Teknologi Bimbingan dan Konseling Kelomp

Technology Guidance and Counselling:
Implementation Theory in Practice, Development and Experience

Eko Susanto, M.Pd., Kons.
ekobkummetro@gmail.com
Mobile: +62813 6914 9853
Muhammadiyah University Metro

Yuni Novitasari, M.Pd.
unie69@yahoo.co.id
Mobile: +62821 2198 4590
Muhammadiyah University Metro

ABSTRACT: This article is a testimony of the results of practical experience and literacy
studies on group counseling and group counseling. Since 1905 as the beginning
of develop the group acknowledged that the approach is often effective to create an
atmosphere that therapy can help people solve problems. Not only that certain groups
are also often used for training and means of sharing information. The fact remains found
in the field of school counselors who have difficulty in organizing group activities. This
article attempts to answer the question (1) how carry out the theory into practice group,
(2) develop a model of group activities, (3) the author's experience in the group activities,

(4) technology in group activities. Hope the author after reading this article and follow the
workshop, will appear enlightenment that can stimulate the school counselor carry out
the group's activities in school.
Keywords: group guidance, group counseling, theory, technology, implementation

Teknologi Bimbingan dan Konseling Kelompok:
Implementasi Teori dalam Praktik, Pengembangan dan Pengalaman

Eko Susanto, M.Pd.,Kons.
ekobkummetro@gmail.com
HP : +62813 6914 9853
Universitas Muhammadiyah Metro

Yuni Novitasari, M.Pd.
unie69@yahoo.co.id
HP : +62821 2198 4590
Universitas Muhammadiyah Metro

ABSTRAK: Artikel ini merupakan sebuah testimoni dari hasil pengalaman praktik dan
kajian literasi tentang bimbingan kelompok dan konseling kelompok. Sejak tahun 1905

sebagai awal berkembangnya diakui bahwa pendekatan kelompok sering kali efektif
menciptakan suasana terapi yang dapat membantu individu menyelesaikan masalah.
Tidak hanya itu kelompok-kelompok tertentu juga sering digunakan untuk pelatihan dan
sarana saling berbagi informasi. Kenyataan dilapangan masih ditemukan konselor sekolah
yang mengalami kendala dalam penyelenggaraan kegiatan kelompok. Artikel ini mencoba
menjawab pertanyaan (1) bagaimana implementasi teori kelompok ke dalam praktik, (2)
mengembangkan model kegiatan kelompok, (3) pengalaman penulis dalam kegiatan
kelompok, (4) teknologi dalam kegiatan kelompok. Harapan penulis setelah membaca
artikel ini dan mengikuti workshopnya, akan muncul pencerahan yang dapat menstimuli
konselor sekolah dalam pelaksanaan kegiatan kelompok di sekolah.
Kata kunci : bimbingan kelompok, konseling kelompok, teori, teknologi, implementasi

2

INTRODUCTION
Bimbingan dan Konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan
serta

terprogram


perkembangan

yang

konseli

dilakukan
untuk

oleh

konselor

mencapai

sekolah

kemandirian

untuk

dalam

memfasilitasi
kehidupannya

(Permendikbud No 111 Tahun 2014). Bimbingan kelompok merupakan salah satu
strategi dari pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Bimbingan kelompok
lebih bersifat edukatif, preventif dan informatif yang disajikan dalam bentuk kelompok
kecil untuk mendiskusikan topik umum dan tidak rahasia. Bimbingan kelompok juga
dirancang sebagai sarana mengembangkan keterampilan atau perilaku baru yang lebih
efektif

dan

produktif

(Depdiknas,

2008).


Sejak

tahun

1905

sebagai

awal

berkembangnya diakui bahwa pendekatan kelompok sering kali efektif menciptakan
suasana terapi yang dapat membantu individu menyelesaikan masalah (Gladding,
2012). Tidak hanya itu kelompok-kelompok tertentu juga sering digunakan untuk
pelatihan dan sarana saling berbagi informasi. Keefektifan bimbingan kelompok sudah
banyak dibuktikan dalam berbagai kegiatan riset, misalnya penelitian Rosidah (2013)
yang membuktikan bahwa bimbingan kelompok dengan teknik permainan efektif
untuk meningkatkan penyesuaian diri individu. Dalam penelitian lain Suryani (2012)
menunjukkan bimbingan kelompok efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa
mengelola stres sekolah.
Sedikit berbeda dengan konseling kelompok yang lebih bersifat terapiutik, kuratif,

responsif dan rahasia. Konseling kelompok juga dapat diberikan sebagai bantuan
untuk medukung konseli menghadapi kondisi-kondisi krisis. Konseling kelompok lebih
banyak menjangkau konseli dalam proses bantuannya, kegiatan ini lebih efektif jika
dibandingkan dengan kegiatan konseling individu. Depdiknas (2008) menjelaskan
Konseling kelompok ditujukan untuk membantu para siswa yang mengalami kesulitan,
mengalami

hambatan

dalam

mencapai

tugas-tugas

perkembangannya.

Dalam

prosesnya konseli dibantu untuk tahu sebab masalah, menemukan solusi dan

mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya. Konseling kelompok pada prinsipnya
adalah kegiatan konseling individu yang diselenggarakan dalam suasana kelompok.
Adanya dukungan kelompok dapat mempermudah individu untuk menyelesaikan
masalahnya. Kohesifitas kelompok yang dibangun dipercaya mampu memberikan
dukungan psikologis yang mendalam bagi individu yang bermasalah.
Pada kenyataan dilapangan masih ditemukan konselor sekolah yang mengalami
kendala dalam penyelenggaraan kegiatan kelompok. Kendala yang dialami secara

3

umum dapat dibagi menjadi dua yaitu (1) kendala internal; terkait dengan
pengetahuan konselor, keterampilan, keyakinan, kepercayaan diri dan kemampuan
konselor, (2) kendala eksternal; baik yang sistemik terkait penerimaan sekolah terhadap
layanan bimbingan dan konseling, penjadwalan, waktu; atau yang bersifat struktural
bagi konselor yang memiliki posisi jabatan tertentu. Walaupun tidak semua konselor
sekolah terkendala dengan hal tersebut diatas, namun secara umum ini banyak
menjadi dilema yang dialami oleh konselor sekolah. Artikel ini tidak membahas
masalah ini lebih dalam, tetapi akan fokus menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut;
(1) bagaimana implementasi teori kelompok ke dalam praktik, (2) mengembangkan
model kegiatan kelompok, (3) pengalaman penulis dalam layanan kelompok, (4)

teknologi dalam kegiatan kelompok.
Menjawab pertanyaan pertama, bagaimana implementasi teori kelompok kedalam
praktik. Dimasyarakat profesi konseling masih saya dengar kata-kata pesimis terkait
dengan implementasi teori ke dalam praktik. Ungkapan beginilah praktik tidak seperti
yang ada pada teori , hal ini mengindikasikan seolah-olah teori sulit untuk
diimplementasikan. Jika demikian maka konselor sekolah yang mengatakan hal
tersebut telah bekerja dengan tidak menggunakan teori dalam praktiknya. Praktik yang
demikian justru membahayakan, jika didalam praktik tidak didasarkan pada suatu teori.
Dalam kehidupan sehari‑hari memang sering terjadi persepsi yang mengdikotomi
antara teori dengan praktik. Sangat memungkinkan sebuah teori untuk berbeda
dengan kenyataan, dan mungkin juga bertentangan. Oleh sebab itu banyak sekali –
riset-riset yang dilakukan hanya untuk sekedar menguji sebuah teori. Dalam ilmu
pengetahuan, teori berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena
alami atau fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi
menurut metode

ilmiah.

Teori


juga

merupakan

suatu hipotesis yang

telah

terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan,
dan menguasai fenomena tertentu misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian
di alam, tingkah laku manusia bahkan tingkah laku hewan (Wikipedia, 2014).
Dalam referensi lain menyebutkan teori merupakan seperangkat konsep‑konsep dan
prinsip‑prinsip yang menjelaskan, dan memprediksikan phenomena. Ada dua macam
teori, yaitu teori intuitif dan teori ilmiah. Teori intutif adalah teori yang dibangun
berdasarkan pengalaman praktis. Sedangkan teori ilmiah (teori formal) adalah teori
yang dibangun berdasarkan hasil‑hasil penelitian. Guru di sekolah lebih sering
menggunakan teori jenis yang pertama (Agustina, 2012). Dari beberapa definisi

4


tersebut dapat dipahami bahwa teori dapat dijadikan acuan didalam praktik, oleh
karena itu praktik yang dilakukan oleh konselor sekolah tidak boleh lepas dari teori
yang mendasari pelayanan bimbingan dan konseling. Menurut Suppes (dalam Bell,
1986) ada empat fungsi umum teori yakni: (1) berguna sebagai kerangka kerja untuk
melakukan penelitian; (2) memberikan suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian
butir-butir informasi tertentu; (3) identifikasi kejadian yang komplek; (4) reorganisasi
pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dari beberapa fungsi yang dijelaskan didalam
praktik sebuah teori berfungsi memberikan kerangka kerja yang menuntun proses
praktik yang dilakukan. Teori juga dibangun atas dasar pengalaman-pengalaman
dimasa lalu. Dalam konteks BK, teori secara akurat dapat mendeskripsikan, memahami,
menjelaskan

hubungan-hubungan

antar

variabel

dalam


suatu

fenomena,

dan

kemudian memprediksi dan mengontrol (mengintervensi) fenomena lain atau di waktu
lain berkenaan dengan perilaku konselor dan konseli dalam suatu kegiatan bimbingan
dan konseling. Suatu teori, misalnya, mampu secara tepat menjelaskan apa yang
menyebabkan problem konseli, menyampaikan prediksi tentang respon dan perilaku
konseli, dan menawarkan suatu teknik yang relevan sebagai kontrol atau solusi
tertentu atas problem konseli tersebut, bahkan solusi bagi pertumbuhan dan
perkembangan konseli di masa depan (Adi Atmoko, 2010). Intinya dengan teori
konselor disekolah dapat melakukan tahapan proses bantuan dengan benar dan sudah
disertai rambu-rambu yang boleh dan tidak untuk dilakukan. Himbauan kepada
konselor sekolah untuk terus menambah ilmu yang dimiliki dengan membaca berbagai
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Terus menambah ilmu pengetahuan,
pemahaman baru, paradigma baru, teori baru dan konsep-konsep baru terkait
bimbingan dan konseling. Pengembangan diri konselor melalui update informasi
menjadi pendukung untuk mewujudkan profesionalisme pelayanan bimbingan dan
konseling yang diberikan.
Menjawab pertanyaan kedua, mengembangkan model kegiatan kelompok. Dari banyak
kepustakaan, literasi asing tentang bimbingan dan konseling yang sering dipelajari
oleh konselor dan calon konselor di Indonesia. Dalam praktik masih banyak yang
merujuk pada teori psikologi barat seperti psikoanalisis, behaviorime dan humanisme.
Psikoanalisis memandang hakikat perilaku dan kepribadian manusia secara historikal
yang banyak ditentukan oleh hasil perkembangan di masa lalu. Perilaku manusia
terbentuk atas dorongan seksual dan agresifitas dengan motif dasarnya untuk mencari
kenikmatan dan ketidaksadaran. Aliran behaviorisme manusia tidak dipandang baikburuk perilaku terbentuk dari proses belajar dari lingkungan. Berbeda lagi dengan

5

aliran humanisme berpandangan bahwa manusia memiliki nilai-nilai pribadi, kesadaran,
potensi, tanggung jawab dan kebebasan untuk tumbuh dan berkembang secara
positif. Pandangan ini menekankan pada fungsi eksitensi diri dan optimistime.
Dalam menyikapi berbagai teori barat yang berkembang masuk ke Indonesia, harus
ada filterasi terhadap teori barat agar sesuai dan dapat diterapkan kedalam budaya
bangsa Indonesia. Gagasan ini sangat masuk akal, karena suatu teori dikembangkan
dengan menggunakan prinsip kerja deducto-hipotetico-verificatio yang tidak terlepas
dari kondisi lapangan tempat data dikumpulkan untuk keperluan bangunan teori
tersebut. Meskipun suatu teori mengklaim mampu mencakup semua hal secara
universal (etics), namun dalam proses penyusunan dan penerapannya tidak mungkin
terlepas dari aspek konteks (emics). Oleh karena itu pandangan teori barat (western
oriented) tidak selalu kongruen dalam mendeskripsikan dan memahami apa yang
terjadi dikonteks masyarakat timur. Dengan demikian, teori yang dikembangkan dalam
konteks barat sudah pasti berbeda dengan konteks timur khususnya Indonesia (Miller,
1993; Salim, 2006; Atmoko, 2010).
Pada kenyataannya yang terjadi dilapangan penggunaan teori barat didalam praktik
banyak dilakukan oleh konselor di sekolah. Bahkan dalam kegiatan PLPG instruktur
menggunakan modul yang mempraktikkan teori-teori barat dan diterapkan secara
ketat. Kegiatan praktik itu pun dijadikan salah satu sumber paling benar yang menjadi
dasar praktik konselor di sekolah. Sering muncul ucapan kemarin dapat dari PLPG
begitu kata instrukturnya , sangat menggelikan buat saya mendengar ucapan
demikian. Bagi calon konselor dikampus pun demikian mempelajari banyak teori barat
yang dijadikan dasar pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Sayangnya baik
konselor atau calon konselor sedikit sekali yang menyadari ketidakkongruenan yang
terjadi saat teori tersebut dipraktikan di sekolah. Atmoko (2010) menjelaskan Konseling
yang berakar dari budaya barat dalam praktiknya akan menggunakan konsep dan hasil
penelitian yang sangat mungkin tidak aplikabel untuk konteks sosio-budaya Indonesia.
Konsep dan cara mereka tidak relevan dalam menghadapi isu-isu konselor dan konseli
Indonesia. Untuk itu, kita perlu mulai mengkonsentrasikan pada kebutuhan untuk
mengkontekstualisasikan konseling, yang memberdayakan budaya yang lebih relevan
serta berakar pada sosio-budaya Indonesia.
Indigenisasi

konseling

dengan

mencari

menyesuaikannya dalam seting budaya

akar

budaya

konseling

barat

dan

Indonesia, akan menghindarkan kita dari

jebakan posisi dua kutub, yakni, kutub posisi radikal ekstrim pada relativisme budaya

6

yang menghalangi perbandingan antar budaya, sedangkan di satu sisi yang lain adalah
yang memelihara dominasi intelektual barat,

mainstream konseling, dengan sikap

skeptis dan prasangka buruk terhadap konseling indigenous Indonesia. Dengan
indigenisasi konseling, kita menjadi ilmuwan Indonesia yang memiliki pandangan dan
pemikiran positif terhadap nilai, pemikiran dan praktik lokal Indonesia yang berguna
bagi pengembangan konseling, memiliki pikiran kritis yang bernilai terhadap praktik
konseling barat maupun lokal, dan medorong kita untuk memelihara identitas budaya
lokal sejalan dengan gerakan untuk menjadi lebih integratif ke dalam framework yang
lebih luas, dan kita tidak membabi buta untuk menolak ide dari barat karena dianggap
asing dan buruk (Atmoko, 2010).
Dalam mengkonstruk pengetahuan yang dimiliki konselor tentu perlu diawali dengan
pemahaman teori yang kompleks. Praktik terbaik dapat dilakukan jika konselor
memiliki banyak pengetahuan yang dapat dijadikan dasar untuk memahami konseli
dan lingkungannya. Kegiatan bimbingan kelompok dan konseling kelompok sangat
erat berkaitan dengan dinamika kelompok yang berawal dari pertemuan antar individu
yang memiliki nilai, budaya dan lingkungan asal yang beragam. Dalam kondisi yang
demikian konselor harus mampu menginkulturasikan budaya dan nilai anggota
kelompok dalam diri konselor untuk memunculkan empati yang asli. Konselor juga
harus mampu menyatukan setiap individu dalam kegiatan kelompok dan membangun
kohesifitas diantara mereka. Hal ini bukan merupakan hal yang tidak mungkin
dilakukan oleh konselor, justru pengalaman praktik dan temuan dilapangan dapat
dijadikan dasar membangun teori intuitif. Bentuk laporan dari refleksi teori intuitif
kemudian dapat dijadikan informasi untuk membangun teori formal yang lebih teruji
secara empiris. Membangun model kegiatan kelompok pun demikian dapat diawali
dengan memasukan nilai budaya lokal kedalam praktik. Misalnya sebelum melakukan
kegiatan bimbingan kelompok atau konseling kelompok diawali dengan berdoa. Posisi
duduk yang tidak terlalu dekat antara anggota laki-laki dan perempuan, memasukan
nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, toleransi, tenggang rasa, hormat dengan
orang tua dan nilai budaya Barat seperti disiplin tinggi, bekerja dengan perencanaan,
merupakan nilai-nilai yang perlu diadopsi (Asih Menanti, 2003).
Pada prinsipnya cara kerja konselor didalam praktik harus didasari pada pandangan
yang tepat terhadap konseli yang dibantu. Dengan begitu dapat meningkatkan
efektifitas layanan yang diberikan, tidak kaku dan terkesan formal. Misalnya
membangun suasana kekeluargaan sebagai bentuk penyesuaian terhadap teknik home

7

room dalam kegiatan bimbingan kelompok. Menggunakan sapaan yang sesuai disuatu
daerah mungkin dapat menggunakan sapaan Ananda tetapi didaerah lain mungkin
kurang cocok dan terkesan kaku dan formal. Pada kondisi kedaerahan yang kental
sangat memungkinkan menggunakan sapaan daerah yang lebih dirasa sopan dan
menunjukkan kedekatan hubungan. Penggunaan bahasa tunggal misalnya bahasa
Indonesia akan cocok pada kelompok yang bersifat heterogen. Tetapi untuk kelompok
homogen menggunakan dual bahasa akan lebih mudah diterima dan lebih berkesan.
Dengan begitu konselor sekolah tidak perlu takut untuk mencobakan sebuah model
yang dikonstruk sendiri ke dalam praktik, yang penting memiliki landasan berpikir
yang relevan. Jika terpaku pada satu model saja maka konselor akan cenderung
menyalahkan model lain yang berbeda. Praktik dengan memasukan nilai-nilai budaya
lokal cenderung memiliki tingkat penerimaan yang tinggi dari kelompok yang dibantu.
Pengalaman penulis dalam kegiatan kelompok menjawab pertanyaan ketiga. Dalam
praktik yang pernah saya dilakukan mendapati catatan berharga sebagai testimoni.
Walaupun catatan yang saya cenderung bersifat pragmatis kualitatif dan subjektif, akan
tetapi bisa menjadi informasi yang berguna bagi perbaikan praktik konselor di sekolah.
Saya memfokuskan catatan pada aspek waktu sesi, jumlah sesi, karakteristik kelompok,
teknik-teknik dalam kegiatan kelompok.
1. Terkait dengan waktu setiap sesi bimbingan kelompok dan konseling kelompok
Konselor sekolah bertanya berapa lama waktu yang ideal untuk digunakan dalam sesi
konseling kelompok atau bimbingan kelompok? Sebelum menjawab pertanyaan ini,
sebaiknya kita perlu memahami makna layanan profesional. Apakah layanan konseling
dan bimbingan dengan waktu lama dapat disebut profesional. Atau layanan yang
dilakukan dalam waktu singkat tidak layak disebut layanan profesional. Saya
analogikan dengan layanan yang dilakukan oleh seorang dokter. Saat kita datang ke
dokter untuk berobat kita disambut ramah dengan kata-kata sugesti untuk
mendamaikan pasien. Dipersilahkan duduk dan ditanya dengan ramah siapa yang
sakit, keluhan apa yang dirasakan, sakit dibagian mana, dan kronologi lain sebagai
bagian diagnosis. Kemudian dilakukan cek tekanan darah setelah selesai dipersilahkan
untuk berbaring di tempat tidur untuk diperiksa lebih lanjut dengan stetoskop. Setelah
selesai kita dipersilahkan menunggu resep yang dipersiapkan oleh dokter. Kemudian
kita bayar dan pulang, berapa lama waktu yang digunakan untuk melakukan semua
proses tersebut? Anggap saja kurang lebih 7 menit, apakah layanan yang dilakukan
oleh dokter tersebut adalah layanan profesional?

8

Saya menyimpulkan bahwa layanan profesional tidak selalu berbanding lurus dengan
waktu pemberian layanan. Pada prinsipnya layanan yang dilakukan baik itu dengan
waktu sebentar atau lama jika dilakukan dengan prinsip-prinsip keprofesian maka
dapat disebut sebagai layanan profesional. Eksistensi suatu profesi amat tergantung
pada pengakuan dan kepercayaan pengguna profesi (public trust), kepercayaan itu
muncul karena penyandang profesi itu (1) memiliki kompetensi dan keahlian yang
disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, (2) ada perangkat aturan untuk
mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik, (3) para anggota
profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang teguh kepada
standar profesi (Biggs & Blocher,1986). Dengan demikian penjelasan Biggs & Blocher
menguatkan bahwa layanan profesional adalah layanan yang didasari dengan tiga ciri
sebagaimana disebutkan. Dalam pelayanan bimbingan dan konseling konselor tetap
diakui memberikan layanan profesional, walaupun dilakukan dengan waktu yang relatif
singkat seperti layaknya dokter yang saya analogikan sebelumnya. Selama pelayanan
bantuan yang diberikan didasari kompetensi dan keahlian dari pendidikan khusus, ada
kode etik layanan, dan ada standar profesi yang dijalankan maka layanan itu layak
disebut sebagai layanan profesional.
Kaitannya dengan waktu ideal pelaksanaan sesi layanan konseling kelompok atau
bimbingan kelompok amat ditentukan oleh tiga hal. (1) Tingkat perkembangan
anggota kelompok untuk anggota kelompok dengan usia sekolah dasar ke bawah
sebaiknya kurang dari 30 menit untuk setiap sesinya. Mengapa demikian, pengalaman
dilapangan tingkat perhatian siswa sekolah dasar tidak bisa konstan dalam waktu lama.
Tentu hal ini terkait dengan masa perkembangan mereka. Pada beberapa referensi
asing pun demikian Missouri Comprehensive Guidance and Counseling Program
menetapkan waktu 30 menit untuk setiap sesi layanan kelompok untuk elementary

school. Untuk usia sekolah menengah keatas paling sebentar 30 menit dan paling lama
dapat disesuaikan dengan kondisi anggota dan kesepakatan dengan konselor.
2. Terkait dengan jumlah sesi untuk setiap kelompok
Pada umumnya referensi barat merekomendasikan 6 (enam) sampai dengan 8
(delapan) sesi untuk satu kelompok bimbingan. Namun demikian kita di Indonesia
menurut hemat saya tidak perlu terpaku pada patokan yang demikian. Pada
Permendikbud no 111 tahun 2014 tentang pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling di sekolah dasar dan menengah sudah merinci terkait ekuivalensi waktu
pelayanan

yang

patut

dihargai.

Walaupun

K13

di

moratorium

akan

tetapi

9

permendikbud tersebut tetap dapat dijadikan acuan didalam praktik. Tentunya proses
untuk menjadi sebuah permen sudah melewati proses analisis dan pertingan ahli
bimbingan dan konseling di Indonesia dengan memperhatikan kondisi konselor
sekolah di Indonesia. Dalam praktik saya selalu melakukan layanan konseling
kelompok dan bimbingan kelompok paling banyak 3 (tiga) sesi untuk satu kelompok.
dan yang paling banyak kurang dari 3 (tiga) sesi untuk setiap kelompoknya. Efektifitas
layanan itu selalu dikaitkan dengan efisiensi layanan yang dilakukan. Artinya sedikit
sesi yang dilakukan dapat menunjukkan efektifitas layanan yang diberikan. Namun
demikian pernyataan saya ini masih perlu diuji lebih lanjut. Bandingkan dengan
pengalaman Anda selama ini bagaimana. Saya pribadi selalu membatasi layanan
bimbingan kelompok atau konseling kelompok paling banyak 3 (tiga) sesi untuk setiap
kelompoknya. Saya yakin beriring waktu masalah yang dialami oleh konseli akan hilang
dengan sendirinya, maka perlu dilakukan stimuli untuk mendorong individu lepas dari
masalahnya. Melalui kegiatan kelompok masalah individu yang belum sempat
diselesaikan secara alami akan hilang sedikit-demi sedikit. Individu akan mengkontruks
informasi yang diperoleh pada sesi pertama untuk memecahkan masalah yang
dialaminya. Biasanya hal ini akan terlihat saat mereka bertanya lebih lanjut tentang
suatu masalah.
3. Terkait dengan karakteristik kelompok
Secara umum karakteristik kelompok dapat dibagi menjadi dua yakni kelompok
homogen dan kelompok heterogen. Kelompok homogen adalah kelompok yang
memiliki kesamaan ciri dari anggota kelompoknya misalnya kesamaan jenis kelamin,
agama, masalah yang dialami, kesukaan atau minat dan lain sebagainya. Sedangkan
kelompok

heterogen

adalah

kelompok

yang

memiliki

kompleksitas

didalam

keanggotaannya misalnya berbeda jenis kelamin, agama, budaya, berbeda usia,
berbeda masalah, berbeda tingkat kelas dan lain sebagainya. Dilihat dari sifatnya
kelompok dapat dibedakan menjadi dua pula yakni kelompok tertutup dan kelompok
terbuka. Kelompok tertutup merupakan kelompok yang dalam keanggotaannya tidak
bisa ditambah, biasanya adalah kelompok konseling. Kelompok terbuka adalah
kelompok yang dalam keanggotaannya masih bisa menerima anggota baru, mungkin
sebagai model atau tamu, yang demikian biasanya adalah kelompok bimbingan.
Konselor harus pandai menempatkan seorang konseli pada kelompok yang tepat yang
dapat membantu konseli menyelesaikan masalahnya. Penempatan kelompok tentu
tidak terlepas dari hasil need assessment yang sudah dilakukan oleh konselor. Kadang

10

kala konselor dapat menempatkan seorang konseli secara intuitif berdasarkan
pengalaman dan kepekaan konselor terhadap kondisi yang terjadi, hal ini mungkin saja
dilakukan.
4. Terkait dengan teknik-teknik dalam kegiatan kelompok
Dalam kenyataan praktik konselor dituntut untuk menjadi pribadi yang menarik
dihadapan anggota kelompok. Menarik dalam berbagai aspek yang sangat ditentukan
oleh keadaan diri konselor itu sendiri. Mungkin saja ada konselor yang agak pendiam
atau kalem tetapi dipandang menarik dihadapan anggota kelompok. Bahkan bisa juga
konselor yang suka humor adalah salah satu aspek yang menarik bagi anggota
kelompok. Oleh itu setiap konselor perlu menggali sisi menarik yang ada dalam diri
mereka masing-masing. Latihan yang demikian dapat dilakukan dengan sebuah refleksi
dari setiap sisi kehidupan konselor. Selesai kegiatan kelompok lakukan refleksi sebagai
bagian menggali informasi tentang hal yang sudah dilakukan oleh konselor. Setelah
konselor memahami keinginan yang umumnya diharapkan oleh konseli dari diri
konselor, maka saat itulah konselor berpeluang menjadi pribadi yang menarik. Banyak
teknik-teknik konseling yang dapat digunakan dan dilakukan akan kegiatan kelompok
menjadi lebih menarik. Ketika kegiatan kelompok dirasa menarik oleh anggota
kelompok saat itu konselor dipandang menarik oleh anggota kelompok. Konselor
dapat berlatih menggunakan teknik permainan, home room, latihan, sosiodrama dan
inovasi teknik lain yang dikembangkan sendiri oleh konselor. Dalam pengalaman
praktik anggota kelompok umumnya lebih suka dengan konselor yang humoris dan
menampilkan hal-hal menarik yang tidak diperolehnya dari guru mata pelajaran.
Penampilan yang ekspresif dan cerita lucu sering saya gunakan untuk menarik
perhatian anggota kelompok. Saya juga sering menggunakan morfologi dengan
sebuah cerita untuk dapat memasuki wilayah penerimaan diri konseli.
Teknologi dalam kegiatan kelompok menjawab pertanyaan keempat. Mendengar kata
teknologi selalu dapat dipastikan yang terbesit dalam pikiran adalah sebuah alat
canggih dan komputerisasi. Padahal tidak selalu demikian, kata teknologi merujuk
pada sebuah alat atau cara yang dapat mempermudah seseorang melakukan
pekerjaan atau mencapai tujuan. Teknologi secara dikotomi dibagi menjadi teknologi
canggih dan teknologi sederhana. Teknologi juga tidak serta merta berbentuk benda
nyata, mungkin saja berbentuk sesuatu yang abstrak dan sistemik yang hanya dapat
dirasakan setelah semua proses dilalui. Misalnya dalam kajian teknologi pendidikan
erat

kaitannya

dengan

upaya

untuk

mempermudah

menyampaikan

informasi

11

instruksional kepada siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan merangcang model-model
pembelajaran yang menarik, itulah bentuk teknologi yang abstrak dan sistemik yang
saya maksudkan.
Model konseling dan teknik bimbingan dapat pula disebut sebagai teknologi yang
sifat abstrak dan sistemik. Perangkat elektronik yang digunakan dalam kegiatan klasikal
seperti LCD dan Laptop adalah teknologi yang bersifat kebendaan yang dapat di
sentuh. Satu lagi yang disebut teknologi sederhana adalah semua hal yang dibuat
secara konvensional untuk membantu mempermudah pekerjaan konselor. Misalnya
papan bimbingan adalah teknologi sederhana teknologi canggihnya adalah Blog atau
Website yang difungsikan sama dengan papan bimbingan. Kotak masalah adalah
teknologi sederhana, teknologi canggihnya adalah SMS atau inbox jejaring sosial yang
dimiliki oleh konselor sekolah.
METHODS
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang mengedepankan
makna dari suatu kejadian, kenyataan dan hubungan-hubungan yang unik didalam
praktik bimbingan dan konseling kelompok. Metode yang digunakan dalam penulisan
artikel ini adalah deskriptif. Interpretasi yang disajikan didasarkan pada kajian literasi,
pengalaman dan hasil refleksi praktik dilapangan.
RESULTS AND DISCUSSION
Hasil dari artikel ini memberikan catatan kepada konselor sekolah untuk dapat
memberikan pelayanan yang profesional. Khususnya dalam kegiatan bimbingan
kelompok dan konseling kelompok dapat mempertimbangkan empat hal terkait
dengan waktu sesi, jumlah sesi, karakteristik kelompok, teknik-teknik dalam kegiatan
kelompok. Sebagaimana sudah saya jelaskan sebelumnya konselor harus berani
memulai untuk mengumpulkan catatan pengalamannya. Kemudian mengkonstruk
pengalaman itu menjadi sebuah pendekatan baru yang menadaptasi budaya lokal.
Konselor perlu terus belajar untuk menjadi pribadi yang menarik dan menyenangkan.
Perkembangan teknologi disadari atau tidak telah memberi dampak pada lingkungan
kerja konselor. Sudah seharusnya konselor itu memahami fungsi dari teknologi itu agar
dapat meningkatkan profesionalitas konselor.
Implementasi penggunaan teknologi dalam layanan bimbingan dan konseling harus
memperhatikan fungsi dari teknologi itu sendiri. Pertama teknologi difungsikan
sebagai suplemen dalam layanan bimbingan dan konseling. Artinya teknologi
digunakan hanya sebagai tambahan dalam proses konseling, konseli diberi kebebasan

12

untuk menggunakannya atau tidak. Misalnya setelah proses konseling berakhir
konselor menawarkan untuk chatting di malam harinya, chatting disini berfungsi
sebagai tambahan dari proses konseling siang harinya, konseli boleh menerima boleh
juga tidak tawaran konselor tersebut. Kedua teknologi difungsikan sebagai komplemen
dalam layanan bimbingan dan konseling. Artinya teknologi digunakan sebagai
pelengkap proses bantuan yang diberikan oleh konselor dan memang sudah
direncanakan oleh konselor untuk menggunakan teknologi tersebut. Misalnya
penggunaan LCD dan Laptop dalam kegiatan kelompok untuk menampilkan gambar
atau video. Ketiga teknologi difungsikan sebagai subtitusi dalam layanan bimbingan
dan konseling. Dimana teknologi benar-benar menggantikan keberadaan konselor
dihadapan konseli. Misalnya proses konseling melalui internet dengan menggunakan
gadget atau laptop, teknologi disini menggantikan keberadaan konselor yang tidak
bisa bertatap muka langsung dengan konseli karena konselor sedang berada di luar
kota. Dengan demikian penggunaan teknologi tidak serta merta harus dilakukan, tetapi
dapat digunakan sesuai kebutuhan. Penggunaan teknologi juga perlu memperhatikan
fungsi dari teknologi itu sendiri, jangan sampai kelalaian menggunakan teknologi
menimbulkan masalah baru bagi konselor.
CONCLUSION
Kebermaknaan bantuan bagi konseli lebih utama dibandingkan dengan teknik dan
teknologi yang konselor gunakan dalam memberikan bantuan. Konselor adalah
manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Konselor juga bisa memiliki
masalah, masalah itu sendiri adalah resiko yang harus ditanggung oleh setiap orang.
Masalah tidak mungkin dihilangkan menjadi nol mutlak, yang bisa dilakukan oleh
konselor adalah meminimalisir munculnya masalah itu dalam kehidupannya.
REFERENCES
Adi atmoko. (2010). Penerapan ICT dalam Pengembangan Keilmuan Bimbingan dan
Konseling Indonesia. Seminar Nasional Revitalisasi Keilmuan Bimbingan dan
Konseling DalamPendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Bell Gredler, E. Margaret.1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
Biggs, Donald A. &
Blocher H. (1986). The Cognitive Approach To Ethical
Counseling:Values in Counseling Ethic. New York: State University of New
York at Albany.
Depdiknas.2008. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bahan Belajar Mandiri
Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah, Jakarta: Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

13

Menanti, Asih. (2003). Konseling Indigenous (Indigenous Counseling). Konvensi
Nasional XIII Bimbingan dan Konseling. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Rosidah, Ainur. (2013). Efektivitas Teknik Permainan Dalam Bimbingan Kelompok
Untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri Siswa : Studi Kuasi Eksperimen
Terhadap Siswa Kelas Vii Smp Negeri 29 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013
(Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia)
Suryani,

Yani. (2012). Program Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan
Kemampuan Siswa Mengelola Stres Sekolah : Studi Kuasi Eksperimen
Terhadap Siswa Kelas X Madrasah Aliyah 99 Persis Rancabango Tahun
Pelajaran 2011/2012 (Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia)

Ismaya

Dwi
Agustina.
(2014).
Pengertian
Teori.
(Online).
http://ismayadwiagustina.wordpress.com/2012/11/26/pengertian-teori/.
Diakses 9 Desember 2014

Wikipedia. (2014). Teori. (Online).
Desember 2014

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori. Diakses 9

14