
Di dalamnya memahami hadist terdapat dari kutub yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Hadist shahih
2. Hadist dhaif
Ciri-ciri hadist yang shahih itu ialah yang kata- katanya bebas dari bahasa yang rendah (tidak
pantas) serta maksudnya tidak bertetangga dengan ayat atau kabar (hadis) yang mutawir atau
ijma’(yang gamblang), dan yang meriwayatkannya orang-orang yang pantas dipercaya.
Adapun ciri-ciri hadist dhaif sebagaimana diungkapkan K.H.E abdurrohman ialah bertentangan
dengan nash al-quran sunnah yang mutawir, atau bertentangan dengan putusan akal yang
gamblang.
Didalam ilmu hadist dikenal adanya ulama hadist yang masykur. Keenam ulama tersebut,
ialah :
1. Al-Bukhari (194 - 256 H/810 - 870 M)
2. Muslim (204 - 261 H/817 - 875 M)

3. Abu Daud (202 - 275 /817 - 889 M)
4. An-Nasai (225 - 303 H/839 - 915 M)
5. At-Turmudzi (209 - 272 / 824 - 892 M)
6. Ibnu Majah 9207 - 273 / 824 - 887 M)
II.4 Al-Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli
istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan
beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya
istihad umat islam setalah qiyas.
Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun atau mengumpulkan. Ijma’
mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal yang tak teratur,oleh sebab itu
berarti menetapkan memutuskan suatu perkara,dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma
berati kesepakatan pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih
dari abad tertentu mengenai masalah hukum.
Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka
terdapat dua macam ijma’ yaitu :
1. Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau
mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan jelas.
2. Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah
mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.
Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka ijma’ dapat
digolongkan menjadi :
1. Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang suatu hal)
2. Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak
pasti.

Pada hakikatnya ijma’ harus memiliki sandaran, danya keharusan tersebut memiliki beberapa
aturan yaitu :
Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’ tidak akan sampai
kepada kebenaran.
Kedua: bahwa para sahabat keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi, sebagaimana
diketahui, nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat maupun lemah
adalah salah.kalau mereka sepakat berbuat begitu berati mereka sepakat berbuat suatu kesalahan
yang demikian tidak mungkin terjadi.
Keempat: bahwa pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat diketahui kaitannya
dengan hukum syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada syara’ tidak wajib diikuti
II.5 Al-Ijtihad
Mencurahkan seluruh potensi pikiran untuk mengambil suatu hukum dari dalil-dalil syara’
( Al-quran dan sunnah).Menurut definisi bahasa arab ijtihad ialah mencurahkan segala
kemampuan di dalam mendapatkan hukum syara’ dengan cara istimbat dari Al-Quran dan
hadist.Mujtahid adalah seseorang yang melakukan ijtihad. Para mujtahid pada zaman sahabat
hingga zaman tabi’in mengambil hukum-hukum suatu masalah langsung dari Al-Quran dan
hadist muhammad SAW.
Mujtahid dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi:
1. Mujtahid yang bekemampuan berijtihad seluruh amsalah hukum islam dan hasilnya diikuti oleh
orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Mereka berusaha sendiri, tanpa memungut pendapat
orang lain.
2.

Mujtahid filmadzhab atau mujtahid yang di dalam berijtihad mengikuti pendapat salah satu
madzhab dengan beberapa perbedaan. Misalnya abu yusuf yang mengikuti pendapat madzhab
manafi.

3. Mujtahid fil masail atau mujtahid yang hanya membidangi dalam masalah-masalah tertentu. Ciri
mujtahid kelas ini yaitu:
a.

Dalam berijtihad mengikuti pendapat imam madzhab tertentu.

b. Lapangan ijtihadnya terbatas pada soal-soal tertentu dan menyangkut hal-hal yang cabang saja.
4.

Mujtahid yang mengikatnya diri muqoyyad ciri-ciri mujtahid yang termasuk dalam kelas
muqoyyad:

a.

Mengikuti pendapat-pendapat ulama’ salaf

b. Mengetahui sumber-sumber hukum dan masalahnya
c.

Mampu memilih pendapat yang di anggap lebih baik dan benar.
II.6 Al-Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada
kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat
hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber
hukum yang keempat. Arti perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran,
timbangan. Persamaan (analogy) dan menurut istilah ali ushul fiqih mencari sebanyak mungkin
persamaan antara dua peristiwa dengan mempergunakan cara deduksi (analogical deduction).
Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu garis hukum yang baru dari garis
hukum yang lama dengan maksud memakaiakan garis hukum yang baru itu kepada suatu
keadaan, karena garis hukum yang baru itu ada persamaanya dari garis hukum yang
lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan dalam hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :
“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk
berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah :
ayat 90)
Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan da dampak negatifnya
akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan. Dengan demikian sifat memabukkan
dimiliki sebagai sebab bagi ketentuan hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap
minuman yang memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam.
Qiyas sebagai salah satu hukum islam yang tdak dapat dikesampingkan keberadaannya di
dalam menetapkan beberpa ketentuan hukum islam memiliki 4 hukum yaitu:

1. Sesuatu yang hukumnya tidak terdapat dalam nash atau hukum islam.
2. Sesuatu yang hukumnya tidak terdapat dalam nash (far’u : cabang)
3. Hukm syara’ yang terdapat dalam nash berdasar unsur pokok.
4. Illat, yaitu sebab
II.7 Al-istikhsan

Al-istikhsan adlah meninggalkan hukum yang diperoleh melalui qiyas yang jelas (jali)
untuk menjalankan hukum yang tidak jelas (khafi) karena adanya dalil syara’ atau logika yang
membenarkan atau meneruskan meninggalkannya. Pada prinsipnya adalah meninggalkan hukum
yang bersifat umum untuk melaksanakan istisna oleh karena aa atau terdapat dalil tertentu.
Perbedaan pendapat tentang istihsan pada penggunaanya sebagai dalil sebenarnya prbedaan
dalam memberi arti kepada istihsan itu dari banyak istilah yang dikemukakan tntang istihsan
maka yang paling tepat dan sesuai dengan maksud penolakan imam syafi’i menurut yang sering
di nukilkan itu adalah “ sesuatu cara yang cenderung dan senang perasaan manusia
melakukannya sedangkan pihak lain menganganggapnya baik” atau “ petunjuk atau dalil yang
muncul pada diri seseorang mujtahid sedangkan dia tidak mampu melahirkannya. “
Disamping itu ditegaskan pula bahwa imam syafi’i berpendapat bila seseorang
dibenarkan menggunakan istihsan ia akan berpendapat orang lain pun bebas menggunakan
istihsan, tentu akan dapat menimbulkan beberapa putusan yang benar atau beberapa fatwa dalm
kasus yang sama. Oleh karena itu imam syafi’i menetapkan tidak boleh memutuskan berdasrkan
istihsan. Yang dibenarkan hanya menggunakan ijtihad dengan qiyas, bila dalam suatu kejadian
tidak ditemukan nash dalam bentuk al-quran maupun al-sunnah.
Dalam istihsan pada suatu peristiwa terdapat dalil untuk dipilih. Untuk itu seorang mujtahid salh
satu dalil yang jelas atau kuat untuk menjalankan dalil yang tidak jelas disebabkan adanya
sesuatu hal. Istihsan berbeda dengan qiyas sebab dalamqiyas tentang sesuatu belum ada baik
berupa nash atau ijma’ karena adanya hukum, maka peristiwa atau hal dipersamakn dengan
peristiwa yang sudah ada hukumnya. Karena adanya persamaan illat sedangkan dalam istihsan
hukumnya sudah ada bahkan ada dua hukum yang harus dipilih.
Dalam istihsan ada dua aspek penting yaitu:
1. Aspek yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai
2. Aspek dalil yang dijadikan landasan dasar istihsan.
Meninggalkan dalil yang umum dan menggunakan dalil yang khusus karena adanya darurat.
Contoh : kasus seperti tersebut dalam (QS. Al-Maidah : 38) tentang pengecualian potong tangan
bagi pencuri karena keadaan yang tidak memungkinkan seerti dalam keadaan atau musim

kelaparan. Hal ini pernah diperatekkan umar bin khatab yang berati menyalahi dari kandungan
surat Al-Maidah ayat : 38 yaitu :
38.” Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan kedua saya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari allah. Dan allah
maha perkasa lagi maha bijaksana (QS. Al-Maidah : 38).
II.8 Al-Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah atau lengkapnya “ al-masalihul mursalah berarti kemaslahatan yang
dilepaskan. Maslahah mursaah adalah kebaikan atau kemaslahatan yang tidak disinggungsinggung syara’ mengenai hukumnya, baik di dalam mengerjakan atau meninggalkannya akan
tetapi dikerjakannya, akan tetapi dikerjakan akan membawa manfaat dan menjauhkan
kemudhoratannya, bahkan kemudhorotan tersebut dapat hilang sama sekali.
Syarat maslahat mursalah yaitu :
1. Hanya berlaku dalam bidang muamalah jadi tidak berlaku dibidang aqidah dan ibadah.
2. Tidak bertentangn dengan maksud hukum islam atau salah satu dalilnya yang sudah
dikenal ( dalam hal ini Al-Quran dan hadist nabi)
3. Ditetapkan karena kepentingan yang jelas dan sangat diperlukanmasyarakat yang luas.
Menurut A. Hanafi di dalam pengantar dan sejarah hukum islam ditegaskan bahwa:
“maslahat

mursalah

ialah

pembinaan

(penetapan

hukum

berdasarkan

maslahat

(kebikan,kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan secara umum atau
secara khusus.”
Oleh karena itu maka maslahat tersebut di namai “ mursal” artinya terlepas dengan tidak
terbatas. Akan tetapi jika sesuatu maslahat telah ada ketentuan dari syara’ yang menujuk
kepadanya secara khusus, seperti penulisan Qur’an karena dikhawatirkan akan tersia-sia atau
seperti membrantas buta huruf (mengajarkan menulis dan membaca), atau ada nash umum yang
menunjukkan macamnya maslahat yang harus dipertimbangkan, seperti wajibnyamencari dan
menyiarkan ilmu pengetahuan pada umumnya, atau seperti amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka
maslahat-masahat trsebut tidak lagi disebut maslahat mursalah, dan penetapan hulkumannya
didasarkan atas nash bukan didasrkan atas aturan maslaht mursalah.

II.9 Al-‘Urf
“urf diakui keberadaannya di dalamenentukan hukum, terutama dalam menghadpi lafallafal yang bersifat umum. Untuk maksud tersebut, mujtahid harus berusaha mendapatkannya.
Billa tidak mungkin mendapatkannya daklam al-quran dan sunnah dapat di tempat cara lain
diluar dua dalil tersebut,diantara ‘urf atau adat. Kebanyakan ulama menggunakan dalil ‘urf atau
adat sebagai dalil takhsin. Karena fungsi dari takhsis itu adalah menjelaskan, maka ini berarti
bahwa nash (teks) yang umum dalam al-quran atau sunnah dapat dijelaskan atau dipahami
menurut pemahaman ‘urf atau adat. Sehingga tidak perlu heran jika banyak ayat-ayat yang
maksudnya umum berlaku universal di pahami.
Sedangkan madzhab hanafi meletakkan ‘urf sebagai salah satu hukum madzhabnya. Yang
disimpulkan oleh abdullah siddik yang menegaskan bahwa:
1. Qur’an
2. Sunnah rasul atau hadist. Hadist yang diterima adalah hadit mutawir dan hadist masyhur.
Hadist ahad(sanad tunggal) di tolak,mereka lebih abik mendahulukan qiyas daripada
menggunakan hadist ahad.
3. Fatwa-fatwa para sahabat didahulukan dari qiyas
4. Qiyas
5. Istihsan (menjalankan keputusan pribadi, yang tidak didasarkan pada qiyas, tetapi
didasarkan kepada kepentingan umum atau kepentingan keadilan. Contoh maslah
musyatarakah dalm hukum waris (fara’id) tidak memberikan pusaka kepada para saudara
lelaki sekandung dengan jalan berserikat dengan para saudara lelaki seibu adalh atas
dasar qiyas. Sedangkan memberi pusaka kepada para saudara lelaki dengan jalan
menerima faraidh sudara-saudara lelaki seibu yang sepertiga itu apabila dhu-faraid
menghabisi harta peninggalan, hingga tak ada yang tinggal untuk saudara lelaki saudara
sekandung sebagainashabah adalah atas dasr istihsan.

6. Adat yang telah berlaku di dalam masyarakat, apabila tidak bertentangan dengan Quran
dan sunnah rasulnya.
II.10 Al-istihab
Istilah istihab memiliki arti tersendiri, sedangkan dalam ilmu ushul sendiri, menetapkan
hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang merubahnya.
Pada dasarnya istihab adalah menjadikan hukum tentang sesuatu hal yang telah ada sejak semula
tetap berlaku sampai adanya peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah hukum itu.
Istihab merupakan salah satu cara dari istidlal,istihab dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu:
1. Istihab kepada hukum akal dalam predikat”boleh” istihab ini berdasarkan atas prinsip
bahwa asal sesuatu itu boleh. Karena itu kalau tidak ada dalil pelarangan atau suruhan,
maka sesuatu itu di hukumi boleh atau mubah.
2. Istihab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada sesuatu dalil yang
merubahnya.
B. Al-ahkam al-khamsah
Istilah Ahkam berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata hukum Khamsah
artinya lima. Adapun arti ‘’al-hukmu’’ adalah menetapkan suatu hal atau perkara terhadap suatu
hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima ketentuan. Pada dasarnya
‘’ahkamul khamsah erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Oleh karena itu, gabungan kedua
kata dimaksud (Al-ahkam Al-khamsah) atau biasa juga disebut hukum taklifi. Hukum taklifi
adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum
cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk
larangan. Hukum taklifi di maksud, mencakup lima macam kaidah atau lima kategori penilaian
mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam hukum islam yaitu jaiz, sunnah, makruh,
wajib, dan haram. Lain halnya hukum wadh’I yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat,
halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum. Al-ahkam al-khamsahakan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Jaiz atau mubah
Jaiz atau mubah adalah sesuatu perbuatan yang dibolehkan untuk memilih oleh Allah SWT atau
Rasul-Nya kepada manusia mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakan atau meninggalkan

(sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan kalau ditinggalkan tidak dapat pahala dan
tidak berdosa ). Hal ini dalam pembahasan asas hukum Islam (ushul fiqh) disebut hukum
takhyiri. Ketentuan mubah biasanya dinyatakan dalam tiga bentuk, yaitu meniadakan dosa bagi
sesuatu perbuatan, pengungkapan halal bagi suatu perbuatan dan tidak ada pernyataan bagi
sesuatu perbuatan.
Contohnya:melakukan gerak badan di pagi hari, seorang laki-laki boleh menikahi dua orang,tiga
dan empat orang perempuan sebagai istrinya selama ia mampu berbuat adil.
2. Sunnah (mandub)
Sunnah (mandub) adalah sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT atau Rasul-Nya
kepada manusia mukallaf (aqil-baligh). Namun bentuk anjuran itu diimbangi dengan pahala
kepada orang mukallaf yang mengerjakannya dan tidak mendapat dosa bagi yang
meninggalkannya.
Sunnah (mandub) ini terbagi menjadi tiga yaitu: sunnah muakkad, sunnah zaidah, dan sunnah


fadhilah. Ketiga bentuk sunnah dimaksud akan diuraikan sebagai berikut
Sunnah muakkad yaitu suatu ketentuan hukum islam yang tidak mengikat tetapi penting.
Karena Rasulullah saw. senantiasa melakukannya, dan hampir tidak pernah meninggalkannya
atau dengan ketentuan kalau perintah sunnah itu dikerjakan, ia dapat pahala sebaliknya kalau
tidak dikerjakan tidak berdosa.
Contohnya: azan sebelum salat, member sedekah, salat jamaah untuk salat fardhu, dan dua salat



hari raya yakni idhul fitri dan idhul Adha.
Sunnah zaidah yaitu ketentuan hukum islam yang tidak mengikat dan tidak sepenting sunnah



muakkad. Sebab, Nabi Muhammad biasa melakukannya dan sering juga meninggalkannya.
Contohnya: puasa senin dan kamis, bersedekah kepada fakir miskin.
Sunnah fadhilah yaitu ketentuan hukum yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad dari segi

kebiasaan-kebiasaan budayanya.
Contohnya: tata cara makan, minum, dan tidur dan sebagainya.
3. Makruh
Makruh (tercela) adalah sesuatu perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada
manusia mukallaf (aqil-baliqh). Namun bentuk larangan itu tidak sampai kepada yang haram.
Contohnya: masuk rumah orang dengan tidak mengucapkan salam, ketika melaksanakan ibadah
puasa di bulan ramadhan memperlambat berbuka puasa.
4. Haram
Haram adalah larangan keras dengan pengertian kalau dikerjakan akan berdosa atau dikenakan
hukuman dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala
Contohnya: berzina, minum yang memabukkan, mencari, menipu dan sebagainya.
5. Wajib

Wajib menurut hukum islam adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia
mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakannya, mesti dikerjakannya ia mendapat pahala,
sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan hukuman.
Contohnya: melaksanakan salat 5 waktu yang telah diperintahkan oleh Allah, puasa di bulan
ramadhan dll.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dari sedikit pembahasan di atas tentang sistem pemerintahan Islam atau yang sering di sebut
dengan Khilafah merupakan suatu susunan pemerinahan yang diatur menurut ajaran agama
Islam. Sistem pemerintahan Islam merupakan suatu perintah dari Allah swt. Maka jelaslah
hukumnya adalah wajib yang dikuatkan dengan dalil al-Quran dan al-Hadits.
1)
Jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam. Jihad dilaksanakan
untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan agama Allah atau menjaga agama
tetap tegak, dengan cara-cara yang sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran.
2)
Sedangkan Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Terorisme tidak bisa
dikategorikan sebagai Jihad, Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang
terlibat dalam peperangan, Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy
yang melanggar hak hidup kaum Muslimin.
3)
Islam selalu mengajak orang kepada perdamaian dan kerukunan. Islam tidak pernah
mengizinkan seseorang untuk memerangi siapa pun yang tidak bersalah. Namun dalam kondisi
dimana umat Islam diperangi, maka Islam pun mengenal peperangan melawan kebatilan dengan
melakukan kontak senjata, dengan syrat harus ada dakwah kepada mereka terlebih dahulu, baik
dengan lisan mapun tulisan.
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi
sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah
SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama
hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang
erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun,
maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima ketentuan. Pada dasarnya ‘’ahkamul
khamsah erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Oleh karena itu, gabungan kedua kata
dimaksud (Al-ahkam Al-khamsah) atau biasa juga disebut hukum taklifi. Hukum taklifi adalah
ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum cakap
melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk larangan.
Hukum taklifi di maksud, mencakup lima macam kaidah atau lima kategori penilaian mengenai

benda dan tingkah laku manusia dalam hukum islam yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib, dan
haram.

DAFTAR PUSTAKA

Sulaiman Rasjid. 2013. Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo)
Ali Zainuddin, 2006, Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Sudarsono,