Saat ini ditingkat pemerintahan pusat

Saat ini ditingkat pemerintahan pusat, sedang hangatnya aroma debat
pemikiran dan pembahasan untuk mereposisi kembali Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 yang juga
merupakan hasil revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1999. Undang Undang ini
rencananya akan dipecah menjadi tiga undang-undang payung yakni UU
tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Pemilihan Kepala Daerah dan UU
tentang Desa.
Mengenai Rancangan UU tentang Desa, saat ini tiga lembaga Negara yang
memiliki fungsi dan kewenangan untuk membuat dan mengajukan RUU yakni
DPR, DPD dan Presiden sedang menyiapkan RUU tentang Desa menurut
versi dan pemikirannya masing masing yang tentu nantinya akan dibahas
bersama-sama untuk menelorkan regulasi yang terbaik buat negeri.
Sebagai anak negeri yang terlahir dan besar dari desa, perkenankan saya
menyampaikan buah pemikiran kehadapan sidang pembaca yang terhormat,
sekalian keinginan untuk berpartisipasi dalam membangun dialektika dan
diskursus tentang kebijakan negara terhadap harkat hidup rakyat banyak.
Akan halnya kebijakan pengaturan tentang desa ini, menurut saya
keberadaan desa sangat prinsip dan strategis bagi keberadaan NKRI karena
sebagian besar penduduk Indonesia berada di desa, sumber devisa negara
dari eksploitasi SDA juga berasal dari desa, buruh murah dan TKI juga
berasal dari desa, namun kemiskinan juga terdampar dipedesaan.

Regulasi tentang Desa
Berbicara tentang desa, sepertinya bak melihat arus dilaut lepas yang terus
mengalir, beriak tak pernah putus karena memang keberadaan desa itu
sendiri jauh duluan ada daripada Negara Indonesia sendiri diproklamirkan.
Pasca Indonesia merdeka silih berganti regulasi yang mengatur tentang desa
dengan memperlakukan kedudukan desa pada posisi yang berbeda-beda.
Yakni mulai dari UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Desa
ditempatkan sebagai Daerah Tingkat III dengan tata dan sebutan Desa Praja.
Terdapat kesamaan antara pengaturan Inlandshe Gemeente
Ordonantie dan Inlandshe Gemeente Ordonantie voor
Buitengewesten dengan UU No. 19 Tahun 1965 dalam hal memandang desa
sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum (volkgemeenschappen)
memiliki hak adat istiadat dan asal usul. Dengan demikian berdasarkan
peraturan perundang-undangan ini, nama, jenis, dan bentuk desa sifatnya

tidak seragam. Namun UU ini tidak pernah terimplementasi karena tidak
dikehendaki pemerintah Orde Baru.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, kembali peraturan perundangundangan mengenai desa mengalami perubahan yang ditandai dengan
terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Dalam UU ini kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman

bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional, sehingga
keanekaragaman kesatuan masyarakat hukum adat diseluruh NKRI
disamakan nomenklatur, struktur, filosofi dan fungsinya dengan desa.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang
ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam
pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat dikatakan
bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979 administrasi desa dipisahkan dari hak
adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku
dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri
sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan administratif dalam tatanan
pemerintah.
Setelah terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998, pengaturan mengenai
desa mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. UU ini secara nyata mengakui otonomi desa.
Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah
berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan

wewenang dari Pemerintah. Sehingga yang disebut desa atau nama lainnya,
yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam
sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Selanjutnya melalui undang-undang ini desa disebutkan sebagai subsistem
dari pemerintahan yang pengaturannya lebih lanjut diserahkan kepada daerah
kabupaten dengan membentuk Perda. Tanpa ada penjelasan apa yang
dimaksud dengan subsistem tersebut.

Terakhir desa diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang kembali
menempatkan desa dalam satu undang-undang tentang pemerintahan
daerah. Pengaturannya kemudian ditindaklanjuti oleh PP No. 72 Tahun 2005
tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan
yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama
halnya dengan UU No. 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di daerah kabupaten. Untuk meningkatkan pelayanan di
dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa sekretaris desa akan diisi

oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Namun tanpa disadari secara hakikat dan rohnya pengaturan tentang desa
tersebut tidaklah banyak mengalami perubahan secara berarti dan substantif,
perubahannya masih melingkar-lingkar diarena yang sama yakni tentang
kedudukan dan posisi desa diranah pemerintahan, sehingga pengaturannya
tidak jauh berbeda dengan peran dan pengaturan desa dizaman kolonial
dahulunya.
Sistem pemerintahan desa yang digunakan pada prinsipnya masih
meneruskan kebijakan pemerintah jaman penjajahan Belanda yang
dinamakan “indirect rule”. Melalui cara ini, pemerintah Belanda dapat
memerintah rakyat desa melalui kepala desa, sehingga tidak perlu
mengeluarkan biaya. Desa lebih banyak diposisikan sebagai obyek
kekuasaan politik dari supradesa, maupun obyek tersedianya sumber daya
alam, modal dan tenaga kerja murah bagi pengusaha. Disengaja atau tidak,
selama ini pemerintah supra desa telah menempatkan desa pada posisi yang
marginal.
Sehubungan dengan revisi UU nomor 32 Tahun 2004 terutama kebijakan
negara untuk membentuk UU tentang Desa. Agar kebijakan untuk mengatur
tentang desa tidak selalu menjadi kebijakan yang bongkar pasang dan
ambigu, saya berpendapat, sebelum membuat UU tentang Desa, terlebih

dahulu kita harus mampu menterjemahkan dan menjawab secara utuh
kalimat yuridis yang termaktub dalam UUD 1945 terutama tentang dasar
pengaturan wilayah Indonesia, karena dari sinilah sumber pemaknaan yang
agak keliru menurut saya tentang makna desa dan kesatuan masyarakat
hukum adat.
Pengaturan Wilayah Indonesia

Mengingat wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan rentang
geografis yang luas dan kondisi sosial budaya masyarakat yang beragam,
UUD 1945 kemudian mengatur perlunya pemerintahan daerah, maka
ketentuan ini diatur dalam pasal 18 UUD 1945, yang sebelum diamandemen
berbunyi : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan
bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah yang bersifat
istimewa.”
Inti pasal 18 tersebut adalah bahwa dalam Negara Indonesia harus ditata
dengan adanya pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tersebut terdiri
atas besar dan kecil. Pemerintahan daerah yang dibentuk tersebut baik
daerah besar maupun daerah kecil harus memperhatikan dua hal: 1) dasar

permusyawaratan, maksudnya pemerintah daerah harus bersendikan
demokrasi yang ciri utamanya adalah musyawarah dalam dewan perwakilan
rakyat (daerah), dan 2) hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa,
maksudnya pemerintah daerah yang dibentuk tidak boleh secara sewenangwenang menghapus daerah swapraja yang disebutzelfbesturende
lanschappen dan dan kesatuan masyarakat hukum adat seperti Desa, Nagari,
Huta, Marga dan lainnya yang
disebut volksgemenschappen atauzelfstandigemenschappen.
Pengaturan volksgemenschappen atau zelfstandigemenschappen ini
diperkuat dalam penjelasan UUD 1945 yang berbunyi :
“Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang
250zelfbesturendelandchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di
Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya
dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa
tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan
mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”
Dua daerah inilah, swapraja (zelfbesturendelandchappen) dan kesatuan
masyarakat hukum adat (volksgemeenschappen), oleh pasal 18 UUD 1945
disebut sebagai daerah yang mempunyai susunan asli dan dapat dibentuk

sebagai daerah istimewa.
Inkonsistensi UU Desa

Keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat (volksgemeenschappen) yang
diamanahkan oleh founding father melalui konstitusi tertinggi UUD 1945
dihubungkan dengan filosofi dan semangat pembentukan RUU tentang Desa
yang sekarang kembali hangat diperbincangkan, akan menimbulkan
pertanyaan, apakah UU tentang Desa yang kembali akan dihidupkan sudah
sebuah alur yang selaras, sesuai dan konsisten dengan maksud dari UUD
1945 itu sendiri ?
Kiranya hal ini perlu dipikirkan kembali, menurut saya ada beberapa hal yang
kurang tepat dalam penyusunan RUU tentang Desa saat ini yakni :
1. Jika dasar yuridis pembentukan UU tentang Desa adalah tetap
mengacu pada Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18B, Pasal 20 Ayat (2), dan
Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Apakah hal ini sudah tepat ? menurut saya ini belum tepat dan
inkonsistensi dengan UUD 1945, karena tidak bisa semudah itu kita
mendefinisikan desa dengan menggeneralisasikannya dengan
kesatuan masyarakat hukum adat yang banyak ada di Indonesia
sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD 1945 tentang kesatuan

masyarakat hukum adat (volksgemeenschappen). Jikapun desa
memang adalah salah satu bagian dari kesatuan masyarakat hukum
adat, apakah kesatuan masyarakat hukum adat lainnya yang ada di
seluruh wilayah NKRI sudah dapat dikatakan sama dengan desa
dengan hanya mensederhanakan dengan mengatakan dengan sebutan
nama lainnya saja ?
Menurut saya, desa tidak bisa disamakan
dengan sebutan nama lainnya bagi masyarakat hukum adat lainnya
yang dianggap setingkat dengan desa. Karena karakterisktik yang
membangun dan nilai yang berkembang pada masing masing
masyarakat hukum adat di Indonesia memiliki perbedaan yang sangat
beragam dan tajam baik secara filosofis, struktur, kultur maupun
fungsinya degan karakteristik desa yang ada di Jawa dan Bali. Karena
itu istilah desa tidak bisa digunakan untuk seluruh Negara Indonesia
dan disetarakan dengan istilah sebutan nama lainnya.
2. Sangat tidak logis dan rasional jika kesatuan masyarakat hukum adat
yang memiliki beragam adat istiadat dan hukum adat yang tumbuh
berurat berakar dari masyarakat hukum adat itu sendiri (Bottom-up),
kembali pengaturannya dilakukan secara seragam dalam bentuk UU
tentang Desa yang sangat Top Down.

3. RUU tentang Desa yang dibuat oleh ketiga lembaga Negara saat ini,
pada dasarnya secara substantif sama dengan UU terdahulu yang

mengatur tentang desa, yang baru mampu menjangkau pengaturan
desa secara parsial, yakni hanya mengatur desa dari segi tekhnis
administratif pemerintahan saja, sehingga menisbi dan mengkerdilkan
arti dan marwah tentang desa dan masyarakat hukum adat itu sendiri,
belum melihat utuh keberadaan sebuah desa secara komprehensif.
Yang terlihat akhirnya tetap desa dalam kacamata birokratis mekanis
yang strukturalis.
Atas dasar hal tersebut diatas, saya mengusulkan sebelum bangsa kita
kembali menelorkan UU tentang Desa, ada baiknya mempertimbangkan halhal berikut ini :
1. Terlebih dahulu negara diharapkan dapat mengidentifikasi, menghimpun
dan mengkodefikasi semua aspek adat istiadat dan yang telah menjadi
hukum adat pada masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat
yang ada di wilayah Indonesia, dalam bentuk sebuah dokumen tertulis,
yang dapat dipegang dan dipelajari oleh setiap masyarakat hukum adat
dan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga seluruh wilayah Indonesia
dapat terpetakan dan terdokumentasikan dengan baik masing-masing
kesatuan masyarakat hukum adatnya.

2. Identifikasi dan Kodefikasi kesatuan masyarakat hukum adat ini dapat
dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Propinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bekerjasama dengan perguruan tinggi,
tokoh/lembaga adat, pakar dan unsur/lembaga terkait lainnya didaerah
dengan membentuk tim untuk menelaah masyarakat hukum adat yang
tumbuh dan berkembang diwilayahnya sehingga dapat dirumuskan dan
didokumentasikan menjadi sebuah Kitab Hukum Adat setempat, yang
tentunya difasilitasi dan menjadi program dari pemerintah pusat.
3. Setelah Kitab Hukum Adat yang ada pada masing-masing kesatuan
masyarakat hukum adat ini terbentuk, baru kemudian dipikirkan bentuk
dan struktur masyakat hukum adat yang akan dibuat secara nasional,
dan dirumuskan bagaimana kaitan, peran, posisi, kewenangan dan
hubungan kedudukanya dengan pemerintahan daerah dan pemerintah
pusat. Dan juga urgensi level pengaturannya apakah harus diatur
dengan UU, PP, atau cukup Peraturan Daerah pada masing-masing
Propinsi atau Kabupaten/Kota saja.
4. Wujud keseragaman masyarakat hukum adat harus dimplementasikan
dalam bentuk aturan yang beraneka ragam pada masing masing
masyarakat hukum adat, tidak mungkin bisa seragam.


5. Cukuplah lucu, jika kita mau mengatur sesuatu subjek, namun subjek
yang akan diatur itu sendiri belum teridentifikasi dengan baik, apalagi
bagi sebuah subjek yang sangat beranekaragam…
Terima kasih….