Patriarki Dalam Pola Pikir Perempuan dan

Patriarki Dalam Pola Pikir Perempuan dan Laki-laki; Dari
Karya Sastra Hingga Realita
Alfhatin Pratama

Kita sejak lama mengenal patriarki hanyalah sebagai suatu sistem garis keturunan
dari orang tua laki-laki atau ayah, akan tetapi nyatanya patriarki merupakan hal yang
kompleks yang sejak lama sudah menjadi perdebatan. Dalam bukunya Theorizing
Patriarchy, Sylvia Walby (1990) mengungkapkan, patriarki adalah sebuah sistem
dan praktik dari struktur sosial dimana laki-laki mendominasi, menindas, dan
mengeksploitasi perempuan. Patriarki didasarkan pada sebuah konsep
kesetidaktaraan antara perempuan dan laki-laki dimana laki-laki mengontrol
perempuan dalam hal reproduksi dan seksualitas, juga hal produksi jika kita ingin
lebih memfokuskan pembicaraan menggunakan perspektif ekonomi-politik.
Sebagai contoh penggambarannya terlihat dalam lagu berjudul Surabaya
Johnny yang ditulis oleh Kurt Weill dan Bertolt Brecht dan pertama kali dinyanyikan
oleh Carola Neher dalam pementasan Theater Happy End di Berlin. Lagu yang
bertemakan kehidupan urban pada tahun 1929 juga mengangkat jelas tema
kekerasan terhadap perempuan. Lagu ini menggunakan perspektif perempuan,
karena terlihat dalam pementasan dinyanyikan oleh perempuan dan dalam liriknya
mengungkapkan kemarahan serta cintanya pada seorang tokoh laki-laki bernama
Johnny. Johnny digambarkan sebagai seorang pelaut laki-laki yang pandai

berbohong dan memanfaatkan perempuan seperti, meminta uang, meniduri, lalu
meninggalkannya pergi – salah satu korbannya adalah perempuan yang
perspektifnya digunakan dalam lagu ini. Meskipun Johnny sudah melakukan hal
seperti itu, sang perempuan tetap mencintai Johnny karena sudah dari awal terpikat
dengan kesopanannya ketika pertama bertemu dan kebohongannya ketika Johnny
berkata bahwa, ia bekerja di kota besar bukan di laut.
Jika kita beralih pada kurun waktu 2000-an, dalam bukunya Jakarta Uncovered,
Andriyani (2010) menceritakan bahwa, kehidupan urban yang didukung dengan era
kapitalisme global benar-benar sangat patriarkis (atau: berpusat pada laki-laki).
Meluasnya anggapan laki-laki kodratnya mendominasi perempuan, perempuan
dimarjinalkan, perempuan hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki, dan perempuan
harus dimanja sudah dianggap lumrah bagi masyarakat – baik itu perempuan
maupun laki-laki itu sendiri. Akan tetapi, banyak dari kita yang hanya terdiam dan
menggapgap hal yang telah berlangsung lama tersebut tidak dapat diubah. Dari
kasus tersebut tidak dapat menolak untuk mengatakan, bahwa bukan hanya

lingkungan tempat kita bergaul tetapi pola pikir kita juga sudah sangat patriarkis –
berpusat kepada laki-laki.
Perbedaan rentang waktu antara tahun 1929 dan 2010 di atas menunjukkan
bagaimana budaya patriarki terus bertahan. Oleh karena itu, diperlukan penyadaran

yang dimulai dari diri sendiri – perempuan dan laki-laki, kemudian berlanjut bagi
keluarga dan teman solidaritas antara dekat, dan seterusnya. Dengan terbangunnya
kesadaran baru, akan lebih mudah juga terbangunnya sebuah solidaritas antara
perempuan dan laki-laki untuk merekonstruksi budaya patriarki.

Referensi:
1) Andriyani, N. (2010). Jakarta uncovered. Jakarta: Perempuan Berdaya.
2) Silvia Walby. (1990). Theorizing Patriarchy. Oxford: Blackwell.
Internet:
1)
https://indoprogress.com/2015/08/perempuan-dan-laki-laki-bersatulah-lawanpenindasan-terhadap-perempuan/
2)
https://indoprogress.com/2013/01/womens-question-dalam-perjuanganmengakhiri-kapitalisme-dan-patriarki/