Pengaruh Kebijakan Fiskal dan Kebijakan

PENGARUH KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DALAM
PEREKONOMIAN INDONESIA
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Internasional II Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan
Tahun Akademik 2014/ 2015

Disusun oleh :
AISYAH FITRIYANI

NIM : 5553120662

IRENNA KARTIKA

NIM : 5553120678

REZZA BAIHAQI

NIM : 5553121253

FARADILLAH AHMAD

NIM : 5553121380


SITI ILMIATI

NIM : 5553121638

KELAS : 5C
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN ILMU EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS NEGERI SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG-BANTEN

KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Tak lupa juga Senantiasa kami
haturkan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya. Karena
izin-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang membahas mengenai kebijakan fiskal dan
moneter yang berdampak dalam perekonomian di Indonesia.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi syarat penilaian salah satu tugas mata kuliah
Ekonomi Internasional II Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan di Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa kota Serang, Banten.

Dalam menyusun makalah ini, kami ucapkan terima kasih kepada dosen kami, mata
kuliah Ekonomi Internasional II yaitu ;
Bapak Samsul Arifin, SE., M.SE.
karena bimbingannya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan semaksimal mungkin untuk
mendapatkan hasil dan nilai yang terbaik.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca mengenai
Dampak Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Perekonomian Indonesia. Kami juga
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan dalam penyusunan makalah selanjutnya. Terima
kasih atas perhatiannya, mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini,
karena kami dalam proses pembelajaran.
Wassalammualaikum Wr. Wb.
Sabtu, 25 Oktober 2014

Penulis

1

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

i
ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

1
2
2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
2.2 Keseimbangan di Pasar Uang (IS)
2.3 Keseimbangan di Pasar Barang (LM)

2.4 Keseimbangan IS-LM
2.5 Keseimbangan Internal dan Eksternal
2.6 Teori Kebijakan Fiskal
2.7 Teori Kebijakan Moneter
2.8 Macam-macam Kebijakan Moneter
2.9 Pengaruh Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Terhadap
Inflasi dan Perekonomian Indonesia
2.10 Pengaruh Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Terhadap
Tingkat Pengangguran dan Perekonomian Indonesia
2.11 Perkembangan Neraca Pembayaran
2.12 Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Anggaran Pendapatan Negara

3
5
6
7
8
9
10
11

13
15
17
21

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

33
34

Daftar Pustaka

35

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Teori-teori ekonomi makro sintesis Klasik-Keynesian memadukan ide-ide aliran
pemikiran Klasik dengan Keynes, teori-teori tersebut amat banyak dan bervariasi. Salah satu
sintesis yang paling terkenal dan banyak digunakan sebagai alat analisis adalah model ISLM. Model tersebut menjelaskan bahwa kondisi keseimbangan ekonomi akan tercapai bila
barang-jasa dan pasar uang-modal secara simultan berada dalam keseimbangan.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk
mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga,
pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran)
serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat
diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional
yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan
moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter
pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang
berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku
akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli
masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan
sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output

industri secara umum.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang dapat dibuatkan beberapa rumusan masalah:
1. Pengertian Kebijakan moneter?
2. Pengertian Kebijakan Fiskal?
3. Pengaruh Kebijakan Fiskal dan Moneter terhadap Inflasi dan Perekonomian Indonesia?
4. Pengaruh Kebijakan Fiskal dan Moneter terhadap Tingkat Pengangguran dan Perekonomian
Indonesia?
5. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar Lebih memahami tentang pengertian kebijakan fiskal dan kebijakan moneter
2. Agar menambah wawasan kita tentang masalah yang terjadi dalam 2 kebijakan tersebut
3. Dan mempermudah pembaca mengetahui apa hubungan kebijakan moneter dan kebijakan
fiskal dalam perekonomian

BAB II
PEMBAHASAN


2

2.1

Landasan Teori
Dalam studi makroekonomi, kenaikan output dapat dianalisis menjadi dua bagian,
yaitu studi dalam jangka pendek dan studi dalam jangka panjang. Dalam jangka panjang
kenaikan output dapat dipengaruhi oleh tekhnologi dan input faktor produksi, seperti
kapital dan tenaga kerja. Investasi akan meningkatkan jumlah kapital. Sehingga adanya
tambahan kapital tentu saja akan meningkatkan ketersediaan lapangan kerja yang
kemudian dapat memicu peningkatan output nasional (Mubyarto,2003). Namun, faktor
kunci yang paling berpengaruh terhadap kenaikan output nasional adalah kemajuan
tekhnologi. Hal ini karena kemajuan tekhnologi dapat meningkatkan output pada tingkat
kapital dan tenaga kerja yang tetap.
Dalam jangka pendek, perubahan output dapat dipengaruhi oleh permintaan
agregat melalui pasar barang maupun pasar uang. Kenaikan permintaan agregat bisa
dikontrol oleh kebijakan fiskal

melalui pajak dan pengeluaran pemerintah maupun


kebijakan moneter melalui jumlah uang beredar (JUB) dan suku bunga. Dari sisi fiskal,
adanya penurunan pajak pada tingkat investasi dan pengeluaran pemerintah yang tetap,
menyebabkan disposible income (pendapatan dikurangi pajak) menjadi meningkat
sehingga mendorong tingkat konsumsi. Tingginya tingkat konsumsi menyebabkan
permintaan agregat meningkat, sehingga berpengaruh terhadap kenaikan output
(Samuelsen,2001:502).
Sedangkan dari sisi moneter, kenaikan permintaan agregat bisa dikontrol melalui
jumlah uang beredar dan suku bunga. Adanya kenaikan JUB akan berpengaruh terhadap
penurunan tingkat suku bunga. Suku bunga yang rendah menyebabkan cost of capital
berkurang dan biaya untuk meminjam uang menjadi murah dan selanjutnya berdampak
pada meningkatnya investasi dan kenaikan tingkat konsumsi. Dengan semakin tingginya
tingkat investasi dan konsumsi maka permintaan agregat semakin meningkat dan
berpengaruh terhadap kenaikan output nasional (Mishkin,1996). Hal ini sejalan dengan
Taylor (1995) yang dalam penelitiannya membuktikan bahwa suku bunga mempunyai
dampak yang signifikan terhadap pengeluaran konsumsi dan investasi. Dengan demikian
adanya kenaikan permintaan agregat mengindikasikan adanya kenaikan output.

3

2.2


Keseimbangan di Pasar Barang (IS)
Keseimbangan pasar barang ditunjukkan dengan kombinasi antara tingkat
investasi dan tabungan untuk membentuk suku bunga keseimbangan. Investasi memiliki
hubungan yang negatif terhadap tingkat suku bunga, dimana semakin tinggi suku bunga,
pengeluaran investasi akan berkurang akibat peningkatan biaya investasi (opportunity
cost). Ini ditunjukkan dengan kurva investasi yang berslope negatif. Sedangkan tingkat
tabungan yang dianggap sebagai pembentuk dana investasi (loanable fund) memiliki
hubungan yang positif terhadap perubahan suku bunga dan pendpatan. Semakin tinggi
suku bunga, maka semakin tinggi insentif untuk menabung. Hal tersebut menunjukkan
kurva fungsi tabungan yang berslope positif.
Pada keseimbangan pasar loanable fund1, jika pendapatan meningkat maka
tabungan akan meningkat karena semakin besar porsi pendapatan untuk ditabung. Ini
akan menggeser kurva tabungan ke kanan. Akibatnya tingkat suku bunga akan menurun
untuk merespon interaksi tersebut. Ini artinya pendapatan memiliki hubungan negatif
dengan suku bunga. Dengan demikian titik-titik sepanjang kurva IS merupakan berbagai
kombinasi titik keseimbangan antara investasi dan tabungan.
4

Gambar 2.1 Kurva IS

i
IS

Y

1

Pasar Leonable fund adalah transaksi permintaan dan penawaran dana investasi dalam membentuk keseimbangan
suku bunga.

2.3

Keseimbangan di Pasar Uang (LM)
Keseimbangan pasar uang atau sektor moneter dapat diperoleh dari keseimbangan
yang terbentuk dari permintaan dan penawaran uang dalam perekonomian. Penawaran
uang (MS) ditentukan oleh otoritas moneter sehingga jumlahnya adalah tetap dan tidak
berubah pada berbagai tingkat suku bunga yang ada, hal ini diperlihatkan dengan bentuk
kurva penawaran uang yang vertikal terhadap suku bunga. Sedangkan permintaan akan
uang (Md) dipengaruhi oleh perubahan tingkat suku bunga, dimana semakin tinggi suku
bunga maka permintaan uang akan menurun karena semakin tingginya biaya memegang
uang. Ini menunjukkan kurva permintaan uang berslope negatif terhadap suku bunga.
Fungsi keseimbangan di pasar uang disebut juga kurva LM diperoleh dengan
menghubungkan keseluruhan titik-titik keseimbangan antara kurva Md dan MS yang
menunjukkan berbagai kombinasi keseimbangan tingkat suku bunga dan pendapatan.
Dalam keseimbangan pasar uang tersebut, apabila terjadi peningkatan pendapatan, maka
akan menyebabkan permintaan akan uang (Md) dalam perekonomian meningkat sehingga
menggeser kurva Md ke kanan. Ini mengakibatkan suku bunga akan mengalami
peningkatan. Jadi, dalam keseimbangan pasar uang, suku bunga (i) memiliki hubungan

5

yang positif terhadap pendapatan (Y). Ini digambarkan oleh kurva LM yang berslope
positif.
Gambar 2.2 Kurva LM
i

LM

Y

2.4

Keseimbangan IS – LM
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hubungan suku bunga dan pendapatan
dapat dijelaskan melalui kondisi keseimbangan di pasar barang dan pasar uang atau
kombinasi kurva IS dan kurva LM. Keseimbangan IS-LM digambarkan pada grafik
dibawah ini :

Gambar 2.3 Keseimbangan IS – LM
i
LM

i0

A

IS
Y0

Y

6

Pada grafik diatas, kondisi keseimbangan antara tingkat suku bunga dan
pendapatan terbentuk pada titik A dengan tingkat suku bunga sebesar i 0 dan tingkat
pendapatan sebesar Y0. Dalam kondisi keseimbangan tersebut, telah terpenuhi situasi
keseimbangan didalam sektor moneter, dimana permintaan akan uang sama dengan
penawaran akan uang (Md=Ms), sementara disektor riil terbentuk keseimbangan tingkat
tabungan dan investasi dalam perekonomian.
Pada setiap kombinasi pendapatan dan tingkat suku bunga lainnya, baik itu sektor
moneter maupun riil, keduanya akan berada dalam situasi ketidakseimbangan.
Konsekuensi dari keadaan ketidakseimbangan tersebut adalah tingkat suku bunga dan
pendapatan akan menyesuaikan ekses yang terjadi dalam permintaan dan penawaran di
pasar barang dan pasar uang untuk kembali pada titik perpotongan keseimbangan tingkat
bunga dan pendapatan.

2.5

Keseimbangan Internal dan Eksternal
Keseimbangan internal dan eksternal terjadi pada saat pasar barang, pasar uang
dan neraca pembayaran berada dalam kondisi keseimbangan, yaitu perpaduan antara
kurva IS-LM dan kurva keseimbangan BOP. Pada grafik dibawah ini akan ditunjukkan
kondisi keseimbangan internal dan eksternal untuk hubungan antara suku bunga dan
pendapatan serta hubungan nilai tukar (e) dan pendapatan (Y) dalam menjaga
keseimbangan pasar barang dan pasar uang dalam rezim nilai tukar bebas. Pada grafik
kedua (bagian bawah) LL adalah semua kombinasi nilai tukar dan pendapatan yang
menjaga pasar uang berada dalam equilibrium, sedangkan YY adalah semua kombinasi
nilai tukar dan pendapatan untuk menjaga pasar barang berada dalam equilibrium.
Gambar 2.5 Keseimbangan Internal dan Eksternal
i
i*

LM
B

7

IS
Y’
e

Y

LL’
YY

e’

E

Y
Mundell-Fleming mengasumsikan dua tujuan makroekonomi: keseimbangan
internal dan keseimbangan eksternal. Keseimbangan internal mengacu pada tujuan
pertumbuhan ekonomi yaitu menjaga tingkat full employment. Keseimbangan eksternal
mengacu pada memelihara posisi ekuilibrium BOP. Ada dua instrumen kebijakan yang
digunakan untuk menjaga keseimbangan internal dan eksternal yaitu kebijakan fiskal dan
moneter.
2.6

Teori Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja
negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian. Dari sudut ekonomi
makro, kebijakan fiskal dibagi menjadi dua yaitu kebijakan fiskal ekspansif dan
kebijakan fiskal kontraktif. Kebijakan fiskal ekspansif (expansionary fiscal policy):
menaikkan belanja negara dan menurunkan tingkat pajak netto. Kebijakan ini untuk
meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan fiskal ekspansif dilakukan pada saat
perekonomian mengalami resesi/depresi dan pengangguran yang tinggi. Sedangkan,
kebijakan fiskal kontraktif: menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak.
Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi.
Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan
pertumbuhan ekonomi, untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran,
untuk menstabilkan harga-harga barang, khususnya mengatasi inflasi.
Dalam literatur klasik, terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai
kebijakan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan teori klasik tradisional (Nopirin,
8

2000). Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar
pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Hal ini didasarkan atas
pendapatnya bahwa, pertama elastisitas permintaan uang terhadap tingkat bunga kecil
sekali (ekstrimnya nol) sehingga kurva IS tegak. Kebijakan fiskal yang ekspansif akan
menggeser kurva IS kekanan sehingga output meningkat. Sedangkan ekspansi moneter
dengan penambahan jumlah uang beredar pada kurva IS yang tetap tidak akan
berpengaruh terhadap output. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan lebih
efektif dibandingkan dengan kebijakan moneter.

2.7

Teori Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi
makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah
uang yang beredar dalam perekonomian. Menurut kaum Monetarist, kebijakan moneter
hanya berpengaruh pada nilai nominal bukan pada nilai riil. Sedangkan kaum Keynesian
berpendapat bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dalam
jangka pendek dan tingkat inflasi dalam jangka panjang.
Implikasi dari pendapat kaum Monetarist adalah kebijakan moneter harus
diarahkan hanya untuk pengendalian inflasi dan tidak bisa digunakan untuk
mempengaruhi kegiatan ekonomi riil, dalam hal ini adalah pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan moneter tidak dapat digunakan secara aktif dalam memepengaruhi kegiatan
ekonomi riil, dalam artian tidak dapat dilonggarkan apabila sektor riil sedang mengalami
kelesuan dan diketatkan apabila terjadi peningkatan kegiatan ekonomi riil secara
berlebihan.

9

Dan implikasi dari pendapat kaum Keynesian adalah kebijakan moneter dapat
digunakan sebagai salah satu instrumen kebijakan yang secara aktif dalam membantu
upaya-upaya untuk mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi riil. Kebijakan
moneter dapat dilonggarkan pada saat kegiatan ekonomi riil lesu, sehingga jumlah uang
beredar dalam perekonomian bertambah dan dapat mendorong peningkatan kegiatan
ekonomi riil. Sebaliknya, kebijakan moneter perlu diketatkan pada saat kegiatan ekonomi
riil dinilai terlalu cepat dan cenderung memanas, sehingga terjadi penurunan kegiatan
ekonomi riil dan tingkat inflasi dapat terkendali.

2.8

Macam-macam Kebijakan Moneter
1. Kebijakan Pasar Terbuka (Open Market Policy)
Yaitu kebijakan pemerintah dengan jalan menjual surat-surat berharga pada saat inflasi
dan membeli/ menarik surat-surat berhaga pada saat deflasi. Apabila pemerintah
menghendaki menurunkan jumlah uang yang beredar, pemerintah harus menjual obligasi
di pasar bebas. Bank Indonesia dalam kebijakan pasar terbuka dengan menngeluarkan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Pasar Uang.
2. Kebijakan Diskonto (Discount Policy)
Yaitu kebijakan pemerintah dengan jalan menaikkan suku bunga pada saat inflasi dan
menurunkan pada saat deflasi, ditunjukkan untuk menaikkan tingkat bunga karena
dengan bunga kredit tinggi maka aktivitas ekonomi yang menggunakan dana pinjaman
akan tertahan karena modal diskontonya atau discount rate policy (tingkat bunga yang
dikenakan pada bank umum atas pinjaman dana yang diberikan), maka jumlah uang yang
beredar cenderumg berkurang, begitu sebaliknya.
3. Kebijakan Cadangan kas (Cash Ratio Policy)

10

Yaitu kebijakan pemerintah dengan jalan menaikkan cadangan kas pada saat inflasi dan
menurunkan cadangan kas pada saat deflasi, atau bisa juga menaikkan perbandingan
antara uang yang beredar dengan uang yan mengendap di dalam kas mengakibatkan
kemampuan bank untuk menciptakan kredit berkurang sehingga jumlah uang yang
beredar akan berkurang. Cara baru untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar di
masyarakat yaitu dengan car amengubah-ubah minimum kas rasio. Bank sentral pada
umumnya menentukan anka banding minimum antara uang tunai dengan kewajiban giral
bank. Angka banding tersebut biasa disebut minimum cash ratio. Bila pemerintah
menurunkan minimum kas rasio, maka dengan uang tunai yang sama bank dapt
menciptakan uang lebuih banyak dari jumlah sebelumnya.
4. Kebijakan Kredit Ketat
Yaitu kebijakan pemerintah dengan mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara
memperketat pemberian kredit, kredit boleh diberikan asal memenuhi syarat 5C,
Character, Capability, collateral, capital, dan Condition of economy, tetapi pada saat
deflasi syarat dapat dipelonggar. Bank sentral (Bank Indonesia) berusaha mempengaruhi
bank-bank umum dalam hal memberikan kredit kepada nasabah melalui berbagai macam
peraturan kredit.
5. Kebijakan Dorongan Moral (Moral Suasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan
jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau
perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk
mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke
bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
6. Kebijakan Sanering
Yaitu kebijakan memotong nilai nominal pada saat inflasi, misalnya Rp 1.000,00 menjadi
Rp 1,00
7. Kebijakan Devaluasi
Yaitu menurunkan nilai mata uang asing, dengan tujuan mendorong ekspor dan
menghambat impor.
8. Kebijakan revaluasi
Yaitu kebijakan menaikkan nilai mata uang sendiri terhadap nilai mata uang asing.

11

2.9

Pengaruh Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Pada Inflasi dan Perekonomian
Indonesia

12

Pada tabel dan grafik diatas dapat dilihat bahwa pada saat inflasi naik sebesar
8.38% di tahun 2013 yang sebelumnya inflasi hanya sebesar 4.30% di tahun 2012. Hal ini
menyebabkan banyaknya jumlah uang yang beredar banyak, maka pemerintah
mengambil langkah kebijakan yaitu dengan kebijakan fiskal dengan menurunkan
konsumsi pemerintah. Namun yang terjadi adalah adanya perkembangan peningkatan
konsumsi pemerintah sebesar 9.12% pada tahun 2013 yang sebelumnya adalah sebesar
8.91% di tahun 2012. Kemudian kebijakan lainnya yaitu dengan kebijakan moneter,
dengan menaikkan suku bunga. Jika dilihat pada data tahun 2013 pada suku bunga terjadi
kenaikan dari tahun sebelumnya, dengan besar masing-masing pada tahun 2013 yaitu
6.48% dan pada tahun 2012 sebesar 5.77%. Dan untuk mengatasi masalah inflasi tersebut
pada saat itu digunakan kebijakan moneter saja dikarenakan kebijakan fiskal yang belum
terealisasi dengan baik. Sehingga hal ini menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi
pada tahun 2013 yaitu sebesar 5.80% dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2012
sebesar 6.20%.

13

2.10

Pengaruh Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Pada Tingkat Pengangguran
dan Perekonomian Indonesia

14

Pada tabel dan grafik diatas dapat dilihat bahwa tingkat pengangguran naik
sebesar 6.17% di tahun 2013 yang sebelumnya sebesar 6.07% di tahun 2012. Hal ini
menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan. Disisi lain,
pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yaitu 5.80% di tahun 2013 dari tahun 2012
yaitu sebesar 6.20%. Untuk mengatasi masalah pengangguran yang eningkat tersebut
digunakan dua kebijakan yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal
yang diambil adalah dengan menaikkan konsumsi pemerintah. Dapat dilihat pada data
bahwa perkembangan konsumsi pemerintah meningkat yaitu pada tahun 2013 sebesar
9.12% dan pada tahun sebelumnya sebesar 8.91%. Selanjutnya kebijakan moneter, yaitu
dengan menurunkan suku bunga. Namun yang terjadi pada saat itu suku bunga
mengalami kenaikan. Jika dilihat pada data, suku bunga pada tahun 2013 yaitu 6.48%
yang pada tahun sebelumnya sebesar 5.77% pada tahun 2012. Maka kebijakan yang dapat
digunakan pada saat itu hanyalah kebijakan fiskal dikarenakan kebijakan moneter yang
dilakukan belum terealisasi dengan baik sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi
menjadi menurun.

15

2.11

Perkembangan Neraca Pembayaran

16

Pada 2013, perekonomian global yang melemah, di tengah struktur perekonomian
domestik yang tidak mendukung, telah meningkatkan tekanan negatif kepada Neraca
Pembayaran Indonesia (NPI). Di satu sisi, perekonomian global yang melambat akibat
menurunnya pertumbuhan negara-negara emerging market telah mengurangi permintaan
terhadap ekspor Indonesia. Kinerja ekspor semakin berkurang karena pada saat yang
bersamaan terms of trade Indonesia memburuk sejalan dengan kondisi harga komoditas
17

global yang masih turun. Di tengah permasalahan struktural terkait komposisi ekspor
komoditi sumber daya alam yang masih dominan, pemburukan terms of trade tersebut
menyebabkan kinerja ekspor komoditi Indonesia menurun. Sementara itu, impor masih
besar akibat struktur produksi domestik yang belum mampu memenuhi permintaan
kelompok kelas menengah yang terus meningkat, khususnya untuk barang-barang
berteknologi tinggi. Impor minyak juga tetap besar seiring dengan struktur pasokan
energi nasional yang masih sangat tergantung pada minyak, sedangkan ekspor gas
menunjukkan tren menurun. Secara keseluruhan, kondisi ini kemudian meningkatkan
defisit transaksi berjalan.
Di sisi lain, indikasi membaiknya kinerja perekonomian Amerika Serikat
mendorong otoritas moneter negara tersebut untuk mulai melakukan pengurangan
stimulus moneter (tapering off). Respons tersebut kemudian secara berangsur-angsur
mengurangi pasokan likuiditas ke negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
Akibatnya aliran modal asing ke Indonesia menjadi berkurang terutama sejak Mei 2013.
Persepsi negatif investor asing semakin bertambah seiring dengan meningkatnya defisit
transaksi berjalan, dan ekspektasi inflasi. Kondisi ini pada gilirannya menurunkan surplus
transaksi modal dan finansial sehingga penurunan kinerja NPI terus berlanjut sampai
triwulan III 2013.
Tekanan negatif yang cukup kuat terhadap NPI terutama terjadi pada triwulan II
2013 dan triwulan III 2013. Pada triwulan II 2013, defisit transaksi berjalan tercatat
meningkat menjadi 4,4% dari PDB, dari semula 2,7% dari PDB pada triwulan I 2013. Di
neraca modal dan finansial, aliran modal keluar mulai meningkat pada Juni 2013 yang
dipicu oleh isu global terkait rencana tapering off oleh Bank Sentral Amerika Serikat (the
Fed). Pada triwulan III 2013, defisit transaksi berjalan masih cukup besar mencapai 3,9%
dari PDB. Aliran modal keluar juga berlanjut pada Juli-Agustus 2013 akibat isu tapering
off yang masih kuat serta persepsi terhadap transaksi berjalan yang memburuk sehingga
memberikan tekanan pada neraca finansial pada triwulan III 2013.
Bank Indonesia dan Pemerintah menempuh berbagai kebijakan guna mengurangi
defisit transaksi berjalan ke arah yang sehat. Respons kebijakan dapat dikelompokkan
18

menjadi tiga bagian besar. Pertama adalah bauran kebijakan yang ditempuh Bank
Indonesia, bukan hanya dengan menggunakan kebijakan suku bunga, tetapi juga dengan
mengoptimalkan berbagai kebijakan lainnya seperti nilai tukar dan makroprudensial.
Kedua ialah bauran kebijakan fiskal melalui pengurangan subsidi BBM dan instrumen
pajak untuk menekan impor. Sinergi bauran kebijakan moneter dan fiskal tersebut
diarahkan untuk mengelola permintaan domestik sehingga dapat menekan impor yang
berlebihan. Bauran kebijakan ketiga terkait dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat
struktural seperti perbaikan iklim investasi dan upaya-upaya mendorong kemandirian
ekonomi yang pada gilirannya dapat menopang NPI dalam jangka menengah panjang.
Kebijakan stabilisasi Bank Indonesia dan Pemerintah mampu mengarahkan defisit
transaksi berjalan ke tingkat yang lebih seimbang dan kembali memperkuat kinerja NPI
secara keseluruhan. Defisit transaksi berjalan di triwulan IV 2013 menurun signifikan
menjadi 2,0% dari PDB. Hal ini dipengaruhi impor yang menurun seiring dengan
pemintaan domestik yang termoderasi dan pelemahan nilai tukar rupiah ke arah yang
sesuai dengan fundamental. Perbaikan transaksi berjalan juga didukung oleh kenaikan
ekspor sejalan dengan perbaikan pertumbuhan ekonomi negara maju dan nilai tukar
rupiah yang lebih berdaya saing. Selain itu, surplus transaksi modal dan finansial pada
triwulan IV juga kembali meningkat. Surplus ini bersumber dari penarikan pinjaman luar
negeri korporasi, penarikan simpanan bank domestik di luar negeri, dan arus masuk
investasi langsung yang tetap stabil. Surplus pada transaksi modal dan finansial ini cukup
memadai dalam membiayai defisit transaksi berjalan sehingga NPI pada triwulan IV 2013
kembali mencatat surplus setelah pada tiga triwulan sebelumnya mencatat defisit.
Perkembangan positif ini kemudian berkontribusi pada peningkatan posisi cadangan
devisa dari 95,6 miliar dolar AS pada triwulan III 2013 menjadi 99,4 miliar dolar AS
pada triwulan IV 2013.
Dengan perkembangan pada triwulan IV tersebut, NPI keseluruhan 2013 mencatat
defisit 7,3 miliar dolar AS, berbalik arah dari tahun 2012 yang mencatat surplus 0,2
miliar dolar AS. Defisit NPI 2013 dipengaruhi defisit transaksi berjalan yang mencapai
28,4 miliar dolar AS atau 3,3% dari PDB, meningkat dari defisit tahun 2012 sebesar 24,4
miliar dolar AS atau 2,8% dari PDB. Implikasi dari defisit NPI 2013 adalah turunnya
19

posisi cadangan devisa dari sebelumnya sebesar 112,8 miliar dolar AS pada akhir 2012
menjadi 99,4 miliar dolar AS pada akhir Desember 2013 (Tabel 4.1). Meskipun demikian,
di tengah kondisi NPI yang kurang menguntungkan tersebut, beberapa indikator
menunjukkan ketahanan eksternal ekonomi Indonesia tetap terjaga.

2.12

Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Anggaran Pendapatan Negara

20

Nilai tukar rupiah pada tahun 2013 berada dalam tren melemah. Tekanan terhadap
nilai tukar rupiah tersebut tidak terlepas dari pengaruh ekonomi global yang melambat
dan harga komoditas internasional yang menurun, yang kemudian mendorong
melebarnya defisit transaksi berjalan Indonesia. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah
semakin kuat sejak akhir Mei 2013 saat terjadinya aliran keluar modal asing dari pasar
keuangan domestik. Peningkatan aliran keluar modal asing tersebut dipicu oleh
ketidakpastian global akibat rencana pengurangan stimulus moneter di AS (tapering off),
ekspektasi inflasi dan angka aktual inflasi yang sempat naik tinggi setelah kenaikan harga
BBM bersubsidi akhir Juni 2013, serta persepsi negatif investor terhadap prospek defisit
transaksi berjalan. Struktur pasar valuta asing domestik yang tipis turut berkontribusi
terhadap besarnya laju depresiasi rupiah karena dalam situasi tersebut kenaikan
permintaan valuta asing dalam jumlah kecil sudah cukup untuk mendorong pelemahan
rupiah dalam jumlah besar.
Bank Indonesia dan Pemerintah menempuh serangkaian bauran kebijakan untuk
mengurangi defisit transaksi berjalan dan ekspektasi inflasi guna meredam tekanan
depresiasi rupiah tersebut. Berbagai kebijakan tersebut pada triwulan IV 2013 telah mulai
memberikan hasil-hasil yang diharapkan. Pada triwulan IV 2013, defisit transaksi
berjalan menyusut tajam dan surplus transaksi modal kembali meningkat. Sejalan dengan
perbaikan fundamental tersebut, laju depresiasi melambat dari 14,3% pada triwulan III
2013 menjadi 4,9% pada triwulan IV 2013 (Diagram 5.1). Perkembangan positif ini juga
disertai menurunnya volatilitas pergerakan rupiah dari 17,6% menjadi 15,3%. 1 Selain itu,
respons kebijakan yang diambil juga telah berhasil memperbaiki struktur mikro di pasar
valuta asing seperti tercermin pada meningkatnya volume transaksi harian di pasar valuta
asing dan menyempitnya spread antara kurs transaksi nasabah dan kurs transaksi
antarbank.2
Dengan perkembangan tersebut, rupiah pada akhir 2013 ditutup di level Rp12.170
per dolar AS, melemah 20,8% dibandingkan dengan level penutupan tahun 2012 sebesar
Rp9.638 per dolar AS. Rupiah secara rata-rata juga terdepresiasi 10,4%, dari Rp9.358 per
dolar AS pada tahun 2012 menjadi Rp10.445 per dolar AS. Pelemahan rupiah diikuti
meningkatnya volatilitas rupiah yang secara rata-rata harian tercatat sebesar 0,6%,
21

meningkat dari 0,3% pada tahun sebelumnya (Grafik 5.1). Secara keseluruhan,
pelemahan nilai tukar rupiah riil pada 2013 dapat mendorong daya saing ekspor dan
mendukung upaya perbaikan kinerja sektor eksternal secara keseluruhan.
A. Dinamika Nilai Tukar
Pada 2013, tren pelemahan nilai tukar rupiah mulai terjadi sejak awal tahun,
meskipun masih terbatas. Pada triwulan I 2013, rupiah ditutup pada level Rp9.718 per
dolar AS, melemah 0,82% dibandingkan dengan level penutupan akhir triwulan IV 2012.
Secara rata-rata, rupiah pada triwulan I 2013 juga melemah 0,70% menjadi Rp9.680 per
dolar AS dibandingkan Rp9.613 per dolar AS pada triwulan IV 2012.
Pelemahan rupiah masih terbatas di triwulan I 2013 karena tekanan negatif pada
sektor eksternal masih belum terlalu kuat. Defisit transaksi berjalan yang mencapai 2,7%
dari PDB pada triwulan I 2013 dapat diimbangi oleh aliran masuk dana nonresiden ke
pasar keuangan yang masih cukup besar (Diagram 5.1). Aliran masuk modal asing
tersebut didorong oleh menariknya imbal hasil investasi di aset rupiah dibandingkan
dengan negara-negara kawasan. Meskipun demikian, dalam triwulan tersebut sempat
terjadi beberapa gangguan terhadap arus modal asing akibat terjadi peningkatan
ketidakpastian global dan ekspektasi inflasi domestik. Beberapa ketidakpastian global
tersebut antara lain berkaitan dengan kemungkinan pengetatan fiskal dan masalah
penentuan debt ceiling AS, serta ketidakpastian prospek pemulihan ekonomi Eropa.

22

1

Volatilitas dihitung dengan menggunakan rata-rata harian pada tahun terkait dihitung dari deviasi kurs harian
terhadap rata-rata bergerak 10 hari. Apabila dihitung menggunakan ‘annualized factor’ maka volatilitas nilai
tukar naik dari 4,3% (2012) menjadi 9,7% di 2013.

2

Kebijakan Nilai tukar secara detail dapat dibaca di Bab 10. Kebijakan Moneter.

23

Tekanan depresiasi rupiah terus meningkat sejak pertengahan triwulan II 2013.
Perkembangan tersebut dipicu oleh peningkatan ketidakpastian global yang disebabkan
oleh rencana pengurangan stimulus moneter oleh the Fed (tapering off) di tengah indikasi
masih menurunnya aktivitas ekonomi dan harga komoditas dunia. Peningkatan
ketidakpastian global tersebut tercermin pada VIX (volatility index dari S&P 500) yang
meningkat tajam sejak Mei 2013 (Grafik 5.2). Ketidakpastian global kemudian
mendorong meningkatnya aliran keluar modal asing di pasar keuangan negara
berkembang, termasuk di Indonesia. Selain faktor global, aliran modal keluar dari
Indonesia juga dipicu oleh meningkatnya ekspektasi inflasi sebagai antisipasi kenaikan
24

harga BBM bersubsidi. Secara keseluruhan, aliran modal asing di pasar keuangan
Indonesia pada triwulan II 2013 secara neto mencatat defisit 2,6 miliar dolar AS (Grafik
5.3). Aliran modal keluar tersebut kemudian berdampak pada meningkatnya tekanan
depresiasi.
Tekanan depresiasi nilai tukar rupiah bertambah besar karena pada saat bersamaan
defisit transakasi berjalan di triwulan II 2013 melebar menjadi 4,4% dari PDB. Kondisi
ini secara fundamental meningkatkan permintaan terhadap valuta asing. Akibatnya,
rupiah pada akhir triwulan II 2013 melemah 2,1% dibandingkan akhir Maret 2013, lebih
tinggi dari pelemahan di triwulan I 2013 sebesar 0,8%. Pelemahan terbesar terjadi sejak
22 Mei 2013 yakni dari Rp9.766 menjadi Rp9.925 pada akhir Juni 2013, atau melemah
1,6%.

Pada triwulan III 2013, tekanan pelemahan rupiah semakin membesar. Rupiah
pada akhir triwulan III 2013 tercatat Rp11.580, melemah 14,3% dibandingkan dengan
level akhir Juni 2013. Secara rata-rata rupiah juga tercatat melemah 8,2%, lebih tinggi
dari pelemahan di triwulan II 2013. Pelemahan rupiah tersebut juga disertai oleh
meningkatnya volatilitas pergerakan rupiah menjadi 17,7% dibandingkan 3,1% pada
triwulan II 2013.
Peningkatan laju depresiasi rupiah tersebut tidak terlepas dari masih besarnya
tekanan negatif pada neraca pembayaran, baik pada transaksi berjalan maupun transaksi
25

modal dan finansial. Meskipun menyusut dibandingkan triwulan sebelumnya, defisit
transaksi berjalan triwulan III 2013 masih besar yaitu mencapai 3,9% dari PDB. Dalam
periode yang sama, surplus transaksi modal dan finansial berkurang signifikan akibat
aliran modal keluar di pasar keuangan yang masih cukup besar, terutama pada Juli –
Agustus 2013 (Grafik 5.3). Aliran modal keluar tersebut dipicu memburuknya persepsi
investor terhadap prospek defisit transaksi berjalan setelah publikasi defisit transaksi
berjalan triwulan II-2013 di awal Agustus 2013 yang tercatat membesar menjadi 4,4%
PDB, dan kenaikan ekspektasi inflasi sebagai dampak kenaikan harga BBM dan kenaikan
harga pangan. Persepsi negatif investor tercermin pada berbagai indikator risiko seperti
Credit Default Swap (CDS) dan selisih imbal hasil antara obligasi Pemerintah Indonesia
dan UST-Note (US Treasury Note) yang meningkat (Grafik 5.4). Selain itu, aliran modal
keluar di pasar keuangan domestik juga dipengaruhi makin menguatnya ekspektasi
tapering off oleh the Fed.
Bank Indonesia memperkuat bauran kebijakan, termasuk kebijakan nilai tukar,
guna merespons menurunnya kinerja sektor eksternal dan mengembalikan stabilitas nilai
tukar rupiah. Pemerintah juga menempuh berbagai kebijakan guna menurunkan defisit
transaksi berjalan yang selanjutnya dapat berkontribusi terhadap pemulihan stabilitas
rupiah. Kebijakan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia diarahkan untuk menjaga
agar nilai tukar rupiah bergerak stabil sesuai dengan nilai fundamentalnya. Upaya
menjaga stabilitas rupiah cukup penting mengingat peningkatan volatilitas nilai tukar
rupiah dapat menimbulkan lingkaran berulang yang semakin membesar antara ekspektasi
inflasi dan depresiasi. Nilai tukar juga diarahkan untuk bergerak sesuai dengan nilai
fundamentalnya sehingga dapat membantu mengurangi defisit transaksi berjalan ke
tingkat yang lebih sehat.

26

Dalam kaitan ini, ruang gerak nilai tukar diperlebar sehingga dapat mempercepat
upaya menurunkan defisit transaksi berjalan.
Dalam kerangka kebijakan nilai tukar rupiah tersebut maka Bank Indonesia
menempuh strategi dual intervention, yaitu intervensi di pasar valas dan pasar surat
berharga negara (SBN) yang dilakukan secara bersamaan. Kebijakan intervensi di pasar
valas dilakukan secara terukur untuk meminimalkan volatilitas rupiah di tengah kondisi
pasar valas yang masih belum dalam. Bersamaan dengan itu, intervensi di pasar SBN,
diarahkan untuk menjaga likuiditas rupiah tetap mencukupi, setelah sebelumnya sempat
berkurang akibat intervensi di pasar valas. Dengan demikian, melalui intervensi di pasar
SBN diharapkan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga sehingga tidak memberikan
tekanan tambahan kepada perekonomian.
Selain kebijakan nilai tukar tersebut, Bank Indonesia juga memperkuat
pengelolaan arus modal guna menjaga ketahanan sektor eksternal. Bank Indonesia
berkoordinasi dengan Pemerintah untuk mengelola permintaan valas perusahaan BUMN.
Bank Indonesia juga menerbitkan peraturan mengenai transaksi lindung nilai kepada
bank. Pada peraturan ini, keuntungan yang timbul dari transaksi lindung nilai yang
memenuhi kriteria akuntansi lindung nilai dianggap sebagai pendapatan dalam rangka
27

lindung nilai. Sebaliknya, jika terjadi kerugian maka dianggap sebagai biaya atau premi
dari transaksi lindung nilai. Pengelolaan valas juga dilakukan melalui pengaturan utang
luar negeri perbankan yang merelaksasi ketentuan ULN jangka pendek bank dengan
menambah jenis pengecualian. Sementara itu, perluasan cakupan swap lindung nilai,
penambahan variasi tenor term deposit (TD) valas, dan penggunaan JISDOR ditempuh
Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya pendalaman pasar sehingga mendukung
efisiensi pembentukan harga di pasar valas dan stabilitas nilai tukar rupiah. Dalam
konteks pengelolaan devisa ini, kebijakan penguatan oparasi moneter terkait pengurangan
Minimum Holding Period (MHP) SBI dari 6 bulan menjadi 1 bulan.
Bauran kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan pemerintah berhasil
meredakan tekanan terhadap rupiah pada triwulan IV 2013. Depresiasi rupiah pada
triwulan akhir 2013 tercatat 4,9%, lebih rendah daripada depresiasi pada triwulan III
2013 sebesar 14,3%. Perkembangan positif ini juga disertai menurunnya volatilitas
pergerakan rupiah menjadi 15,3% dibandingkan 17,7% pada triwulan III 2013. Tekanan
terhadap rupiah yang berkurang juga tercermin pada perbaikan struktur mikro pasar
valuta asing domestik. Perbaikan tersebut berupa menyempitnya selisih antara kurs
transaksi dan kurs kuotasi ke level di bawah 100 poin, dari titik tertingginya mendekati
900 poin pada akhir Agustus 2013 (Grafik 5.5). Perkembangan ini sekaligus
mengindikasikan proses pembentukan harga di pasar yang membaik. Sejalan dengan
perbaikan tersebut, selisih bid-ask di pasar spot juga relatif menyempit, meskipun
kembali sedikit meningkat pada bulan Desember 2013 akibat kembali menguatnya
spekulasi dipercepatnya tapering off menyusul keputusan the Fed pada FOMC Desember
2013 (Grafik 5.6).

28

Tekanan depresiasi rupiah mereda pada triwulan IV 2013 karena membaiknya
kondisi fundamental ekonomi sejalan dengan respons yang ditempuh oleh Bank
Indonesia dan Pemerintah. Pada triwulan IV 2013, defisit transaksi berjalan menurun
tajam menjadi 2,0% dari PDB sejalan dengan melambatnya permintaan domestik (impor
turun) dan membaiknya permintaan eksternal (ekspor naik)sehingga berkontribusi pada
menurunnya permintaan valas. Pada triwulan yang sama, surplus transaksi modal dan
finansial kembali meningkat dipengaruhi meningkatnya aliran modal asing di instrumen
keuangan domestik seperti Surat Utang Negara pada Oktober 2013. Peningkatan arus
modal masuk tersebut dipicu oleh membaiknya persepsi investor sejalan dengan defisit
transaksi berjalan yang menurun serta tekanan inflasi yang berkurang. Perbaikan persepsi
29

investor asing tersebut tercermin antara lain pada menurunnya CDS ke level 185 di
Oktober 2013 dan menurunnya premi swap di semua tenor (Grafik 5.7). Peningkatan
aliran modal masuk juga dipengaruhi perbaikan kondisi global seperti penundaan
kebijakan tapering off oleh the Fed dan indikasi membaiknya ekonomi global di triwulan
IV 2013.
Dengan berbagai dinamika tersebut, rupiah pada 2013 ditutup di level Rp12.170
per dolar AS, melemah 20,8% dibandingkan dengan level penutupan tahun 2012 yaitu
Rp9.638 per dolar AS. Rupiah secara rata-rata juga terdepresiasi 10,4% menjadi
Rp10.445 per dolar AS dari Rp9.358 per dolar AS pada tahun 2012. Pelemahan rupiah
diikuti meningkatnya volatilitas rupiah yang secara rata-rata harian tercatat sebesar 0,6%,
dibandingkan dari 0,3% pada tahun sebelumnya. Sejalan dengan pelemahan rupiah secara
nominal tersebut, secara riil nilai tukar rupiah pada tahun 2013 juga melemah signifikan
sehingga telah membantu memperkuat daya saing ekspor dan mendukung perbaikan
kinerja sektor eksternal secara keseluruhan. Nilai tukar rupiah secara riil (Real Effective
Exchange Rate – REER, tahun dasar 2006) pada akhir 2013 tercatat 93,41, melemah
sekitar 16% dibandingkan Mei 2013 sebesar 111,21 (Grafik 5.8).
B. Struktur Pasar Valas Domestik
Sejalan dengan kinerja NPI 2013 yang menurun, pasar valuta asing mencatat
defisit akibat kuatnya permintaan. Pada tahun 2013, pasar valuta asing domestik
mengalami kenaikan permintaan sehingga secara neto mencatat defisit sebesar 34,9
miliar dolar AS. Permintaan valuta asing terutama berasal dari pelaku dalam negeri
sebesar 33,96 miliar dolar AS sejalan dengan tingginya kebutuhan valuta asing untuk
impor dan pembayaran utang luar negeri. Sementara itu, pelaku nonresiden membukukan
neto permintaan valuta asing yang lebih kecil yaitu sebesar 949 juta dolar AS, setelah
pada tahun sebelumnya menjadi pemasok valuta asing. Kondisi ini menunjukkan volume
pasokan valuta asing masih belum memadai dalam memenuhi permintaan yang
meningkat. Sejak penerapan kewajiban penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) melalui
perbankan domestik pada awal 2012, porsi DHE ke perbankan domestik terhadap
transaksi ekspor terus meningkat sehingga pada tahun 2013 tercatat sekitar 84%,
meningkat dari 80% pada 2011. Namun, besarnya porsi DHE melalui bank domestik
30

tersebut tidak serta merta menambah pasokan valuta asing ke pasar domestik karena tidak
seluruh DHE tersebut dikonversikan ke mata uang rupiah.

Tekanan depresiasi terhadap rupiah juga menurunkan volume transaksi valuta
asing, terutama sejak Mei 2013. Setelah sebelumnya sempat meningkat, volume rata-rata
harian transaksi valuta asing di triwulan III 2013 tercatat di kisaran 1,9 miliar dolar AS
per hari, turun tajam dari volume transaksi valuta asing di triwulan sebelumnya yang
mencapai 2,6 miliar dolar AS per hari (Grafik 5.9). Perkembangan volume transaksi
harian tersebut secara umum juga menggambarkan struktur pasar valuta asing di
Indonesia yang belum dalam. Kondisi pasar valuta asing yang dangkal tersebut
menyebabkan nilai tukar rupiah mudah bergejolak saat ada sedikit kenaikan permintaan
valuta asing, seperti yang terjadi pada 2013. Data historis menunjukkan pasar valuta
asing domestik masih belum sebesar pasar valuta asing di negara-negara kawasan.
Volume transaksi valuta asing antarbank di pasar domestik pada tahun 2012 sekitar 500
juta dolar AS, jauh lebih rendah bahkan dibandingkan dengan negara ASEAN lain seperti
Malaysia, Filipina dan Thailand (Grafik 5.10). Volume transaksi yang masih terbatas
tersebut juga lebih didominasi oleh transaksi di pasar spot (Grafik 5.11).
Dalam perkembangannya, struktur pasar valas cenderung membaik pada triwulan
IV 2013. Berbagai respons kebijakan yang ditempuh, khususnya yang terkait dengan
penggunaan JISDOR dan penggunaan term deposit valas dan lelang swap valas, telah
berhasil memperbaiki kinerja pasar valas seperti tercermin pada volume pasar valas yang
31

kembali meningkat. Sementara itu, transaksi valas menggunakan transaksi forward juga
meningkat. Selisih antara kurs transaksi dan kuotasi juga menyempit ke level di bawah
100 poin dan diikuti selisih bid-ask di pasar spot yang mengecil.

32

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
Kebijakan Moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk
mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih
sejahtera,Sedangkan Kebijakan Fiskal kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang
berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran negara, di Indonesia, hal ini terkait dengan
APBN ( Anggara Pendapatan dan Belanja Negara).
Dalam Kebijakan fiskal negara berkembang ada beberapa peranan di dalam
negara berkembang yaitu untuk mempercepat proses pembangunan, dapat mempengaruhi
corak penggunaan sumber daya. Begitupun peranan Kebijakan moneter adalah tetap
besar peranannya dalam menciptakan kestabilan ekonomi tapi harus sesuai dengan
masalah-masalah ekonomi yang dihadapi,dan dinegara berkembang kebijakan ini juga
harus mencakup penawaran uang sebagai usaha-usaha dalam pembangunan agar berjalan
lancar.Adapun Hubungan antara Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Berbicara
tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan kegiatan
perekonomian empat sektor, dimana sektor – sektor tersebut diantaranya sektor rumah
tangga, sektor perusahaan, sektor pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri.
Ke-empat sektor ini memiliki hubungan interaksi masing – masing dalam menciptakan
pendapatan dan pengeluaran.
Setiap Bangsa di dunia ini menginginkan segala sesuatu sesuai dengan yang
mereka inginkan, begitu juga dengan perekonomian. Namun, masalah - masalah tetap
terjadi , sebagai tantangan untuk mencapai semuanya itu. Maka dari itu, kebijakan
moneter dan fiskal adalah salah satu cara yang diterapkan oleh pemerintah untuk
mempengaruhi

jalannya

perekonomian

dengan

maksud

agar

supaya

keadaan

perekonomian tidak selalu menyimpang dari keadaan yang diinginkannya

3.2

Saran
33

Dari nilai keseimbangan IS-LM yang diperoleh, terlihat bahwa masih terdapat
ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan Pendapatan Nasional dengan menggunakan
kebijakan moneter yang longgar. Namun disisi lain pemerintah harus konsisten untuk
menjaga tingkat bunga yang stabil dan mendorongkebijakan yang dapat meningkatkan
sektor riil, sehingga perekonomian dapat terus tumbuh dan stabilitas tetap terjaga.

Hingga kini berbagai problematika dalam perekonomian Indonesia dan masih
sulit diprediksi perbaikannya,oleh sebab itu adanya peran pemerintah dalam kebijakan ini
sangat penting dalam suatu negara untuk arah perekonomian yang lebih baik,dan adanya
peninjauan kembali tentang strategi-strategi yang perlu dilakukan dalam mengatasi
masalah-masalah yang terjadi di dalam suatu negara,Semuanya takkan berhasil dalam
suatu negara jika tidak direncanakan pelaksanaanya secara berhati-hati,sistematis,dan
dengan kerja keras dan harus didukung oleh para pelaku ekonomi karena strategi-strategi
yang dilaksanakan merupakan sebuah rangkaian program kegiatan yang bersifat saling
mengisi agar memberikan hasil seperi yang diharapkan,yang jelasnya berencana dan
berbuat adalah lebih baik dari pada bermimpi,apalagi menggerutu. semoga berhasil.

DAFTAR PUSTAKA
34

Efektivitas kebijakan Literatur. Universitas Indonesia. (Diakses pada 02 Desember 2014)
Macam-macam kebijakan moneter. hendrinote.blogspot.com. (Diakses pada 02 Desember
2014)
Moneter data inflasi. bi.go.id (Diakses pada 11 Desember 2014)
Laporan Kebijakan Moneter Triwulan III 2014. bi.go.id. (Diakses pada 11 Desember 2014)
Chapter II_3(2).pdf. repository.usu.ac.id. (Diakses pada 02 Desember 2014)
Kebijakan moneter. indraputrabintan.blogspot.com. (Diakses pada 02 Desember 2014)
LPI 2013 ID - Bagian II Perekonomian Domestik. bi.go.id. (Diakses pada 11 Desember
2014)

35

Laporan NPI TwIV2013.pdf. bi.go.id. (Diakses pada 11 Desember 2014)

36