Ngaseuk Penghormatan Budaya dan Kedaulat
Ngaseuk, Penghormatan Budaya dan
Kedaulatan Pangan Masyarakat Baduy
yang masih mempertahankan pola pertanian
tradisional berladang pada lahan kering atau
yang disebut ngahuma . Bentuk kegiatan
ngaseuk ialah melubangi tanah dengan
media tongkat kayu yang pada ujungnya
telah diruncingkan. Pada umumnya kegiatan
ini
dilakukan
secara
bergotong-royong,
terutama untuk menggarap lahan huma milik
lembaga adat (jaro tangtu dan jaro dangka ).
Ngaseuk merupakan salah satu tahapan dari
Diperkirakan yang mengikuti kegiatan ini
proses bercocok tanam masyarakat Baduy
melibatkan sekitar 100 hingga500 orang.
Ngaseuk kegiatan yang penuh makna religiusitas khas masyarakat agraris, dimana dalam
praktiknya banyak dirangkai oleh ritual upacara adat. Hal tersebut sehubungan dengan bentuk
rasa penghormatan masyarakat Baduy terhadap Dewi Sri yaitu Dewi Kesuburan menurut ajaran
Sunda Wiwitan yang ditahbiskan menjelma pada tanaman padi.
Benih-benih padi yang akan ditanam terlebih
dahulu
mendapatkan
perlakuan
khusus
secara adat, antara lain dimasukkan ke
dalam
perangkat
pungpuhunan
yang
diletakkan di tengah bangunan saer (umbulumbul terbuat dari janur kuning
yang
dibentuk seperti saung).
Malam sebelum keesokan harinya dilakukan ngaseuk, pemimpin adat memberikan jampi-jampi
pada bibit padi yang di dalam pupuhunan tersebut, sementara sebagian yang lain memainkan alat
musik angklung dengan nada lagu marengo dengan berjalan mengelilingi bangunan saer dan hal
serupa dilakukan satu kali lagi pada keesokan harinya.
perempuan, sementara kelompok laki-laki
bergegas mengatur barisan bersiap memulai
prosesi ngaseuk. Prosesi ngaseuk selalu
dimulai dari langkah arah kanan mengikuti
petunjuk mata angin yang disesuaikan
dengan perhitungan harinya semisal Minggu
diawali dengan berjalan menghadap ke arah
tenggara, Senin menhadap ke timur, Selasa
ke Barat daya, Rabu dan Kamis menghadap
Selesai melakukan prosesi tersebut, benih
ke utara, dan Jum’at dan Sabtu menhadap
padi kemudian dibagikan pada kelompok
kebarat.
“Lamun poe Minggu sareng senen ngahadeupna ka wetan, tapi mun Minggu mah rada ka kidul
saeutik. Salasa ka barat daya. Rebo Kemis ka kaler. Jum`at Sabtu ka kulon.” Ujar Mulyono,
warga Kampung Campaka Desa Kanekes yang juga turut serta mengikuti proses ngaseuk.
Ketika kelompok barisan laki-laki berjalan melubangi tanah, pada saat bersamaan kelompok
perempuan mengikuti dibelakangnya menaburkan benih-benih padi pada lubang bekas aseukan
tersebut.
sembilan lagu yang dimainkan oleh lakilaki. Sementara itu sebagian kelompok
perempuan mempersiapkan hidangan nasi
dan lauk. Setelah lagu kesembilan selesai,
hidangan kemudian dibagikan dan dimakan
bersama-sama di ladang. Setelah upacara
makan bersama selesai, musik angklung
Setelah kegiatan ngaseuk selesai, hiburan
kembali ditampilkan di tempat saer dan
angklung kembali ditampilkan membawa
pungpuhunan berada.
Kedaulatan Pangan Masyarakat Baduy
yang masih mempertahankan pola pertanian
tradisional berladang pada lahan kering atau
yang disebut ngahuma . Bentuk kegiatan
ngaseuk ialah melubangi tanah dengan
media tongkat kayu yang pada ujungnya
telah diruncingkan. Pada umumnya kegiatan
ini
dilakukan
secara
bergotong-royong,
terutama untuk menggarap lahan huma milik
lembaga adat (jaro tangtu dan jaro dangka ).
Ngaseuk merupakan salah satu tahapan dari
Diperkirakan yang mengikuti kegiatan ini
proses bercocok tanam masyarakat Baduy
melibatkan sekitar 100 hingga500 orang.
Ngaseuk kegiatan yang penuh makna religiusitas khas masyarakat agraris, dimana dalam
praktiknya banyak dirangkai oleh ritual upacara adat. Hal tersebut sehubungan dengan bentuk
rasa penghormatan masyarakat Baduy terhadap Dewi Sri yaitu Dewi Kesuburan menurut ajaran
Sunda Wiwitan yang ditahbiskan menjelma pada tanaman padi.
Benih-benih padi yang akan ditanam terlebih
dahulu
mendapatkan
perlakuan
khusus
secara adat, antara lain dimasukkan ke
dalam
perangkat
pungpuhunan
yang
diletakkan di tengah bangunan saer (umbulumbul terbuat dari janur kuning
yang
dibentuk seperti saung).
Malam sebelum keesokan harinya dilakukan ngaseuk, pemimpin adat memberikan jampi-jampi
pada bibit padi yang di dalam pupuhunan tersebut, sementara sebagian yang lain memainkan alat
musik angklung dengan nada lagu marengo dengan berjalan mengelilingi bangunan saer dan hal
serupa dilakukan satu kali lagi pada keesokan harinya.
perempuan, sementara kelompok laki-laki
bergegas mengatur barisan bersiap memulai
prosesi ngaseuk. Prosesi ngaseuk selalu
dimulai dari langkah arah kanan mengikuti
petunjuk mata angin yang disesuaikan
dengan perhitungan harinya semisal Minggu
diawali dengan berjalan menghadap ke arah
tenggara, Senin menhadap ke timur, Selasa
ke Barat daya, Rabu dan Kamis menghadap
Selesai melakukan prosesi tersebut, benih
ke utara, dan Jum’at dan Sabtu menhadap
padi kemudian dibagikan pada kelompok
kebarat.
“Lamun poe Minggu sareng senen ngahadeupna ka wetan, tapi mun Minggu mah rada ka kidul
saeutik. Salasa ka barat daya. Rebo Kemis ka kaler. Jum`at Sabtu ka kulon.” Ujar Mulyono,
warga Kampung Campaka Desa Kanekes yang juga turut serta mengikuti proses ngaseuk.
Ketika kelompok barisan laki-laki berjalan melubangi tanah, pada saat bersamaan kelompok
perempuan mengikuti dibelakangnya menaburkan benih-benih padi pada lubang bekas aseukan
tersebut.
sembilan lagu yang dimainkan oleh lakilaki. Sementara itu sebagian kelompok
perempuan mempersiapkan hidangan nasi
dan lauk. Setelah lagu kesembilan selesai,
hidangan kemudian dibagikan dan dimakan
bersama-sama di ladang. Setelah upacara
makan bersama selesai, musik angklung
Setelah kegiatan ngaseuk selesai, hiburan
kembali ditampilkan di tempat saer dan
angklung kembali ditampilkan membawa
pungpuhunan berada.