Mengkonstruksi Nilai Nilai Karakter Rema

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

1

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

2

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

3

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

MENGKONSTRUKSI NILAI-NILAI KARAKTER REMAJA
MELALUI PENDEKATAN PEER GROUP CULTURE1
Ali Imron
Universitas Negeri Surabaya
E-mail: aimron8883@gmail.com

Abstrak

Masa remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, dimana
individu mengalami perubahan baik fisik, psikis maupun sosial. Perubahan fisik dan
psikis pada remaja terkadang menimbulkan permasalahan, terutama apabila remaja
kurang memahami perubahan tersebut dan kematangan emosional yang masih lemah.
Kondisi ini mengakibatkan remaja sulit mengontrol emosi dan senantiasa
mengutamakan egoisitas karena remaja masih mencari jati diri. Masalah yang sering
dialami remaja adalah masalah tawuran, terutama yang terjadi di kalangan pelajar.
Tawuran seolah sudah menjadi tradisi di kalangan pelajar dan terdapat tren kenaikan
jumlah kasus tawuran, terutama di kota-kota besar. Oleh karena itu diperlukan upaya
konkrit untuk mengkonstruksi nilai-nilai karakter pada remaja. Alternatif yang bisa
dilakukan adalah melalui pendekatan peer group culture. Dalam peer group
dikembangkan budaya kesetaraan (egalitarian), kekritisan, kesetiakawanan dan
solidaritas sosial. Selain itu, remaja ternyata lebih senang, nyaman dan terbuka apabila
mendiskusikan berbagai permasalahan dengan sesama teman sebayanya. Berbagai
budaya yang dipelajari remaja melalui peer group akan membentuk karakter remaja
yang adaptif dengan lingkungan sosialnya.
Kata Kunci : nilai-nilai karakter, remaja, peer group, budaya, perubahan sosial

A. Pendahuluan
Masa remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa,

yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai 20 tahun. Pada masa remaja, individu
mengalami perubahan baik fisik, psikis maupun sosial (Hurlock, 1995: 10). Sedangkan
angka statistik menunjukkan jumlah remaja di Indonesia menurut data Biro Pusat
Statistik (BPS) tahun 2005, mencapai 42 juta jiwa atau 19,34% dari jumlah seluruh
penduduk di Indonesia. Remaja memiliki karakteristik berupa rasa ingin tahu yang
besar, gemar terhadap tantangan dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, cenderung
Disampaikan pada Seminar Nasional, “Menuju Generasi Emas Berkarakter”. Diselenggarakan
oleh Universitas Negeri Yogyakarta, 22 Maret 2014.
1

4

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

berkelompok, masih mencari jati diri, mudah terpengaruh dengan lingkungan di
sekitarnya serta cenderung melakukan tindakan tanpa pemikiran yang matang sehingga
permasalahan-permasalahan yang dialami remaja juga khas.
Perubahan fisik dan psikis pada remaja terkadang menimbulkan permasalahan,
terutama apabila remaja kurang memahami perubahan tersebut dan belum lagi
kematangan emosional yang masih lemah. Kondisi ini yang mengakibatkan remaja

masih sulit mengontrol emosinya dan senantiasa mengutamakan egoisitasnya karena
dalam proses kematangan emosional pada fase remaja, individu akan cenderung
mencari jati diri. Kondisi demikian yang sedang dialami oleh pelajar yang notabene
berada pada usia remaja. Masalah yang sering dialami remaja adalah masalah tawuran,
terutama yang terjadi di kalangan pelajar. Tawuran seolah sudah menjadi tradisi di
kalangan pelajar. Tawuran di kalangan pelajar tidak hanya terjadi satu atau dua kali di
Indonesia, melainkan sudah terjadi puluhan bahkan ratusan kali. Apalagi di kota-kota
besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan yang teramat sering terdengar beritanya
tentang tawuran pelajar. Data Polda Metro Jaya, misalnya, mencatat adanya peningkatan
angka tawuran pada 2011 dibandingkan tahun 2010. Pada tahun 2010, tawuran di
kalangan pelajar tercatat terjadi sebanyak 28 kali di Jakarta, seperti di Jakarta Pusat
terjadi sebanyak 19 kasus, Jakarta Selatan 3 kasus, Kabupaten Tangerang dan Jakarta
Barat masing-masing dua kasus, serta Kota Tangerang dan Depok masing-masing satu
kasus. Sedangkan sejak Januari hingga September 2011 ini saja, sudah 39 kasus. Dari
39 kasus itu, kawasan Jakarta Pusat mendominasi dengan angka kasus mencapai 25
kasus. Di wilayah Jakarta Selatan ada 6 kasus, Jakarta Utara ada 2 kasus, Jakarta Barat
ada 3 kasus dan Jakarta Timur, Bekasi dan Depok masing-masing satu kasus
(http://www.detiknews.com/read/2011/09/21/172721/1727625/10/polda-metro-tawuran
meningkat-di-tahun-2011, diunduh tanggal 10 November 2011).
Kondisi inilah yang menimbulkan keprihatinan penulis dan menggugah penulis

untuk melakukan kajian lebih lanjut. Menurut hemat penulis, bahwa realitas tawuran di
kalangan pelajar merupakan bukti lemahnya nilai-nilai karakter yang dimiliki remaja,
dalam hal ini pelajar. Pendidikan yang seharusnya mampu menjadi sarana untuk
menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada peserta didik (pelajar). Nilai-nilai
karakter seperti, nilai toleransi, tanggung jawab, persahabatan, dan cinta damai belum
begitu kental terasa pada diri remaja. Sebagai individu, remaja sebenarnya memiliki

5

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

nilai-nilai karakter tersebut yang secara potensial tersimpan pada diri remaja. Oleh
karena itu diperlukan upaya-upaya konkrit untuk mengkonstruksi nilai-nilai karakter
pada remaja.
Remaja ternyata lebih senang, nyaman dan terbuka apabila mendiskusikan
berbagai permasalahan dengan sesama teman sebayanya daripada dengan orangtua.
Kelompok sebaya dianggap memiliki kesetaraan pengetahuan dan lebih egaliter. Di
dalam kelompok sebaya juga kental dengan budaya kesetiakawanan sosial, dimana
permasalahan seorang teman juga merupakan permasalahan teman yang lain. Apabila
salah seorang dari mereka memiliki informasi tertentu, maka ada keinginan agar teman

sebayanya yang lain juga mengetahuinya. Segala informasi yang mereka peroleh baik
dari media cetak maupun media elektronik, pengalaman pribadi ataupun dari bisik-bisik
teman akan cenderung dikomunikasikan kepada teman sebayanya. Remaja ternyata
merasa aman, lebih terbuka, dan bebas untuk membicarakan berbagai permasalahan.
Teman sebaya lebih bisa menerima perbedaan pendapat dan lebih memenuhi kebutuhan
remaja daripada orang dewasa karena diantara mereka sudah saling mengenal, sering
bertemu, saling merasa bebas dan terbuka. Melihat kondisi empiris tersebut, alternatif
cara yang efektif untuk mengkonstruksi nilai-nilai karakter pada diri remaja adalah
melalui kelompok sebaya (peer group). Pendekatan ini sangat tepat mengingat faktor
teman sebaya mempunyai peranan yang sangat besar dalam mempengaruhi
kecenderungan perilaku remaja.

B. Nilai-nilai Karakter dan Pendidikan Karakter
Menurut Suyanto, “karakter” dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku
yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang mampu membuat keputusan dan siap bertanggung jawab atas akibat dari
keputusan yang dibuat (www.mandikasmen.go.id). Definisi ini senada dengan definisi
dari sumber lain yang menyatakan bahwa “character is the sum of all the qualities that
make you who you are. It’s your values, your thoughts, your words, your actions”

(www.educationplanner.org). Karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran,
perkataan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang. Dengan
demikian karakter dapat dimaknai sebagai jati diri seseorang yang telah terbentuk dalam

6

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

proses kehidupan oleh sejumlah nilai-nilai etika yang dimiliki, berupa pola pikir, sikap,
dan perilaku.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Hal ini selaras dengan pengertian
pendidikan karakter yakni usaha sadar untuk membantu manusia dalam memahami,
peduli, dan melaksanakan nilai-nilai etika. Nilai-nilai karakter yang harus ditanamkan
kepada peserta didik menurut Thomas Lickona (seperti dikutip Lubis, 2001), ada 7
(tujuh) unsur, yaitu:

1. Ketulusan hati atau kejujuran
2. Belas kasih
3. Gagah berani
4. Kasih sayang
5. Kontrol diri
6. Kerjasama
7. Kerja keras
Sementara itu dalam naskah akademik Pengembangan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa, Kementrian Pendidikan Nasional telah merumuskan nilai-nilai
karakter yang akan dikembangkan kepada generasi muda Indonesia.

Tabel 1. Deskripsi Nilai-nilai Karakter
No.

Nilai Karakter

Deskripsi

1.


Religius

Sikap dan perilaku kepatuhan melaksanakan
ajaran agama, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain

2.

Jujur

Perilaku yang diterapkan sebagai upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dipercaya dalam perkataan dan tindakan

7

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

3.


Toleransi

Sikap dan tindakan menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan
orang lain yang berbeda dari dirinya

4.

Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan

5.

Kerja Keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas

dengan sebaik-baiknya

6.

Kreatif

Berfikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara baru dari sesuatu yang
dimiliki

7.

Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung
pada orang lain dalam menyelesaikan tugas

8.

Demokratis


Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sama akan hak dan kewajiban dirinya
dan orang lain

9.

Rasa Ingin Tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mengetahui lebih mendalam tentang sesuatu yang
dipelajarinya, didengar, dan dilihat

10.

Semangat Kebangsaan

Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan dengan
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan kelompoknya

11.

Cinta Tanah Air

Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa

12.

Menghargai Prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, mengakui, dan menghormati
keberhasilan orang lain

13.

Bersahabat/Komunikatif

Tindakan yang memperhatikan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain

14.

Cinta Damai

Sikap,
perkataan,
dan
tindakan
yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan

8

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

aman atas kehadiran dirinya
15.

Gemar Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya

16.

Peduli Lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan lingkungan alam di
sekitarnya serta mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang terjadi

17.

Peduli Sosial

Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan

18.

Tanggung Jawab

Sikap
dan
perilaku
seseorang
untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya terhadap
diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara dan
Tuhan Yang Maha Esa

Sumber : Kementrian Pendidikan Nasional, “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa”, hal. 10-11.

Menurut Thomas Lickona (seperti dikutip Lubis, 2001), terdapat 10 (sepuluh)
aspek degradasi moral yang melanda suatu negara yang merukan sinyalemen
kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut, antara lain meningkatnya
kekerasan pada remaja; penggunaan kata-kata jorok; meningkatnya penggunaan
narkoba, alkohol, dan seks bebas; kaburnya batasan moral baik dan buruk; menurunnya
etos kerja; rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru; rendahnya rasa tanggung
jawab individu; membudayanya ketidakjujuran; serta saling curiga dan kebenciaan
diantara sesama. Dalam rangka mencegah terjadinya degradasi moral tersebut, maka
terapi yang tepat dan mutlak harus dilakukan adalah melalui pendidikan karakter.

C. Remaja dan Peer Group
Remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju masa dewasa yang
ditandai dengan perubahan fisik, psikis maupun sosial. Banyak konsep yang membatasi
kategori remaja dalam ukuran usia. WHO misalnya, membatasi usia remaja antara 1019 tahun. Lain halnya dengan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang
mengkategorikan remaja apabila sudah cukup matang untuk menikah yaitu usia 16

9

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Perubahan yang terjadi pada fase
remaja ini menurut Piaget (dalam Hurlock, 1995), bahwa secara psikologis
menggambarkan terintegrasinya remaja dalam lingkungan sosial orang dewasa. Adapun
perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja salah satunya adalah perubahan
fisik (biologis) yang cepat.
Selain perubahan fisik, remaja juga mengalami perubahan psikis (emosi) dan
perubahan sosial. Perubahan psikis (emosi) merupakan konsekuensi dari perubahan fisik
yang cepat. Pada fase ini, remaja mengalami gejolak emosi yang luar biasa. Mereka
cenderung menunjukkan sikap-sikap emosional, seperti sering menyendiri, mudah sedih
atau gelisah, mudah menangis, serta cenderung melakukan konfrontasi (berkelahi atau
berkonflik dengan orang lain). Sedangkan perubahan sosial merupakan proses adaptasi
dengan lingkungan sosial baru di luar lingkungan keluarga, seperti lingkungan sekolah,
lingkungan pergaulan kelompok sebaya (peer group). Dalam tahap ini seorang remaja
mengalami sosialisasi sekunder, yaitu sosialisasi yang berlangsung melalui interaksi
dengan berbagai kelompok dalam masyarakat.
W.F. Connell (1972), mendefinisikan kelompok sebaya (peer group) sebagai
kelompok anak-anak atau pemuda yang berumur sama dan mempunyai kepentingan
umum tertutup, seperti persoalan-persoalan anak-anak umur sekolah sampai dengan
masa remaja (adolesence). Sedangkan Vembriarto (1992: 275), menganggap peer group
sebagai institusi sosial kedua setelah keluarga yang memiliki peranan yang sangat
penting bagi kehidupan remaja. Di dalam peer group terjadi proses belajar sosial,
dimana individu mengadopasi kebiasaan, sikap, ide, keyakinan, nilai-nilai, dan polapola tingkah laku dalam masyarakat, serta mengembangkannya menjadi kesatuan sistem
dalam dirinya. Selain itu, mereka juga bebas mengekspresikan sikap, penilaian, serta
sikap kritisnya dan belajar mendalami hubungan yang sifatnya personal (Levine, 1992).
Peer group merupakan kelompok sosial dimana masing-masing anggota terjalin
hubungan yang erat dan bersifat pribadi. Dalam peer group remaja mendiskusikan
tentang masalah dan menemukan sesuatu yang tidak mereka temukan di rumah.
Hubungan yang bersifat pribadi menyebabkan seseorang dapat mencurahkan isi hatinya
kepada teman-temannya baik sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan. Dalam
kelompok ini terjadi kerja sama, tolong menolong, namun sering juga terjadi persaingan
dan pertentangan. Ciri-ciri mendasar peer group adalah jumlah anggota relatif kecil,

10

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

adanya kepentingan yang bersifat umum dan dibagi secara langsung, terjadi kerja sama
dalam suatu kepentingan yang diharapkan, dan adanya pengertian pribadi serta saling
hubungan yang tinggi antar anggota dalam kelompok.
Pengetahuan akan nilai-nilai karakter pada remaja sangat efektif dalam
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengetahuan teman-teman sebayanya (peer).
Apabila peer memiliki pengetahuan akan nilai-nilai karakter yang memadai, maka
mereka akan memberikan pengetahuan ini kepada temannya. Dengan harapan mereka
dapat mempengaruhi temannya untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
karakter positif. Sebaliknya, apabila pengetahuan remaja tentang nilai-nilai karakter
masih rendah, maka yang beredar di kalangan remaja adalah informasi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan serta mengakibatkan degradasi moral. Peer group harus
berupaya mengembangkan potensi diri dan teman sebayanya, sebagai upaya promotif,
peer group dapat mengajak teman sebayanya untuk belajar tentang nilai-nilai karakter
dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

D. Mengkonstruksi Nilai-nilai Karakter Pada Diri Remaja Melalui Pendekatan
Peer Group Culture
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masa remaja adalah masa
transisi ditandai dengan rasa keingintahuan yang besar terhadap sesuatu dan pencarian
jati diri atau identitas diri. Meskipun demikian, justru pengelolaan emosi dan
karakternya masih sangat lemah. Oleh karena itu dibutuhkan sarana penguatan karakter
sehingga remaja mampu memaksimalkan potensi dan mengkonstruksi nilai-nilai
karakter yang ada pada dirinya. Remaja ternyata lebih senang, nyaman, dan terbuka
apabila mendiskusikan berbagai permasalahan dengan teman sebayanya. Teman sebaya
dinilai memiliki kedekatan emosional, memiliki kadar pengetahuan yang setara, dan
sangat kental dengan budaya kesetiakawanan sosial, dimana permasalahan seorang
teman juga merupakan permasalahan teman yang lain. Melalui teman sebaya, remaja
menemukan solusi atas permasalahan-permasalahan pribadinya, termasuk bagaimana
mengkonstruksi nilai-nilai karakter yang sebenarnya sudah ada pada diri remaja.
Oleh karena itulah, cara yang paling efektif untuk mengkonstruksi nilai-nilai
karakter pada diri remaja adalah melalui pendekatan kelompok sebaya (peer group).
Melalui peer group culture, diharapkan remaja mampu mengkonstruksi nilai-nilai

11

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

karakter pada dirinya untuk kemudian menjadikan nilai-nilai karakter tersebut sebagai
alat control untuk mengendalikan bahan mencegah remaja untuk melakukan berbagai
penyimpangan sosial, seperti tawuran, narkoba, dan sebagainya. Peer group memiliki
kewajiban untuk membangun kepercayaan diantara individu dalam membangkitkan
motivasi untuk berperilaku positif. Selain itu, peer group harus berperan sebagai
fasilitator bagi remaja atau teman sebayanya, menampung berbagai keluhan atau
permasalahan seputar optmalisasi karakter, serta berusaha memberikan alternatif solusi
penyelesaian masalah.
Kedekatan secara emosional yang dibangun di dalam peer group diawali oleh
proses interaksi sosial melalui kontak sosial dan komunikasi yang berlangsung secara
terus-menerus. Berbagai kondisi yang telah dijelaskan di atas, ternyata remaja lebih
senang, nyaman dan terbuka apabila mendiskusikan berbagai permasalahan. Kelompok
sebaya dianggap memiliki kesetaraan pengetahuan dan lebih egaliter. Di dalam
kelompok sebaya juga kental dengan budaya kesetiakawanan sosial, dimana
permasalahan seorang teman juga merupakan permasalahan teman yang lain. Oleh
karena itu, peran peer group menjadi penting dalam mengkonstruksi nilai-nilai karakter
pada remaja, seperti tergambar dalam skema berikut.
Problematika di kalangan
remaja (penyimpangan
sosial, tawuran, dll)

Rendahnya
pengelolaan emosi
remaja

Remaja dalam fase
transisi menemukan
identitas diri

Remaja lebih nyaman dan
terbuka mendiskusikan
berbagai permasalahan
dengan teman sebaya

12

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Dalam Rangka Dies Natalis Emas Universitas Negeri Yogyakarta

Pentingnya peer group dalam
mengkonstruksi nilai-nilai
karakter pada diri remaja

Gambar 1. Skema urgensi peer group cukture dalam mengkonstruksi nilai-nilai
karakter remaja
E. Simpulan
Dalam peer group culture, remaja menemukan identitas sosialnya. Melalui peer
group pula, remaja bergaul, beradaptasi dan menggali potensi-potensi positif pada
dirinya. Potensi positif inilah yang akan bisa dikembangkan dalam rangka
mengukuhkan identitasnya sehingga memunculkan pribadi yang berkarakter. Peer
group culture sebagai salah satu pendekatan yang bisa dilakukan dalam rangka
mengkonstruksi nilai-nilai karakter pada diri remaja.

Daftar Pustaka
Hurlock, Elizabeth. 1995. Psikologi Perkembangan Anak. Edisi VI. Jakarta: Erlangga.
Kementrian Pendidikan Nasional. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa.
Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesi: Sebuah Pertanggungan Jawab. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Polda

Metro.
2011.
“Tawuran
Meningkat
di
Tahun
2011”,
(www.detiknews.com/read/2011/09/21/172721/1727625/10/polda-metrotawuranmeningkat-di-tahun-2011), diunduh tanggal 10 November 2011.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Vembriato, St. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
www.mandikasmen.go.id

13