definisi dasar hukum rukun dan syarat ha

MAKALAH
FIQIH MUAMALLAH
DEFINISI, DASAR HUKUM, RUKUN DAN SYARAT HAWALAH
(diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah fiqih muamallah)

Disusun Oleh :
Nama

: Sedha Aftia Nengrum

NPM

: 1502100214

Jurusan

: S1 PBS

Kelas

:A


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
TH. 2016
1

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk sosial yang dapat diartikan bahwa setiap
manusia berinteraksi dan saling membutuhkan satu dengan yang
lainnya. Mereka saling tolong - menolong untuk memenuhi kebutuhan
hidup dalam bermasyarakat. Utang – piutang juga menjadi bagian dari
interaksi dan kegiatan sehari-hari. Proses utang atau meminjam dan
berbagai kegiatan utang - piutang lainnya harus sesuai dengan
ketentuan berdasarkan hukum islam.
Pada zaman modern seperti sekarang ini banyak individu yang
melakukan akad transaksi keuangan tanpa memperhatikan ketentuan ketentuan dalam islam. Padahal seharusnya hal tersebut perlu di
ketahui antara pihak peminjam dan pemberi utang serta pihak yang
bersedia dalam pengalihan utang.

Salah satu bentuk kegiatan bermu‟amallah adalah hutang piutang.
Dalam

hutang

piutang,

islam

mengajarkan

untuk

bersegera

melunasinya karena menunda pembayaran bagi orang yang mampu
adalah hal yang zalim. Namun terdapat kemurahan bagi orang yang
berhutang, dapat mengalihkan hutangnya kepada orang lain.
Dari permasalahan tersebut akan disajikan makalah dengan suatu
materi yaitu “HAWALAH”. Suatu materi pengalihan utang yang akan

membahas dasar hukum hawalah, serta rukun dan syarat hawalah.
Yang berguna sebagai bahan pengetahuan untuk mahasiswa S.1
Perbankan Syariah kelas A yang bersumber dari berbagai referensi
yaitu buku, dan jurnal yang berkaitan dengan masalah tersebut.

2

BAB II
PEMBAHASAN

A.

DEFINISI HAWALAH
Dalam kitab al-fiqh „ala al Madzabi al-Arba‟ah yang ditulis oleh Abd

al-Rahman al-Jaziri telah dijelaskan bentuk al-hawalah secara
antropologis maupun normative. Secara antropologis, al-hawalah
dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari yang dikembangkan dalam
bahasa Arab. Secara etimologi bermakna berpindah dari satu tempat
ke tempat yang lain.

Adapun pengertian secara bahasa adalah memindahkan hutang
dari satu perjanjian hutang kepada perjanjian hutang yang lain.
Sedangkan

pengertian

secara

normative

al-hawalah

adalah

memindahkan hutang dari perjanjian hutang yang satu dengan
perjanjian hutang yang lain dengan jumlah hutang yang sama.
Sementara itu Wahbah az-Zuhaili dengan mengutip kitab al-Inayah
mendefinisikan al-Hawalah sebagai perpindahan dari Ashil (Muhil)
keada Muhal Alaih (orang yang bertanggungjawab setelah adanya
akad Hawalah).1

Sedangkan menurut Ibnu Abidin hawalah secara etimologi adalah
al-tahwil atau al-naqlu yang berarti memindahkan. Adapun definisi
hawalah secara terminologi menurut Ibnu Abidin adalah :
“Pengalihan utang dari tanggungan muhil kepada pihak lain yang
wajib menanggungnya (muhtal atau muhal alaih). 2
Kalangan ulama fiqih mendefinisikan hawalah sebagai berikut :

“uprihati , Al-Hawalah dan Relevansinya dengan Perekonomian Islam Modern ,
(Maslahah,2011) Vol.2, No.1, h.2
2
Ibnu Abidin, al-Dur al-Mukhtar, sebagai a a dikutip oleh I a Mustofa, Fi ih Mu’a allah
Kontemporer , Jakarta:Rajawali Pers , h.
1

3

“Pengalihan utang dari tanggungan pihak yang berutang (muhil)
kepada pihak lain yang mempunyai tanggungan kepada muhil dengan
adanya saling percaya”.
Dari berbagai definisi di atas, dapat dipahami bahwa hiwalah atau

hawalah adalah pengalihan untuk menuntut pembayaran utang dari
satu pihak kepada pihak lain yang saling diketahui oleh para pihak
dengan sukarela, tanpa ada keterpaksaan. Berdasarkan definisi ini
maka dalam akad hawalah setidaknhya ada tiga pihak yang terlibat,
pertama pihak yang mengalihkan utang, kedua pihak yang menjadi
penanggung utang pihak pertama atau pihak yang menerima
limpahan utang, dan ketiga adalah pihak yang menerima limpahan
piutang.
Berdasarkan pemaparan di atas juga dapat diambil kesimpulan
bahwa hawalah ada dua jenis pertama, hawalah al-haq (pengalihan
hak piutang), yaitu pengalihan hak untuk menutut pembayaran utang.
Kedua,

hawalah

al-dain

(pengalihan

utang),


yaitu

pengalihan

kewajiban untuk memenuhi kewajiban membayar utang.
Pengalihan

utang

mengharuskan

keberadaan

orang

yang

mengalihkan utang (muhil), orang yang utangnya dialihkan (muhal),
dan orang yang kepadanya utang dialihkan (muhal „alaih). Muhil

adalah debitor, muhal adalah kreditor, dan Muhal „alaih adalah orang
yang akan membayar utang.3
B.

DASAR HUKUM HAWALAH
Hawalah diperbolehkan berdasarkan dalil dari al-Sunnah dan ijma‟.

Dasar hukum dari Al-Sunnah adalah Hadis riwayat Abu Hurairah yang
artinya :
“Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah bersabda:
Pengulur-uluran pembayaran utang yang dilakukan oleh seorang kaya
merupakan sebuah bentuk kezaliman. Jika (pembayaran piutang)
3

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 5, (Jakarta:Matraman Dalam,2013), h.171

4

salah seorang di antara kalian dialihkan kepada orang lain yang
mudah membayar utang, hendaklah pengalihan tersebut diterima”.4

Dalam al-Qur‟an juga dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah:280 yang
artinya :
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai da berkelapangan, dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih bak bagimu, jika kamu
mengetahui”.
Dalam al-Qur‟an juga telah dijelaskan sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat al-Baqarah (2) ayat 245 :
bahwa “Siapapun yang memberikan pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah
akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan
kepada-Nya-lah kamu dkembalikan”.
Islam menganjurkan untuk melunasi hutang jika sudah sanggup
membayarnya agar terlepas dari tanggung jawab. Jika seorang
mampu membayar hutang tapi tidak melakukannya maka ia bertindak
zalim. Namun jika tidak bisa membayarnya secara langsung maka
hutang itu dapat dialihkan kepada seseorang yang lain. Sebagaimana
sabda Nabi SAW dalam sebuah hadis yang artinya ;
“Rasulullah


saw

memerintahkan

kepada

orang

yang

menghutangkan, jika orang yang berhutang (muhil) menghiwalahkan
kepada orang yang kaya dan berkemamuan, hendaklah orang yang
berpiutang (muhal) menerima hiwalah tersebut, dan ia dapat menagih
hutang tersebut kepada orang yang dihiwalahkan (muhal „alaih),
dengan demikian haknya dapat terpenuhi”.5
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan
pada hutang yang tidak berbentuk barang / benda, karena hawalah

4


Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta:Rajawali Pers,2016), h.235
Skripsi oleh Siti Fatimah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Hiwalah di BMT BIF
Gedongkuning, (Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga,2008),.h.27

5

5

adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau
kewajiban

finansial.6

Ulama

juga

telah

berijma‟

mengenai

diperbolehkannya hawalah, selain dari Al Sunnah dan Ijma‟ juga ada
legitimasi dalam KHES Pasal 318 – 328. Berdasarkan KHES Pasal
318 ayat (1) yaitu :
1) Muhil / peminjam
2) Muhal / pemberi pinjaman
3) Muhal „alaih / penerima hawalah
4) Muhal bihi / utang
5) Akad
Ayat (2) akad yang dimaksud pada ayat (1) huruf e dinyatakan oleh
para pihak secara lisan, tulisan atau isyarat.
Pasal 319
Para pihak yang melakukan akad hawalah atau pemindahan
hutang harus memiliki kecakapan hukum.
Pasal 320
(1) Peminjam harus memberitahukan kepada pemberi bahwa ia
akan memindahkan utangnya kepada pihak lain.
(2) Persetujuan pemberi pinjaman mengenai rencana peminjam
untuk untuk memndahkan utang seperti yang dimaksud pada
ayat

(1),

adalah

syarat

dibolehkannya

akad

hawalah/

pemindahan utang.
(3) Akad hawalah/pemindahan utang dapat dilakukan jika pihak
penerima hawalah/pemindahan utang menyetujui keinginan
peminjam pada ayat (1).7
Pasal 321
(1) Hawalah/pemindahan utang tidak disyaratkan adanya utang dari
penerma hawalah, kepada pemindahan.

6

Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta:Gema Insani,2012),
h.127
7
Ibid.,

6

(2) Hawalah/pemindahan utang tidak disyaratkan adanya suatu
yang diterima oleh pemindah utang dari pihak yang menerima
hawalah utang sebagai hadiah atau imbalan.
Pasal 322
(1) Pihak yang utangnya dipindahkan, wajib membayar utangnya
kepada penerima hawalah.
(2) Penjamin utang yang dipindahkan, kehilangan haknya untuk
menahan barang jaminan.
Pasal 323
(1) Utang pihak peminjam yang meninggal sebelum melunasi
utangnya, dibayar dengan harta yang ditinggalkannya.
(2) Pembayaran utang kepada penerima utang hawalah harus
didahulukan atas pihak pemberi pinjaman lainnya jika harta
yang ditinggalkan oleh peminjam tidak mencukupi.8
Pasal 324
Akad hawalah/pemindahan utang yang bersyarat menjadi batal dan
utang kembali kepada peminjam jika syarat-syaratnya tidak
terpenuhi.
Pasal 325
Peminjam wajib menjual kekayaannya jika pembayaran utang yang
dipindahkan ditetapkan dalam akad bahwa utang akan dibayar
dengan dana hasil penjualan kekayaannya.
Pasal 326
Pembayaran utang yang dipindahkan dapat dinyatakan dan
dilakukan dengan waktu yang pasti, dan dapat pula dilakukan tanpa
waktu pembayaran yang pasti.9
8

Ibid,.

7

Pasal 327
Pihak peminjam terbebas dari kewajiban membayar utang jika
penerima hawalah utang membebaskannya.
Pasal 328
Apabila terjadi hawalah pada seseorang, kemudian orang yang
menerima pemindahan utang tersebut meninggal dunia, maka
pemindahan utang yang telah terjadi tidak dapat diwariskan. 10
C.

RUKUN HAWALAH
Menurut mazhab Hanafi, rukun hawalah atau hiwalah hanya ijab

(pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul
(pernyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan ketiga.11
Menurut mazhab Malik, Syafi‟i dan Hambali ada enam yaitu :
1. Pihak pertama (muhil), yaitu orang yang meng-hiwalah-kan
(mengalihkan) utang.
2. Pihak kedua (muhal), yaitu orang yang di-hiwalah-kan (orang
yang mempunyai utang kepada muhil).
3. Pihak ketiga (muhal alaih), yaitu orang yang menerima alhiwalah.
4. Ada piutang muhil kepada muhal
5. Ada piutang muhal „alaih kepada muhil
6. Ada sigah al-hiwalah, yaitu ijab dari muhil. 12
Mengenai sigah, Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia No. 12/DSN-MUI/IV/2000, tentang hawalah pada poin
kedua ketentuan umum hawalah menyebutkan bahwa pernyataan ijab

9

Ibid,.
Ibid,.
11
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, (Jakarta:Karya Indah,1986), h.57
12
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adllatuh, sebagaimana di kutip oleh Imam Mustofa,
fi ih Mu’a allah Ko te po e , (Jakarta:Rajawali Pers,2016), h.236
10

8

dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam kontrak (akad).
D.

SYARAT-SYARAT HAWALAH
Syarat hiwalah atau hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal,

Muhal Alaih dan Muhal Bih (hutang yang dipindahkan).
1. Syarat Muhil (Peminjam)
Berkemampuan untuk melakuk -an akad kontrak . Hal ini hanya
dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hiwalah tidak sah dilakukan
oleh orang gila dan kanak-kanak karena tidak mamu atau belum dapat
dipandang sebaga orang yang bertanggung secara hukum.
Kerelaan muhil, ini disebabkan karena hiwalah mengandungi
pengertian pelupusan hak milik sehingga tidak sah jika ia dipaksakan.
Ibn kamal berkata dalam al Idah bahwa syarat kerelaan pemindah
utang diperlukan ketika belaku tuntutan.
Beban Muhil setelah Hiwalah, apabila hiwalah berjalan sah, dengan
sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal „alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka muhal tidak
kembali kepada muhil, hal in adalah pendapat ulama jumhur.
2. Syarat Muhal (Pemberi Pinjaman)
a) Harus memlik kemampuan untuk melaksanakan kontrak.
b) Kerelaan muhal karena tidak sah jika dipaksa.
c) Penerimaan penawaran hedaklah berlaku dalam majelis aqad.
Ini adalah syarat berakad.13
3. Syarat Muhal „alaih (Penerima Pindah Hutang)
a) Sama dengan syarat Muhil dan Muhal yaitu berakal dan baligh.

13

Nizaruddin, Hiwalah dan Aplikasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari‟ah, (STAIN Jurai Siwo
Metro), h.11

9

b) Kerelaan, jika ada unsur-unsur paksaan dalam penerimaan
pindah utang aqadnya menjadi tidak sah bagi penerima
hiwalah.
c) Penerimaan hendaklah dibuat didalam suatu majelis aqad.14
4. Syarat Muhal Bih (Hutang)
a) Hutang yang berlaku pada pemiutang dan pemindah hutang.
b) Hutang tersebut hendaklah berbentuk hutang lazim yaitu
hutang yang hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan dan
penghapusan. Hutang yang tidak lazim tidak sah dipindahkan, seperti
bayaran ganjaran yang mesti dbayar oleh hamba makatab (hamba
yang dibenarka menebus diri degan bayaran).

15

Intinya, setiap hutang

yang tidak sah untuk tujuan jaminan, tidak sah dalam tanggungan.
Syarat hawalah ada yang berkaitan dengan sigat ada yang terkait
dengan para pihak, dan ada yang

terkait dengan piutang. Syarat

sigah dapat menggunakan bahasa lisan atau tulisan. Sigat harus
menunjukkan pengalihan hak penagihan tanggungan.
Syarat yang terkait dengan muhil adalah berakal, baligh, kerelaan
muhil.

Berdasarkan

syarat

ini

maka

hiwalah

karena

adanya

keterpaksaan terhadap muhil maka tidak sah. Sementara syarat yang
terkait dengan muhal adalah berakal, baligh, adanya unsur kerelaan
(tidak terpaksa atau dipaksa), majelis hawalah. Adapun syarat yang
terkait muhal „alaih adalah berakal, baligh, adanya unsur kerelaan,
majelis hawalah.
Syarat yang terkait dengan muhal bihi ada dua, yaitu pertama
muhal bihi adalah piutang. Kedua, piutang tersebut harus mengikat
muhil dan muhal (lazim). Berdasarkan syarat ini, hiwalah terhadap
piutang yang tidak mengikat maka tidak sah.

Ali fikri, Al-Mu’a allat Al-Madiyah wa Al-Abadiyah , sebagai a a dikutip oleh Nizaruddi ,
Hiwalah dan Aplikasinya Dalam Le baga Keua ga Sya i’ah . “TAIN Jurai “iwo Metro , h.
15
H. Ibrahi Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Radar Jaya, 99 , h. 9
14

10

Kalangan Malikiyah dan Syafi‟iyah mensyaratkan tiga hal terkait
dengan utang. Pertama, tanggungan utang yang menjadi objek
hawalah telah jatuh tempo. Kedua, jumlah dan jenis utang antara
pihak yang dialihkan dengan penerima pengalihan harus sama.
Ketiga, kedua tanggungan atau salah satunya bukanlah berupa
makanan yag dipesan dengan akad salam.16
Sebagai salah satu bentuk perjanjian, al-Hawalah dapat berakhir
dalam beberapa keadaan yaitu :
1. Karena dibatalkan atau fasakh
2. Hilangnya hak Muhal „alaih karena meninggal dunia, bangkrut,
atau mengingkari adanya akad hawalah sementara muhal tidak dapat
menghadirkan saksi.
3. Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada
muhal.
4. Meninggalnya muhal, sementara Muhal alaih mewarisi harta
hawalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemlikan.
Jika akad ini hawalah muqayyadah, maka berakhirlah sudah akad
hawalah.
5. Jika muhal menghibahkan hartanya keada muhal alaih
6. Jika Muhal menyedekahkan harta al-haalah kepada Muhal
„alaih.
7. Jika Muhal menghapus bukukan kewajiban membayar hutang
keada Muhal „alaih.17
Dalam fiqih mu‟amallah, dilihat dari maksud dan tujuannya,
akad hawalah terdiri dari dua bagian yang perlu diketahui, yakni
diantaranya akad tabarru‟ dan akad tijari.
Akad hawalah yang merupakan akad tabarru‟ adalah jenis akad
yang berkaitan dengan transaksi non profit atau transaksi yang
bertujuan untuk tidak mendapatkan laba atau keuntungan. Dalam

16
17

Ibid,.. h.370
Nasru Haroe , Fiqh Muamallah , Jakarta:Gaya Media Prata a,

11

, h.

hal ini, dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata untuk
mendapatkan ridho dan pahala dari Allah.

E. JENIS-JENIS HAWALAH
a) Hawalah Muthlaqoh
Hawalah ini terjadi jika orang yang berhutang kepada orang kedua
mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa disadari
pihak ketiga memilki hutang kepada orang pertama.
b) Hawalah Muqoyyadah
Hawalah ini terjadi jika muhil mengalihkan hak penagihan Muhal
kepada Muhal alaih karena yang terakhir punya hutangkepada Muhal.
Inilah hawalah yang jaiz (boleh) berdasarkan kesepakatan para
ulama.
c) Hawalah Haq
Hawalah ini merupakan pemindahan piutang dari satu piutang
kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan barang.
d) Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah emindahan hutang kepada orang lain yang
mempunyai hutang kepadanya.18

18

Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Perbankan Syariah, (Jakarta:Zikrul Hakim), h.30

12

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara antropologis, al-hawalah dapat ditemukan dalam
bahasa sehari-hari yang dikembangkan dalam bahasa Arab. Secara
etimologi bermakna berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Adapun pengertian secara bahasa adalah memindahkan
hutang dari satu perjanjian hutang kepada perjanjian hutang yang lain.
Sedangkan

pengertian

secara

normative

al-hawalah

adalah

memindahkan hutang dari perjanjian hutang yang satu dengan
perjanjian hutang yang lain dengan jumlah hutang yang sama.
Setelah

mengkaji

keberadaan

al-Hawalah

dan

pengembangannya dalam materi diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Penerapan hawalah harus mengacu pada sumber hukum islam
yang membolehkan melakukan pengalihan pembayaran hutang.
2. Beberapa perubahan penempatan dan enambahan elemen
Hawalah pada saat ini dikarenakan adanya perbedaan latar
pengembangan hawalah saat ini dengan hawalah saat awal
pembentukannya.
Hikmah hawalah yaitu dengan hawalah terdapat kemudahan
bermu‟amallah sesama umat khususnya di tempat-tempat yang jauh
atau karena keadaan ketidakmampuan yang sangat membutuhkan
keuangan.

13

DAFTAR PUSTAKA

Suprihatin, “Al-Hawalah dan Relevansinya dengan Perekonomian
Islam Modern”, (Maslahah,2011) Vol.2, No.1
Imam Mustofa, “Fiqih Mu‟amallah Kontemporer”, (Jakarta:Rajawali
Pers,2016).
Skripsi oleh Siti Fatimah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek
Hiwalah di BMT BIF Gedongkuning, (Yogyakarta:UIN Sunan
Kalijaga,2008)
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,
(Jakarta:Gema Insani,2012).
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi‟iyah, (Jakarta:Karya Indah,1986).
Sayyid Sabiq, “Fiqh Sunnah 5”, (Jakarta:Matraman Dalam,2013)
Nasrun Haroen, “Fiqh Muamallah”, (Jakarta:Gaya Media
Pratama,2007)
Sunarto Zulkifli,”Panduan Praktis Perbankan Syariah”, (Jakarta:Zikrul
Hakim)
Nizaruddin, “Hiwalah dan Aplikasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syari‟ah”.
H. Ibrahim Lubis, “Ekonomi Islam Suatu Pengantar,” (Radar
Jaya,1995)

14