Sistem Politik dan Pemerintahan Melayu

MAKALAH STUDI MASYARAKAT MELAYU
SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN MELAYU
Dosen Pembimbing: Ahmad Jamaan, S.IP, M.Si

NAMA: INDAH MAISURI
NIM: 1101112264

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2015

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan makalah dengan judul Sistem Politik
dan Pemerintahan Melayu dapat berjalan tanpa halangan yang berarti dari
awal sampai selesai.
Makalah ini membahas mengenai sistem politik dan pemerintahan
melayu di wilayah Riau khususnya, dan juga akan mengambil contoh nyata

dari sistem politik dan pemerintahan yang diterapkan di wilayah Riau
khususnya di Rantau Kuantan. Penulisan makalah ini berdasarkan literatur
yang ada.
Penulis menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas sehingga
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangannya. Namun makalah
yang disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penulis khususnya dan
mahasiswa lain pada umumnya.
Dalam kesempatan ini disampaikan terima kasih atas bimbingan,
bantuan serta saran dari berbagai pihak.

Pekanbaru, 16 Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………….………………………………….......... i
DAFTAR ISI ………………………………………………..……............. ii
BAB 1
PENDAHULUAN………………………………………………................. 1

1.1. Latar Belakang………………………...………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah………...……….………………....................1
1.3. Tujuan…….………………….......…………………………….. 2
1.4. Manfaat……...……………….......…………………………….. 2
BAB 2
PEMBAHASAN…………………………………………………................ 3
2.1. Pengertian Sistem Politik dan Pemerintahan Melayu...……….. 3
2.1.1. Pengertian Sistem……………………………………..… 3
2.1.2. Pengertian Politik……………………………………..… 3
2.1.3. Pengertian Sistem Politik……...……………………...… 4
2.1.4. Pengertian Pemerintahan………………………..…….…5
2.1.5. Pengertian Sistem Politik dan Pemerintahan Melayu…... 5
2.2. Asal Mula Sistem Politik dan Pemerintahan Melayu…………. 7
2.3. Sistem Politik dan Pemerintahan Melayu di Rantau Kuantan… 13
2.3.1 Sistem Pemerintahan Adat……………………………… 13
2.3.2 Kedudukan dan Pengaruh Adat Sekarang Ini….……….. 17
BAB 3
PENUTUP……………………………………………………………….… 18
3.1. Kesimpulan………………………………………………….… 18
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Melayu berasal dari kata Malaya dvipa dari kitab Hindu Purana yang
berarti tanah yang dikelilingi air yang merujuk pada sebuah Kerajaan Melayu
Kuno di Jambi pada abad ke-7. Masyarakat melayu pada umumya identik
dengan islam yang menjadi pondasi dari sumber adat istiadatnya. Oleh karena
itu, adat istiadat orang Melayu Riau bersendikan syarak dan syarak
bersendikan Kitabullah. Sebelum kedatangan islam ke nusantara, banyak
bagian wilayah berada di bawah Kerajaan Sriwijaya antara abad ke-7 sampai
abad ke-14 yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Buddha. Pada abad ke12, masuknya Islam ke nusantara dibawa melalui Samudera Pasai yang telah
terlebih dahulu dan diakui sebagai perintis kerajaan Islam di nusantara pada
zamannya. Masa keemasan ketika Malaka menjadi sebuah kesultanan Islam.
Banyak elemen dari hukum Islam, termasuk ilmu politik dan administrasi
dimasukkan ke dalam hukum Malaka, terutama Hukum Qanun Malaka.
Penguasa Melaka mendapat gelar 'Sultan' dan bertanggung jawab terhadap
agama Islam. Pada abad-15 Islam menyebar dan berkembang ke seluruh
wilayah Melaka termasuk Riau.

Dalam tulisan ini akan membahas mengenai sistem politik dan
pemerintahan melayu, dimana terlebih dahulu penulis akan memaparkan
pengertian dari sistem, politik, dan pemerintahan. Setelah menjelaskan
pengertian dari tiap konsep tersebut barulah penulis akan lanjut kepada
pemahaman mengenai sistem politik dan pemerintahan melayu, yang mana
pada dasarnya sistem politik dan pemerintahan Melayu sangat dipengaruhi oleh
agama islam didalamnya. Dengan berfokus pada wilayah Riau maka
penjelasan mengenai tulisan ini akan lebih dimengerti.

1.2. Rumusan Masalah
1. Apa itu sistem?
2. Apa itu politik dan pemerintahan?
3. Apa itu sistem politik dan pemerintahan melayu?
4. Darimana asal mula dari sistem politik dan pemerintahan melayu?
5. Bagaimana sistem politik dan pemerintahan melayu? Khususnya di
wilayah Riau?

1.3. Tujuan
1. Memahami pengertian sistem.
2. Memahami pengertian politik dan pemerintahan.

3. Memahami pengertian sistem politik dan pemerintahan melayu.
4. Mengetahui asal mula dari sistem politik dan pemerintahan melayu.
5. Mengetahui sistem politik dan pemerintahan melayu, khususnya di
wilayah Riau.

1.4. Manfaat
Dengan adanya tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca, khususnya mahasiswa dalam memahami sistem politik dan
pemerintahan melayu secara umum serta sistem politik dan pemerintahan
melayu di wilayah Riau secara khusus.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Sistem Politik dan Pemerintahan Melayu

2.1.1. Pengertian Sistem
Sistem adalah suatu kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur.
Unsur atau bagian yang banyak ini satu sama lain berada dalam keterkaitan
yang saling kait mengait dan fungsional. Sistem dapat diartikan pula sebagai

suatu yang lebih tinggi dari pada sekedar merupakan cara, tata, rencana, skema,
prosedur atau metode.

2.1.2. Pengertian Politik
Jika mendengar kata politik, maka pertama kali yang terpikirkan adalah
pemerintah, karena kegiatan politik secara resmi dilakukan oleh pejabatpejabat pemerintahan maupun para intelektual yang memiliki pemahaman
dibidang politik. Namun secara umum kegiatan politik ini secara tidak sadar
telah kita lakukan jauh sebelum kita mengenal apa itu politik. Politik secara
etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “polis” yang berarti kota yang
berstatus negara. Sedangkan menurut teori klasik Aristoteles, politik adalah
usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Politik berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara, sehingga
tidaklah salah jika kita menghubungkan antara politik dan pemerintahan.
Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan
tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan
organisasi kemasyarakatan. Menurut Miriam Budiardjo dalam buku ”DasarDasar Ilmu Politik”, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang
perpolitikan. Selain itu ia juga mengatakan bahwa politik merupakan
bermacam-macam kegiatan dari suatu sistem politik yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem Indonesia dan melaksanakan tujuantujuan itu.


Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah
dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang
mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu
wilayah tertentu.

2.1.3. Pengertian Sistem Politik
Sistem politik adalah berbagai macam kegiatan dan proses dari struktur
dan fungsi yang bekerja dalam suatu unit atau kesatuan (masyarakat/negara).
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip,
yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk
mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan
dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau
dengan negara dan hubungan negara dengan negara. Menurut Rusadi
Kartaprawira, sistem politik adalah mekanisme atau cara kerja seperangkat
fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain
dan menunjukkan suatu proses yang langggeng. Sementara itu menurut
Almond, sistem politik adalah interaksi yang terjadi dalam masyarakat yang
merdeka yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. Jadi dapat
disimpulkan bahwa sistem politik adalah mekanisme seperangkat fungsi atau
peranan dalam struktur politik dalam hubungan satu sama lain yanh

menunjukan suatu proses yang langsung memandang dimensi waktu.
Ciri-ciri sistem politik menurut Gabriel A. Almond adalah: (1). Semua
sistem politik pasti mempunyai struktur politik. Dalam pengertian bahwa di
dalam masyarakat yang paling sederhanapun, sistem politik dari masyarakat
tersebut mempunyai tipe struktur politik yang terdapat di dalam masyarakat
yang paling kompleks. Tipe-tipe tersebut dapat diperbandingkan satu sama lain
sesuai dengan tingkatan dan bentuk strukturnya. (2). Semua sistem politik
menjalankan fungsi politik yang sama, walaupun tingkatannya berbeda-beda
karena adanya perbedaan struktur. Demikian pula dapat diperbandingkan
bagaimanakah fungsi-fungsi dari sistem-sistem politik itu dijalankan dan
bagaimana pula cara melaksanakannya. (3). Semua struktur politik mempunyai
sifat multi fungsional. Sistem politik dapat dibandingkan menurut tingkat

kekhususan fungsi di dalam struktur itu. (4). Semua sistem politik adalah
sistem campuran. Secara rasional tidak ada struktur dan kebudayaan yang
semuanya modern atau semuanya primitif dalam pengertian tradisional.
Perbedaan yang ada hanya bersifat relatif saja, dan keduanya bercampur satu
dengan yang lainnya.

2.1.4. Pengertian Pemerintahan

Pemerintahan secara sederhana dapat diartikan sebagai proses
pengambilan keputusan dan proses dimana suatu keputusan diterapkan atau
tidak diterapkan. Macam-macam pemerintahan, antara lain: (a) Aristrokrasi,
yang merupakan suatu pemerintahan dipimpin dan dipegang oleh sejumlah
kecil para cendikiawan yang memerintah berdasarkan keadilan. (b) Otokrasi,
yang berarti pemerintahan berada di tangan satu orang. (c) Demokrasi, yang
merupakan suatu pemerintahan yang dipegang oleh rakyat. (d) Monarki, yang
merupakan pemerintahan yang dijalankan oleh satu orang, yang berkuasa,
berbakat, dan mempunyai sifat-sifat yang lebih unggul daripada warga negara
yang lain, sehingga mendapatkan kepercayaan untuk memerintah dan
pemerintahannya ditujukan untuk kepentingan rakyat, biasanya merupakan
kerajaan. (e) Oligarki, yang pemerintahannya dipegang oleh segolongan kecil
yang memerintah demi kepentingan golongannya itu sendiri. (f) Teokrasi,
merupakan pemerintahan yang ditinjau dari segi ketuhanan atau segi agama.

2.1.5. Pengertian Sistem Politik dan Pemerintahan Melayu
Sementara itu, “melayu” berasal dari kata “mala” yang berarti mula dan
“yu” berarti negeri. Istilah melayu baru dikenal sekitar tahun 644 Masehi
melalui tulisan Cina yang menyebutkan dengan kata Mo-lo-yeu. Pengertian
melayu sendiri merujuk kepada bangsa disemenanjung tanah melayu, pantai

timur Sumatra, dan beberapa lainnya diwilayah nusantara. Jadi dengan kata
lain sistem politik dan pemerintahan melayu merupakan mekanisme
seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik dalam hubungan
masyarakat melayu untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan
mempertahankan kekuasaan dengan berlandaskan pada pandangan dan

pemikiran budaya melayu. Dalam sejarah Melayu, sistem pemerintahan
Melayu mempunyai dua konsep kerajaan dan negeri.

a. Konsep Kerajaan
Kerajaan diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh
seorang raja. Sedangkan menurut J.S. Roucek dan R.L Warren, kerajaan
merupakan sebuah organisasi yang menjalankan otoritas terhadap semua
rakyatnya demi menjaga keamanan dan ketenteraman serta melindungi mereka
dari ancaman luar. Konsep kerajaan dalam sistem pemerintahan Melayu sudah
ada sejak zaman Sriwijaya di Palembang. Dalam sistem ini, raja menduduki
tingkat paling atas dalam struktur kerajaan. Sistem ini bermula dengan
pemerintahan Nila Utama yang bergelar Seri Teri Buana yang ditunjuk oleh
Demang Lebar Daun untuk menggantikan kedudukannya. Kemudian sistem
pemerintahan warisan Sriwijaya ini dipraktikkan oleh keturunan mereka di

Singapura, Melaka, dan beberapa daerah lain di Melayu. Dalam pelaksanaan
konsep ini, kedudukan serta hak raja tidak dapat dipermasalahkan apalagi
diganggu-gugat. Raja juga diperbolehkan untuk berbuat apa saja. Umpamanya
ketika menjatuhkan hukuman mati kepada pembesar kerajaan atau rakyatnya,
ia tidak perlu meminta pertimbangan kepada para pembesar lain. Contohnya
adalah hukuman mati terhadap Tun Jana Khatib di Singapura oleh Paduka Seri
Maharaja. Konsep kerajaan juga tidak dibatasi oleh tempat dan wilayah. Maka,
pepatah Melayu yang berbunyi, “di mana bumi dipijak, di sana langit
dijunjung” diartikan sebagai ke mana raja pergi maka di sanalah kerajaannya.
Sehingga, sebuah kerajaan bisa berdiri tanpa adanya sebuah negeri.

b. Konsep Negeri
Penggunaan istilah “negeri” di Melayu sudah ada sejak 500 tahun lalu.
Menurut Wilkinson, istilah “negeri” berasal dari bahasa sanskrit yang berarti
“settlement, city-state, used loosely of any settlement, town, or land ”. Konsep
negeri diartikan sebagai sebuah organisasi yang menjalankan undang-undang
kepada seluruh rakyatnya. Negeri juga bisa diartikan sebagai tanah tempat
tinggal suatu bangsa. Dari konsep ini, negeri tidak hanya mencakup wilayah

kekuasaannya, tetapi

termasuk juga seluruh jajahannya atau negeri

taklukannya. Sehingga, konsep negeri lebih luas artinya dibandingkan konsep
kerajaan. Untuk membuka sebuah negeri, digambarkan ada sekumpulan orang
yang dipimpin oleh seorang raja atau keturunannya dengan diikuti oleh
menteri, punggawa kerajaan, hulubalang, rakyat, dan bala tentara pergi ke
suatu tempat, dan pada akhirnya berhenti di beberapa tempat di mana anakanak bermain dan orang laki-laki berburu. Negeri meliputi wilayah yang telah
dibersihkan. Pada umumnya, negeri mempunyai dua struktur utama, yaitu parit
dan istana balairung yang dibuat sebelum pemimpin memasuki negerinya.
Selain itu, negeri baru dapat dianggap lebih lengkap jika terdapat masjid, pasar,
dan balai istana. Negeri mempunyai hukum yang berbeda dengan jajahannya.
Dalam Undang-undang Kedah, misalnya, dibedakan antara pembesar negeri
dan pembesar jajahannya. Di samping itu, negeri juga dianggap sebagai pusat
kemajuan. Tingkat kemakmurannya diukur berdasarkan jumlah penduduk dan
pedagang yang ada. Orang yang tinggal di luar negeri dianggap berbeda
dengan orang yang tinggal di dalam negeri. Perbedaan itu kadang-kadang
berdasarkan agama dan negeri digambarkan sebagai pusat agama Islam.
Misalnya di Sumatra, orang yang tidak mau masuk Islam meninggalkan
negerinya dan dinamakan Gayo oleh orang yang tinggal di dalam negeri.
Dengan demikian, istilah “negeri” dalam sejarah Melayu bisa diartikan sebagai
tempat kediaman yang tetap dan cukup padat, dibuka atas keputusan seorang
yang mempunyai kuasa politik tertentu bagi diri dan rakyatnya.

2.2. Asal Mula Sistem Politik dan Pemerintahan Melayu
Dalam sejarah politik melayu, islam bukanlah hal baru. Sebagai salah
satu unsur politik yang terpenting, islam telah memberi legitimasi kepada rajaraja kerajaan melayu. Bahkan, perkembangan budaya melayu berjalan
beriringan dengan ajaran-ajaran islam. Peranan islam dalam politik raja-raja
melayu ini terlihat jelas dari gelar yang disandang, di antaranya “Zillullah fil
Alam” (Bayang-bayang Tuhan di Bumi), sultan, dan khalifah. Dengan
demikian, raja sebagai tonggak dan simbol kesetiaan orang melayu, yang
mayoritas menganut agama islam, diberi kewenangan untuk mengawal islam

dan adat istiadat melayu. Etnik melayu merupakan kumpulan individu-individu
yang hidup di suatu tempat dan membentuk struktur sosial. Sementara itu islam
adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat melayu untuk
menjalin hubungan dengan Tuhan. Orang-orang melayu di Riau paling awal
mengenal agama islam di nusantara. Sehingga ajaran-ajaran islam dapat
meresap dalam tradisi-tradisi dan penyebarannya dengan mudah dan cepat
terlaksana.

Geertz

(1981)

menyebutkan

bahwa

kebudayaan

melayu

digolongkan sebagai kebudayaan pantai yang bercorak perkotaan dan
kegiatannya adalah perdagangan dan kelautan. Bukti-bukti arkeologi tentang
hubungan islam melayu diperoleh dari makam-makam kuno bertulis huruf arab
dan huruf daerah tentang ketokohan raja-raja atau sultan melayu di berbagai
wilayah nusantara. Fenomena yang merupakan usaha legitimasi raja-raja
melayu islam ini memberikan indikasi bahwa islam telah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat melayu.
Gelar-galar Sultan islam seperti al-Karim, al-Fatih, al- „Abid juga
memberikan indikasi gelar-gelar yang lazim dipakai oleh raja-raja islam di luar
nusantara. Menurut Mohd. Taib Osman bahwa islam ialah landasan hidup atau
landasan kebudayaan orang melayu hari ini. Agama islam sejak lebih dari 500
tahun yang lampau telah menjadi landasan hidup orang melayu dan
kebudayaan mereka, terutama yang bercorak ideologi dan bukan material,
seperti kepercayaan, nilai, pandangan hidup atau falsafah berpandu kepada
islam. Sebagai masyarakat islam, orang melayu hidup mengikuti firman Allah
SWT dan sunnah rasul-Nya. Orang melayu dulunya adalah pedagang perantara
yang lihai dan sekaligus membawa budaya islam dan melayu ke segenap
pelosok nusantara dan Asia Tenggara. Oleh sebab itu, ciri-ciri orang melayu
adalah beragama islam, berbahasa melayu dan beradat-istiadat melayu. Namun,
sejak kedatangan imperialisme Barat, membuat kehidupan orang melayu mulai
berubah. sebagaimana dikutip oleh Suwardi C. Lekkerkerker (1916) Suwardi
menyebutkan bahwa orang melayu merupakan kelompok masyarakat yang
paling banyak menyebarkan agama islam di nusantara. Mereka menyebarkan
islam melalui bahasa, kapal, perdagangan, serta perkawinan dengan wanita
asing dan propaganda langsung. Pada abad XV para penguasa kolonial Belanda

dan Inggris serta para sarja mengidentifikasi bahwa ciri utama orang melayu
adalah beragama islam.
Pada hakikatnya, islam berperan besar dalam membentuk pemikiran
orang melayu. islam juga berperan dalam membentuk kepribadian orang
melayu agar lebih matang, lebih dewasa, dan lebih tinggi kualitas ilmu
pengetahuannya, meskipun tidak sampai pada paling sempurna. Hasil kajian
dari pengaruh islam terhadap masyarakat melayu ciri-ciri dari budaya melayu
yang bernafaskan agama dan budaya islam. Para ahli berpendapat sejak
penduduk dan rajanya beragama islam, melayu sudah identik dengan islam.
Lebih jelasnya, pengaruh islam terhadap budaya melayu dapat dilihat dalam
tiga bentuk, yaitu: pertama, bahasa, pengaruh islam pada budaya melayu
seperti dipergunakannya aksara Arab-melayu, Arab Gundul, Huruf Jawi pada
karya tulis melayu. Karya Tulis berupa naskah melayu yang ribuan banyaknya
(60000-10.000) sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Naskah melayu
tersebut menyangkut kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Samudra Pasai,
Melaka, Banten, Demak, Riau-Johor-Pahang, dan Lingga. Diantar beberapa
naskah melayu tersebut itu ada Hikyat Pasai, Hikayat Petani, Hikayat Johor,
Hikayat Siak dan sebagainya. Kedua, kesenian, salah satu Pengaruh islam yang
seakan-akan menghapus budaya Hindu dan Budha sebelumnya adalah
Kesenian Zapin (Gambus), Qasidah, Rodat (barodah) dan Zikir Barat adalah
pengaruh dari kebudayaan islam tersebut. Ketiga, adat, adat Istiadat melayu
memegang teguh suatu prinsip “Adat bersandikan syarak). Ketentuanketentuan adat yang bertentangan dengan hukum syarak tak boleh dipakai.
Hukum syaraklah yang dominan. Dasar adat melayu menghendaki sandaransandarannya kepada Sunnah dan al-Qur‟an. Prinsip itulah yang tidak dapat
diubah alih, tidak dapat dibuang, apalagi dihilangkan.
Masuknya islam ke wilayah kepulauan melayu merupakan peristiwa
penting dalam sejarah melayu yang kemudian identik dengan islam. Sebab,
islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban melayu. islam dan bahasa
melayu telah berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional.
Dalam perkembangannya, melayu diidentikkan dengan islam. Bahkan, islam
dan melayu menjadi dua kata yang sering harus berjalan beriringan; islam

menjadi bagian dari kehidupan masyarakat melayu, sebaliknya masyarakat
melayu juga menjadi sangat identik dengan islam. Bagi komunitas melayu, hal
ini terefleksikan dalam satu istilah “masuk melayu”. Istilah ini mempunyai dua
arti, yaitu: 1) mengikuti cara hidup orang-orang melayu; dan 2) masuk islam.
Istilah ini demikian mengakar di kalangan masyarakat melayu, sehingga nilainilai yang diproduksi oleh islam niscaya dengan sendirinya akan banyak
melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat melayu,
tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, seperti
konsep kekuasaan, penguasa atau raja, hubungan penguasa dengan rakyat, serta
hal-hal lain yang berada dalam ranah politik.
Maka, dapat disimpulkan bahwa orang melayu menetapkan identitas
kemelayuannya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa melayu, beradatistiadat melayu, dan beragama islam. Berdasarkan ciri-ciri pokok tersebut,
masyarakat melayu nusantara dipersatukan oleh adanya kerajaan-kerajaan
melayu pada masa lampau. Kebesaran kerajaan-kerajaan melayu telah
meninggalkan tradisi-tradisi dan simbol-simbol kebudayaan melayu yang
menyelimuti berbagai suasana kehidupan hampir sebagian besar masyarakat
wilayah kepulauan tersebut. Kerajaan-kerajaan besar melayu bukan saja
terpusat di Pulau Sumatra, namun penyebarannya mencapai sebagian besar
wilayah nusantara. Hal ini dapat saja terjadi karena adanya beberapa penguasa
beserta pengikutnya dari kerajaan-kerajaan tersebut yang melarikan diri karena
berbagai faktor, dan kemudian mendirikan kerajaan melayu baru di daerah lain.
Simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan melayu, yang berlaku di tempattempat umum serta yang digunakan untuk menjembatani berbagai suku bangsa
dan golongan etnis yang berbeda sehingga dapat saling berinteraksi adalah
bahasa melayu dan etika melayu (antara lain keramahtamahan dan
kerterbukaan). Dapat dikatakan, kebudayaan melayu memiliki ciri-ciri utama
yang bersifat fungsional dalam mengakomodasi perbedaan-perbedaan.
Dalam agama islam yang dianut oleh orang melayu, terdapat variasi
ajaran, yaitu perpaduan antara islam tradisional dan islam modern. Variasi ini
mengikuti sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan melayu yang tradisi-

tradisinya masih tetap berlaku sampai sekarang dalam wilayah-wilayah bekas
kekuasaan kerajaan-kerajaan yang bersangkutan.
Bangsa melayu selanjutnya menjadikan islam sebagai landasan dasar
perumusan etika bagi perilaku politik para penguasa di kerajaan. Gambaran
tersebut, misalnya, tampak dalam pembahasan teks-teks melayu Klasik, seperti
Sejarah melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai—dua teks yang masing-masing
berbicara tentang Kerajaan Samudra Pasai dan Melaka abad 14 dan 15—di
mana perumusan islam sebagai basis etika politik terlihat dengan jelas pada
isu-isu pokok politik yang mengemuka dalam keseluruhan isi pembahasan.
Merah Silu, salah seorang Raja Pasai misalnya, digambarkan bahwa sesaat
setelah beralih ke agama islam ia segera memakai gelar Arab yaitu Sultan, dan
dalam suatu sidang dengan para pimpinan dan rakyatnya, ia dinyatakan sebagai
“Bayang-bayang Tuhan di Bumi” (Zillullah fil Alam). Sementara di Riau, Raja
Ali Haji (RAH) diangkat menjadi penasihat agama kerajaan. Pada tahun 1845,
ketika Raja Ali bin Raja Jafar diangkat menjadi Yamtuan Muda. Pada tahun
1858, ketika Yang Dipertuan Muda Riau IX Raja Abdullah Mursyid wafat,
maka Raja Ali Haji diberi amanat untuk mengambil alih segala urusan hukum,
yaitu semua urusan yang menyangkut hukum syari`at islam. Sebagai sosok
ulama dan kalangan elite kerajaan, pemikiran Raja Ali Haji lebih banyak
berkisar pada upaya restorasi kerajaan dan tradisi melayu pada masa itu.
Pemikiran tersebut, sebagian besar tertuang dalam berbagai karyanya. Dalam
Tuhfat al-Nafis, disebutkan bahwa suasana melayu telah memasuki masa
modern dan kolonialisme, di mana masyarakat melayu tengah menghadapi
perubahan-perubahan di bidang sosial dan budaya. Maka, Raja Ali Haji tampil
sebagai seorang askar kerajaan untuk menjaga kelangsungan tradisi dan budaya
melayu.
Pemikiran Raja Ali Haji dinyatakan melalui himbauan moral yang
ditujukan kepada elite kerajaan yang berkuasa, agar melaksanakan kekuasaan
mereka berdasarkan nilai dan norma islami. Dalam Tsamarat al-Muhimmah,
Raja Ali Haji juga menegaskan bahwa prasyarat untuk menjadi seorang raja
dan elite kekuasaan, yaitu: harus beriman, cakap, adil, bijaksana, serta syaratsyarat lain yang menjadi kriteria konsep penguasa ideal. Baginya, kerajaan

merupakan sistem politik yang tepat untuk membangun masyarakat melayu.
Oleh karena itu, kedudukan raja sangat penting dalam pembentukan kehidupan
sosial-keagamaan kerajaan dan masyarakat. Bahkan pada salah satu
pembahasannya, ia mengetengahkan kritik pedas terhadap perilaku politik rajaraja melayu yang dinilai telah menyimpang dari nilai-nilai islam. Dalam hal
ini, ia menunjuk pada konflik politik antara Sultan Mahmud dan Raja Indra
Bungsu, yang berujung pada terjadinya kerusuhan pada tahun 1787. Menurut
Raja Ali Haji, kasus ini merupakan bukti bahwa ajaran islam, khususnya
pengendalian hawa nafsu, telah terabaikan dalam kehidupan politik raja-raja
melayu. Dalam pemikiran-pemikiran yang dilontarkan, Raja Ali Haji berusaha
membangun kembali supremasi politik kerajaan melayu sebagai satu bangunan
sosial-politik bagi masyarakat melayu.
Syarat menjadi raja dan elit kerajaan yang dikemukakan Raja Ali Haji
tersebut selaras dengan syarat-syarat pemimpin dalam islam, yaitu beragama
islam, lelaki, baligh, akil, merdeka, dan sempurna Anggota tubuhnya.
Sedangkan Kerajaan Melaka sebagai bagian dari melayu juga sangat
menghormati

ajaran

islam

dan

menjadikan

istana

sebagai

pusat

pengembangannya. Kecintaan kepada ilmu islam misalnya, telah mendorong
Sultan Mahmud (1488-1511M) mempelajari ilmu fikih terutama yang
berkaitan dengan muamalat, bersama para rakyat. Untuk mendapat ilmu fikih
tersebut, ia harus menghadiri majelis ilmu di rumah Maulana Yusuf dan
berguru kepada ulama tersebut. Pengaruh islam terhadap politik melayu,
khususnya kerajaan melayu, juga terlihat dari mitos tentang mahkota raja-raja
melayu. Dalam sejarah melayu, dimitoskan bahwa mahkota raja-raja melayu
berasal dari perbendaharaan Nabi Sulaiman yang dibawa keluar oleh raja jin
untuk diberikan kepada putra-putra raja Suran (Raja Sriwijaya) sebagai tanda
kebesaran mereka. Begitu juga terhadap kedaulatan raja. Kedaulatan raja-raja
melayu tidak saja diakui dalam kehiduapan sehari-hari, tetapi juga dikaitkan
dengan kepercayaan agama. Orang yang durhaka kepada raja dipercaya juga
akan mendapat balasan di akhirat. Kedudukan dan kedaulatan raja ini semakin
kuat dengan adanya perjanjian kesetiaan antara raja dan rakyat. Hal ini terlihat
jelas dalam surat persetiaan Demang Lebar Daun dengan Seri Teri Buana. Di

antara isi perjanjian tersebut adalah raja tidak mencela, merendahkan, dan
menghina rakyat. Begitu juga rakyat tidak boleh sekali-kali durhaka dan
membunuh raja meskipun raja itu bersalah, jahat, atau Zalim.

2.3. Sistem Politik dan Pemerintahan Melayu di Rantau Kuantan
Rantau Kuantan merupakan bagian dari Kabupaten Indragiri Hulu dan
terletak disepanjang batang Kuantan (Sungai Indragiri bagian hulu), Riau.
Menurut sejarah, daerah ini dikenal dengan sebutan “Rantau Nan Kurang Osos
Duo Pulua”, artinya negeri tempat perantauan yang mempunyai Sembilan belas
koto (negeri) dua puluh kurang satu koto. Daerah Kuantan pada bagian barat

(hulu) berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, pada bagian timur (hilir)
berbatasan dengan Desa Batu Sawa, pada bagian selatan berbatasan dengan
Provinsi Jambi, dan bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Kampar.

2.3.1 Sistem Pemerintahan Adat
Sistem pemerintahan adat mencakup semua pranata yang berhubungan
dengan susunan organisasi, tata kerja, formasi aparatur, tugas/kewajiban,
wewenang dan tanggung jawab, serta hubungan kerja dari badan – badan yang
ada.

Sultan
Urang
Godang
Penghulu
Kepala
Penghulu
Suku
Monti

Hulubalang

Malin
Bagan Struktur Pemerintahan Adat Kerajaan Kuantan

Kedudukan tertinggi dalam pemerintahan adat adalah sultan. Sebagai
raja, ia adalah penguasa tertinggi di bidang politik, adat, agama, ekonomi,
budaya, dan lain sebagainya. Kedudukan raja didapatkan karena keturunan.
Akan tetapi tidak berarti bahwa semua keturunan raja dapat menjadi
raja/sultan. Kedudukan raja baru sah bila sudah mendapat pengesahan yang
sesuai dengan suatu prosedur yang telah ditetapkan oleh adat, antara lain
melalui upacara penobatan. Seseorang yang telah dinobatkan menjadi raja
berarti telah memenuhi syarat – syarat kepemimpinan menurut adat, seperti
telah dewasa, berakal budi, adil dan bijaksana, berilmu (tahu akan undangundang, hukum adat dan pusaka, serta paham akan agama), berwibawa,
terampil dalam ilmu bela diri dan ilmu kebatinan, dan ahli perang. Sebenarnya
syarat kepemimpinan itu hampir semuanya merupakan syarat bagi pemimpin
adat lainnya. Perbedaannya, kalau raja diresmikan dengan upacara penobatan,
sedangkan pemimpin – pemimpin adat lainnya dengan upacara pengangkatan
dan peresmian.
Setelah dinobatkan, raja mempunyai wewenang untuk memimpin
secara resmi. Namun wewenang raja, baik raja di Kerajaan Kuantan maupun di
Kerajaan Kampar Kiri, tidak penuh (otokrasi). Dalam mengambil keputusan
maupun melaksanakannya, ia harus mendapat persetujuan dari Dewan Menteri.
Di Kerajaan Kuantan, Dewan Menteri adalah Kerapatan Majelis Urang
Godang. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan/raja dibantu oleh seorang
khadi untuk bidang agama. Urang Godang di Kuantan adalah wakil raja di

daerah, seperti camat atau bupati sekarang. Seperti halnya raja, Urang Godang
tidak berhak mencampuri urusan dalam nagari maupun koto yang berada
dibawah pengawasannya secara langsung tanpa persetujuan Dewan Menteri.
Raja dan Urang Godang tidak lain hanya sebagai badan pengawas, pengatur,
atau koordinator terhadap daerah yang ada dibawah kekuasaanya.
Dewan Menteri Kerajaan Kuantan mempunyai lima orang anggota.
Wewenang datuk yang berkedudukan di ibu kota kerajaan tidak sama dengan
wewenang empat datuk lainnya. Keempat datuk di Kerajaan Kuantan adalah:
(a) Datuk Donan Putro yang berkedudukan di ibu kota Kerajaan Cerenti dan
Datuk Donan Sekaro yang berkedudukan di Inuman, yaitu daerah kesatuan IV

Koto di Hilir, (b) Datuk Raja Bisai yang berkedudukan di Taluk, yaitu daerah
IV Koto di tengah, (c) Datuk Habib yang berkedudukan di Lubuk Jambi, yaitu
daerah IV Koto di mudiak (hulu), (d) Datuk Paduko Rajo yang berkedudukan
di Lubuk Ambacang, yaitu daerah II Koto di mudiak (hulu).
Menurut catatan Schwarts (1892) seorang kebangsaan Belanda yang
menulis tentang keadaan politik dan ekonomi Kuantan. Ia menyebutkan bahwa
kesatuan – kesatuan wilayah yang dibawahi kelima datuk itu adalah Rantau
Nan Kurang Oso Duo Puluo atau Sembilan belas koto, yaitu daerah kesatuan
IV Koto di hilir yang meliputi Cerenti, Inuman, Basrah, Pangean; daerah
kesatuan IV Koto di tengah yang meliputi Sebrakun, Semendolak, Benai
Kopah, Sentajo, Taluk, Kari, daerah kesatuan IV Koto di hulu yang meliputi
Kresek, Toar, Gunung, Telok Ringin, Lubuk Jambi, dan Sungai Pinang, serta
daerah kesatuan II Koto di hulu yang meliputi Lubuk Ambacang dan
Sampuraga.
Dari urutan struktur organisasi pemerintahan adat tersebut, maka yang
benar – benar mempunyai hak otonomi adalah nagari – nagari atau koto –
koto. Nagari berhak penuh mengatur kedalam maupun keluar. Raja dan Urang

Godang tidak mempunyai wewenang secara langsung untuk mencampuri
urusan dalam setiap nagari. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan
di kerajaan tersebut mengandung ciri – ciri demokrasi. Raja duduk diatas tahta
kerajaan atas persetujuan penghulu – penghulu (datuk – datuk) yang
merupakan wakil dari seluruh penduduk nagari. Hal ini didasari oleh
perjanjian dan sumpah sakti pada waktu upacara penobatan yang disaksikan
oleh roh – roh nenek moyang mereka. Oleh sebab itu, muncul pepatah yang
berbunyi “Rajo adil rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah”.
Penghulu kepala adalah penghulu segala penghulu yang ada dalam
setiap nagari. Dalam setiap nagari paling tidak terdapat empat suku. Masing –
masing suku (klan) ini dipimpin oleh seorang penghulu suku yang bergelar
datuk. Dalam melaksanakan tugas kewajibannya, setiap penghulu suku dibantu
oleh tiga orang pejabat adat. Penghulu suku di Rantau Kuantan dibantu oleh
monti, hulubalang, dan malin. Penghulu Kepala dan Penghulu Suku beserta
tiga pembantunya duduk di jabatan adat tersebut setelah diangkat atas dasar

garis keturunan dari suku tertentu pada satu rumah soko (perut) atau menurut
garis keturunan ibu. Jabatan penghulu kepala dan penghulu suku disahkan
dengan upacara adat memotong kerbau. Orang yang dipilih dari keturunan satu
perut adalah orang – orang yang memenuhi syarat kepemimpinan adat.
Pengangkatan tiga pejabat adat pembantu penghulu suku tidak
memerlukan upacara seperti diatas. Tugas monti adalah sebagai pejabat
eksekutif, hulubalang bertugas dibagian keamanan, dan malin bertugas dalam
urusan agama, sedangkan penghulu suku bersama-sama dengan penghulu –
penghulu suku dalam negeri lainnya serta penghulu kepala merupakan lembaga
legislatif. Lembaga legislatif mengadakan kerapatan adat dibalai adat nagari.
Penghulu kepala tidak boleh menjalankan apa saja tanpa melalui musyawarah
semua penghulu suku terlebih dahulu. Begitu juga suara yang dibawa oleh
penghulu suku dalam kerapatan nagari adalah suara keputusan musyawarah
dalam sukunya. Hak seorang penghulu suku antara alin adalah memungut
pajak yang berjumlah “sapuluh satu”, artinya 10%. Hak lain adalah uang ganti
rugi retribusi yang dikarenakan bagi orang luar yang membuka hutan untuk
berladang di tanah ulayatnya.
Syarat berdirinya sebuah nagari yaitu terdapat masjid, balai adat,
lapangan, dan pasar. Antara bidang eksekutif (rumah gadang), legislatif (balai
adat), ekonomi (pasar), serta agama (masjid) saling terkait. Empat saranan
tersebut menjadi syarat utama bagi terbentuknya sebuah pemerintahan adat.
Sebuah nagari terdiri dari koto, kampuang, dusun, dan teratak. Sebuah nagari
dapat terdiri dari beberapa koto karena perkembangannya. Koto biasanya
sebagai pusat pemukiman dan disitu terdapat balai adat, masjid, lapangan, dan
jalan yang agak ramai. Koto adalah tempat berdirinya masjid nagari, balai
adat, dan rumah gadang setiap suku.
Pemimpin dibidang agama dalam sebuah kerajaan adalah khadi yang
berkedudukan di ibu kota kerajaan. Ia bertugas dan berwenang melaksanakan
hal – hal yang berkaitan dengan masalah agama, misalnya menikahkan orang,
membacakan do’a pada upacara penobatan raja, serta upacara – upacara
kerajaan lainnya. Tugas khadi juga mengumpulkan semua zakat fitrah
masyarakat, termasuk dari anggota keluarga raja. Sebagian dari dana yang

terkumpul digunakan untuk kepentingan agama, seperti membangun masjid di
ibukota kerajaan atau disumbangkan kepada pembangunan masjid – masjid
lainnya.

2.3.2 Kedudukan dan Pengaruh Adat Sekarang Ini
Kedudukan dan pengaruh kaum adat mulai mengalami goncangan
setelah masuknya tentara Jepang pada tahun 1942 dan semakin bergeser
setelah masa Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 – 1950.
Kekuasaan kaum adat digantikan administrasi peemerintahan Republik
Indonesia. Daerah yang sebelumnya yang merupakan sebuah kerajaan sekarang
hanya menjadi kawedanan. Fungsi raja dan urang godang dihapus samasekali,
sedangkan fungsi penghulu kepala diubah menjadi wali nagari. Jabatan ini
tidak lagi ditentukan menurut garis keturunan, tetapi atas dasar pemilihan oleh
rakyat menurut kemampuan. Kedudukan kaum adat pada masa sebelum
kebijakan Pelita adalah membantu kepala desa dalam wadah Lembaga
Masyarakat Adat. Meskipun kaum adat hanya berfungsi sebagai pembantu dan
bukan lagi sebagai pengambil keputusan, akan tetapi pengaruh dan peran
mereka dalam masyarakat masih besar.

BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Besarnya pengaruh Islam terhadap politik Melayu mengakibatkan timbulnya
gelar raja-raja Melayu yang bercorakkan Islam seperti zillullah fil alam, sultan dan
khalifah. Implikasinya, pengembangan konsep-konsep hukum Melayu merujuk kepada
hukum-hukum Islam yang berlandaskan al-Qur`an dan Sunnah Nabi. Bagi raja-raja
Melayu, Islam bukan sekedar agama tetapi lebih dari itu ia menjadi landasan politik
dan pandangan hidup mereka dalam menjalankan roda pemerintahannya. Oleh karena
itu, Islam dan politik Melayu selalu berjalan beriringan. Islam menjadi bagian dari
kehidupan raja-raja dan masyarakat Melayu, sebaliknya raja-raja dan masyarakat
Melayu sangat identik dengan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal
Sudin,

Mokhtaridi.,

2012.

Pendidikan

Multikultural

Sebagai

Upaya

Mempertahankan Kebudayaan Melayu – Islam di Tengah Arus Global.
Jurnal Akademi, [Online]. 17 (1), Tersedia di:

http://stainmetro.ac.id/e-journal/index.php/index/search/search
[Diakses 17 Maret 2015]

Jusi, M.I., 2011. Islam dan Beberapa Pengaruhnya Dalam Sistem Politik
Melayu Tradisi. UKM Journal Article Repository, [Online]. 534.
Tersedia di: http://journalarticle.ukm.my/534/
[Diakses 17 Maret 2015]

Buku
Budiarjo, Miriam., 2006. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Koentjaraningrat, dkk., 2007. Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam
Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya

Melayu.

Internet
Iswara N. Raditya, 2015. Menyoal (Kembali) “Dwitunggal”, Islam dan
Melayu. Dunia Melayu Sedunia , [Internet]. Tersedia di:
http://www.melayuonline.com.ind/article/read/976/menyoal-kembalidwitunggal-islam-dan-melayu.
[Diakses 17 Maret 2015]

Hendri Purnomo, 2014. Islam sebagai Landasan Politik Melayu. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia , [Internet]. Tersedia di:

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbtanjungpinang/2014/06/08/islam
-sebagai-landasan-politik-melayu/.
[Diakses 17 Maret 2015]

Muhammad Yusrizal, 2012. Pola Sistem Pemerintahan Melayu. [Online].
(Diupdate 10 Mei 2012) Tersedia di:
http://senjujasrizal.blogspot.com/2012/05/pola-sistem-melayu-oleh.html.
[Diakses 17 Maret 2015].