Kajian Hadis Dalam Pandangan Sunni dan S (1)

HADIS DALAM PANDANGAN SUNNI DAN SYIAH
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Salah satu perdebatan besar antara Sunni dan Syi’ah terjadi dalam bidang
hadis. Konsep periwayatan hadis yang cenderung berbeda acap kali memicu
perdebatan dan diskusi panjang antara para ulama.
Sunnah atau lebih dikenal dengan hadis, mempunyai sejarah yang unik
dan panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi
tulisan. Pengkompilasiannya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Persaingan politik antar kelompok Muslim dalam rangka perebutan kekuasaan
juga ikut mewarnainya. Sampai pada akhir abad ke-9 M, usaha
pengkodifikasian tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi besar (kitab
hadis) yang dianggap autentik, di samping sejumlah besar koleksi hadis
lainnya.
Seleksi dan pengeditan koleksi kitab hadis tersebut, menurut pandangan
Mohammed Arkoun1, menimbulkan kontroversi berkepanjangan di antara tiga
golongan Muslim besar, yakni; Sunni, Syi’i (Syi’ah), dan Khariji (Khawarij).
Kelompok Sunni menganggap, kompilasi sahihayn dari Bukhari (w. 870 M)
dan Muslim (w. 875 M) sebagai yang paling autentik. Syi’ah 12 (Isna
‘Asyariyah) mengklaim, hasil kompilasi Kulayni (w. 939 M) sebagai “suitable
for the science of religion” dan dilengkapi juga dengan koleksi Ibn Babuyah

(w. 991 M) dan al-Tusi (w. 1067 M). Sementara, Khawarij memakai koleksi
Ibn Habib (tercatat akhir abad ke-8) yang disebut sebagai al-sahih alrabi’ (The true one of spring).
Terdapat satu anggapan, bahwa perbedaan aqidah dalam aliran-aliran
Islam berdampak atau bahkan merupakan sumber pada perbedaan hadis yang
diakui oleh masing-masing kelompok. Kelompok Sunni2 misalnya, hanya
1

Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers terj. Dan
ed. Robert D. Lee (Colorado: Westview Press, Inc., 1994), hlm. 45.

1

berpegang pada riwayat Sunni saja, sementara kelompok Syi’ah3 hanya
mengakui hadis-hadis riwayat kelompok Syi’ah saja. Demikian seterusnya.
Masing-masing kelompok cenderung egois dan hanya mementingkan
kelompoknya. Lebih parah lagi, hadis-hadis yang ada banyak dibuat oleh
kelompok tertentu demi kepentingan kelompoknya, bahkan tidak sedikit yang
mendiskreditkan mazhab yang berseberangan. Dampak terbesar dari anggapan
ini adalah, hadis-hadis yang ada tidak bias dipertanggungjawabkan
otentisitasnya karena dibuat/dipalsukan oleh mazhab-mazhab tertentu demi

kepentingan mereka
Perbedaan konsepsi secara metodologis tentang hadis antara Sunni dan
Syi’ah bergulir pada wilayah kajian epistimologi; asal, struktur, metodemetode, kesahihan, dan juga tujuan pengetahuan.
Berdasarkan uraian di atas, banyak hal yang terkait dan juga menarik
untuk dikaji dan diteliti. Mulai dari penulisan dan pengumpulan hadis di
kalangan Sunni dan Syi’ah, literatur-literatur hadis di kalangan Sunni dan
Syi’ah, klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis di kalangan Sunni dan
Syi’ah, sampai pada bagaimana penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan
Sunni dan Syi’ah. Berangkat dari uraian di atas, penulis merasa perlu untuk
melakukan penelitian tentang hadi dalam pandangan Sunni dan Syi’ah.
2. Tujuan penelitian
Dengan melihat beberapa aspek di atas, maka studi ini berusaha untuk
menfokuskan perhatian pada kajian yang berupa sebuah perbandingan hadis

2

Sunni adalah (kelompok moderat) antara dua golongan pecahan pendukung ‘Ali bin Abi
Thalib, yaitu Syi’ah dan Khawarij yang sama-sama ekstrem (Syi’ah ekstrem kanan dan Khawarij
ekstrem kiri), maka di antara kedua sekte tersebut adalah Sunni. Sa’dullah Al-Sa’di, Hadis-Hadis
Sekte (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 63.

3
Syi’ah, secara etimologi kata ini berasal dari Sya’a, yasyi’u, syi’ah yang artinya sahabat,
penolong, atau pembela. Lihat Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasit, (Kairo: t.tp., 1972), hlm. 503.
Adapun secara terminologi, Syi’ah berarti suatu mazhab umat Islam yang mengikuti imam 12 dari
keluarga Rasulullah SAW melalui ‘Ali bin Abi Talib dan anak-anaknya dalam semua
urusan ibadah dan mu’amalah. Muhammad Tijani al-Samawi, Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi, terj.
Wahyul Mimbar (Iran: Muassah ‘an Sariyan, 2000), hlm. 10.

2

dalam pandangan Sunni dan Syi’ah untuk mengetahui beberapa hal yang
sangat penting untuk diketahui, yaitu bagaimana:
a. Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah.
b. Literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah.
c. Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis di kalangan Sunni dan
Syi’ah.
d. Dan bagaimana penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan
Sunni dan Syi’ah.
B. Hadis Dalam Pandangan Sunni dan Syi’ah
Di kalangan Sunni, hadis meliputi perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, baik

fisik dan akhlak, dan perilaku Nabi.4 Dari definisi hadis yang ditetapkan Sunni
ini, memberikan batasan tentang segala sesuatu yang berasal dari Nabi
Muhammad saw., sekaligus adanya anggapan bahwa wahyu telah terhenti
setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Dengan demikian apapun yang
bersumber dari Nabi dapat dijadikan dasar hukum dan sekaligus sumber
ajaran Islam. Sebaliknya apapun yang tidak bersumber langsung dari Nabi
bukan termasuk hadis, dan karenanya tidak wajib diikuti dan tidak dapat
dijadikan dasar hukum apalagi dijadikan sebagai sumber ajaran Islam. Dengan
demikian sumber utama yang dapat mengeluarkan hadis menurut Sunni hanya
Nabi Muhammad saw.
Sedangkan di kalangan Syi’ah Hadis mempunyai pengertian segala
sesuatu yang disandarkan kepada yang ma’shum, Nabi Muhammad saw. dan
Imam dua belas, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an.5 Syi’ah menjadikan
imam seperti kedudukan Nabi Muhammad dalam menjelaskan al-Qur’an.
Mereka juga berpandangan bahwa para periwayat mereka melarang
mengamalkan zahir al-Qur’an karena mereka tidak berpedoman dalam
4

Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, Terj. Agus Suyadi

Raharusun dan Dede Rodin (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 21.
5

Hasan Amin, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah al-Syi’iyyah, juz 11, jilid 3 (Beirut: Dar alTa’aruf, 1971), hlm. 117.

3

syari’at kecuali dari para imam mereka. Mereka mengatakan bahwa imam
mempunyai ilham yang sebanding dengan wahyu bagi Rasulullah saw.
Dari definisi hadis di atas, memberi kesimpulan bahwa bagi Syi’ah,
sumber hadis bukan hanya Nabi Muhammad, melainkan setiap imam yang
ma’shum juga dapat mengeluarkan hadis yang dapat dijadikan hujjah. Dengan
demikian, Syi’ah juga mempunyai keyakinan tentang berlangsungnya wahyu
pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.
1. Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah
Di kalangan Sunni, seperti kita ketahui, bahwa hadis ketika ditinggal wafat
nara sumbernya, secara resmi dalam keadaan tidak tertulis. Namun, itu bukan
berarti bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang menulisnya. Ditemukan
riwayat yang menyatakan, sewaktu Nabi masih hidup di antara sahabat ada
juga yang menulis hadis. Bertitik tolak dari kenyataan sebagaimana terurai,

maka maksud ungkapan hadis tidak ditulis pada masa Nabi ialah, tidak ditulis
secara resmi atas perintah Nabi, sebagaimana Nabi pernah memerintahkan
untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an.
Terdapat beberapa sahabat terhormat –berdasarkan suatu riwayat- telah
menulis hadis semenjak Nabi masih hidup. Di antara mereka itu adalah
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar al-Shiddiq, alDlahak bin Sufyan, Anas bin Malik, Rafi’ bin al-Khadij, ‘Amr bin Hazm, Abu
Hurairah, al-Barra’ bin ‘Azib, ‘Umar bin al-Khattab, ‘Abdullah bin ‘Umar, alNu’man bin Basyir, Sulaiman bin Samurah, dan lain-lain.6
Dalam banyak literatur dijumpai bahwa pengkodifikasian hadis secara
resmi dilakukan pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (99-101
H).7 Untuk mewujudkan niatnya, ia mengirimkan instruksi kepada seluruh
gubernur untuk mengumpulkan hadis di wilayahnya masing-masing. Secara
khusus ia juga mengirim instruksi tersebut kepada gubernur Madinah, Abu
6

Abu ‘Abdillah Muhammad al-Hakim bin ‘Abdillah al-Naisabury, al-Mustadrak ‘Ala alShahihain wa Ma’ahu Talkhish al-Dzahaby wa Kitab al-Dark Bi Takhrij al-Mustadrak juz V (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1998), cet. 1, hlm. 483-484.
7

Ibn Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bari, (Kairo: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1959), hlm. 204.


4

Bakar Muhamman ibn Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadis-hadis
yang ada padanya dari ‘Amrah binti Abd al-Rahman al-Anshari, murid
‘Aisyah.
Instruksi serupa juga dikirimkan khalifah kepada Muhammad bin Muslim
bin Syihab al-Zuhri. Ibn Syihablah orang pertama yang memenuhi intruksi
tersebut, sehingga ia dikenal sebagai orang yang pertama melakukan
kodifikasi hadis. Gagasan tentang pembukuan hadis sebelumnya pernah
terpikirkan oleh ‘Umar bin Khatthab dan sudah mendapat persetujuan dari
sebagian besar sahabat. Namun kemudian beliau membatalkan rencana
tersebut8. Secara tidak langsung, apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin ‘Abd
al-‘Aziz adalah sesuatu yang pernah direncanakan oleh Khalifah sebelumnya.
Karya-karya al-Zuhri memang tidak sampai ke tangan kita era sekarang.
Namun secara luas, para ulama menukilkan dalam berbagai kitabnya, bahwa
karya al-Zuhri adalah karya yang merintis pengkodifikasian hadis, yang
merupakan kategori kodifikasi murni. Periode pasca Ibnu Hazm dan al-Zuhri,
muncul pula para ulama di beberapa kota yang juga melakukan upaya-upaya
serupa, seperti para ulama di Makkah, Madinah, Bashrah, Kufah, Syam,
Yaman, Wasith, Khurasan, dan Mesir hingga lahirnya kutub al-Sittah:

Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan An-Nasai.9
Sedangkan di kalangan Syi’ah, sebagaimana telah disampaikan
sebelumnya, bahwa Syi’ah meyakini sumber hadis tidak hanya terletak pada
hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Secara doktrinal,
sumber hadis di kalangan Syi’ah berbeda dengan ortodoks muslim. Sumber
hadis tidak hanya sebatas dari ucapan dan perbuatan Nabi, tetapi mencakup
semua ucapan dan perilaku para imam ma’shum, termasuk ucapan Fatimah

8

Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalatuh, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977),
hlm. 39-40.
9

Abd al-Halim Mahmud, Al-Sunnah wa Makanatuhu fi Tarikhiha, (Kairo: Dar al-Khithab
al-‘Arabi, 1967), hlm. 60.

5

binti Muhammad saw., karena termasuk dalam khitab ahl al-Bait yang

dijamin kesuciannya oleh wahyu.
Syi’ah meyakini bahwa tradisi penulisan hadis telah berkembang sejak
zaman Nabi saw. Sebagaimana juga diyakini oleh Sunni. Namun Syi’ah hanya
meyakini apa yang pernah ditulis oleh ‘Ali bin Abi Thalib. Beliau
mendiktekan hadis-hadis kepada ‘Ali ra. Yang kemudian ditulis dalam
lembaran-lembaran

dan disimpan

dalam sarung pedangnya. Tatkala

Rasulullah wafat, Ali ra. memeliharanya dengan baik. Sahifah itu kemudian
dikenal dengan “sahifah ‘Ali”. Selain sahifah, yang umumnya memuat
hukum diyat dan beberapa persoalan lainnya, Rasulullah saw. juga
mendiktekan kepada ‘Ali ra. hadis-hadis lain yang disalinnya ke dalam
lembaran-lembaran yang jauh lebih besar yang kemudian dikenal dengan
nama al-Jami’ah.10
Pada masa kegaiban Imam Mahdi, para pengikut Ahl al-Bait berusaha
membukukan kembali hadis-hadis yang saat itu sempat tercecer. Mereka
memulai dari kitab-kitab yang masih tersisa, melalui periwayatan langsung

dari orang ke orang hingga sampai pada Rasulullah saw., atau sampai ke salah
satu imam dua belas. Hadis-hadis itu diantaranya telah dibukukan oleh Abu
Rafi’ al-Qibti al-Shi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam, dan al-Qadaya.11
Pada tahap berikutnya, para ulama Syi’ah berusaha untuk
membukukannya ke berbagai macam kitab yang hasilnya antara lain adalah
empat kitab hadis utama yang dikenal dengan al-Kutub al-Arba’ah, yakni: alKafi, Man la Yahduruh al-Faqih, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma
Ukhtulifa min Akhbar.12
10

I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib alAhkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul
Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
11

Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan diberi
notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1990), juz1,3.
12

Mircea Eliade, (Ed), The Encyclopedia of religion, Vol. 6
Publishing Company, 1997), hlm. 150-151.


6

(New York: Macmilian

2. Beberapa literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah
Dalam hal hadis, Sunni berpegang teguh dengan erat pada kitab hadis kutub
al-Sittah. Berikut akan dijelaskan masing-masing secara singkat.
a. Sahih Bukhari
Penyusunnya bernama Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim
bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fy al-Bukhari. Lahir pada 13 Syawal
194 H, dan wafat pada 30 Ramadhan 256 H, dalam usia 62 tahun kurng 13
hari.
Menurut pengakuannya sendiri, al-Bukhari pernah berguru kepada
1080 guru atau syeikh, yang terdiri dari berbagai generasi/thabaqah.13
Mereka itu antara lain Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah,
Qutaibah bin Sa’id, Makki bin Ibrahim, Abdullah bin Musa, Sa’id bin Abi
Maryam, Yahya bin Ma’in, dan lain-lain. Predikat Amir al-Mu’minin
dalam bidang hadis yang disandangnya, mencerminkan betapa tinggi
kedudukan al-Bukhari di mata ulama.
Kitab Sahih Bukhari, yang nama aslinya ialah, “al-Jami’ al-Musnad
al-Shahih al-Mukhtashar Min Umur Rasul Allah Saw wa Sunanihi wa
Ayamih,” menurut pengakuan penulisnya dikerjakan selama 16 tahun.
Sistematikanya

dibuat

di

kota

Makkah,

sedangkan

hadis-hadis

pendukungnya ditulis di Raudlah (Masjid Nabawi Madinah). Setiap
hendak menulis hadis, diawali dengan shalat sunat 2 raka’at. Kitab ini
merupakan salah satu karya monumental al-Bukhari.
Menurut hitungan Ibnu al-Shalah, kitab Sahih al-Bukhari memuat
hadis sebanyak 7265 buah, termasuk yang diulang-ulang penulisannya.
Jika tidak termasuk yang diulang-ulang penulisannya, maka jumlah
hadisnya ada 4000 buah. Berbeda dengan hitungan Ibnu al-Shalah ialah
13

Ibnu Hajar al-‘Asqalany telah membagi guru-guru al-Bukhari dalam 5 thabaqah, yaitu
thabaqah pertama, terdiri dari kelompok tabi’in. Thabaqah kedua, terdiri dari orang-orang yang hidup
bersama tabi’in, tetapi tidak pernah mendengar hadis dari tabi’in terpercaya. Thabaqah ketiga, terdiri
dari atba’ al-tabi’in generasi pertama. Thabaqah keempat terdiri dari teman-teman senioar al-Bukhari
sendiri. Dan thabaqah kelima, terdiri dari teman-teman yuniornya. Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalani,
Hadyu al-Sariy, hlm. 670-671.

7

hitungan Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Menurut hitungan Ibnu Hajar, jumlah
hadis yang ada pada kitab al-Bukhari (termasuk yang diulang-ulang
penulisannya) ada sebanyak 9082 buah hadis.14 Betapapun diakui oleh
Ulama hadis bahwa didapati sejumlah hadis yang mu’allaq, namun
berdasar pengakuan penulisnya, semua hadis yang tertulis pada kitab
sahih-nya, adalah sahih adanya. Menurut Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi,
kitab Sahih al-Bukhari terbagi dalam 97 kitab, dan terbagi dalam 3450
bab, diawali dengan kitab Bada’ al-Wahyi dan diakhiri dengan kitab alTauhid.15
b. Sahih Muslim
Nama penyusunnya adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin
Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, lahir pada tahun 206 H, dan wafat pada
25 rajab tahun 261 H dalam usia 55 tahun.
Seusai belajar agama kepada ulama di negerinya, pada tahun 218 H,
Muslim bin al-Hajaj mulai belajar hadis, kemudian melanjutkan
kegemaran belajarnya ke berbagai wilayah negeri. Untuk itu, Muslim
mengadakan perlawatan ke berbagai wilayah negeri, seperti Baghdad,
berulang kali. Kunjungan terakhirnya ke Baghdad pada 259 H. Negerinegeri lain yang dikunjunginya ialah Hijaz, Iraq, Syam, Mesir, dan
Khurasan.
Al-Jami’ al-Shahih merupakan karya puncak Muslim bin al-Hajaj,
nama atau judul aslinya ialah, “al-Hadits al-Shahih al-Mujarrad alMusnad Ila Rasulillah saw,” merupakan salah satu dari 12 karya Muslim.
Kitab ini ditulis dalam waktu 15 tahun, memuat hadis sebanyak 12.000
buah, termasuk yang diulang-ulang penulisannya. Jika tidak termasuk
14

Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Purwokerto: Penerbit STAIN
Purwokerto Press, 2010), hlm. 314.
15

Jumlah hitungan kitab dan bab menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi, tidak berbeda
dengan hitungan yang dikemukakan oleh al-Hamuwi. Lihat Muhy al-Din Abu Zakariya Yahya bin
Syaraf al-Nawawi, Ma Tamassu Ilaihi Hajah al-Qari Li al-Shahih al-Imam al-Bukhari (Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, tth).

8

yang diulang-ulang penulisannya, maka hadisnya hanya 4.000 buah hadis
saja. Hadis sebanyak itu merupakan hasil seleksi dari 300.000 hadis yang
berhasil dihafalnya.
Seperti halnya kitab Sahih al-Bukhari yang berdasar pengakuan
penulisnya, tidak dimasukkan ke dalamnya kecuali yang sahih. Kitab
Sahih Muslim pun demikian adanya. Muslim pernah berkata, “Tidak
kumasukkan ke dalam kitabku ini kecuali yang sahih dan telah
disepakati.” Disusun dengan menggunakan sistem mushannaf, dalam 54
kitab. Pada awalnya kitab Sahih Muslim tidak terbagi dalam bab demi
bab, sebab penyusunnya hanya mengumpul berbagai hadis yang
membahas satu tema, pada judul yang satu pada tempat yang satu. Para
pen-syarah-nya yang telah membaginya dalam bab demi bab. Diawali
dengan kitab al-Iman dan diakhiri dengan kitab al-Tafsir.16
c. Sunan Abi Dawud
Nama lengkap penyusunnya adalah Sulaiman bin al-Asyi’ats bin Ishaq
bin Basyir bin Syadad bin ‘Amer bin ‘Umran Abu Dawud al-Azdiy alSijistani, lahir di Sijistan, salah satu desa di negeri Bashrah pada 202 H.
karena itu ia disebut al-Sijistani. Wafat di Bashrah pada hari Jumat tahun
275 H.
Sampai berumur 21 tahun Abu Dawud bermukim di Baghdad, untuk
mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu dasar lainnya yang berhubungan
dengan agama Islam. Sesudah merasa cukup, Abu Dawud meneruskan ke
berbagai madrasah (hadis) yang berada di berbagai wilayah negeri, seperti
Hijaz, Syam, Mesir, Iraq, Kufah, Khurasan, dan Tarsus.
Kitab Sunan Abu Dawud merupakan salah satu dari 9 karya Abu
Dawud. Menurut pengakuan penulisnya, Sunan Abu Dawud memuat hadis
sebanyak 4800 buah hadis, merupakan hasil seleksi dari 500.000 hadis
yang dihafalnya. Menurut sebagian ulama, termasuk di dalamnya
Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, jumlah hadis kitab Sunan Abu
16

Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 320-323.

9

Dawud ada 5274 buah hadis. Selisih perhitungan sangat boleh jadi terjadi
lantaran adanya hadis yang ditulis berulang, oleh seorang ulama
dihitungnya sebagai satu hadis, dan oleh ulama lainnya dihitung lebih dari
satu.
Hadis sebanyak 5274 telah disusun sedemikian rupa dalam 35 kitab,
yang masing-masing kitab terbagi lagi dalam banyak bab, kecuali tiga
kitab yang tidak terbagi dalam bab, yaitu kitab al-Luqathah, kitab alHuruf wa al-Qira’at, dan kitab al-Mahdi. Jumlah babnya ada 1871 bab.17
d. Sunan al-Turmudzi
Nama lengkap penyusunnya adalah Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin
Saurah bin Musa bin al-Dlahak al-Sulaimi al-Dlarir al-Bughi al-Turmudzi,
lahir 209 H dan wafat pada hari Itsnain tanggal 13 Rajab 279 H.
Dikenal sebagai hafizh, sekaligus pengarang kitab. Ketika dalam
proses pembelajaran hadis, banyak mengunjungi berbagai wilayah negeri
seperti Khurasan, Irak, Hijaz, dan sebagainya.
Sunan al-Turmudzi ada juga yang menyebutnya al-Jami’ al-Turmudzi,
dan malah ada juga yang menyebut al-Jami’ al-Shahih, sebagaimana
dilakukan oleh al-Jalabi (pengarang kitab Kasyf al-Zhanun) dan juga
Muhammad Syakir, merupakan salah satu karya terbaik al-Turmudzi.
Mengenai jumlah hadisnya, para pengulas seperti Muhammad Abu
Syahbah, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, tidak menyebutnya. Sementara itu
al-Turmudzi pun tidak menginformasikan kepada kita berapa jumlah hadis
yang berhasil dihimpun dalam kitabnya, sebagaimana yang dilakukan oleh
Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawudnya.
Barangkali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, tetapi
itulah kenyatannya, berdasarkan praktis operasional ditemukan nomor
akhir hadis al-Turmudzi dalam kitab Sunan al-Turmudzi wa al-Jami’ alShahih yang telah ditashih oleh ‘Abd al-Rahman Muhammad Usman,
menunjuk angka 4107.

17

Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 324-327

10

Betapapun ketika kitab Sunan al-Turmudzi disampaikan kepada ulama
Hijaz, Irak, dan Khurasan, menurut pengakuan penyusunnya mereka sama
ridla

dan

menganggap

bagus

(membaguskannya).

Akan

tetapi,

berdasarkan berbagai komentar ulama, dalam Sunan al-Turmudzi
ditemukan berbagai macam hadis, baik yang sahih, hasan, dhaif, dan
bahkan ada yang mungkar. Menurut Fuad Muhammad ‘Abd al-Baqi,
hadis-hadis Sunan al-Turmudzi sebagaimana tersebut di atas, terbagi
dalam 46 kitab dan 2114 bab.18
e. Sunan al-Nasa’i
Kitab kelima dari kutub al-Sittah ini disusun oleh Abu ‘Abd al-Rahman
Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr bin Sinan al-Nasai. Lahir di desa
Nasa’, sebuah desa di Khurasan pada Tahun 215 H, dan wafat di Makkah
tahun 303 H.19
Judul asli kita yang sedang kita bicarakan adalah al-Mujtaba’ atau alMujtama’ Min al-Sunan, merupakan hadis hasil seleksi dari hadis-hadis
yang ada pada kitab Sunan al-Kubra, karya al-Nasa’i sendiri. Hadis
pilihan yang dianggapnya sahih tersebut kemudian dibukukan dalam kitab
yang kemudian disebut Sunan al-Sughra.
Walaupun kitab ini merupakan kumpulan (5761 buah) hadis-hadis
pilihan dari Sunan al-Kubra, ternyata masih tersimpan di dalamnnya
beberapa hadis (walau hanya sedikit) yang dikritik oleh kritiks hadis.
Dengan alasan kitab ini sedikit sekali memuat hadis dhaif, ada ulama yang

18

Uraian mengenai al-Turmudzi dan kitab sunannya, merujuk kepada Muhammad Abu
Syahbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah (Mesir: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah alAzhar, 1969 M), hlm. 116-126.
19

Diperkirakan kampung kelahiran Ahmad bin Syu’bah disebut al-Nasa’, terambil dari
kalimat al-Nisa (perempuan), sebab desa tersebut ketika diserang oleh lascar Muslimin, semua
penduduk laki-lakinya telah meninggalkan tempat, tinggallah yang perempuan-perempuan saja. AlNasa’i sering disebut-sebut mati syahid lantaran siksaan orang-orang Mu’awiyah terhadap diri alNasa’I sebagai akibat ketidakmauannya memenuhi permintaan Mu’awiyah agar disusunkan suatu kitab
yang berisikan keutamaan Mu’awiyah.

11

menempatkan Sunan al-Nasa’i ini menjadi kitab ketiga setelah Sahih alBukhari dan Sahih Muslim (ketiga dalam jajaran kutub al-sittah).20
f. Sunan Ibnu Majah
Nama penulis kitab keenam dari kutub al-Sittah ini adalah Muhammad bin
Yazid Abu Abdillah bin Majah al-Qazwini al-Hafiz, lahir di Qazwin (suatu
kota di Irak) pada 209 H, dan wafat pada hari Senin dan baru dikubur pada
hari Selasa tanggal 22 Ramadhan 273 H. Sejak kecil sudah belajar hadis,
dan untuk keperluan belajar hadis, Ibnu Majah sering mengunjungi
berbagai negeri, seperti Mesir, Hijaz, Syam, Bashrah, Ray dan Baghdad.
Sunan Ibnu Majah merupakan karya terbesar dari banyak karya Ibnu
Majah. Sunan Ibnu Majah memuat 4000 hadis, tersebar dalam 1500 bab.
Kitab Sunan Ibnu Majah sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir merupakan
kitab yang banyak memberi faedah, khususnya dalam bidang Fiqih- hanya
saja di dalamnya ditemukan banyak hadis dhaif, dikatakan jumlahnya
sampai 1000 buah hadis, bahkan ada juga yang mungkar dan juga
beberapa maudhu’. Karena saking banyaknya yang dhaif, sampai-sampai
al-Mizziy berkata, “Jika Ibnu Majah bersendiri dalam meriwayatkan hadis
dari yang al-Khamsah, maka hadisnya adalah dhaif.”
Sunan Ibnu Majah terbagi dalam 32 kitab dan 1500 bab- demikian
menurut penulisnya- dengan menggunakan metode penyusunan kitab
Fiqih. Atau terbagi dalam 37 kitab, dalam 1511 bab, demikian menurut
pengamatan Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi.21
Jika Sunni berpegang teguh pada kutub al-Sittah sebagaimana telah
dijelaskan di atas, maka berbeda dengan Syi’ah. Syi’ah berpegang teguh pada
empat kitab hadis yang berbeda dengan Sunni, yang dikenal dengan kutub alArba’ah. Berikut akan dijelaskan masing-masing kitab secara singkat:
a. Usul al-Kafi
Kitab al-Kafi ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub ibn Ishaq alKulaini al-Razi. Wafat pada tahun 328/329 H (939/940 M). Riwayat
20

Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 337-341.

21

Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, 342-344.

12

hidupnya sangat sedikit sekali diketahui. Ada perbedaan pendapat
mengenai dirinya, seperti apakah nama yang dinisbatkan kepadanya
adalah al-Kulini atau al-Kulaini. Namun disepakati bahwa Kulain atau
Kulin merujuk pada sebuah dusun di Iran asal beliau dilahirkan.22
Al-Kafi merupakan kumpulan hadis yang diajarkan Nabi saw. serta
para Imam dan diteruskan kepada kaum muslimin oleh murid-murid para
imam. Kata “al-Kafi” berarti “yang mencukupi”, sebuah buku yang
dimaksudkan untuk menjadi koleksi lengkap hadis Syi’ah dan faktor ini
pula yang mendorongnya untuk menyusun buku yang sejatinya dapat
dijadikan rujukan penganut Syi’ah. Hal itu dijelaskan oleh al-Kulaini
dalam kata pengantar karyanya tersebut:
“…..inilah sebuah buku yang akan mencukupi (kafin) kebutuhan
keagamaan Anda yang mencakup semua aspek pengetahuan (‘ilm) agama,
yang sesuai bagi para pelajar, dan guru untuk merujuknya. Dengan
demikian buku ini dapat digunakan oleh siapapun yang menginginkan
ilmu agama dan hukum praktis (‘amal) sesuai dengan hadis yang kuat dari
sumber yang sebenarnya…”23
Kedudukan al-Kafi bagi kalangan Syi’ah sama seperti kedudukan
kitab Bukhari bagi kalangan Sunni, yaitu dianggap sebagai kitab hadis
paling sahih. Untuk menyelesaikannya, al-Kulaini memerlukan waktu
yang cukup panjang, yaitu dua puluh tahun. 24 Al-Kafi memang sebuah
karya yang amat lengkap dan luas, yang isinya dibagi menjadi tiga bagian:
al-Usul, al-Furu’ dan al-Raudah.

22

Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-Hikmah,
No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.
23

Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan diberi
notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1411/1990), juz 1,
hlm. 41.
24

Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad al-Asadi al-Kufi al-Najashi, Rijal al-Najashi
(Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418), hlm. 266.

13

Selain hadis-hadis Nabi saw., terdapat pula dalam al-Kafi ucapan para
imam, dan hal itu diakui sebagai hadis. Sebagaimana telah dijelaskan
bahwa, ada anggapan teologis, di mana para imam yang ma’shum
memiliki otoritas dalam menyampaikan syariat yang bersumber langsung
dari Nabi saw. Oleh sebab itu, tidak heran jika surat-surat khutbah dan
lain-lain yang memiliki keterkaitan dengan syari’at didudukkan setara
dengan hadis. Hal ini nampak dari apa yang dilakukan oleh al-Kulaini
yang ditampilkan dalam juz terakhir yang disebut al-Raudah.
b. Man La Yahduruhu al-Faqih
Kitab ini ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Babawaih alQummil yang digelari dengan al-Saduq. Dia mendapat gelar ini karena
keluasan pengetahuan dan ketelitiannya dalam proses periwayatan hadis
serta kekuatan hafalannya yang menjadikan setiap orang yang mendengar
riwayat

darinya

merasa

yakin

akan

kebenaran

hadis

yang

diriwayatkannya. Ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh besar hadis
dalam kamus ulama Syi’ah.
Tidak banyak informasi yang merekam sejarah kelahiran al-Saduq.
Namun, ulama-ulama Syi’ah memperkirakan kelahirannya pada tahun 305
H berdasarkan pertemuan ayahnya dengan Abu al-Qasim al-Husain ibn
Rawh yang hidup hingga awal abad ketiga.
Kitab Man la Yahduruh al-Faqih berisi ringkasan semua hadis yang
dikumpulkan sendiri oleh al-Saduq. Kitab ini disusun dengan tujuan
sebagai rujukan hukum agama yang berkisar pada masalah hukum halal
dan haram dan al-Ahwal al-Shakhsiyah. Berdasarkan penghitungan yang
dilakukan oleh al-Shaykh Ali Akbar al-Ghifari, didapatkan bahwa hadishadis yang terdapat dalam kitab ini berjumlah 5920 hadis dengan kualitas
yang berbeda-beda.
Di sisi lain, buku ini juga diharapkan untuk dapat menjadi rujukan
masyarakat awam Syi’ah dalam praktik kebutuhan hukum Islam, dan tidak
ditujukan khusus bagi para sarjana dan peneliti. Penulis menggunakan
14

metode dengan tidak membiarkan hadis-hadisnya berbicara sendiri, tetapi
menarik ketentuan-ketentuan dan penjelasan maksud dari hadis. Sesekali
nampak dalam penjelasan, hadis yang relatif singkat namun mendapat
porsi penjelasan yang panjang.25
c. Tahdhib al-Ahkam
Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syi’ah Abu Ja’far Muhammad ibn alHasan ibn Ali al-Tusi yang lahir di Iran pada tahun 385 H. Karirnya
menandai puncak dan kejayaan pendidikan dan pengajaran Syi’ah.
Masa kejayaan Syi’ah diawali oleh al-Kulaini dengan karya besarnya
al-Kafi. Kemudian dilanjutkan oleh al-Shaykh al-Saduq ibn Babawaih,
lalu dinapaktilasi oleh al-Tusi dengan dua karyanya, Tahdhib al-Ahkam
dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min al-Akhbar.
Kitab al-Tahdib pada awalnya dimaksudkan sebagai syarah utuh dari
kitab

al-Muqni’ah

karya

gurunya,

al-Mufid.

Namun

banyaknya

perselisihan masyarakat dalam memahami teks-teks yang terkait dengan
masalah al-Furu’ dalam al-Muqni’ah, ia memutuskan untuk fokus mensyarah-kan hadis-hadis yang terkait dengan masalah-masalah furu’ saja
dan meninggalkan al-Usul.26
Metode yang digunakan oleh al-Tusi adalah dengan mengutip hadishadis dalam al-Muqni’ah dengan komentar al-Mufid lalu diuraikan oleh
beliau beserta komentar dan analisanya, bahkan tidak jarang terjadi
diskusi dalam penjelasan tersebut. Karya al-Tusi ini, berisi kajian yang
amat luas tentang hadis-hadis Syi’ah yang mencakup banyak aspek
permasalahan hukum.
d. Al-Istbsar fi ma Ukhtulifa min al-Akhbar
Kitab al-Istibsar adalah karya keempat dan terakhir karya kitab utama
madzhab Syi’ah. Isinya mencakup bidang yang sama dengan al-Tahdhib,
namun dengan porsi yang lebih singkat, atau lebih tepat jika dikatakan
25

Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah
Imamiyah, (Batu: Arifa Publishing, 2011), hlm. 59-60.
26

Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah
Imamiyah, hlm. 61

15

bahwa kitab terakhir ini merupakan ringkasan dari kitab al-Tahdhib, dan
dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan riwayat-riwayat yang dinilai
bertentangan.
Proses peringkasan ini dilakukan oleh penyusunnya sebagai jawaban
dari permintaan beberapa rekannya yang mengharap adanya buku ringkas
yang berisi hukum-hukum agama yang sejatinya dapat dijadikan rujukan
dan pegangan bagi para pemula yang hendak mengkaji hukum-hukum
agama.27
Metode yang digunakan dalam kitab ini serupa dengan kitab
sebelumnya, hanya saja dalam penjelasan dan kutipan hadis-hadisnya
nampak lebih singkat dan padat. Bahkan dalam beberapa hal, nampak
mirip dengan yang terdapat dalam al-Tahdhib.
Demikian gambaran global kitab-kitab hadis mu’tamad di kalangan Sunni
dan Syi’ah yang selalu dijadikan sebagai rujukan dan kajian keagamaan.
Masing-masing kitab mereka telah memberikan gambaran umum pemikiran
hukum pengikutnya.
Perlu digaris bawahi, bahwa sekalipun masing-masing kitab dari kalangan
Sunni dan Syi’ah menjadi kitab sandaran hadis bagi penganutnya, namun
hadis-hadis yang ada di dalamnya terdapat sekian banyak hadis yang masih
diperselisihkan kualitas kesahihannya yang dikritisi oleh ulama hadis masingmasing.
3. Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis di kalangan Sunni dan
Syi’ah
Yang dimaksud dengan klasifikasi adalah derajat atau tingkatan yang
digunakan ulama dalam mengkategorikan hadis dilihat dari aspek kuantitas
dan kualitas rawi. Telaah ini dilakukan dalam upaya menelusuri secara akurat
sanad pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian kedua
27

I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib alAhkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul
Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.

16

aspek inilah, upaya pembuktian sahih tidaknya suatu hadis lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
Perbedaan konsep-konsep dasar yang sangat substansial mengenai hadis
antara Sunni dan Syi’ah membawa implikasi pada kualitas hadis yang dapat
dijadikan pegangan sekaligus sebagai dasar hukum. Perbedaan kriteria yang
ditetapkan oleh Sunni dan Syi’ah berimplikasi klasifikasi terhadap kualitas
hadis masing-masing mazhab. Dalam hal ini, metode yang dipakai oleh ulama
Sunni adalah:
a. Hadis Dilihat dari Aspek Kuantitas Rawi
Dalam menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berhadapan dengan
sahabat yang banyak jumlahnya, terkadang hanya beberapa sahabat,
bahkan terkadang hanya satu atau dua orang saja. Begitu seterusnya
sampai dengan generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab.
Sudah barang tentu, informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih
meyakinkan dibanding informasi yang dibawa oleh hanya satu atau dua
orang saja. Dengan demikian, maka menurut pembagian hadis dari aspek
kuantitas periwayat adalah sebagai berikut:
1. Hadis Mutawatir
Konsep mutawatir ini baru dikemukakan secara definitif oleh alBaghdadi, meskipun ulama sebelumnya, seperti al-Syafi’i telah
mengisyaratkan dengan istilah “khabar ‘ammah“. Menurut alBaghdadi, hadis mutawatir adalah “suatu hadis yang diriwayatkan
oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut
kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.28 Sedangkan ulama
yang paling jelas dan rinci menerangkan hadis mutawatir adalah
al-‘Asqalani, menurutnya, hadis mutawatir adalah “hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil, menurut kebiasaan,
28

Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm alRiwayah, (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, t.th.), hlm. 50.

17

mereka melakukan kesepakatan untuk berdusta dan merekalah yang
meriwayatkan hadis itu dari awal sampai akhir sanad.” Jadi
berdasarkan definisi ini, terlihat secara jelas bahwa proses mutawatir
ada dan berjalan secara gradual dari generasi ulama ke generasi ulama
lainnya.
2. Hadis Ahad
Menurut al-Thahhan, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadis mutawatir.29 Senada dengan definisi al-Thahhan
tersebut, menurut al-Qaththan, hadis ahad adalah hadis yang tidak
memenuhi syarat mutawatir.30 Dengan demikian bahwa semua hadis
yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkat mutawatir
dinamakan hadis ahad. Hadis ahad ini dibagi menjadi tiga bagian,
masyhur, ‘aziz, dan gharib.
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah
mutawatir.31 Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya hadis masyhur ini
tidak semuanya berkualitas sahih, karena jumlah perawi yang
demikian belum tentu menjamin kesahihannya kecuali disertai sifatsifat yang menjadikan sanad ataupun matannya sahih. Dengan
demikian

hadis

masyhur

dapat

dikelompokkan

kepada

yang

berkualitas sahih, hasan, dan dha’if.
Hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari
dua perawi pada seluruh tingkatan/generasi.32 Hadis ‘aziz ini bisa
29

Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1987),

30

Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Kairo: Maktabah Wahbah,

hlm. 21.

tt.) hlm. 98
31

Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 99

32

Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 101.

18

dinilai sahih, hasan maupun dha’if, sesuai dengan keadaan sanad dan
matannya, setelah dilakukan penelitian terhadapnya.
Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan seorang perawi
dimanapun hal itu terjadi.33 Artinya bahwa hadis gharib ini tidak
disyaratkan harus satu orang perawi pada setiap tingkatan atau
generasi, akan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad dengan satu
orang perawi.

b. Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya
Klasifikasi ini lebih mengacu kepada jajaran hadis ahad yang mencakup
hadis masyhur, ‘aziz, dan gharib, karena ulama tampak telah sepakat
bahwa hadis mutawatir seluruhnya bernilai sahih. Dalam hal ini, ulama
hadis membagi kualitas hadis pada tiga bagian, yakni sahih, hasan, dan
dha’if.
1. Hadis Sahih
Subhi Shalih mendefinisikan hadis sahih sebagai hadis musnad, yakni
hadis yang bersambung sanadnya, yang dinukil dari perawi yang adil
dan dhabit mulai awal hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah
saw. dari sahabat atau lainnya, tanpa adanya syadz dan ‘illat.34 Dari
definisi tersebut dapat dipahami bahwa hadis sahih adalah hadis yang
memenuhi syarat yang berupa kebersambungan sanad dalam
periwayatan hadis, para perawinya adil, para perawinya harus dhabit,
kemudian terhindar dari syadz (kerancuan) dan kecacatan (‘illat).
2. Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, dinukil oleh
periwayat yang adil namun tidak terlalu dhabit (kuat ingatannya) serta
33

Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 101

34

Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, hlm. 145.

19

terhindar dari syadz dan ‘illat.35 Perbedaan prinsip antara hadis sahih
dan hasan terletak pada keadaan perawinya. Pada hadis sahih
perawinya sempurna dhabitnya, sedangkan pada hadis hasan,
kedhabitan perawinya kurang sempurna. Oleh karena itulah kualitas
hadis hasan diposisikan di bawah hadis sahih.
3. Hadis Dha’if
Hadis dha’if adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syaratsyarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan. Misalnya, sanadnya
ada yang terputus, di antara periwayat ada yang pendusta atau tidak
dikenal, dan lain-lain.
Namun secara umum pembagian hadis yang lebih banyak dikenal
dalam Sunni adalah pembagian hadis berdasarkan kualitasnya, yang
dibagi menjadi tiga tingkatan; sahih, hasan, dan dha’if.
Sedangkan metode yang dipakai oleh Syi’ah, sebagaimana kriteriakriteria kesahihan hadis yang diuraikan di atas, hadis terbagi
menjadi mutawatir dan ahad. Pengaruh akidah mereka tampak dalam
maksud hadis mutawatir. Karena hadis mutawatir menurut mereka
adalah harus dengan syarat hati orang yang mendengar tidak
dicemari syubhat atau taklid yang mewajibkan menafikan hadis dan
maksudnya.36 Pengaruh imamah di sini dapat diketahui ketika mereka
menolak hujjah orang-orang yang berbeda dengan mereka yaitu
mazhab yang menafikan ketetapan amir al-Mukminin Ali ra. sebagai
imam.
Sedangkan hadis Ahad menurut mereka terbagi dalam empat
tingkatan

atau

empat

kategori,

yang

bertumpu

pada

telaah

atas sanad (eksternal) dan matan (internal), dan keempat tingkatan
35

Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, hlm. 156.

36

Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,
(Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 125

20

tersebut merupakan pokok bagian yang menjadi rujukan setiap bagian
yang lain. Empat klasifikasi hadis dalam tradisi Syi’ah, yaitu:
1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut mereka adalah, hadis yang bersambung sanadnya
kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan
jumlahnya berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih menurut mereka
adalah hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imamimam di kalangan mereka yang ma’shum.37
Pengaruh Imamiyah di sini tampak pada pembatasan imam
yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan
Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis tidak sampai pada tingkatan sahih jika
para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua
tingkatan.38
Berdasarkan pada pengertian hadis sahih, ulama Syi’ah membatasi
tentang hadis sahih pada setiap hadis yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad, Ali bin Abi Talib dan Imam dua belas.39 Suatu keterangan
yang dapat dipetik dari pemahaman di atas adalah bahwa derajat para
Imam sama dengan derajat Nabi saw. dan itu juga berarti dalam
periwayatan, segala yang disandarkan kepada Imam juga sama
terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dalam hal
kehujjahannya.
37

Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,

38

Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,

hlm. 126

hlm. 127.
39

Jelas definisi ini berbeda dengan definisi hadis dari kalanggan sunni yang hanya
menyandarkan segala hal yang bersumber dari Nabi Saw, baik perkataan, perbuatan, dan ketetapan.
Menurut M. H. Thabathaba’i, sekalipun hadis itu disandarkan kepada Nabi SAW dan Imam, namun
keduanya dibedakan dengan jelas, yang keduanya merupakan satu himpunan tunggal. M.H.
Thabathaba’i, Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: Grafiti Press, 1989), hlm. 278.

21

2. Hadis Hasan
Hadis hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang bersambung sanadnya
kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya
sesuai

dalam

semua

atau

sebagian

tingkatan

para

rawi

dalam sanadnya.40
3. Hadis Muwassaq
Hadis muwassaq41 adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang
bukan Syi’ah, namun ia adalah orang yang tsiqah dan terpercaya
dalam periwayatan. Jadi hadis muwassaq adalah hadis yang
bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dengan orang yang
dinyatakan tsiqah oleh para pengikut Syi’ah, namun dia rusak
akidahnya, seperti dia termasuk salah satu firqah yang berbeda dengan
imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah dalam semua atau
sebagian

periwayat,

sedangkan

lainnya

termasuk

periwayat

yang sahih.
4. Hadis Dha’if
Menurut pandangan Syi’ah, hadis dha’if adalah hadis yang tidak
memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas. Misalnya di
dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau orang
yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu,
seperti orang yang memalsukan hadis.42
Dalam hadis sahih, mereka menilai periwayat selain Ja’fariyah
sebagai

orang

kafir

atau

fasik,

sehingga

riwayatnya

dinyatakan dha’if yang tidak boleh diterima, begitu juga tidak diterima
40

Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,

hlm. 129.
41

Muwassaq (yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy (kuat)
karena kuatnya zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping karena kepercayaan kepadanya.
42
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,
hlm. 130.

22

riwayat

dari

selain

Ja’fariyah

kecuali

orang

yang

dinyatakan tsiqah oleh mereka.
Atas dasar itu mereka menolak hadis-hadis sahih dari tiga khulafa
al-Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman) dan sahabat yang lain,
tabi’in, serta para imam ahli hadis dan fuqaha. Sebab riwayatriwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para sahabat senior dan
para imam yang amanah, tetapi tidak percaya dengan akidah dua belas
imam, maka riwayat-riwayat tersebut dinyatakan dha’if oleh Syi’ah.
Adapun hadis-hadis yang dha’if

bukan berarti tidak dapat

diamalkan. Keberadaan hadis tersebut dapat disejajarkan dengan
hadis sahih manakala hadis tersebut populer dan sesuai dengan ajaran
mereka. Dengan demikian nampak bahwa terdapat pengaruh yang kuat
atas tradisi-tradisi yang berkembang di kalangan pengarang kitab.
Oleh karena itu, tidak heran banyak tradisi Syi’ah yang muncul dalam
kitab hadis tersebut. Sebagai contoh adalah masalah Haji, di dalamnya
tidak hanya dibahas masalah manasik haji ke Baitullah saja, melainkan
memasukkan hal-hal lain seperti ziarah ke makam Nabi Muhammad
dan para imam mereka.
4. Penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni dan Syi’ah.
Sunni menempatkan hadis pada posisi kedua setelah al-Qur’an sebagai
sumber referensi atau pandangan hidup. Al-Qur’an adalah peraturan atau
undang-undang yang komprehensif dan meliputi aspek ushul dan kaidah asasi
Islam: ideologi, ibadah, etika, muamalat, dan sopan-santun. Adapun hadis
berfungsi sebagai penjelas dan manifestasi langsung seluruh kandungan alQur’an. Dengan demikian, hukum serta arahan yang ditunjukkan hadis mesti
diikuti dan ditaati.43 Logikanya, apabila taat kepada Allah dan Rasul-Nya
merupakan kewajiban, demikian pula kepada apa saja yang disampaikan Nabi
43

Yusuf al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, hlm.

70.

23

tentang al-Qur’an. Penjelasan seperti ini dapat ditemukan dan dipahami
melalui al-Qur’an, hadis itu sendiri, konsensus ulama, serta akal dan
penalaran umat manusia.
Meski menjadikan hadis sebagai salah satu hujjah, Syi’ah tentu saja
berbeda dengan Sunni. Perbedaan itu bisa dilihat dari pengertian hadis dari
kalangan Syi’ah, jika Sunni memberi definisi hadis berupa hal ihwal yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., maka di kalangan Syi’ah Hadis
mempunyai

pengertian

segala

sesuatu

yang

disandarkan

kepada

yang ma’shum, Nabi Muhammad saw. dan Imam dua belas, baik itu berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua
setelah al-Qur’an.
Sunni dan Syi’ah sama-sama menempatkan Hadis pada posisi kedua
setelah al-Qur’an sebagai sumber hukum, namun bagi Syi’ah, tidak hanya
terbatas pada hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi saja, namun meliputi
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Imam dua belas, dan itu setara
dengan hadis Nabi.
C. Penutup
1. Kesimpulan
a. Di kalangan Sunni, seperti kita ketahui, bahwa hadis ketika ditinggal
wafat nara sumbernya, secara resmi dalam keadaan tidak tertulis.
Namun, itu bukan berarti bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang
menulisnya. Ditemukan riwayat yang menyatakan, sewaktu Nabi
masih hidup di antara sahabat ada juga yang menulis hadis. Bertitik
tolak dari kenyataan sebagaimana terurai, maka maksud ungkapan
hadis tidak ditulis pada masa Nabi ialah, tidak ditulis secara resmi atas
perintah Nabi, sebagaimana Nabi pernah memerintahkan untuk
menulis ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam banyak literatur dijumpai bahwa pengkodifikasian hadis
secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd
al-‘Aziz (99-101 H).
24

Sedangkan di kalangan Syi’ah, Syi’ah meyakini bahwa tradisi
penulisan

hadis

telah

berkembang

sejak

zaman

Nabi

saw.

Sebagaimana juga diyakini oleh Sunni. Namun Syi’ah hanya meyakini
apa yang pernah ditulis oleh ‘Ali bin Abi Thalib.
Pada tahap berikutnya, para ulama Syi’ah berusaha untuk
membukukannya ke berbagai macam kitab yang hasilnya antara lain
adalah empat kitab hadis utama yang dikenal dengan al-Kutub alArba’ah, yakni: al-Kafi, Man la Yahduruh al-Faqih, Tahdhib alAhkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min Akhbar.
b. Dalam hal hadis, Sunni berpegang teguh dengan erat pada kitab hadis
kutub al-Sittah, yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Abu Dawud,
Turmudzi, Ibnu Majah, dan an-Nasa’i. sedangkan Syi’ah mempunyai
dan berpegang teguh pada empat kitab hadis, yaitu: al-Kafi, Man Laa
Yahduruh al-Faqih, al-Tahdhib, dan al-Istibshar.
c. Secara umum pembagian hadis yang lebih banyak dikenal dalam
Sunni adalah pembagian hadis berdasarkan kualitasnya, yang dibagi
menjadi tiga tingkatan; sahih, hasan, dan dha’if. Sedangkan Syi’ah
membagi hadis kepada mutawatir dan ahad.
Hadis sahih menurut sunni adalah hadis yang bersambung
sanadnya, yang dinukil dari perawi yang adil dan dhabit mulai awal
hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah saw. dari sahabat atau
lainnya, tanpa adanya syadz dan ‘illat. Sedangkan hadis sahih menurut
Syi’ah adalah, hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang
ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang.
Dengan kata lain, hadis sahih menurut mereka adalah hadis yang
memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan
mereka yang ma’shum.
d. Sunni dan Syi’ah sama-sama menempatkan Hadis pada posisi kedua

setelah al-Qur’an sebagai sumber hukum, namun bagi Syi’ah, hadis
25

tidak hanya terbatas pada hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi
saja, namun meliputi perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Imam
dua belas, dan itu setara dengan hadis Nabi.
2. Kritik dan Saran
Penulis menyadari ada banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini, oleh karena itu diperlukan kritik dan saran yang membangun demi
menjadikan diri lebih baik lagi, karena manusia tidak ada yang sempurna,
kesempurnaan hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam.

Daftar Pustaka
Abu ‘Abdillah Muhammad al-Hakim bin ‘Abdillah al-Naisabury, al-Mustadrak ‘Ala
al-Shahihain wa Ma’ahu Talkhish al-Dzahaby wa Kitab al-Dark Bi Takhrij
al-Mustadrak juz V, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998.
Abd al-Halim Mahmud, Al-Sunnah wa Makanatuhu fi Tarikhiha, Kairo: Dar alKhithab al-‘Arabi, 1967.

26

Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan
diberi notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin, Beirut: Dar al-Ta’aruf li-alMatbu’at, 1990.
Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad al-Asadi al-Kufi al-Najashi, Rijal alNajashi, Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418.
Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm alRiwayah, Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, t.th.
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan
Fiqih, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997.
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, Purwokerto: Penerbit
STAIN Purwokerto Press, 2010.
Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal alHikmah, No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.
Hasan Amin, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah al-Syi’iyyah, juz 11, jilid 3, Beirut: Dar
al-Ta’aruf, 1971.
Ibn Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bari, Kairo: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1959.
Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasit, Kairo: t.tp., 1972.
I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq,
Tahdhib al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam alSerat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers terj.
Dan ed. Robert D. Lee, Colorado: Westview Press, Inc., 1994.
Muhammad Tijani al-Samawi, Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi, terj. Wahyul Mimbar,
Iran: Muassah ‘an Sariyan, 2000.
Mircea Eliade, (Ed), The Encyclopedia of religion, Vol. 6 , New York: Macmilian
Publishing Company, 1997.
Muhy al-Din Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Ma Tamassu Ilaihi Hajah
al-Qari Li al-Shahih al-Imam al-Bukhari, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth.
Muhammad Abu Syahbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah, Mesir:
Majma