Hubungan Antara Islam Radikal dan Terori

Hubungan Antara Islam Radikal dan Terorisme

Dosen Pembimbing :
Dr. Muhammad Wildan, M.A

Oleh :
Taufik Amin Nur Wijaya
(14/372612/PMU/8361)

KAJIAN TIMUR TENGAH
AGAMA DAN LINTAS BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA 2014
“When you fight terrorism, you become a terrorist.”

M. van Crafeld,
The Eccnomist, August 15, 1998.
A. Pendahuluan
Terorisme dan radikalisme merupakan dua hal yang berkaitan,
tetapi keduanya tidaklah sama, radikalisme lebih terkait dengan
model sikap atau cara pengungkapan yang terkait dengan problem
intern keagamaan, sedangkan terorisme secara jelas mencakup

tindakan kriminal untuk tujuan- tujuan politik.
Menyangkut terorisme, tentunya kita semua mengetahui
bahwa terorisme merupakan suatu kejahat terhadap manusia
beserta peradabannya dan musuh dari semua agama, meskipun
terorisme selalu di sangkut pautkan dengan agama Islam yang
berpaham radikal. Namun, agama Islam yang sesungguhnya adalah
agama

yang

keamanan,

rahmatan

kenyamanan,

lil

‘alamin


ketenangan

yang
dan

slalu

memberikan

ketenteraman

bagi

semua makhluknya. Tidak ada agama yang mengajarkan kepada
umatnya untuk melakukan tindakan kekerasan yang berdampak
pada kerusakan dan kerugian umat manusia. jikapun ada itu
merupakan bagian kecil dalam upaya pemecahan masalah, bukan
dalam kontek ajarannya. Namun hal itulah yang menjadi pijakan
oknum yang melakukan tindakan teror dengan mengatas namakan
agama.

B. Radikalisme Islam
Radikal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai perubahan yang mendasar dan menyeluruh (KBBI, 2008 :
1151), merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku
dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Al-

Hadits (Syamsul Bakri, 2004: 03). Predikat ini dikaitkan dengan
sebuah pemikiran ataupun sebuah paham, sehingga muncul suatu
istilah pemikiran radikal atau paham radikal.
Sebenarnya Istilah radikalisme Islam adalah istilah yang
dipopulerkan oleh media pers barat untuk gerakan Islam garis keras
yang dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi, konservatid
dan anti-Barat. Penggunaan Istilah tersebut sejatinya tidak dapat
ditimpakan kepada Islam, karena Islam adalah agama yang
Rohmatun lil’alamiin, Islam tidak mengajarkan pemeluknya untuk
melakukan tindakan terror. Lebih tepatnya, radikalisme merupakan
gerakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dirugikan
oleh fenomena sosio-politik dan sosio-historis, meskipun dengan
mengibarkan panji- panji keagamaan.
Akibat fenomena sosio-politik dan sosio-historis sebagian

klompok Islam garis keras mengalami proses radikalisasi, yaitu
proses personal di mana individu mengadopsi idealisme dan
aspirasi politik, sosial, atau agama secara ekstrim, dimana timbul
pemahaman bahwa penggunaan kekerasan dalam mencapai suatu
tujuan dibolehkan, sehingga timbul memotivasi seseorang untuk
mencapai perilaku kekerasan (Wilner, 2009: 08).
Radikalisasi dalam prosesnya terdapat dua tipe. Pertama,
akibat krisis identitas yang diselesaikan dengan pemahaman
keyakinan yang menyatakan kekerasan sebagai solusi, dimana hal
ini berawal dari kondisi globalisasi seperti kebijakan luar negeri,
perkembangan

politik,

budaya,

dan

ekonomi


global.

Kedua,

ditimbulkan melalui interaksi sosial yang dipengaruhi oleh media,
teman

sebaya,

pemimpin

klompok,

anggota

keluarga,

atau

lingkungan sekitar, sehingga menerima sebuah pemahaman bahwa


sesuatu

harus

dilakukan

untuk

menghadapi

hal–

hal

yang

mengancam aliran kepercayaan yang diyakininya (Adi Sulistyo,
2014: 04).
Fenomena radikalisasi yang terjadi di Indonesia berkaitan erat

dengan peristiwa diproklamirkannya Negara Islam Indonesia di Jawa
Barat pada 7 Agustus 1949 dibawah komando Kartosuweryo (M.
Dawam Raharjo, 2007:118). Gerakan ini bercita- cita mendirikan
Negara Islam Indonesia (NII) dengan syariat Islam sebagai dasar
hukumnya. NII Katosuweryo timbul pada saat Jawa Barat dikuasai
oleh Belanda karena kesepakatan pemerintah Indonesia dengan
Belanda melalui perjanjian Renville, dimana Indonesia mengakui
kedaulatan

Belanda

atas

Jawa

Barat.

pada

saat


itulah

dikumandakan “Jihad Suci” untuk kemerdekaan Jawa Barat atas
Belanda,

akan

tetapi

dalam

catatan

sejarah

Indonesia

NII


Katosuweryo di tuduh oleh kaum nasionalis sebagai gerakan
pemberontakan, dan dihentikan pada tahun 1960-an (Mahatma
Hadhi, 2005: 7).
Dari gambaran di atas tampaknya ada beberapa faktor yang
menyebabkan lahirnya faham radikalis: Pertama, karena faktor
modernisasi yang dapat dirasakan dapat menggeser nilai- nilai
agama

dan

pelaksanaanya

dalam

agama.

Kedua,

karena


pandangan dan sikap politik yang tidak sejalan dengan sikap dan
politik yang dianut penguasa. Ketiga, kerena ketidak puasan mereka
terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya yang
berlangsung di Indonesia. Keempat, karena sifat dan karakter dari
ajaran Islam yang dianut kelompoknya cenderung bersifat rigid
(kaku) dan literlis (Tarmizi Taher, 1998: 6).

C. Terorisme
Teroris berasal dari kata latin terrere yang berariti membuat
gemetar atau mengetarkan (Akhmad Jenggis P,2012: 112), dan
menurut KBBI adalah orang yg menggunakan kekerasan untuk
menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik (KBBI, 2008:
1511), sedangkan terorisme diartikan dengan sikap dan tindakan
berupa ancaman atau penggunaan kekerasan secara ilegal yang
dilakukan oleh aktor non-negara baik berupa perorangan maupun
kelompok untuk mencapai tujuan politis, ekonomi, religius, atau
sosial dengan menyebarkan ketakutan, paksaan, atau intimidasi
(Adi Sulistyo, 2014: 05).
Gambaran


buruk

akan

makna

yang

dikandung

dalam

perkataan “teroris” atau “terorisme” menjadikan para pelaku
umumnya

menyebut

diri

mereka

sebagai

separatis,

pejuang

pembebasan, pembela negara, pasukan perang salib, pasukan
keamanan, militant, mujahidin, atau istilah lain, yang mana makna
semua

istilah

tersebut

jauh

dari

tindakan

terorisme

yang

menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat dalam perang.
Beberapa tipologi pemicu munculnya tindakan terorisme yaitu
preconditions of terrorism dan precipitants of terrorism. Pertama
adalah faktor yang menyediakan kondisi tertentu yang mana dalam
jangka panjang nantinya melahirkan terorisme, dan yang kedua
adalah peristiwa tertentu yang secara langsung memicu terjadinya
sebuah tindak terorisme. Kedua tersebut dibagi menjadi empat
faktor berikut ini (Ni Putu Elvina Suryani, 2012: 08):
a. Faktor penyebab struktural, yaitu faktor yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat pada tingkat makro, seperti halnya
ketidak seimbangan demigrafik, globalisasi, moderenisasi

yang begitu cepat, struktur kelas dalam masyarakat sehingga
timbul keterasingan didalamnya.
b. Faktor penyebab fasilitator (akselerator), yaitu faktor yang
mendorong bahwa tindakan teroris menarik untuk dilakukan,
pemicu

faktor

ini

adalah

perkembangan

media

masa,

teknologi persenjataan dan lemanhnya kontrol pemerintah.
c. Faktor penyebab motivasional, yaitu berawal dari rasa ketidak
puasan

aktual

individual

yang

kemudian

diterjemahkan

melalui ideologi- ideologi sehingga menjadi relevan untuk
memotivasi semua orang melakukan sebuah tindakan.
d. Faktor pemicu, yaitu penyebab langsung terjadinya tindak
teroris,

yakni

dapat

berupa

terjadinya

peristiwa

yang

provokatif tertentu yang dilakukan oleh pihak musuh sehingga
menimbulkan reaksi tertentu.
Pengelompokan teorisme dapat dibedakan berdasarkan taget
dan motivasi yang menjadi tujuan dari aksi terorisme yang
dilakukan, antara lain adalah:
1. Terorisme Negara, yaitu aksi teror yang dilakukan oleh
penguasa

daerah

atau

negara,

guna

mengontrol

penduduknya demi kekuasaannya tersebut. Contohnya adalah
pemerintahan yang diktator, seperti Revolusi Prancis (1793).
2. Terorisme Keagamaan, yaitu aksi teror yang dilandasi oleh
ideologi agama, pelaku sangat fanatis akan ideologinya
hingga rela untuk mengorbankan nyawanya demi tercapainya
suatu tujuan, misalnya bom bunuh diri klompok Al-Qaida.
3. Terorisme Sayap Kanan, yaitu aksi teror yang bertujuan
memerangi pemerintah liberal dan melestarikan tatanan

sosial tradisonal, contohnya adalah Klu Klux Klan dan NeoFasis (Akhmad Jenggis P, 2012: 137).
4. Terorisme Sayap Kiri, adalah usaha menggulingkan demokrasi
kapitalis dan membangun pemerintahan komunis, seperti
Partai

Front

Pembebasan

Rakyat

Revolusioner

di

Turki,

Organisasi Revolusioner 17 November di Yunani, dan Fuerzas
Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC) di kolombia (Adi
Sulistyo, 2014: 06).
5. Terorisme Patologis, aksi teror individu yang tidak jelas
motifnya, yaitu seperti aksi penembakan pada beberapa
sekolah di Amerika dan Eropa.
6. Terorisme Berorientasi Isu, adalah aksi teror yang bertujuan
untuk memajukan isu tertentu, biasanya terkait dengan
masalah

sosial

seperti

Pemboman

gedung

atau

kapal

penangkap paus.
7. Terorisme Separatis, aksi teror kaum minoritas dalam suatu
negara

yang

menginginkan

kemerdekaan

sendiri,seperti

klompok Kurdish PKK di Turki, Quebec Liberation Front (QLF) di
Canada, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Indonesia.
8. Narko-terorisme, adalah aksi teror yang dilakukan bertujuan
untuk mempermudah penjualan narkoba, contonya adalah
Kartel di negara Meksiko, Narcoterorism di Myanmar yang
dikenal dengan sebutan United War State dan Yakuza di negri
Sakura.

D. Islam Radikal dan Terorisme

Berbicara terorisme dan Islam radikal, dalam kalangan publik
dan orang awam tidaklah bisa terlepas dari pembahasan Peristiwa
11 September, bom Bali, hotels JW Marriott 2003 dan hotel RitzCarlton 2009. Peristiwa tersebut mencuat menjadi isu internasional,
dan agama suci Islam menjadi terget sasaran media- media barat.
Saat itulah, tuduhan terorisme sangat erat hubungannya dengan
dunia Islam, hingga terjadi Islamofobia di beberapa kalangan
masyarakat, terutama di Barat, kita bisa melihat lebih jelas saat
menyaksikan filem My Name is Khan di tahun 2010.
Islam radikal tidaklah persis sama diartikan dengan terorisme,
karena Islam radikal lebih terkait dengan model sikap atau
pengungkapan

gagasan

yang

terkait

dengan

problem

intern

keagamaan, sedangkan terorisme secara jelas mencakup tindakan
kriminal dengan tujuan tertentu. Islam Radikal memang tidak
selamanya

negative,

tergantung

cara

merealisasikan

dan

mengekspresikan serta cara pandang orang melihatnya. Namun
Islam radikal sering menjadi momok atau monster bagi banyak
orang, mengingat sifatnya yang menginginkan perubahan dalam
waktu cepat, dan seringkali identik dengan instabilitas politik dan
keamanan.
Dari

situlah

banyak

orang

menganggap

bahwa

faham

radikalisme merupakan langkah awal menjadi terorisme, meskipun
itu tidak semuanya. Sebagaimana yang disampaikan Ahmad Fuad
Fanani bahwa “Radicalism is only one step short of terrorism”
(Ahmad Fuad Fanani, 2013: 06), dan terbukti dengan banyaknya
pelaku yang dituduh teroris, melegitimasi tindakannya dengan
paham keagamaan, mereka kadang juga disebut sebagai orang

neo-khawarij karena sebuah anggapan orang lain yang bukan
kelompoknya sebagai ancaman dan harus dibasmi.
Maskipun demikin, tidaklah perlu sesorang atau klompok
tertentu untuk disebut sebagai teroris dia harus menjadi Islam
radikalkan? tentu tidak, karena tidak semua Islam garis keras atau
Islam radikal melakukan tindakan teroris. Jika kita memperhatikan
pada filem A Wednesday ditahun 2008, berlatar belakang ketidak
puasan terhadap sikap pemerintah seseorang yang tadinya biasa
saja bisa bertindak luar biasa hingga, sebagian orang menyebutnya
sebagai teroris dan sebagian menyebutnya sebagai hero. Dari file
mini tergambarkan bahwa penilaian manusia mengenai teroris atau
hero akan suatu klompok atau orang tergantung pada dari sudut
manakah ia memandang.
Baik, untuk lebih mudahnya, bolehkah saya menyebut aksi
tentara Amerika yang menculik warga sipil Afganistan dan Irak,
kemudian melakukan penyiksaan di penjara Guantanamo sebagai
terorisme?, bagaimana dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)?,
bagaimana dengan aksi kerusuhan demonstran “anti salafisme” di
Jerman yang beranggota gabungan dari perusuh sepakbola dan
ekstrim kanan? bagaimana dengan serangan Israel ke Palistina?, uji
coba senjata biologis Amerika terhadap warga sipil Palistina, bom
atom Amerika di Jepang yang menimbulkan kematian ratusan ribu
jiwa

rakyat

sipil,

pemberontakan

rakyat

Indonesia

terhadap

pemerintahan Belanda sebelum tahun 1945, pembunuhan kaum
Yahudi oleh Nazi di Jerman, tindakan kekerasan yang berlandas
agama seperti di India oleh Hindu, Jepang beragama Tokugawa, di
Irlandia beragama Protestan, di Filipina beragama Katolik dan di
Thailand beragama Budha, manakah dari klompok- klopok tersebut

yang pantas diberi label “teroris”?, yang kita rasakan saat ini
tuduhan teroris lebih popular untuk agama Islam, dan mereka
(Barat) tidak menganggap sebuah aksi brutal yang tidak manusiawi
sebagai teroris, semasa itu dilakukan oleh non-muslim.
Saya lebih tertarik dengan pernyataan Cak Nur bahwa
terrorisme

apapun

namanya

adalah

terror,

terorisme

adalah

kejahatan kemanusiaan. Terror bukan agama dan agama bukan
terror. Terror berwatak menghancurkan sedangkan agama berwatak
keselamatan. Karenanya tidak bisa dikaitkan begitu saja (Prof. Dr.
Nur Syam, 2005: 10). Adapun beberapa klompok berubah menjadi
radikal disebabkan oleh hegemoni Amerika dan sekutu- sekutunya
khususnya sikap terhadap negera- negara Muslim, ketidakmampuan
pemerintah mengatasi problem sosial serta lemahnya hukum, dan
Islam dinterpretasikan secara parsial serta “Jihad” lebih dipahami
sebagai perang.
Gerakan

radikalisme

Islam

memiliki

genealogi

dengan

gerakan Islam salafi di negara- negara Timur Tengah. kebanyakan
tokoh-tokoh gerakan Islam radikal di Indonesia berkiblat ke Timur
Tengah. Seperti halnya, Habieb Riziq Syihab pemimpin Front
Pembela Islam (FPI), Ja’far Umar Thalib pemimpin Lasykar Jihad, Abu
Bakar Ba’asyir pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Habieb
Husein al-Habsyi pemimpin Ikhwanul Muslimin, Hafidz Abdurahman
pemimpin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), semua memiliki dasar ide
pemikiran Wahabi, Neo-Wahabi dan Hassan al-Banna. Bagi mereka,
melakukan tindakan pengeboman pada beberapa tempat yang
dianggap pusat kemaksiatan merupakan tindakan jihad, bukan
teroris.

Anggapan tersebut terbukti dengan beberapa karya tulis
beberapa tokoh kelompok garis keras, diantaranya adalah karya
Imam Samodra “Aku Melawan Teroris” dan istri mukhlas yaitu
Paridah Abas “Orang Bilang Ayah Teroris”, yang memaparkan bahwa
tindakanya

yang

demikian

itu

merupakan

bentuk

perlawan

terhadap terorisme yang dilakukan Amerika Serikat. Imam Samodra
memaparkan bahwa teroris yang sebenarnya adalah Amerika dan
sekutunya, bukan dia dan kawan- kawannya dalam Jamaah
Islamiyah. Baginya, ini merupakan jihad membela Islam dari
serangan

terorisme

yang

terstruktur

yang

dilakukan

Barat,

sebenarnya apa yang dilakukan Amerika dan sekutunya lebih
melampaui batas kemanusian daripada apa yang dilakukan Imam
Samodra cs (Prof. Dr. Nur Syam, 2005: 15).
Gerakan Islam Radikal sangat responsive terhadap apa saja
yang datang dari dunia barat. Modernisasi dengan berbagai
implikasinya

adalah

musuh

besarnya.

Melalui

pergulatannya

dengan sekularisasi yang permissiveness, maka visi dan misi utama
adalah mengembalikan masyarakat ke dalam pangkuan Islam yang
seluruh kandungan ajarannya mengatur kehidupan manusia secara
total. Di dalam konstruksi sosialnya, dunia haruslah diatur sesuai
dengan zaman salaf al-salih, yang merupakan zaman terbaik pasca
kehidupan Rasulullah.
E. Kesimpulan
Radikalisme atau kekerasan agama merupakan konstruksi
social tentang paham dan tindakan keagamaan yang dilakukan oleh
golongan Islam tertentu. Bagi pelakunya, ini merupakan tindakan
yang sesuai ajarannya dan merupakan bentuk respon social

terhadap realitas social yang dikonstruksi sebagai “menyimpang”
dari ajaran agama yang benar.
Terorisme dan pahlawan adalah dualisme yang berbeda tipis,
tergantung dari kaca apa kita melihatnya. Tindakan “terorisme”
barat terhadap negara- negara Islam merupakan pemicu utama
munculnya teroris bagi mereka. Dinamika hubungan antar agama
dengan negara sering terkontamisasi dengan tindakan- tindakan
beragama yang dikonstruksi oleh kelompok yang dikonstruksi
sebagai radikal. Isu tentang penerapan syariat Islam di dalam suatu
Negara, sering menjadi arus utama terjadinya konstruksi social
terhadap radikalisme atau fundamentalisme.
Aksi teror yang dilakukan dengan mengumandangkan Allahu
Akbar, merupakan penyebab pemojokan Islam di dalam kancah
hubungan agama- agama. Sebenarnya perbuatan yang demikian ini
sangat disayangkan, karena menorah wajah Islam sebagai agama
yang rahmatan lil ‘alamin, menjadi berwajah teroris oleh beberapa
masyarakat yang melihat melalui secara awam.
F. Resensi
Bakri,

Syamsul.

Islam

dan

Wacana

Radikalisme

Agama

Kontemporer, Jurnal DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004.
Fuad Fanani, Ahmad. Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum
Muda, Jurnal Maarif Vol. 08, No. 1, Jakarta: Maarif Institute for
Culture and Humanity, Juli 2013.
Hadhi, Mahatma. Rizky Argama, Shinta Rishanty, Taufik Hidayat.
Negara

Islam

Perkembangannya.
Indonesia, 2005.

Indonesia:
Jakarta:

Fakta

Fakultas

Sejarah
Hukum

dan

Universitas

Jenggis P, Akhmad. 10 Isu Global di Dunia Islam,
Raharjo, M. Dawam, Argumen Islam untuk sekularisme (Islam
Progresis dan Perkembangan Diskursusnya), Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007.
Sugono,

Dendy

dkk.

Kamus

Bahasa

Indonesia,

Departemen

Pendidikan Nasional, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Sulistyo, Adi. Radikalisme Keagamaan dan Terorisme, fakultas
Strategi

Pertahanan,

Jakarta:

Universitas

Pertahanan

Indonesia, 2014.
Suryani, Ni Putu Elvina. Interaksi Kondisi Domestik dan Situasi
Internasional

Masa

Orde

Baru

sebagai

Penyebab

Aksi

Terorisme di Indonesia, Magister Kajian Terorisme dalam
Keamanan

Internasional,

Departemen

Hubungan

Internasional, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012.
Syam, Prof. Dr. Nur, M.Si. Radikalisme dan Masadepan Hubungan
Agama-

Agama:

Rekontruksi

Tafsir

Sosial

Agama,

Dipresentasikan pada tanggal 10 Oktober 2005, IAIN Sunan
Ampel.
Taher, Tarmizi. Anatomi Radikalisme Keagamaan Dalam Sejarah
Islam,

dalam

Bahtiar

Effendy

dan

Hendro

Prasetyo,

Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN.
Wilner, A, Ph.D & Dubouloz, C-J, Ph.D. Homegrown Terrorism and
Transformative Learning : An Interdisciplinary Approach to
Understanding Radicalization, Ottawa : Canadian Political
Science Association Conference, 2009.