Globalisasi dan Identitas Budaya Lokal

G LOBALIS AS I DAN E K S IS T E NS I IDE NT IT AS BUDAY A LOK AL

Oleh: Z ainuddin
Pendahuluan
Konsep Globalisasi dan Identitas merupakan konsep yang kompleks untuk
didefinisikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi menjadi satu kata yang nyaring
terdengar di seluruh dunia pada abad 21 ini. Pro–kontra pun mewarnai perjalanan globalisasi
sebagai sebuah fenomena. Perubahan yang terjadi secara menyeluruh, dirasakan secara
kolektif, dan mempengaruhi banyak orang (lintas wilayah-lintas negara) yang mempengaruhi
gaya hidup dan lingkungan kita.
Melihat realitas yang terjadi saat ini, hampir semua negara di dunia mengalami proses
globalisasi, hanya saja dalam tahapan yang berbeda, ada yang lebih cepat dan ada yang
lambat, yang disebabkan oleh modernisasi yang terjadi sebelumnya. Globalisasi rasanya
sudah niscaya terjadi dan tidak bisa dihindari oleh negara manapun. Kesiapan nasional yang
harus dibentuk untuk menghadapi globalisasi dan juga mempertahankan identitas lokal.
Walaupun kemudian globalisasi dilihat sebagai ancaman dan bagian dari invasi
ekonomi dan budaya, namun pada dasarnya hal ini tidak bisa dihindari. Justru masyarakat
yang harus bersiap diri untuk menerima pengaruh globalisasi ini secara nyata dalam
kehidupan mereka. Sebaliknya, invasi budaya tersebut dinilai sebagai ancaman yang serius
bagi beberapa negara berkembang berdasarkan dari fakta bahwa keterbukaan terhadap konten
asing dapat mengikis nilai-nilai tradisional dan identitas budaya asli (baca: lokal).


Konsep Globalisasi
Globalisasi diperkenalkan oleh Marshall McLuhan dengan menghubungkan teorinya
"the medium is the message" dengan konsep "global village"1. McLuhan memahami
globalisasi sebagai perpanjangan jangkauan indera yang melampaui batasan peristiwa hingga
sejauh sisi lain tempat di dunia seolah-olah kita pun merasakan fisik kita berasa di sana.
Dunia memang berubah dan globalisasi adalah dunia yang terhubung (connected world)
seolah tanpa batas sebagai global village. Globalisasi bersifat multidimensional yang
mencakup dimensi ekonomi, teknologi-komunikasi, politik, dan kultural. Menurut Tomlinson,
globalisasi adalah sebuah proses yang menyebarkan ciri-ciri institusional dari pada
modernitas.2

1
2

Turner, B.S. and Khondker, H. Globaliza-tion: East and West. (London: Sage Publication, 2010), h. 42
John Tomlinson, “Globalisasi and Cultural Identity”. 2003, h. 272.

2


Konsep Identitas
Identitas diartikan sebagai “sumber makna dan pengalaman bagi orang-orang” atau
pencarian makna individu dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan masyarakat3.
Sementara itu, Menurut Kaul, Identitas merupakan sesuatu yang membedakan karakter
individu pada orang-orang dalam kelompok tertentu, berdasarkan pengenalan pada hal yang
familiar misalnya pada etnis, bahasa, agama, sejarah, budaya dan atribut politik pada
seseorang atau grup4. Identitas bukanlah sesuatu yang statis namun dinamis dan hal ini akan
terus menerus berubah dan bertransformasi seiring dengan perkembangan sejarah, sosial dan
budaya seperti halnya globalisasi, modernitas, post kolonialisme dan juga inovasi tekhnologi.
Menurut Tomlinson, identitas adalah dimensi dari kehidupan sosial yang
terlembagakan dalam dan terbentuk karena adanya modernitas, yang didefinisikan sebagai
“abstraksi praktik-praktik sosial dan kultural dari konteks-konteks kekhususan lokal dan
pelembagaan serta regulasinya melintasi batas-batas ruang dan waktu”. Proses pelembagaan
ini dapat dilihat dalam, misalnya, pembentukan teritori sosial (negara modern dan urbanisme)
serta produksi dan praktik-praktik konsumsi (industrialisasi dan ekonomi kapitalis)5.
Modernitas juga melembagakan dan mengatur praktik-praktik kultural yang membuat kita
merasa harus mengikatkan diri dengan suatu ‘identitas’ yang didasarkan pada pembedaanpembedaan spesifik, misalnya gender, seksualitas, kelas, agama, ras dan etnisitas, serta
kebangsaan.
Melalui identitas diperoleh dasar perbedaan antara aku dengan bukan aku, perbedaan
antara kita dengan mereka, yang selanjutnya dikembangkan dalam identifikasi in group

(orang sendiri) dan out group (orang luar). Pada identitas pula dapat didekatkan atribut yang
bersifat normative seperti baik dan buruk, serta cintra yang lainnya. Konsep identitas
dibicarakan dalam teori social klasik maupun modern selalu dikaitkan dengan konsep tentang
diri dan pribadi. Teori tentang diri dan identitas yang cukup berpengaruh antara lain adalah
George Herbert Mead yang menggambarkannya sebagai “perilaku social”. Menurut Mead,
berbeda dengan hewan, manusia tidak hanya memberikan tanggapan pasif terhadap
lingkungannya, tetapi manusia secara aktif menciptakan lingkungan sosialnya.6 Manusia
membutuhkan identitas, dan kebutuhan akan identitas merupakan kebutuhan yang mendasar
karena melalui identitas diperoleh pemahaman mendasar tentang diri dalam statusnya sebagai
pribadi serta atribut yang menyertainya, yang berbeda dengan yang lain.

3
4

Ibid
Ina Nur Ratriyana, Evolusi Identitas Brand di Tengah Arus Globalisasi. Jurnal Scriptura, Vol. 6, No. 1, Juli 2016,

14-20
5
6


John Tomlinson, Globalisasi and…, h. 272.
Jhon Scott, Sosiology: The Key Concepts, terj. Tim Penerjemah Labsos fisip Unsoed (Jakarta, Grafiti) h. 231

3

Eksistensi Identitas Budaya Lokal di Era Globalisasi
Menurut Heywood (2011), identitas adalah perasaan kedirian yang tetap dan
berkelanjutan serta dimiliki secara personal, komunal, atau universal. Identitas merupakan
sumber makna dan pengalaman bagi pemiliknya (Castells 2010), dan karena itu tak jarang
membuat pemilik identitas bersangkutan mempunyai perasaan kepemilikan tidak rasional
sehingga tak segan untuk terlibat konflik dengan pihak luar yang dianggap ancaman terhadap
identitasnya.7
Globalisasi didefinisikan sebagai “keseluruhan proses di mana umat manusia di
seluruh dunia disatukan ke dalam sebuah masyarakat dunia, masyarakat global, yang
tunggal”8. Sementara, J.A. Scholte memaknai globalisasi sebagai westernisasi atau
modernisasi khususnya Amerikanisasi (globalization as westernizazion or modernization,
especially in an ‘Americanized’ from)9. Globalisasi dalam konteks ini dipahami sebagai
sebuah dinamika, dimana struktur sosial modernitas, kapitalisme, rasionalisme, birokratisme,
dan lain-lain disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Prosesnya cenderung merusak budaya

setempat yang telah mapan serta merampas hak dan menentukan sendiri kebiasaan
masyarakat setempat.
Westernisasi merupakan pendifusian nilai-nilai Barat ke dalam nilai-nilai lokal. Hal ini
diindikasikan dengan mulai memudarnya budaya lokal dan kecenderungan homogenitas
budaya dunia. Sedangkan, deteritorialisasi mengacu kepada memudarnya peran negara
sebagai aktor. Memudarnya peran itu terutama berpengaruh terhadap kebebasan individu.
Individu yang bebas berinteraksi dan melakukan tindakan apapun tentu akan lebih
memudahkan masuknya pengaruh dari luar. Berbeda halnya ketika kekuatan negara masih
nyata yang memungkinkan adanya upaya untuk menyaring budaya dari luar.
Di sisi lain, globalisasi memberikan keuntungan dalam arti konteks interaksi global
yang memudahkan segenap orang menjalani kehidupannya dalam ranah global village.
Namun perlu diingat bahwa suatu perkembangan zaman layaknya pisau bermata dua. Dedy N.
Hidayat mengingatkan bahwa melalui globalisasi akan muncul suatu konsensus global yang
memungkinkan masuknya produk-produk modernitas Barat dimana juga bisa merupakan
suatu proyek kekuasaan, dominasi, dan manipulasi lokal. Kesemuanya itu melibatkan proyekproyek kekuasaan yang jejak historisnya terbentang dari era penaklukan dunia ketiga
(termasuk Indonesia), penyebaran imperialisme, dan dominasi kapitalisme Barat, hingga

7

Ahmad Muhammad, Jurnal Hubungan Internasional. Tahun VII, No.2, Juli – Desember 2014

John Baylis, “Introduction,” dalam John Baylis dan Steve Smith (eds.), The Globalization of World
Politics (Oxford: Oxford University Press, 2001), h. 19.
9
Scholte, Jan Aart.. The Globalization of World Politics. Dalam: Baylis, John dan Smith, Steve (eds.). The
Globalization of World Politics, Vol. 2. (Oxford: Oxford University Press., 2000)
8

4

upaya-upaya kontemporer ke arah homogenisasi dan pencapaian konsensus global terhadap
berbagai ide dan etika produk modernitas Barat10.
Globalisasi pada hakikatnya telah membawa nuansa budaya dan nilai yang
mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan
terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari
seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari belum semua warga negara mampu menilai
sampai dimana kita sebagai bangsa berada. Begitulah misalnya, pesatnya arus informasi dan
budaya baru yang dibawa media elektronik (baca: digital) tak jarang teramat asing dari sikap
hidup dan norma yang berlaku di tingkat lokal. Media menjadi salah satu perantara dan
sekaligus pendorong kuat tersebarnya globalisasi pada dunia secara luas. Banyak pemikir
yang menyatakan bahwa sebenarnya globalisasi tidak akan ada tanpa eksistensi media dan

komunikasi11.
Diakui atau tidak, aktor utama dalam proses globalisasi masa kini adalah negaranegara maju (baca: Barat). Mereka berupaya mengekspor nilai-nilai lokal di negaranya untuk
disebarkan ke seluruh dunia sebagai nilai-nilai global. Mereka dapat dengan mudah
melakukan itu karena mereka menguasai arus teknologi informasi dan komunikasi lintas batas
negara-bangsa. Sebaliknya, pada saat yang sama, negara-negara berkembang tak mampu
menyebarkan nilai-nilai lokalnya karena daya kompetitifnya yang rendah. Akibatnya, negaranegara berkembang hanya menjadi penonton bagi masuk dan berkembangnya nilai-nilai
negara maju yang dianggap nilai-nilai global ke wilayah negaranya.
Dalam konteks itu, globalisasi menjadi sebuah fenomena yang tak terelakkan. Semua
golongan, suka atau tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa globalisasi merupakan
sebuah virus mematikan yang bisa berpengaruh buruk pada pudarnya eksistensi budayabudaya lokal atau sebuah obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit
tradisional yang berakar pada kemalasan, kejumudan, dan ketertinggalan. Karena globalisasi
diusung oleh negara-negara maju yang memiliki budaya berbeda dengan negara-negara
berkembang, maka nilai-nilai Barat bisa menjadi ancaman bagi kelestarian nilai-nilai lokal di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Tetapi, pada saat bersamaan globalisasi justru berkontribusi penting dalam
mengakselerasi kebangkitan kembali identitas lokal. Sebagaimana sifatnya yang berganda, di
samping memberikan ancaman, globalisasi juga sekaligus menyediakan kesempatan bagi
identitas lokal untuk menantang hambatan-hambatan yang selama ini merintangi eksistensi

10

11

Hidayat, Dedy N. Globalisasi, Pascamodernisme dan Dunia Ketiga. Kompas, 18 Desember 1992. h..
Rantanen, Terhi. The Media and Globalization. (London: Sage Publication, 2005), h. 3

5

mereka. Karena itu prospek keberhasilan perjuangan identitas lokal tergantung pada kejelian
para aktivis gerakan identitas lokal dalam memanfaatkan globalisasi.

Kesimpulan
Berkaca pada realitas yang terjadi saat ini, semua negara di bumi ini mengalami proses
globalisasi, hanya saja dalam tahapan yang berbeda, ada yang lebih cepat dan ada yang
lambat, yang disebabkan oleh modernisasi yang terjadi sebelumnya. Globalisasi rasanya
sudah niscaya terjadi dan tidak bisa dihindari oleh negara manapun. Kesiapan nasional yang
harus dibentuk untuk menghadapi globalisasi dan juga mempertahankan identitas budaya.
Walaupun kemudian globalisasi dilihat sebagai ancaman yang serius terhadap
eksistensi budaya lokal, namun pada dasarnya hal ini tidak bisa dihindari. Justru masyarakat
yang harus bersiap diri untuk menerima pengaruh globalisasi ini secara nyata dalam
kehidupan mereka. Globalisasi tidak selalu menghapus identitas lokal dan digantikan oleh

identitas global (homogenisasi). Sebaliknya, globalisasi juga berdampak positif dengan
kemampuannya menyemai identitas lokal yang selama ini termarjinalkan. Globalisasi seperti
memberikan kesadaran baru bagi masyarakat lokal dalam menumbuhkan rasa kepemilikan
mereka terhadap identitas lokal mereka. Selain itu, globalisasi juga berperan dalam
melipatgandakan kekuatan identitas lokal dalam upayanya lepas dari marjinalisasi negara.

6

Referensi

Hidayat, Dedy N. 1992. Globalisasi, Pascamodernisme dan Dunia Ketiga. Kompas, 18
Desember.
Jhon Scott, Sosiology: The Key Concepts, terj. Tim Penerjemah Labsos fisip Unsoed. Jakarta,
Grafiti.
John Baylis, 2001. “Introduction,” dalam John Baylis dan Steve Smith (eds.), The
Globalization of World Politics. Oxford: Oxford University Press,
John Tomlinson, 2003 . “Globalisasi and Cultural Identity”
Rantanen, Terhi. 2005. The Media and Globalization. London: Sage Publication.
Scholte, Jan Aart.. 2000. The Globalization of World Politics. Dalam: Baylis, John dan Smith,
Steve (eds.). The Globalization of World Politics, Vol. 2. Oxford: Oxford University

Press.,
Turner, B.S. and Khondker, H. 2010. Globalization: East and West. London: Sage
Publication.
Ahmad Muhammad, 2014. Jurnal Hubungan Internasional. Tahun VII, No.2
Ina Nur Ratriyana, 2016. Evolusi Identitas Brand di Tengah Arus Globalisasi. Jurnal
Scriptura, Vol. 6, No. 1

7