Prinsip dan Etika Bisnis dalam Islam

Prinsip dan Etika Bisnis dalam Islam
Posted By: Ahmad Hanafi DYPosted date: December 15, 2013In: FiqihNo Comments

Islam adalah agama yang sempurna yang meliputi dan mengatur segala aspek kehidupan
manusia (syumul), ia mengatur sistem berakidah (tauhid), beribadah dan juga bermuamalah, di
mana yang satu dan lainnya saling berhubungan erat. Muamalah dalam Islam memiliki porsi
yang memadai sebagaimana terdapat dalam dua dimensi lainnya.
Bisnis (tijarah) merupakan salah satu komponen utama dalam sistem muamalah. Olehnya itu,
Islam

menganjurkan

pemeluknya

untuk

menggeluti

bidang

ini


secara

profesional (itqan),sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, keluarganya dan kaum
muslimin secara umum.
Hukum asal transaksi bisnis dalam Islam adalah mubah (dibolehkan), selama tidak ada dalil
yang menunjukkan bahwa jenis dan bentuk transaksi tersebut diharamkan. Prinsip ini menjadi
dasar penting bagi pelaku bisnis (tajir/mustatsmir) untuk melakukan inovasi(tanmiyah)dalam
melakukan aktivitas bisnis selama ia tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariah serta
prinsip-prinsip dasar (maqasid) dalam Islam.
Berikut ini, dipaparkan secara sederhana beberapa prinsip dan etika bisnis dalam Islam yang
perlu diperhatikan oleh setiap muslim yang akan menggeluti atau telah bergelut dalam dunia
bisnis:
1. Keikhlasan
Keikhlasan menjadi fondasi utama setiap amalan. Dengan niat ikhlas, kebiasaan (adat) dapat
berubah

menjadi

ibadah (taqarrub) dan


bernilai

pahala

di

sisi al-Khaliq.

RasulullahShallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya amalan itu bergantung kepada niatnya” (HR. al-Bukhari No. 10 & Muslim No.
1907)
Niat yang perlu untuk selalu dijaga oleh pelaku bisnis adalah keinginan dan tekad melakukan
kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain. Kebaikan bagi dirinya terwujud dengan adanya
sikap iffah dari harta haram, menjaga harga dirinya dan tidak bergantung kepada orang lain,
menjadi wasilah ketaatan kepada Allah, menyambung silaturahmi dengan para kerabat dan
bentuk-bentuk kebajikan yang lain. Kebaikan untuk orang lain terwujud dengan terpenuhinya

kebutuhan hidup sesama manusia yang digolongkan ke dalam fardhu kifayah, membuka
lapangan


pekerjaan,

dan

yang

terpenting

dalam

skala

keumatan,

meminimalkan

ketergantungan kaum muslimin kepada umat lain.
2. Ilmu
Setiap perbuatan senantiasa harus didasari dengan ilmu, al-Imam al-Bukhari berkata: “Ilmu

harus didahulukan sebelum berkata dan bertindak”. Umar bin Khattab juga berkata: “Tidak
boleh menjual di pasar kecuali seorang faqih, kalau tidak ia akan terjatuh ke dalam riba mau
atau tidak mau” (al-Turmudzi No. 449)
Ilmu yang harus diketahui oleh pelaku bisnis dapat dibagi menjadi dua:


Bersifat umum: Akad dan permasalahannya, Jenis aktivitas bisnis yang terlarang dalam
Islam dan sebab pelarangannya dan lain sebagainya.



Bersifat khusus: Bergantung kepada jenis bisnis yang dilakoni (mudharabah,
murabahah, Ijarah dan lain sebagainya).

3. Amanah dan Kejujuran (al-Sidq)
Keberkahan adalah idaman seorang muslim dalam setiap aktivitasnya. Dalam bisnis amanah
dan

kejujuran


dalam

melakukan

transaksi

merupakan

sumber

keberkahan,

RasulullahShallalahu’alaihi wasallam bersabda:
“Dua pihak yang melakukan jual beli memiliki hak khiyar (memilih) selama keduanya belum
berpisah, apabila keduanya jujur dan saling menjelaskan maka transaksi keduanya akan
diberkahi. Akan tetapi bila keduanya menyembunyikan (aib) dan berdusta maka boleh jadi
keduanya mendapat untung akan tetapi keberkahan jual beli tersebut tercabut” (HR. al-Bukhari
No. 2079 & Muslim No. 1532 )
Dalam sabda beliau yang lain:
“Pelaku bisnis yang jujur lagi tepercaya bersama para Nabi, shiddiqin serta syuhada” (HR. alTurmudzi No.1209)

4. al-Wara’

al-Wara’ dalam aktivitas bisnis adalah sikap kehati-hatian yang disertai dengan meninggalkan
dan menjauhi segala perkara yang meragukan dan perkara syubhat (samar). Prinsip ini didasari
oleh sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasalllam:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat
perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang. Siapa yang menghindari perkara
syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya dan siapa yang terjatuh
dalam perkara syubhat maka sungguh ia terjatuh dalam perkara haram,…” (HR. al-Bukhari No.
50 & Muslim No. 2996 )
Al-Baghawi berkata: “Hadits ini merupakan dasar dari sikap wara’, yaitu tatkala seseorang
berhadapan dengan perkara yang samar-samar dan tidak mengetahui hukum asal sesuatu itu
baik dari sisi kehalalan dan keharaman, maka konsekuensi dari sikap wara’ adalah
meninggalkan perkara itu. Jika ia tetap melakukannya dan menjadi kebiasaan maka ia akan
menyeret pelakunya ke dalam perkara haram”
5. al-Samahah (tenggang rasa dan berlapang dada)
Perbedaan yang mencolok antara bisnis Islami dan yang lainnya adalah adanya prinsip
tenggang rasa dan berlapang dada dalam melakukan transaksi bisnis terutama dalam akad jual
beli dan utang piutang. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia

berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 280)
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Allah merahmati seseorang yang mudah dalam menjual, mudah dalam membeli dan mudah
dalam menagih utang” (HR. al-Bukhari No. 2076)
6. Menjaga hak orang lain serta menjauhi kemudharatan
Tabiat muamalah meniscayakan adanya interaksi antara dua pihak atau lebih. Olehnya itu
Islam mewajibkan setiap pelaku bisnis untuk senantiasa menjaga hak-hak orang lain yang
menjadi

pihak

kedua

dalam

akad

yang


telah

disepakati

sehingga

tidak

menimbulkankemudharatan.

Prinsip

ini

didasari

oleh

sabda Rasululullah


shallallahu’alaihi wasallam:
“Tidak ada kemudharatan dan tidak boleh menimbulkan kemudharatan terhadap orang
lain”(HR. Malik dalam Kitab al-Muwattha, hal: 218)
Contoh konkret dalam hal ini, seperti: tidak menunda pemberian gaji/upah kepada
pekerja/pegawai (ajir), tidak menunda pelunasan hutang , tidak melakukan transaksi jual beli
terhadap objek yang sementara dalam penawaran pihak lain.
7. al-Wala’ (loyalitas) kepada Islam dan kaum muslimin
Kepemilikan harta dalam Islam terbagi tiga: Hak Individu (Haqqul fardi), Hak Allah
(Haqqullah)dan Hak Jamaah (haqqul Jama’ah). Dalam kapasitas harta sebagai haqqullah,
maka manusia berposisi sebagai khalifah yang ditugaskan untuk mengelola harta secara bijak
sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah Sang Pemilik hakiki harta tersebut (QS. alNur: 33 & al-Hadid: 7). Selain itu, harta tersebut wajib untuk dikeluarkan zakatnya sebagai
bentuk kepedulian serta loyalitas kepada sesama muslim.
Sementara dalam kapasitas harta sebagai haqqul Jama’ah, maka konsekuensinya adalah
pemanfaatan dan pengelolaan harta tersebut harus mengedepankan kemaslahatan umat di
atas kemaslahatan pribadi dan golongan tertentu.
Wallahu Ta’ala ‘Alam wa Ahkam.
Rujukan:
1. Maa la Yasa’u al-Taajiru Jahluhu, Prof. DR. Abdullah al-Muslih & Prof. DR. Shalah alShawi.
2. Fiqh al-Muamalat al-Maliyah fi al-Islam, Hasan Ayyub
http://markazinayah.com/prinsip-dan-etika-bisnis-dalam-islam.html