Karakteristik Penderita Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2014

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga
Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu: telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam.
2.1.1 Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga sampai
membrana timpani. Aurikula dibentuk oleh tulang rawan yang dibungkus oleh
perikondrium dan bagian terluar dilapisi oleh kulit. Aurikula dibagi atas bagian
tulang rawan (1/3 luar) dan bagian tulang (2/3 dalam), panjangnya kira-kira 2½ - 3
cm (Ellis, 2006).

Gambar 2.1. Anatomi Telinga

6

2.1.2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang terisi oleh

udara dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah
berbatasan dengan membran timpani, sedangkan pada bagian medial berbatasan
dengan dinding lateral telinga dalam. Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu
kavum timpani yang secara langsung berbatasan langsung dengan membran
timpani dan resessus epitimpanika pada bagian superior. Telinga tengah
terhubung dengan area mastoid pada bagian posterior dan nasofaring melalui
suatu kanal yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic tube) pada bagian
anterior. Kondisi ini memungkinkan transmisi getaran dari membran timpani
melalui telinga tengah hingga mencapai telinga dalam. Hal ini dapat tercapai oleh
adanya tulang-tulang yang dapat bergerak dan saling terhubung sehingga
menjembatani ruang di antara membran timpani dan telinga tengah. Tulang-tulang
ini disebut juga osikulus auditorius, terdiri dari malleus (terhubung dengan
membran timpani), incus (terhubung dengan malleus melalui persendian sinovial),
dan stapes (terhubung dengan incus melalui persendian sinovial dan melekat pada
bagian lateral telinga dalam pada jendela oval). Osikulus auditorius tersebut
berfungsi untuk mentransmisikan getaran suara yang dihantarkan dari membran
timpani ke telinga dalam (Tortora, 2009; Drake, 2010).
Dinding lateral dari telinga tengah adalah membran timpani, sedangkan
bagian medial berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (fenestra ovalis), tingkap bundar (fenestra

rotundum) dan yang paling dominan adalah promontorium. Di dinding anterior
terdapat pintu ke tuba Eustachius, sedangkan di dinding posterior terdapat aditus
ad antrum, yaitu saluran yang menuju ke rongga mastoid. Bagian dasar telinga
tengah adalah bulbus jugularis (dipisahkan dengan vena jugularis oleh tulang
tipis). Dinding superior berbatasan dengan lantai fosa kranii media yang disebut
tegmen timpani (Soetirto, 2007).
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga. Terdiri atas tiga lapis yaitu, lapisan luar berupa lanjutan epitel kulit dari

7

liang telinga, bagian tengah berupa jaringan ikat yang lentur, dan lapisan dalam
ialah sel kubik bersilia. Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida yang
mengandung dua lapisan yaitu bagian luar dan dalam, sedangkan bagian bawah
disebut pars tensa yang mengandung ketiga lapisan tersebut. Bayangan
penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo.
Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada
jam 7 untuk membran timpani kiri dan jam 5 untuk membran timpani kanan
(Soetirto, 2007).
Tuba Eustachius ialah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring

dengan telinga tengah yang berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada
kedua sisi membran timpani. Terdiri dari tulang rawan pada 2/3 ke arah
nasofaring dan 1/3 sisanya terdiri dari tulang. Pada anak-anak tuba lebih pendek,
lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa hingga
infeksi dari nasofaring lebih mudah masuk ke telinga tengah. Panjang tuba orang
dewasa kira-kira 3,75 cm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah 1,75 cm (Boeis,
1994). Bagian tulang rawan tuba biasanya tertutup dan baru terbuka apabila udara
diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan atau
menguap. Pembukaan tersebut dibantu oleh kontraksi otot tensor palatinum dan
levator palatinum yang masing-masing dipersarafi oleh nervus mandibularis dan
pleksus faringealis (Soetirto, 2007).

8

Gambar 2.2. Anatomi Telinga Tengah
2.1.3. Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setangah
lingkaran dan vesitubuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak

lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang
koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan
skala media (duktus koklearis) diantaranya. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membran basalis. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang
disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang
terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk
organ Corti (Djaafar, 2007).

9

Gambar 2.3. Antomi Telinga Dalam

2.2. Definisi OMA
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh
mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid yang
berlangsung kurang dari tiga minggu. Bila OMA berlanjut dengan keluarnya
sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis
media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari
1½ bulan atau 2 bulan , maka keadaan ini disebut Otitis Media Supuratif Kronis

(OMSK). Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap
atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta
otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani (Djaafar, 2007).
2.3. Etiologi OMA
Penyebab otitis media akut ialah disfungsi tuba Eustachius. Obstruksi tuba
Eustachius merupakan suatu faktor penyebab dasar. Dengan hilangnya sawar
utama telinga tengah terhadap invasi bakteri, dan spesies bakteri yang tidak
biasanya patogenik, dapat berkolonisasi dalam telinga tengah, menyerang jaringan
dan menimbulkan infeksi (Soetirto, 2007).

10

Infeksi telinga tengah terutama berasal dari saluran pernafasan bagian atas,
masuk ke kavum timpani melalui tuba Eustachius. Segala sesuatu yang
mengganggu fungsi tuba dapat menyebabkan otitis media (Soetirto, 2007). Salah
satu penyebab OMA yang cukup sering adalah bakteri piogenik. Menurut
penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya
melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah.
Ramakrishnan et al. (2007) menyatakan bahwa S. pneumoniae, H. influenzae, dan
M. catarrhalis merupakan penyebab utama OMA. S. pneumoniae dan H.

influenzae merupakan patogen yang paling sering menyebabkan OMA dan invasif
pada anak-anak dan paling sering menyebabkan rekurensi OMA. S. pneumoniae
sendiri sebenarnya merupakan patogen yang paling sering menjadi penyebab
OMA untuk berbagai usia. Sementara itu, H. influenzae terutama terjadi pada
anak-anak usia pra-sekolah. M. catarrhalis juga dilaporkan menyebabkan OMA,
meskipun tidak sering dan pada dasarnya merupakan flora normal dari traktus
respiratorius atas. Streptococcus pyogenes merupakan patogen yang juga
dilaporkan memicu OMA, meskipun tingkat kekerapannya tidak setinggi tiga
patogen sebelumnya. Meskipun demikian, patogen ini dapat memicu nekrosis
yang cukup cepat dan signifikan dibandingkan patogen lainnya pada telinga
tengah, yaitu perforasi yang moderat atau besar. Patogen lain yang pernah
ditemukan memicu OMA adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans,
M. tuberculosis, Chlamydia pneumonia, dan Pseudomonas aeruginosa.
Selain bakteri, virus juga memiliki asosiasi yang cukup kuat dengan
terjadinya OMA, yaitu Respiratory Syncytial Virus (RSV), Influenza virus dan
Adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai Parainfluenza virus,
Rhinovirus dan Enterovirus. Infeksi virus di daerah nasofaring merupakan salah
satu bagian dari patogenesis OMA, meskipun peran virus ini secara lengkap
belum sepenuhnya dimengerti. Invasinya di daerah tersebut akan menyebabkan
inflamasi pada bagian orifisium dan mukosa tuba Eustachius dan memfasilitasi

bakteri lain untuk menginvasi telinga tengah. Infeski saluran nafas atas yang
sering disebabkan oleh virus ini sering berkembang menjadi OMA. Meskipun
demikian, virus tersebut jarang ditemukan sebagai patogen di dalam telinga

11

tengah OMA. Umumnya, infeksi virus terjadi pada kasus OMA secara koinfeksi
dengan bakteri tertentu dan kasus OMA seperti ini telah terjadi sebanyak lebih
dari 40% anak-anak yang mengalami OMA. Kondisi ini juga diperkirakan suatu
bukti bahwa kondisi sinergi antara infeksi virus dan bakteri secara bersamaan
merupakan salah satu dasar terjadinya OMA (Buchman, 2003).
2.4. Faktor Risiko OMA
Faktor umur berperan dalam terjadinya OMA. Khususnya pada bayi dan
anak-anak, disebabkan oleh struktur dan fungsi immature tuba Eustachius. Selain
itu, sistem pertahanan tubuh atau imunologi anak juga masih rendah. Insidens
terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak
perempuan. Infeksi saluran nafas atas dapat menyebabkan kongesti dan
pembengkakan dari mukosa nasal, nasofaring, dan tuba Eustachius. Hal ini dapat
memicu obstruksi tuba Eustachius dan membuat cairan sekresi di telinga tengah
terakumulasi. Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus pada efusi tersebut dapat

menghasilkan supurasi dan tanda-tanda OMA (Ramakrishnan et al., 2007).
Status sosio-ekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan
penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan
pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI
dapat membantu meningkatkan pertahanan tubuh. Sehingga, anak-anak yang
kurang asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan
anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak
yang jarang terpapar asap rokok. Riwayat kontak yang sering dengan anak-anak
lain seperti di pusat penitipan anak-anak, juga meningkatkan insidens OMA.
Anak-anak dengan abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA
karena fungsi tuba Eustachius terganggu yang menyebabkan anak mudah
menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang
sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik disebabkan bakteri dan virus
(Kerschner, 2007).

12

Tabel 2.1. Faktor Resiko yang Berkaitan dengan Kejadian OMA
Faktor Resiko


Keterangan
Insidensi maksimal berkisar antara enam sampai

Usia

24 bulan, karena tuba Eustachius lebih pendek dan
lebih landai. Fungsi fisiologis dan imunologi yang
masih rendah membuat anak rentan terkena infeksi
Menyusui minimal tiga bulan dapat memberikan

Pemberian ASI

proteksi pada anak, disamping kandungan yang
ada pada ASI

Penitipan anak

Paparan asap rokok

Kontak dengan beberapa anak dapat meningkatkan

penyebaran virus dan bakteri
Insidensi meningkat dengan adanya asap rokok
dan polusi udara

Jenis kelamin

Laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi

Pemakaian dot

Insidensi meningkat

Riwayat antibiotik

Riwayat OMA

Patologi lain yang mendasari

Resiko kegagalan pengobatan antibiotik
meningkat

Resiko kegagalan pengobatan antibiotik
meningkat
Insidensi meningkat pada anak-anak dengan rinitis
alergi, cleft palate, dan Down syndrome

(sumber: Adaptasi dari Ramakrishnan, K., et al., 2007. Diagnosis and Treatment
of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1651.)
2.5. Patogenesis OMA
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan
ekstraluminal. Faktor intraluminal yaitu akibat ISPA, dimana proses inflamasi
terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga

13

tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan
riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan
tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor dan hipertrofi adenoid
(Kerschner, 2007). Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di
nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan
masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius,
enzim dan antibodi. Karena ada sesuatu yang mengganggu tuba Eustachius, maka
fungsinya akan terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga
tengah juga terganggu, akibatnya kuman masuk ke dalam telinga tengah dan
terjadi peradangan. Infeksi pertama hanya mengenai lapisan mukosa dan
submukosa kavum timpani, tidak mengenai tulang. Pada anak-anak infeksi dapat
mengenai kedua telinga. Infeksi mukosa akan menimbulkan edema, sehingga silia
paralise dan tuba Eustachius tertutup. Udara dalam kavum timpani diabsorbsi,
hingga menyebabkan tekanan negatif dalam kavum timpani. Hal ini menyebabkan
retraksi membran timpani dan mengiritasi membran mukosa untuk memproduksi
cairan eksudat (Djaafar, 2007).
Bila volume eksudat bertambah banyak akan menaikan tekanan cairan
dalam kavum timpani dan menyebabkan bertambahnya rasa sakit pada telinga.
Absorbsi toksin menyebabkan pireksia dan malaise. Bertambahnya tekanan dalam
kavum timpani akan menyebabkan gangguan peredaran darah ke membran
timpani. Bagian dari membran timpani yang mendapat tekanan yang terbesar akan
menjadi neksosis, trombosis kapiler dan akhirnya pecah. Nanah yang bercampur
darah keluar dari telinga, menyebabkan sakit pada telinga hilang dan suhu tubuh
kembali normal (Nelson et al., 2007).
2.6. Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
tergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi
tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi,
stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).

14

Gambar 2.4. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh
retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam
telinga tengah, dengan adanya absorbsi udara. Retraksi membran timpani terjadi
dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang.
Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat.
Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada
kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi
tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media
serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium
ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2010).

Gambar 2.5. Membran Timpani Oklusi

15

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani,
yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan
adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi
tuba yang berkepanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme
piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani
menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang
menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga terasa penuh dan demam.
Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari
cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang
meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai
dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2010).

Gambar 2.6. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau
bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada
mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial hancur.
Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien
akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga
bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat

16

disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat
disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani
dengan baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya
nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah
yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena
kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot (Djaafar, 2007; Dhingra, 2010).

Gambar 2.7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret
berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang
telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut).
Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan
tingginya virulensi kuman.

Jika membran timpani tetap perforasi dan

pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka
keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut
tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka
keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2010).

17

Gambar 2.8. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran
timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali
dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali
normal. Stadium ini terjadi walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani
masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis
media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani
menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2010).
2.7. Gejala Klinis OMA
Gejala klinis otitis media akut tergantung pada umur dan stadium penyakit.
Pada bayi dan anak kecil gejala khas otitis media akut adalah suhu tubuh tinggi
dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur,
tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak
memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret
mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tertidur dengan tenang. Pada
anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga
dan suhu tubuh yang tinggi. Biasanya juga terdapat riwayat batuk pilek
sebelumnya. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, gejala utamanya nyeri

18

telinga. Disamping itu juga didapat sensasi penuh di telinga, gangguan
pendengaran, sering timbul tinitus pulsatil dan demam. Ruptur spontan membran
timpani, dengan hasil sekret purulen, berdarah, akan mengurangi rasa nyeri secara
dramatis (Djaafar, 2007).
2.8. Diagnosis OMA
Kriteria diagnostik OMA mencakup adanya onset gejala yang cepat atau
akut, efusi telinga tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah, seperti
eritema membran timpani atau otalgia yang mempengaruhi tidur dan aktivitas
sehari-hari. OMA juga ditandai dengan kelainan pada membran timpani, yaitu
adanya penonjolan membran timpani, keterbatasan atau ketidakmampuan
pergerakan membran timpani, atau adanya air-fluid level di belakang membran
timpani. Pemeriksaan membran timpani untuk mengetahui kondisi tersebut dapat
diketahui dengan menggunakan kombinasi otoskopi, otoskopi pneumatik, dan
timpanometri. Gejala non-spesifik seperti demam, sakit kepala, iritabilitas, batuk,
rinitis, anoreksia, emesis, dan diare umum terjadi pada bayi dan anak-anak
(Ramakrishnan, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya
suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang
tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau, serta membran
timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging.
Pada kebanyakan kasus OMA, pemeriksaan lebih lanjut tidak dibutuhkan
karena diagnosis bisa dilihat dari gejala dan tanda klinis. Bila gejala berat, hitung
darah sering menunjukkan leukositosis, dan kultur darah dapat mendeteksi
bakteremia selama periode demam tinggi. Kultur dari sekret telinga dapat
membantu dalam pemilihan antibiotik pada pasien yang menunjukkan kegagalan
terapi lini pertama. Bila OMA yang rekuren terjadi bersamaan dengan infeksi
rekuren di sistem lain, maka defisiensi imun harus dipertimbangkan dan
pemeriksaan yang tepat harus dilakukan (Djaafar, 2007).

19

2.9. Penatalaksanaan OMA
2.9.1. Farmakologi
Pengobatan otitis media akut tergantung dari stadium penyakitnya. Pada
stadium oklusi pengobatan terutama untuk membuka kembali tuba Eustachius,
untuk itu diberikan dekongestan nasal (HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik
untuk anak < 12 tahun, dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik bagi yang
berumur > 12 tahun). Disamping itu dapat diberikan antibiotika untuk infeksinya.
Sesuai prevalensi organisme penyebab otitis media akut, maka terapi terpilihnya
adalah ampisilin (50 – 100 mg/kg BB/hari) yang diberikan setiap 6 jam selama 10
hari. Terapi terpilih lainnya kombinasi penisilin dan sulfisoksazol (120 mg/kg
BB/hari) dalam dosis terbagi setiap 6 jam selama 10 hari. Bila pasien alergi
terhadap penisilin, dapat diberikan eritromisin (50 mg/kg BB/hari). Pada stadium
hiperemis pengobatan diberikan antibiotika, analgetika untuk nyeri, serta
dekongestan nasal dan antihistamin atau kombinasi keduanya. Pada stadium
supurasi disamping diberikan terapi seperti pada stadium hiperemis, idealnya
harus disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan
miringotomi gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari.
Pada stadium perforasi membran timpani telah pecah dan terdapat sekret
purulen, biasanya analgetika tidak diperlukan, tetapi diperlukan perawatan lokal
bagi telinga. Telinga harus dibersihkan 3 – 4 kali sehari dengan lidi kapas steril,
dan berikan sumbatan kapas di telinga untuk menyerap sekret tersebut. Pemberian
antibiotika harus adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat
menutup kembali dalam waktu 7 – 10 hari. Harus dihindarkan masuknya air ke
dalam liang telinga sampai penyembuhan sempurna, karena dapat disertai
kontaminasi mikroorganisme. Pada stadium resolusi, maka membran timpani
berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani
menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang
telinga luar melalui perforasi di membrana timpani. Keadaan ini dapat disebabkan
karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian
antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu (Djaafar, 2007).

20

2.9.2. Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA
rekuren

seperti

miringotomi

dengan

insersi

tuba

timpanosintesis,

dan

adenoidektomi (Buchman, 2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani,
supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya
adalah harus dilakukan secara dilihat langsung, anak harus tenang sehingga
membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak
perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007).
Indikasi miringotomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan
infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien
yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode
OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap
anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk
mengidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan
analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi
timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi
supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Pipa
timpanostomi dapat menurunkan morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga
tengah, dan gangguan pendengaran secara signifikan (Titisari, 2015).
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media
dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi

21

dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak
kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak
dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan nafas dan
rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).
2.10. Komplikasi OMA
Menurut Ghanie (2010), komplikasi dari OMA dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme,

yaitu melalui erosi tulang, invasi langsung dan

tromboflebitis. Komplikasi ini dibagi menjadi komplikasi intratemporal dan
intrakranial. Komplikasi intratemporal terdiri dari mastoiditis akut, petrositis,
labirintitis, perforasi pars tensa, atelektasis telinga tengah, paresis fasialis, dan
gangguan pendengaran. Komplikasi intrakranial yang dapat terjadi antara lain
yaitu meningitis, encefalitis, hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural,
empiema subdural, dan trombosis sinus lateralis. Komplikasi tersebut umumnya
sering ditemukan sewaktu belum adanya antibiotik, tetapi pada era antibiotik
semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari Otitis
Media Supuratif Kronik (OMSK).
2.11. Pencegahan OMA
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah
terjadinya ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan
adekuat, menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan
pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).