Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 467k Pid.Sus 2013)

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu
terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. 1
Rumah tangga adalah sebuah tempat untuk membentuk keluarga yang di
dalamnya terdiri dari suami, isteri, anak, serta orang-orang yang mendiami dalam
rumah tangga pada waktu tertentu. 2 Selain itu rumah tangga sebagai tempat
berlindung, mencurahkan kebahagian dalam membentuk keluarga yang sakinah
untuk mendapatkan rasa aman, tentram, dan damai.
Keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna menumbuh
kembangkan kelebihan dan kemampuan yang ada pada setiap individu namun
dalam kenyataannya keluarga sering kali menjadi wadah bagi munculnya berbagai

kasus penyimpangan sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan, yang
dilakukan oleh anggota keluarga satu terhadap anggota keluarga lainnya. 3
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai

1

Peri Umar Farouk, Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), (Jakarta:
Resources Coordinator, 2010), hal.1.
2
Pasal 2 Undang-undang Nomor 23Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
3
Didik M Arif Mansyur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Jakarta: Raja
Grafindo, 2008), hal. 131.

1
Universitas Sumatera Utara

2


merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Namun tidak semua orang
dapat merasakan kebahagiaan dalam rumah tangganya. 1
Tujuan perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga memberikan suatu pengertian
perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2 Kemudian dalam
Pasal 33 undang-undang tersebut ditentukan tentang hak dan kewajiban suami
istri, “suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Pasal di atas dapat diartikan sebagai larangan adanya tindakan kekerasan
dalam rumah tangga, karena tidak sesuai dengan tujuan perkawinan serta hak dan
kewajiban suami istri. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia
dan menciptakan ketenangan, kenyamanan bagi suami isteri serta anggota
keluarga. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Dengan demikian, segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan
diputuskan bersama oleh suami isteri. Hal ini berarti rumah tangga seharusnya
menjadi tempat yang aman bagi para anggotanya karena keluarga dibangun oleh
suami istri atas dasar ikatan lahir batin di antara keduanya. 3 bahkan, Pasal 31

Undang-undang perkawinan menentukan bahwa suami dan istri mempunyai hak
1

Erna Suryadi, Bagaimana Mencegah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),
(Jakarta: PT Pustaka Harapan, 2011), hal.1.
2
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3
Rika Saraswati,Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga,
(Bandung: PT Citra Aditya, 2009), hal.2.

Universitas Sumatera Utara

3

dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan
hidup di dalam masyarakat serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 1
Tindakan kekerasan sebagai bagian dari perbuatan kriminal terjadi di
dalam kehidupan masyarakat. Kekerasan adalah tindakan yang dilakukan berupa
pemaksaan dan kontrol dengan tujuan untuk mendominasi seseorang yang

dipandang lemah. 2 Tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran
terhadap Hak Asasi Manusia. Kekerasan ini bisa terjadi dimana saja dan kapan
saja, bahkan didalam lingkungan keluarga yang merupakan ruang lingkup sosial
terkecil dalam masyarakat yang dalam pikiran masyarakat sedikit sekali
kemungkinan untuk terjadinya kekerasan dilingkungan tersebut. Namun ditempat
itulah sering terjadi tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan dalam keluarga ini
dikenal dengan istilah kekerasan dalam rumah tangga yang biasanya disingkat
dengan KDRT. 3
Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menentukan kekerasan dalam
rumah tangga adalah : 4
“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”

1

Ibid.

Jurnal Perempuan Semai Untuk Keadilan Dan Demokrasi, Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Koalisi Perempuan Indonesia, 2004), hal. 3.
3
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ( Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hal.1.
4
Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
2

Universitas Sumatera Utara

4

Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya merupakan perbuatan yang
merugikan perempuan baik secara fisik, seksual, psikologi, maupun penelantaran
rumah tangga. 1
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)
mencatat kasus kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut:
Tabel 1: Kasus kekerasan terhadap perempuan dan keluarga di

Indonesia 2
No
Tahun
Jumlah Kasus
1
2010
143.586
2
2011
119.107
3
2012
8.315
4
2013
919
Sumber : Komnas perempuan
Berdasarkan data yang bersumber dari Komnas perempuan, Kasus
kekerasan terhadap perempuan dan keluarga sejak tahun 2010 sampai dengan
2013 sebagaimana dapat dilihat di dalam tabel I menunjukkan adanya penurunan

yang sangat signifikan. Hal ini terlihat dari turunnya angka kasus kekerasan
terhadap perempuan dan keluarga yang pada tahun 2010 sebanyak 143.586 kasus
menjadi 919 kasus pada tahun 2013. Setengah atau 46 persen dari kasus tersebut
adalah kekerasan Psikis, 28 Persen kekerasan psikis, 17 persen kekerasan seksual,
dan 8 persen kekerasan ekonomi. 3
Lingkup keluarga saat ini masih sering mengalami berbagai bentuk
diskriminasi dan kekerasan dalam kehidupannya, baik di lingkungan rumah
tangga maupun keluarga. Hal ini merupakan fakta yang sukar untuk dipungkiri,
1

Rena Yulia, Victimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
(Yogjakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 9.
2
http://www.komnasperempuan.or.id/, diakses Hari sabtu, pukul 17.30 WIB, Tanggal 14
November 2014.
3
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


5

apalagi jika kekerasan yang mereka alami dalam kehidupan tertentu di tingkat
masyarakat dan negara. Sejumlah fakta terjadinya berbagai bentuk kekerasan
dalam rumah tangga yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dewasa
dan anak-anak. Berbagai dampak kekerasan yang mengancam kehidupan kaum
perempuan ini merupakan fakta hukum yang harus menjadi pertimbangan utama
dalam menyatakan perbuatan tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. 1
Bab III UU PKDRT diatur mengenai pengenaan pidana bagi setiap orang
yang melanggar larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga yang tersebut
dalam Pasal 5. Pasal 5 UU PKDRT menyatakan “setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangga,
dengan cara :
a.

Kekerasan fisik; 2

b.

Kekerasan psikis; 3


c.

Kekerasan seksual;atau 4

d.

Penelantaran rumah tangga.

1

Elfinur Bermawi, dkk, Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia Terhadap
Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Upaya Pencegahannya, (Jakarta:
Badan Pelatihan dan Pegembangan Ham Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia, 2013),
hal.8.
2
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat, Lihat Pasal 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
3

Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilang rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat
pada seseorang, Lihat: Pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
4
Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
menetap dalam lingkup rumah tangga dan juga termasuk pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seseorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu. Lihat: Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Universitas Sumatera Utara

6

Ketentuan Pasal 5 UU PKDRT tersebut pada pokoknya ada 4 (empat) jenis
tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan
penelantaran rumah tangga. 1
Salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah “Penelantaran

orang dalam lingkup rumah tangga”. Sehingga yang menjadi titik fokus dalam
penelitian ini adalah bentuk kekerasan yang keempat yaitu penelantaran rumah
tangga. Menurut Pasal 5 huruf d UU PKDRT dilarang setiap orang melakukan
penelantaran rumah rumah tangga, yakni sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9
UU PKDRT, bahwa: 2
(1)

(2)

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkungan rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut.
Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Larangan melakukan Penelantaran dalam rumah tangga dalam Pasal 5 huruf

d diancam dengan pidana dalam Pasal 49 UU PKDRT sebagai berikut :
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga tahun) atau denda
paling banyak Rp. 15.000.000.00 ( Lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
1

Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
(Yogjakarta : Merkid Press, 2012), hal. 31.
2
Pasal 9 ayat (1) undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.

Universitas Sumatera Utara

7

KUHP sendiri memiliki pasal yang sepadan/ sejenis dengan Penelantaran
rumah tangga yakni di atur dalam BAB XV. 1Tentang Meninggalkan orang yang
memerlukan pertolongan, yakni Pasal 304 yang menyatakan :
“ Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang
dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah”.
Tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah sebagaimana disebutkan di
dalam Pasal 4 UU PKDRT adalah:
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Apabila pelaku tindak pidana penelantaran rumah tangga diterapkan Pasal
49 UU PKDRT

maka tujuan dari Pasal 4 hurud d UU PKDRT tidak akan

tercapai, selain itu apabila terhadap pelaku dikenakan Pasal 49 maka tidak sesuai
dengan

ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang memberian pengertian bahwa perkawinan adalah sebagai ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan ketentuan tersebut sedapat mungkin
untuk pelaku tindak pidana penelantaran rumah tangga dijauhkan dari pidana
penjara.
1

Guse Prayudi,Op.Cit, hal. 93.

Universitas Sumatera Utara

8

Penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana penelantaraan rumah
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 UU PKDRT tidak akan mendatangkan
manfaat bagi anggota keluarga baik istri maupun anak, penjatuhan pidana penjara
kepada pelaku akan membuat istri dan anak menjadi terlantar dengan tidak
terpenuhi kehidupan sehari-hari, sehingga perlu dicari solusi atau alternatif selain
pidana penjara atau denda.
Pasal 5 huruf d jis Pasal 9, pasal 49 UU PKDRT, perlu adanya kualifikasi
mengenai “Penelantaran”, dimana unsur penting dalam jenis tindak pidana ini
adalah frasa “menelantarkan”

dimana dalam UU PKDRT tidak memberikan

pengertian tentang hal ini, berbeda dengan “Kekerasan Fisik, Psikis, dan Seksual”
yang diberikan pengertian secara normatif. Sehingga diperlukan penafsiran secara
sistematis. Selanjutnya mengenai syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9
ayat (1) ‘tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang dalam lingkup rumah tangganya” menimbulkan pertanyaan pihak mana
sebenarnya yang dituju oleh aturan ini sebagai pelaku atau subjek tindak
pidananya, dan apa yang dimaksud dengan “memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeriharaan kepada orang tersebut”, dalam UU PKDRT tidak memberikan
pengertian apa sebenarnya yang dimaksud dengan memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan sehingga diperlukan kualifikasi mengenai ketentuan
sebagaimana yang disebutkan Pasal 9 UU PKDRT.
Berikut ini kasus penelantaran rumah tangga seperti yang terdapat pada
Putusan Mahkamah Agung No. 467 K/Pid.Sus/2013.

Universitas Sumatera Utara

9

Putusan Mahkamah Agung No. 467 K/Pid.Sus/2013 Terdakwa Qiez (nama
disamarkan) pada tanggal 19 Desember 2008 sekitar pukul 11.30 WIB atau
setidak-tidaknya masih termasuk tahun 2008 di sebuah rumah dengan alamat
Tabek Jorong Data Bungo Nagari Aripan Kecamatan X Koto Singkarak
Kabupaten Solok, atau setidak-tidaknya masih termasuk daerah hukum
Pengadilan Negeri Solok, Qiez melakukan penelantaran dalam lingkup rumah
tangga terhadap saksi korban Nie (nama disamarkan) yang merupakan isteri sah
terdakwa, Nie memarahi terdakwa karena terdakwa sering menghubungi wanita
lain melalui handphonenya dan merusak handphone tersebut, lalu korban
mengusir tedakwa, selanjutnya terdakwa meninggalkan saksi korban beserta 4
(empat) orang anak-anaknya, kemudian terdakwa tidak pernah lagi ke rumahnya
atau menemui saksi korban beserta anak mereka kembali sampai sekarang (selama
kurangi lebih 3 tahun), bahkan terdakwa juga tidak pernah menafkahi saksi
korban beserta anak-anak mereka yang seharusnya menjadi tanggung jawab
terdakwa, yang mengakibatkan keluarga terdakwa (saksi korban beserta anakanak) tidak tercukupi kebutuhan ekonominya. 1
Pengadilan Negeri Solok No. 02/Pid.Sus/2012/PN.Slk. tanggal 20 Februari
2012 menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1
(satu) tahun 6 (enam) bulan dan memerintahkan agar terdakwa ditahan, dengan
putusan diantaranya menyatakan terdakwa Qiez, telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum, bersalah melakukan tindak pidana “Penelantaran
orang lain dalam lingkup rumah tangga” yang di lakukan oleh suami terhadap

1

Putusan Mahkamah Agung No. 467 K/Pid.Sus/2013

Universitas Sumatera Utara

10

istri, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana selama 1 tahun (satu )
6 bulan .
Tingkat

banding

Pengadilan

Tinggi

Padang,

dengan

Nomor

50/PID/2012/PT PDG, tanggal 11 April 2012 menerima Banding dari terdakwa,
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor 02/Pid.Sus/2012/PN.SLK
tanggal 20 Februari 2012.
Tingkat kasasi melalui putusan Nomor 467 K/Pid .Sus/2013 yaitu menolak
permohonan kasasi dari terdakwa Qiez, memperbaiki amar putusan pengadilan
tinggi padang, Nomor 50/PID/2012/PT.PDG, tanggal 11 April 2012 yang
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor 02/Pid.Sus/2012/PN.Slk,
tanggal 20 Februari 2012 sekedar mengenai lamanya pidana penjara. Menyatakan
terdakwa Qiez terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “penelantaran orang lain dalam lingkup rumah tangga” menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa dengan pidana selama 1 (satu) tahun.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas penting adanya suatu
analisis mengenai tindak pidana penelantaran rumah tangga baik mengenai
penjatuhan pidana penjara atau denda kepada pelaku sebagaimana yang
disebutkan di dalam Pasal 49 maupun frasa “penelantaran” terutama mengenai
kualifikasi Kewajiban “kewajiban memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan” yang di inginkan menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga khususnya dalam
Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 467 K/Pid.Sus/2013.

Universitas Sumatera Utara

11

B. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.

Perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam lingkup rumah tangga
dengan cara penelantaran rumah tangga?

2.

Jenis pidana apakah yang tepat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana
penelantaran rumah tangga?

3.

Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
penelantaran rumah tangga menurut putusan Mahkamah Agung Nomor. 467
K/Pid.Sus/2013?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui perbuatan yang dikategorikan ke dalam lingkup rumah
tangga dengan cara penelantaran rumah tangga.

2.

Untuk mengetahui jenis pidana yang tepat dijatuhkan kepada pelaku tindak
pidana penelantaran rumah tangga.

3.

Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
penelantaran rumah tangga berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 467
K/Pid.Sus/2013 .

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan
manfaat baik secara teoritis, maupun praktis, seperti yang di jabarkan sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara

12

1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan sumbangan bagi kalangan akademis untuk
memahami terhadap tindak pidana penelantaran istri. Penulisan ini juga
diharapkan memberi pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum
pada umumnya dan perkembangan hukum pidana khususnya mengenai
tindak pidana penelantaran rumah tangga.
2. Manfaat praktis
Dapat menggugah kesadaran para pembaca dan dapat memberikan
sumbangan pemikiran untuk pelaksanaan penegakan hukum demi
terciptanya masyarakat yang tertib, hukum yang adil dan memberi
kepastian hukum bagi masyarakat. Penulisan tesis ini juga diharapkan
dapat memberikan solusi terhadap problematika dalam masyarakat yaitu
tindak pidana penelantaran rumah tangga dalam masyarkat.
E. Keaslian Penelitian
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka sebelumnya telah dilakukan penelusuran (checking) judul pada
perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, bahwa penelitian yang berjudul : “Tindak Pidana penelantaran
rumah tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung No. 467 K/PID.SUS/2013)”

Belum pernah di lakukan sama sekali.

Berdasarkan penelusuran (checking) di Perpustakaan Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ditemukan beberapa

Universitas Sumatera Utara

13

judul penelitian yang membahas Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
yaitu:
a.

Firdaus, NIM: 037005057, dengan judul “Suatu tinjauan Tentang
Penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Terhadap Pelaku
Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Muhammad Rajab di
Pengadilan Lubuk Pakam)”.

b.

Anda Nurani, dengan judul “ Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan”.

c.

Natalia Swana Rita, NIM: 107005125, dengan Judul “ Perlindungan
Hukum Terhadap anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga”.
Substansi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini berbeda dengan

penelitian-penelitian tersebut diatas. Karena penelitian pada tesis ini adalah
spesifik terhadap “Tindak pidana penelantaran rumah tangga menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 467 K/PID.SUS/2013)”
dengan

demikian,

penelitian

ini

dapat

dikatakan

asli

dan

dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya. bertanggungjawab jika kemudian hari dapat
dibuktikan bahwa penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dari penelitian
yang sudah ada sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara

14

F.

Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kata teori

berasal dari kata theori

yang artinya pandangan atau

wawasan 1. Theoria juga bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian yang
terbaik. 2Secara umum teori itu diartikan sebagai pengetahuan yang hanya
ada dalam alam pikiran tanpa dihubungan dengan kegiatan-kegiatan yang
bersifat praktis untuk melakukan sesuatu. 3 Kerangka secara etimologis
bermakna garis besar atau rancangan. Teori adalah keseluruhan pernyataan
yang salin berkaitan. 4
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk
membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada
landasan filosofisnya yang tertinggi. 5 Teori hukum sendiri boleh disebut
sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam
urutan yang demikian itulah kita dapat merenkonstruksikan kehadiran teori
hukum secara jelas. 6 Kerangka teori merupakan garis besar dari suatu
rangcangan atas dasar pendapat yang dikemukan sebagai keterangan
mengenai suatu peristiwa. 7 Menurut Kaelan M.S, Landasan teori terhadap
suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian.
Landasan teori dalam suatu penelitian bersifat strategis artinya memberikan
1

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Jogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hal.4
Bernard, Yoan N.Simanjuntak dan Markus Y.Hage, Teori Hukum Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang Dan Generasi ( Yogjakarta : Genta Publising, 2010), hal 41.
3
Sudikno, Op.Cit, hal.7.
4
J.JH. Bruggink alih bahasa oleh Arief Shidarta, Refleksi Tentang Hukum, ( Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti, 1999), hal.2.
5
Sajipto Raharjo, Ilmu Hukum ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 254.
6
Ibid,hal. 253.
7
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua,( Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 520.
2

Universitas Sumatera Utara

15

realisasi pelaksanaan penelitian. 1 Oleh karena itu, kerangka teoritis bagi suatu
penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut: 2
1.

Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
Teori sangat berguna untuk mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi
yang ada;
Teori merupakan suatu iktisar daripada hal-hal yang diteliti;
Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh
karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin
faktor-faktor tersebut akan timbul lagi dimana yang akan datang.

2.

3.
4.

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini
adalah teori tujuan pemidanaan, penggunaan teori tujuan pemidanaan dalam
penelitian untuk melihat tujuan dari penjatuhan pidana kepada pelaku
penelantaran rumah tangga. Selain itu dalam penelitian ini juga mengunakan teori
Utilitarianisme (Manfaat). Digunakan teori Utilitarianisme untuk melihat manfaat
bagi korban (korban tindak pidana penelantaran rumah tangga adalah istri, anak
dan semua yang telah disebutkan di dalam ketentuan Pasal 2 UU PKDRT) setelah
pelaku dijatuhi pidana, manfaat yang diperoleh oleh korban setelah pelaku dijatuhi
pidana.
1.

Teori Tujuan Pemidanaan
Teori tujuan pemidanaan terdiri dari teori absolut, teori relatif dan teori

teleogogical retributif atau teori gabungan.
Teori absolut lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana. Menurut teori
ini pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. 1Negara berhak menjatuhkan pidana

1

Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogjakarta; paradigma,
2005), hal. 239.
2
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI Press, 1986), hal. 121.

Universitas Sumatera Utara

16

pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada
hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau negara) yang telah
dilindungi. 2 Vos dalam Leerboek-nya berkomentar,“ De absolute theorien, die
vooral tegen het eind det euw opkomen, zoeken de rechtsgrond van de straf in de
begane misdaad: die misdaad op zich zelf is voldoende grond om de dader the
bestraffen...”(teori absolut, terutama bermunculan pada akhir abad ke-18, mencari
dasar hukum pemidanaan terhadap kejahatan. Kejahatan itu sendiri dilihat sebagai
dasar dipidananya pelaku). 3
Pandangan yang bersifat absolut (yang dikenal juga dengan teori retributif),
dianggap sebagai pandangan yang paling klasik mengenai konsepsi pemidanaan.
Dalam pandangan ini, diandalkan bahwa setiap individu manusia itu bertanggung
jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap perbuatan dengan sendirinya mengandung
konsekuensi untuk mendapatkan respons positif atau negatif. Jika perbuatan itu
bersifat sosial, maka ganjarannya yang diperoleh pelakunya positif, seperti berupa
penghargaan atau pujian dan sebaginya. Tetapi jika perbuatnnya itu bersifat
antisosial, maka ganjarannya bersifat negatif, misalnya dengan dicela, dimusuhi,
atau bahkan dihukum sebagai imbalan atau pembalasan terhadap perbuatannya
antisosial itu. 4
Menurut teori absolut setiap kejahatan harus di ikuti dengan pidana tidak
boleh tidak tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidana karena telah

1

Eddy O.S.Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogjakarta:Cahaya Atma Pustaka,
2014), hal.31.
2
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana,( Jakarta, Raja Grafindo, 2008), hal.157.
3
Eddy O.S.Hiariej, Loc.Cit, hal.31.
4
Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Pemidanaan,( Medan : Usu press, 2011), hal. 31.

Universitas Sumatera Utara

17

melakukan kejahatan, maka pemberian pidana disini ditujukan sebagai bentuk
pembalasan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan. 1
Teori absolut (teori mutlak) melihat pidana sebagai suatu gejala yang
mempunyai arti sendiri. Mutlak di sini dipakai dalam artinya semula; “dilepaskan”
dari setiap tujuan apapun. Jadi pidana tidak mempunyai tujuan lain selain daripada
hanya pidana saja. Karena kejahatan tidak dibolehkan menurut susila dan
menurut, maka kejahatan itu seharusnya dipidana. Jadi pidana itu mempunyai
fungsi sendiri yaitu sebagai bantahan terhadap kejahatan. Hanya dengan
“membalas” kejahatan itu dengan penambahan penderitaan, dapat dinyatakan
bahwa perbuatan itu tidak dapat dihargai. Oleh karena itu pidana “dilepaskan”
dari tujuan. 2
Menurut teori absolut setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang
harus dikenakan pidana sebagai pembalasan atas perbuatannya itu, tanpa dilihat
akibat yang timbul dari penjatuhan pidana itu di masa depan. 3pemidanaan dalam
pandangan ini adalah untuk memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh
kejahatan. Menurut simon, 4 dapat dimasukan kedalam teori-teori absolut yaitu
teori dari Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Von Bar, Kohler, dan dari polak yang juga
dikenal dengan objectiveringstheori.

1

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung; PT.Refika
Aditama, 2008), hal.23.
2
Ibid, hal.32.
3
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu
tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa
pidana. Tidak dipersoalkan akibat pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk
pemidanaan hanya masa lampau, yaitu masa terjadinya tindak pidana itu. Masa datang yang
bermaksud memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan. Lihat E.Y. Kanter dan S.R, Sianturi, asasasas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982),
Hal.59.
4
P.A.F. Lamintang, Hukum Penetensier Indonesia, ( Bandung : Armico, 1984), hal.13.

Universitas Sumatera Utara

18

Teori absolut atau teori pembalasan ini terbagi atas pembalasan subjektif
dan dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap
kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah
diciptakan pelaku di dunia luar. 1
Mengenai masalah pembalasan itu J.E Sahetapy menyatakan:
“Oleh karena itu, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata
hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan
tercapai, karena dalam diri terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah
atau menyesal mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam
menurut hemat saya, membalas atau menakutkan si pelaku dengan suatu
tindak pidana yang kejam memperkosa rasa keadilan”. 2
Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan
narapidana sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat
terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana yang ringan pun
kadang-kadang dapat merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana
kembali. 3
Ada beberapa ciri dari teori absolut sebagaimana yang diungkapkan oleh
Kart O. Christiansen yaitu: 4
a.
b.
c.
d.
e.

Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;
Pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengadung sarana-sarana
untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat;
Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana;
Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;
Pidana melihat kebelakang yang merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan
kembali pelanggar.

1

Suwarto, Individualisasi Pemidanaan,( Medan :Pustaka Bangsa Press, 2012), hal. 24.
J.E.Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung :
Alumni, 1979), hal.149.
3
Suwarto, Loc.Cit.
4
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, ( Bandung:
Alumni, 1992), hal. 4.
2

Universitas Sumatera Utara

19

Penganut teori absolut ini antara lain adalah immanuel Kant, Hgel, Herbart
dan Julius Stahl. Pendapat Kant, pidana adalah etika;praktisnya adalah suatu
ketidakadilan, oleh karena itu kejahatan harus dipidana (de straf als eis van
ethiek;de practishe rede eist onvoorwaardelijk,dat op het misdrijf de straf volgt).
Menurut Hegel, kejahatan adalah peningkaran terhadap hukum, kejahatan dihapus
(de misdaad is een negative van het recht, dat dan weer door de straf wordt
opgeheven) 1. Ciri khas dari ajaran-ajaran absolut dari Kant dan Hegel, adalah
keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan sebenarnya
tidak berguna, bahkan bilapun membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih
buruk. 2
Berbeda dengan Herbat yang menyatakan, kejahatan yang tidak dibalas
disenangi, tuntutan yang harus dipenuh bahwa pelaku mengalami beratnya
nestapa seperti ia mengakibatkan orang lain menderita (de overgorden misdaad
mishaagt. Het is dus een eis van aesthetische noodwendigheid, dat de dader een
gelijk iezuantum leed ondervindt als hij heeft doen lijden). Sementara Stahl
mengemukan bahwa pidana adalah keadilan Tuhan. Penguasa sebagai wakil
Tuhan di dunia harus memberlakukan keadilan Tuhan di dunia (de straf als eis
van Goddelijke gerechtigheid.de overhed als vertegenwoordigster van God op
aarde heeft die goddelijke gerechtigheid tot gelding te brengen). 3
Berdasarkan apa yang dikemukan oleh Kant, Hegel, Herbart dan Stahl,
menurut Remmelink sebenarnya pemikiran-pemikiran mereka yang digolongkan
ke dalam teori absolut ini berbeda antara satu dengan yang lain. Kesamaan yang
1

Eddy O.S.Hiariej, Op.Cit, hal.32.
Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Op.Cit, hal.31.
3
Eddy O.S.Hiariej, Loc.Cit, hal.32.
2

Universitas Sumatera Utara

20

mempertautkan mereka adalah pandangan bahwa syarat dan pembenaran
penjatuhan pidana tercakup di dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari pandangan
absolut terhadap pidana. Menurut Remmelink, sebenarnya teori absolut yang
menjadi ciri aliran klasik sudah dikembangkan pada zaman kuno, Dengan
merujuk pada aliran fisuf Yunani, Plato,menyatakan: Nemo prudens punit, qiezuia
peccatum, sed ne peccetur (seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya
dosa, melainkan agar tidak terjadi lagi dosa). Upaya mencegah kejahatan
dilakukan dengan membuat takut sehingga hukum pidana kuno kemudian
mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya dilakukan
di depan umum dengan memberi peringatan pada masyarakat luas. 1
Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana
adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan
pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib itu diperlukan
pidana. 2 Teori relatif mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib
masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana untuk prevensi terjadinya
kejahatan. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu
mempunyai tiga macam sifat yaitu: 3
a.

Bersifat menakut-nakuti (afscbrikking);

b.

Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);

c.

Bersifat membinasakan ( onschadelijk maken).

1

Ibid.
Adami Chazawi, Op.Cit, hal. 160.
3
Ibid.

2

Universitas Sumatera Utara

21

Cessare Beccaria dalam M.hamdan 1 melakukan kritikan keras terhadap tujuan
pemidanaan dalam teori retributif. Menurut Beccaria hukum harus mampu
menjamin kebahagian yang sejati dari sebagaian besar masyarakat (the greatest
happiness of the number). Untuk menjamin kebahagiaan terbesar ini, maka pidana
harus terlebih dahulu ditentukan di dalam undang-undang yang dibuat melalui
kekuasaan legislatif, sebagai perwujudan dari prinsip kontrak sosial.
Teori relatif tidak mengakui pidana sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan
sendiri (penambahan penderitaan sebagai pembalasan), akan tetapi hanya
memberikan arti pada pidana, karena dengan pidana akan dapat diusahakan dan
dicapai tujuan lain. Para penganut teori relatif ini memandang pidana sebagai
sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai kemanfaatan, baik yang
berkaitan dengan orang yang bersalah, misalnya menjadikannya sebagai orang
yang lebih baik, maupun yang berkaitan dengan dunia, misalnya dengan
mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat petensial, akan
menjadi dunia tempat yang lebih baik. 2
Pandangan ini melihat hukuman sebagai cara untuk mencegah atau,
mengurangi kejahatan. Premisnya adalah bahwa, pemidanaan sebagai tindakan
yang menyebabkan derita bagi si terpidana, hanya dapat dianggap sah apabila
terbukti, bahwa dijatuhkannya pidana penderitaan itu memang menimbulkan
akibat lebih baik daripada tidak dijatuhkan pidana, khusunya dalam rangka
menimbulkan efek pencegahan terhadap pihak-pihak yang terlibat. Karena
tujuannya yang berusaha mencegah demikian inilah maka pandangan ini
1

M. Hamdan, Hukuman dan Pengecualian Hukuman Menurut KUHP Dan KUHAP, (
Medan: Usu Press, 2010), hal.10-11.
2
Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Op.Cit, hal.40.

Universitas Sumatera Utara

22

dinamakan ultilitarian prevention, yang oleh Paker disebut “ deterence ” yang
juga berarti pencegahan. 1
Pidana bukalah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbangan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini sering juga
disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran pidana menurut teori
ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan qiezuia peccatum est
(supaya orang jangan melakukan kejahatan). 2
Pencegahan dalam pandangan utilitarian ini lebih dikaitkan dengan tindakantindakan yang bersifat menakuti sperti dengan acaman sehingga orang menjadi
takut untuk melakukan pelanggaran. Menurut Packer dalam Jimly Asshiddiqie,
dalam pandangan utilitarian prevention ini, terdapat dua macam pencegahan
yang harus dibedakan yaitu after the fact inhibition dan inhibition in advance.
Karena itu, teori Deterence ini dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: 3
1. Deterence Theory
yang efek pencegahan diharapkn timbul sebelum
pidana dilakukan, misal melalui ancaman, contoh keteladanan, dan
sebagainya, yang biasa juga disebut dengan “general deterence”
2. Intimidation theory yang memandang bahwa pemidanaan itu merupakan
sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Menurut teori ini, sekali
seseornag dijatuhi pidana, maka selanjutnya secara mental ia akan
terkondisikan untuk menghidari perbuatan serupa, yang ia ketahui akan
dapat atau mungkin dapat menyebabkan ia dipidana.
Menurut teori Teleological retributivist, tujuan pemidanan bersifat plural,
karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis, misalnya “utilitarianism” dan

1

Ibid.
Ibid,hal. 41.
3
Ibid.

2

Universitas Sumatera Utara

23

prinsip-prinsip retributivist

dalam suatu ketentuan, sehingga seringkali

pandangan ini disebut aliran integratif. 1
Teori tujuan pemidanaan selanjutnya adalah Teori Teleological retributivist
yang juga dikenal dengan teori gabungan (verenigings theorien). Yang lahirnya
karena adanya kelemahan dari teori absolut dan teori relatif, teori gabungan ini
mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib
masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana.
Grotius atau Hugo de Groot menyatakan bahwa penderitaan memang sesuatu
yang sewajarnya ditanggung pelaku kejahatan, namun dalam batasan apa yang
layak ditanggung pelaku tersebut kemanfaatan sosial akan menetapkan beratringannya derita yang layak dijatuhkan. Hal ini bertolak dari satu adagium yang
berbunyi natura ipsa dictat, ut qui malum fecit, malum ferat yang berarti kodrat
mengajarkan bahwa siapa yang berbuat kejahatan, maka akan terkena derita. Akan
tetapi, tidak hanya penderitaan semata sebagai suatu pembalasan tetapi juga
ketertiban masyarakat. 2
Penganut teori adalah Zevenbergen, seorang ahli hukum pidana jerman.
Zevenbergen lebih menitikberatkan pada pembalasan, namun bertujuan untuk
melindungi tertib hukum, karena respek terhadap hukum dan penguasa(....dat het
wezen der straf vergelding is, maar het doel besherming der rechtsorde, omdat
namelijk door de straf het respect voor recht en overheid hersteld en behouden
wordt), dimana menurut Zevenbergen pidana sebagai Ultimum remedium. 3

1

ibid, hal. 46.
Eddy O.S.Hiariej, Op.Cit, hal.34.
3
Ibid, hal.35.

2

Universitas Sumatera Utara

24

Penganut teori gabungan yang lebih menitik beratkan perlindungan
masyarakat daripada pembalasan adalah Simons. Menurutnya, prevensi umum
terletak pada pidana yang diancamkan, dan subsider-sifat dari pidana terhadap
pelaku-prevensi khusus menakutkan, memperbaiki dan meleyapkan (... de
generale preventie, in de strafbedreiging

gelegen, en subsidiair-waar de

strafbedreiging blijkbaar voor de dader niet voldoender was-speciale preventie,
bestaande in afschrikking, berbetering en onschadelijmaking). 1
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
sebagai berikut: 2
a.

b.

Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu
tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih
berat daripada pembuatan yang dilakukan terpidana.
Teori gabungan lahir karena adanya kelemahan yang terdapat baik pada

teori retributivism (teori absolut) maupun teleological theories (teori relatif)
Kelemahan teori absolut : 3
a.

b.

Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak
semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus
dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada;
Apabila yang menjadi dasar dari teori ini adalah untuk pembalasan,
maka mengapa hanya negara saja yang memberikann pidana.

Kelemahan teori relatif: 4
a. Dapat
menimbulkan ketidakadilan pula, misalnya tujuan untuk
mencegah kejahatan itu dengan jalan menakuti-nakuti, maka mungkin
pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk

1

Ibid.
Adami Chazawi, Op.Cit, hal.166.
3
Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Op.Cit, hal. 47.
4
Ibid.

2

Universitas Sumatera Utara

25

menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana
bertentangan dengan keadilan;
b. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata
untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang
membutuhkan
kepuasan dengan demikian diabaikan;
c. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktek. Bahwa tujuan mencegah
kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit
dilaksanakan. Misalnya terhadap residivis.
2.

Teori Utilitarianisme
William Wilson menyatakan: 1

“In general utilitarianism is a unified political, economic and moral
theory. In its simplest, classical form it holds that human action (whether
individual or collective) is justified to the extent that it promises to maximise
human happiness or welfare. Thus, individual action is justifiable if more units of
happiness/welfare are produced by doing it than not doing it or doing something
else. A political or economic act of goverment is justifiable it it would be of
overall benefit to the community. When looked at in combination, political
decisions to breaks manifes to pledges on taxation for economic reason would
only be unjustified if the loss of electoral trust which this would engender would
cause more harm to society than could be paid for by the promised economic
benefit. Public interest arguments in the legal forum are informed by utilitarian
(that is political rather than strictly legal) considerations”.
“Teori manfaat merupakan sebuah gabungan ilmu politik, ekonomi, dan
teori moral. Secara lebih sederhana, bentuk dari budaya yang ada pada tindakan
manusia (apakah individu atau kelompok) yang menentukan hasil kebahagian dan
kesejahteraan manusia. Namun, tindakan individu yang menetukan banyaknya
gabungan kebahagian dan kesejahteraan yang dihasilkan melalui tindakan
daripada tidak melakukan tindakan atau melakukan hal lainnya. Suatu ilmu poliitk
atau tindakan ekonomi pemerintah yang dapat menentukan jika itu dapat
bermanfaat bagi seluruh masyarakat ketika dilihat dalam bentuk gabungan
keputusan politik untuk menentukan hilangnya kepercayaan pemilihan yang akan
menyebabkan akibat lebih hangat dalam sosial daripada yang dapat ditanggung
untuk kepentingan ekonomi. Alasan menarik publik dalam forum legal
diinformasikan oleh ‘utilitarian’ (bagian ilmu politik bukan hukum legal)”.
Utilitarianisme adalah suatu teori dari segi etika normatif yang menyatakan
bahwa suatu tindakan yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan
(utility), biasanya didefinisikan sebagai memaksimalkan kebahagian dan
1

William Wilson, Criminal Law Doctrine And Therory (second Edition), (British: Pearson
Education Limited, 2003), hal.53.

Universitas Sumatera Utara

26

mengurangi penderitaan “Utilitarianisme” berasal dari kata utilis, yang berarti
berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. 1Istilah ini juga sering
disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory). 2
Teori Utilitarianisme mengemukakan bahwa kebenaran dan kesalahan dari
setiap tindakan seluruhnya tergantung pada hasil yang diperoleh dari suatu
perbuatan. Dengan kata lain, baik niat di balik tindakan ataupun kebenaran yang
fundamental dari tindakan yang dilakukan, hanya sebagai konsekuensi. 3
Utilitarianisme sebagai teori sistematis pertama kali dipaparkan oleh Jeremy
Bentham dan muridnya, seperti dalam karyanya berjudul “An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation”. Asas manfaat melandasi segala kegiatan
berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi
kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan
kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan
akan tercapai teori ini juga dikembangkan oleh muridnya jeremy Bentham yaitu
John Stuart Mill. 4
Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang
baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan Sebaliknya, yang jahat
atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan.Karena itu,
baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah,

1

Munir Fuadi, Dinamika Teori Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 88.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000. hal. 1144.
3
Roli Harni Yance S. Garingging, Mahmul Siregar, dkk. Aspek Hukum Perlindungan
Dalam Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI)Terhadap Industri Elektronik Rumah Tangga
Di Sumatera Utara (Studi Pada Pt.Neo National Medan), Usu Journal, vol.2.Nomor 2. September
2014.hal.79.
4
Munir Fuadi, Op.Cit. hal.95.
2

Universitas Sumatera Utara

27

dan menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan
perbuatan.
Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya
menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang
dilakukan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah
dengan memperbesar kegunaan, manfaat, dan keuntungan yang dihasilkan oleh
perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan
kebahagiaan daripada penderitaan, manfaat daripada kesia-siaan, keuntungan
daripada kerugian, bagi sebagian besar orang. Dengan demikian, perbuatan
manusia baik secara dan membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri sendiri dan
orang lain. 1
Teori utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan
dalam menilai baik atau buruk. Baik buruknya kualitas moral suatu perbuatan
bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan oleh mereka sebagai
pengemban amanah atau orang-orang yang dipercaya. Jika suatu perbuatan
mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran,
kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik.
Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya,
maka perbuatan itu dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini menentukan
seluruh kualitas moral.
Prinsip utilitarian menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah
total manfaat yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah

1

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

28

manfaat total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Penelantaran
para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan,
dan hilangnya otonomi adalah bahaya-bahaya yang ditentang utilitarianisme ini. 1
2.

Kerangka Konseptual
Kerangka konsepsi merupakan kerangka yang mengambarkan hubungan

antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau diteliti. Suatu konsep merupakan
bukan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala
tersebut. Gejala itu biasanya fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian
mengenai hubungan- hubungan dalam fakta tersebut. 2 Selain itu konsepsi adalah
suatu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah bagian penghubung yang
menerangkan suatu yang sebelumnya hanya baru ada dipikirkan. “peranan konsep
dalam pemeliharaan adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi
antara bisnis dan realitas.” 3
Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindari perbedaan
pengertian mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu
dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.
Dengan adanya penegasan kerangka konsepsi, maka akan diperoleh suatu
pandangan dalam menganalisis masalah yang akan diteliti baik pandangan dari
aspek yuridis maupun aspek sosiologis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai
berikut:

1

Ibid, hal. 96.
H.M.Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana, (Medan :
Usu Press, 2008), hal.78.
3
Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, (Jakarta : LP3E3, 1999), hal.15.
2

Universitas Sumatera Utara

29

a.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama

perempuan,

yang

berakibat

timbulnya

kesengsaraan

atau

penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. 1 Atau kekerasan dalam rumah tangga adalah berbagai tindakan yang
menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial para anggota keluarga oleh
sesama anggota keluarga (anak/menantu, ibu/istri, dan ayah/suami). 2
b.

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan
oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga. 3

c.

Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeriharaan kepada orang tersebut. 4 Selain itu,
penelantaran

juga

berlaku

bagi

setiap

orang

yang

mengakibatkan

ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk

1

Pasal 1 ayat (1) undang-undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
2
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hal.296.
Bandingkan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Mengalami perluasan. (Lihat Pasal 1 butir (1), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan
Pasal 9).
3
Ibid.
4
Lihat Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
kekekerasan Dalam Runah Tangga.

Universitas Sumatera Utara

30

bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada
dibawah kendali orang terebut. 1
d.

Ruang lingkup keluarga adalah suami, istri, anak, orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga dengan orang

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

0 9 31

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN PADA PEMBANTU RUMAH TANGGA (PRT) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2 16 40

Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga - [PERATURAN]

0 11 19

SKRIPSI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN

0 3 13

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN FISIK DAN PSIKIS TERHADAP ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN HUKUM PIDANA ISLAM.

0 0 12

Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 467k Pid.Sus 2013)

0 0 12

Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 467k Pid.Sus 2013)

0 0 2

Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 467k Pid.Sus 2013)

0 2 39

Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 467k Pid.Sus 2013)

0 0 7

Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kota Batam

0 0 16