Stabilitas Politik dan Efektivitas Pemer

La Ode Muhammad Amin
14/372493/PSP/5171
Jurusan Politik Pemerintahan – S2
Tugas Mata Kuliah: Sistem dan Institusi Pemerintahan Indonesia
Stabilitas Politik dan Efektivitas Pemerintahan Presidensialisme dalam
Multipartai
Dalam proses demokratisasi, partai politik memiliki peran yang sangat
penting, karena selain sebagai stuktur kelembagaan politik, mereka juga merupakan
wadah penampung aspirasi rakyat. Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan
partai politik yang kuat dan mapan guna menyalurkan berbagai tuntutan warganya,
memerintah demi kemaslahatan umum serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Pada perkembangannya saat ini, sistem multipartai kemudian dipilih menjadi sistem
kepartaian yang tepat untuk negara Indonesia yang plural dan multikultural.
Penerapkan sistem banyak partai atau multipartai merupakan sebuah refleksi dari
kemerdekaan bertindak, berekspresi dan bentuk upaya partisipasi masyarakat di
dalam sebuah pentas demokrasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945.
Indonesia diakui sebagai negara yang berhasil melakukan sistem multipartai,
termasuk melakukan Pemilu secara demokratis. Namun demikian, Presidensialisme
dan sistem multipartai adalah sebuah “kombinasi rumit dan berbahaya” bagi jalannya
stabilitas dan efektifitas pemerintahan. sebagaimana dalam perspektif Linz bahwa

penerapan sistem presidensialisme dalam konteks multipartai bukanlah kombinasi
yang cocok karena akhirnya akan berujung pada apa yang disebutnya “breakdown of
democratic regime”. Bukan hanya Linz, Mainwaring meyakini bahwa hanya empat
negara penganut sistem presidensialisme yang berhasil dalam menciptakan
pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah Amerika Serikat,
Costa Rica, Columbia, dan Venezuela. Sebaliknya, mayoritas negara-negara yang
menganut sistem parlementer dinilai sukses dalam hal menjaga stabilitas dan
efektifitas pemerintahan. Beberapa negara tersebut antara lain; Australia, Austria,

Belgia, Kanada, Denmark, Jerman, Irlandia, Belanda, Inggris, Selandia Baru, Italia,
dan sebagainya. Berdasarkan dari argumen Linz dan Mainwaring, maka munculah
sebuah pandangan yang menyebutkan sistem multipartai tidak cocok dengan sistem
Presidensialisme sehingga sistem ini lebih cocok diterapkan dalam sistem
pemerintahan yang berakrakter parlementer. Sebaliknya sistem Presidensialisme
lebih cocok dengan sistem dwi atau dua partai, seperti halnya diterapkan dalam model
Presidesialisme di Amerika Serikat.
Dalam sistem presidensial yang berdasarkan pada sistem multipartai, bila
tidak ada partai politik yang meraih suara mayoritas di parlemen (minority
government), maka koalisi politik merupakan suatu yang tidak bisa dihindari atau
bisa dikatakan koalisi politik adalah suatu keniscayaan. Bila tidak, kemungkinan

efektivitas pemerintahan akan terganggu. Karena itu, koalisi merupakan ”jalan
penyelamat” bagi sistem pemerintahan presidensial yang menganut sistem
multipartai.

Akan

tetapi,

koalisi

politik

yang

terbentuk

dalam

sistem


Presidensilalisme cenderung bersifat rapuh dan mudah retak Karena partai anggota
koalisi akan dengan mudah berpindah dari kubu satu ke kubu lain ketika terdapat satu isu dan
kondisi yang tidak menguntungkan partai tersebut. Dengan kata lain, koalisi yang dibangun
bukan koalisi ideologis yang berumur panjang, tetapi koalisi kontekstual tergantung wacana
dan bersifat pragmatis. Akibatnya, kekuatan koalisi pemerintah di parlemen seperti gelang
karet, kadang kuat kadang lemah, tergantung isu yang bermuara pada kepentingan. Akibatnya
lagi, pemerintah selalu gagal memprediksi kekuatannya di parlemen setiap mengajukan draft

kebijakan. Karena, hal ini tergantung konstelasi politik yang terjadi saat itu. Hal ini
terlihat dalam kasus Century yang memicu banyak persoalan internal di tubuh koalisi.
Dalam hak angket itu, PKS dan Golkar memilih untuk memihak kubu oposisi koalisi
pemerintah dan satu suara dengan mereka bahwa Budiono (Gubernur BI pada saat
pengucuran dana talangan) dan Sri Mulyani (Menteri Keuangan pada saat itu) salah
dalam mengambil kebijakan dalam pemberian dana talangan itu.
Selain itu juga kenapa koalisi politik yang

terbentuk

dalam sistem


Presidensilalisme cenderung bersifat rapuh karena ketidakdisiplinan para partai
politik koalisi. Di satu sisi, partai-partai politik yang tergabung dalam koalisi harus

loyal pada Presiden. Namun, di sisi lain, para partai anggota koalisi seringkali
bermanuver di parlemen, karena

dihadapkan pada kepentingan membangun

popularitas untuk memenangkan kompetisi berikutnya (elektoralis) maupun terikat
keharusan merepresnetasi aspirasi konstituen pendukungnya. Seperti halnya jika kita
memperhatikan ketika manuver politik yang dilakukan PKS pada saat pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pemerintah menegluarkan kebijakan untuk
menaikan harga BBM, seharusnya PKS yang tergabung dalam partai koalisi
pemerintah mendukung segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Akan tetapi pada kenyataannya PKS kali itu lebih memilih untuk bersebrangan
dengan partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah (setgab) demi
kepentingan elektoralis partai.
Ketidakdisplinan partai seperti ini yang berada dalam koalisi, membuat setiap
saat dukungan partai di palemen melemah, dan selanjutnya bisa hadir yang namanya
minority government. Akibatnya, Presiden yang merupakan pemimpin tunggal

pemerintahan dalam sistem Presidensialisme tidak bisa bekerja secara efektif karena
terganggu dengan konstelasi politik di parlemen yang sangat tidak menentu. Berbagai
manuver yang dilakukan partai-partai di parlemen sering berakhir pada instabilitas
pemerintahan dan mengganggu keefektivan jalannya pemerintahan. Sehingga, untuk
membangun loyalitas guna memperkuat kesolidan koalisi pendukungnya, presiden
cenderung bersikap lunak-akomodatif (Politik akomodasi) dengan memberikan
insentif bagi partai-partai koalisi pendukungnya, pada akhirnya kosekuensi yang
harus diterima presiden adalah tidak leluasanya presiden dalam mengambil keputusan
sendiri karena lebih banyak “tersandera” oleh kepentingan politik koalisi partai
yang mendukungnya. Pada akhirnya kebijakan presiden, akan dipengaruhi oleh
partai-partai yang mengusungnya. Dalam hal ini, kepentingan kelompok akan lebih
diutamakan dan kepentingan rakyat relatif ditinggalkan. Partai-partai politik yang
tergabung dalam koalisi pemerintahan juga akan menggunakan wewenangnya di
Parlemen sebagai alat untuk bernegosiasi dengan presiden. Dalam konteks semacam
itu, hak angket, interpelasi dan menyatakan pendapat bisa menjadi alat untuk

bernegosiasi dengan presiden terutama dalam momentum politik tertentu seperti
pembentukan kabinet, reshuffle kabinet atau pengambilan kebijakan Pemerintah.
Oleh karena itu Sistem dengan pemerintahan presidensial dalam konteks
multipartai merupakan tantangan terberat bagi negara ini membangun demokrasi

yang terkonsolidasi. Salah satu cara agar keberadaan parta-partai politik tidak
menghambat terhadap stabiltas politik dan efektifitas jalannya pemerintahan adalah
dengan menyederhanakan sistem kepartaian yang ada. Sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, koalisi yang dibangun oleh banyaknya partai politik sifatnya
kontekstual dan sarat akan kepentingan politik. Jadi, untuk mampu mewujudkan
stabilitas politik dan efektivitas jalannya pemerintahan presidensial harus dengan
membangun sistem multipartai yang lebih sederhana lagi. Agar di satu sisi tidak
menciderai partisipasi dalam demokrai, di sisi lain tidak mengganggu stabilitas politik
dan efektivitas jalannya pemerintahan.

Daftar Pustaka
Hanan, Djayadi. 2014. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia. Bandung,
Mizan
Mahmuzar. 2014. Sistem Pemerintahan Indonesia menurut UUD 45 Sebelum dan
Sesudah Amandemen. Bandung, Nusa Media
Mainwaring, Scoot. 1993. Presidensialism, Multipartism. And Democracy; The
Difficult Combination. Dalam Comparative Political Studies
Yudha AR, Hanta. 2010. Presidensialisme setengah Hati dari Dilema ke Kompromi.
Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama