Nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya prammedya ananta toer; implikasinya terhadap pembelajaran satra

(1)

NILAI SOSIAL DALAM NOVEL

BUKAN PASAR MALAM

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER;

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA

Skripsi

Mega Fiyani NIM 107013000047

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M


(2)

ABSTRAK

MEGA FIYANI, 107013000047, “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam

Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra”.

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. November, 2011.

Bukan Pasar Malam adalah sebuah novel yang sarat dengan nilai-nilai sosial. Buku ini menceritakan pengalaman seorang anak revolusioner yang pulang kampung untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Diceritakan dengan sudut pandang orang pertama, yang hanya disebut dengan Aku. Dimulai dengan persiapan perjalanan ke Blora. Aku harus mencari uang untuk perjalanan itu, dan ketika naik sepeda mengelilingi Jakarta, ia memikirkan tentang kemiskinan, kekayaan, kemerdekaan, dan demokrasi yang meragu-ragukan pada awal 1950 di Jakarta. Rumusan masalah penelitian ini tentang gambaran sosial masyarakat Indonesia, nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam dengan tinjauan sosiologi sastra, dan implikasi nilai sosial dalam novel tersebut dalam pembelajaran sastra di sekolah. Untuk menggali nilai-nilai tersebut, penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta, kemudian disusul dengan analisis. Berdasarkan hasil analisis buku ini diketahui bahwa buku tersebut memuat nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial di dalam keluarga dan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai kasih sayang, nilai kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai kepedulian, nilai kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan.


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Swt semata, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, serta kesehatan rohani dan jasmani. Atas izin dan kasih-Nya penulis diberikan kemudahan sehingga dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya

Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra”. Shalawat

dan salam semoga tercurahkan kepada utusan Allah Swt, yaitu Nabi Muhammad Saw yang menghindarkan kita dari jalan kegelapan.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, karya ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Nurlena Rifa’i, MA. Ph. D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;

2. Ibu Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sosok dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini;

3. Bapak Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang sangat berpengaruh dalam penyelesaian skripsi ini, juga telah mengenalkan dan membangkitkan kecintaan penulis pada dunia bahasa dan sastra. Terima kasih untuk arahan, bimbingan, dan kesabaran Bapak selama ini.

4. Ibu Dra. Elvi Susanti, M. Pd., selaku dosen PBSI yang telah memberikan ilmu kebahasaan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(4)

5. Ibu Rosida Erowati, S.S. M. Hum., selaku dosen PBSI yang telah memberikan pengetahuan kesusastraan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

6. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan;

7. Keluarga ku tercinta terutama kepada Papa dan Mama, yang selalu memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis untuk terus maju, dan selalu memberikan kasih sayangnya hingga detik ini;

8. Kak Risfana Faisal, guru teater sekaligus kakak dan teman yang telah banyak memberikan buku bacaan sastra dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

9. Keluarga besar Pojok Seni Tarbiyah (POSTAR), terima kasih atas semangat yang telah kalian berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

10.Seluruh mahasiswa/mahasiswi PBSI angkatan 2007, teman-temanku seperjuangan, terima kasih atas dukungannya;

11.dan untuk berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis senantiasa mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Serta diberikan balasan setimpal dari Allah Swt. Amin.

Akhirnya penulis pun berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan pendidikan dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Jakarta, September 2011


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR………... i-ii DAFTAR ISI... iii-iv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………...1-4 B. Rumusan Masalah………...4 C. Tujuan Penelitian………...4-5 D. Metodologi Penelitian………...5-6 E. Manfaat Penelitian………...6 F. Kajian Pustaka………...6-8 G. Sistematika Penulisan...………...8 BAB II KAJIAN TEORETIS

A. Hakikat Sosiologi Sastra………...9

1. Pengertian Sosiologi Sastra………...9-13

B. Hakikat Novel………...13 1. Pengertian Novel………...13 C. Hakikat Nilai Sosial………...13-14

1. Nilai dan Sosial………...14 2. Pengertian Nilai Sosial………...15-16 3. Ciri Nilai Sosial………...16-17 4. Macam-macam Nilai Sosial ………...17-18 5. Hakikat Pembelajaran Sastra………...18-20 BAB III PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER

A. Penulis Novel Bukan Pasar Malam………20

1. Biografi Pramoedya Ananta Toer...……….20-25 B. Pemikiran Pramoedya Ananta


(6)

C. Psikologi Pramoedya Ananta Toer………27 D. Tinjauan terhadap Novel Bukan Pasar Malam………...28-29


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra menggambarkan kehidupan pada saat sastra itu ditulis. Sastra mengandung nilai-nilai sosial, falsafati, dan religi. Sebuah karya sastra memiliki nilai yang luar biasa dalam penceritaannya jika pengarang dalam proses pembuatan karyanya mampu melibatkan semua aspek kehidupan di dalamnya. Sebuah karya sastra bernilai tinggi dan terasa ketika membaca isinya yang mampu melibatkan batin pembaca dengan nuansa imajinatif yang pengarang berikan.

Pada hakikatnya seorang sastrawan adalah bagian dari masyarakat. Sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa adalah salah satu ciptaan sosial. Oleh sebab itu, sastrawan tidak dapat lepas dari status sosial tertentu. Karya sastra merupakan cerminan hubungan sosial individu dengan individu lain, atau antara individu dengan masyarakat. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Ketika membaca sebuah karya sastra, mungkin kita akan merasakan kenikmatan seperti kita sedang melakukan permainan, atau bahkan kita akan merasakan ketenangan, atau karena begitu dalamnya kita dalam membaca sebuah karya sastra, kita akan lebih mudah dalam menjalani pekerjaan sehari-hari. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sifat sosial tertentu, atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Horace mengemukakan fungsi karya sastra sebagai dulce et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna.1 Pengertian ini menunjukkan fungsi karya sastra yang bukan sekedar menghibur, namun mengajarkan sesuatu yang berguna. Pendapat lain diungkapkan tentang fungsi karya sastra (fiksi) merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi

1

Achadiati Ikram, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra dan Aksara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 33


(8)

berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Daya tarik cerita inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang untuk membacanya. Hal itu dikarenakan karena pada dasarnya setiap orang senang cerita, apalagi yang sensasional, baik yang diperoleh dengan cara melihat maupun mendengarkan. Melalui cerita itulah pembaca secara tak langsung dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan pengarang. Hal itu disebabkan cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, cerita, fiksi, atau kesastraan pada umumnya sering dianggap dapat membuat manusia lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai ”memanusiakan manusia.”2

Sastra adalah jenis kesenian yang merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang disepakati untuk terus-menerus dibongkar dan dikembangkan dalam suatu masyarakat. Karena sastra adalah seni bahasa, di dalamnya terbayang dengan lebih tegas nilai-nilai yang mengatur kehidupan kita dan selalu ditinjau kembali. Dengan menggunakan bahasa sebagai alat seorang sastrawan berusaha untuk tidak sekedar merekam kehidupan di sekitarnya, tetapi memberikan tanggapan evaluatif terhadapnya.3

Fungsi novel ini adalah bagaimana nilai sastra yang terkandung berkaitan dengan nilai sosial, bagaimana kisah ini memuat nilai sastra yang sangat berkaitan dengan nilai sosial yang ada pada masa itu. Nilai sosial dimana sosok Ayah masih menghormati pemerintahan masa itu dengan penuh kesabaran. Ia merupakan guru yang sangat berbakti. Akan tetapi, dipenjarakan di tiga tempat dalam waktu dua minggu. Kemudian tokoh Aku adalah mantan tentara muda yang dipenjarakan oleh Belanda karena idealismenya. Dikisahkan dalam novel ini adalah masa pascakemerdekaan yang masih banyak terdapat rakyat yang mengalami kemiskinan sedangkan para jenderal atau pembesar-pembesar hanya sibuk

2

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press.2000), hlm. 4

3 Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah” dalam Susastra

volume 3/No.5/2007, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 4


(9)

mengurus dan memperkaya diri sendiri. hak itu pun yang masih terjadi sampai saat reformasi ini.

Beberapa pengarang telah mengangkat kehidupan masyarakat menjadi tema utama dalam karyanya. Kesenjangan sosial, seperti masalah kemiskinan, masih kuatnya nilai feodalisme, bobroknya nilai dan norma, menjadi masalah yang menarik untuk dibahas. Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang sering kali melatarbelakangi ceritanya dengan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.

Bukan Pasar Malam diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1951. Di dalam novel ini, Pramoedya menggambarkan kesedihan, penderitaan dan kesulitan rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai interaksi sosial dalam keluarga, hingga interaksi dengan kehidupan di masa lalu serta lingkungan yang serba sulit dideskripsikan dengan sangat detail oleh Pramoedya.

Sehubungan dengan hal di atas, peneliti tertarik mengkaji nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Dari isi cerita novel tersebut akan dicari nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Novel dinilai memiliki banyak nilai sosial, nantinya bisa dijadikan sebagai materi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.


(10)

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci dasar penelitian ini sebagai berikut:

1) Dari segi penceritaan, novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer sangat menarik untuk dikaji menggunakan tinjauan sosiologi sastra.

2) Novel Bukan Pasar Malam menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan untuk mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. 3) Novel Bukan Pasar Malam relevan dengan dunia pendidikan sehingga

dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Bagaimana gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan tinjauan sosiologi sastra?

2) Bagaimana nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan tinjuan sosiologi sastra?

3) Bagaimana implikasi nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dalam pembelajaran sastra?

C. Tujuan Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan:

1) Untuk mendeskripsikan gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan tinjauan sosiologi sastra.

2) Untuk mendeskripsikan nilai sosial yang terdapat dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra.


(11)

3) Untuk mendeskripsikan implikasi nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dalam pembelajaran sastra.

D. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data hubungannya dengan konteks keberadaanya. Hal tersebut yang menjadikan metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan. Dalam penelitian karya sastra, misalnya, akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial dimana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya. Objek penelitian metode kualitatif merupakan makna-makna yang terkandung di balik tindakan, yang mendorong timbulnya gejala sosial. Penelitian mempertahankan hakikat nilai-nilai. Sumber data dalam ilmu sastra adalah karya, naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana. 4

Penelitian dengan metode kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai sosial yang terdapat dalam novel ini. Metode penelitian sastra yang digunakan secara khusus adalah metode sosiologi sastra. Metode sosiologi sastra didasarkan atas prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi atau cerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis. Langkah-langkah dalam penelitian ini mengikuti metode kerja sosiologi sastra yakni, dengan cara menelaah konteks sosial karya sastra dengan dunia kenyataanya atau zamannya.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah:

1) Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu teks novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer,

2) Menentukan fokus penelitian, yakni menelaah konteks sosial karya sastra pada teks, fungsi novel berkaitan dengan nilai sosial yang terkandung dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah

4

Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 46-47


(12)

3) Menganalisis objek penelitian, dan

4) Menyusun dan membuat laporan penelitian.

E. Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi Sastra Indonesia khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam teori sosiologi sastra dalam mengungkap novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. 2) Manfaat Praktis

Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer terutama menguraikan cara pandang pengarang yang direpresantasikan dalam karyanya, dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu yaitu sosiologi dan sastra.

F. Kajian Pustaka

Kajian tentang novel ini berjudul ”Ayah-Anak: Kajian Eksistensial dan Fenomenologis Atas Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer” yang disusun oleh mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, yaitu: Waty Chai, Tonny, dan Hari K. Lasmana. Penelitian tentang relasi ayah-anak yang menggunakan pendekatan Merleau Ponty dan eksistensial Satre yang dianggap mampu menawarkan makna ayah dalam inventarisasi tambahan tentang makna ayah.

Prof. Dr. A. Teeuw seorang peneliti sastra Indonesia dari Belanda, menulis sebuah disertasi tentang karya-karya Pramoedya dengan judul ”Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer‖ yang kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1997 membahas novel Bukan Pasar Malam dari sudut pandang (point of view), hubungan kekeluargaan, dan latar belakang. Hal tersebut ditulisnya dengan judul Tiga Keluarga Yang


(13)

Bermirpan Blora Ditengok Kembali. A. Teeuw menjelaskan bahwa sudut pandang dalam cerita Bukan Pasar Malam merupakan cerita persona pertama, yang di dalamnya pencerita sekaligus protagonis. Dilihat dari hubungan kekeluargaan dari beberapa cerita yang disebutkannya seperti Blora, Dia Jang Menyerah, dan Bukan Pasar Malam tidak menyajikan ’riwayat sejati’ keluarga Pramoedya. Tetapi bagi tiga cerita ini Pramoedya memerlukan latar sebuah keluarga yang mempunyai kredibilitas. Dan mungkin tidak kebetulan dalam cerita keluarganya yang nampaknya paling dekat dengan kenyataan keluarga Pramoedya, adalah Bukan Pasar Malam.

Kajian pustaka lainnya yang terkait dengan penelitian ini adalah ”Nilai Sosial

dalam Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar” ditulis oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Univ. Muhammadiyah Makkassar. Dalam novel Azab dan Sengara, penggambaran hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi sikap tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia, peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya.

Sikap tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong Mariamin yang terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan untuk menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk sungai yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak menolong Mariamin. Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan sikap yang mencerminkan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Sikap suka menolong juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah. Dia sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap susah. Walaupun Aminuddin pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu temannya mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap yang dilakukan oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu sesama.

Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki sikap suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya ketika ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan itulah,


(14)

masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa.

Nilai-nilai sosial juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan. Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari nenek moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan (marga). Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena masih dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada marga lain.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, maka penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub sebagai berikut: Bab I berisi Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi Kajian teoretis, yang membahas hakikat sosiologi sastra, hakikat novel, hakikat nilai sosial, dan hakikat pembelajaran sastra.

Bab III berisi Profil Pramoedya Ananta Toer, yang membahas penulis novel Bukan Pasar Malam, karya-karya dan penghargaan Pramoedya Ananta Toer.

Bab IV berisi Analisis nilai sosial novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, yang membahas tinjauan terhadap novel Bukan Pasar Malam, Sinopsis Bukan Pasar Malam, gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam, temuan penelitian dan analisis nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam, implikasi dalam pembelajaran sastra di sekolah. Bab V berisi Penutup, yang membahas simpulan dan saran.


(15)

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Hakikat Sosiologi Sastra 1. Pengertian Sosiologi Sastra

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.5

Sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan perubahannya.6 Sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu. Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan.7

Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood (1972) dalam Faruk (1994) mendefinisikan sosiologi sebagai studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa

5

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 7

6

Dandi Sugono (editor). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. hlm. 1332 7

Drs. Widjojoko, M. Ed, dan Drs. Endang Hidayat, M. Pd. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Edisi I, (Bandung: UPI Press, 2006), hlm. 2


(16)

masyarakat itu bertahan hidup. Hal ini menyebabkan adanya satu pendapat bahwa sosiologi adalah ilmu yang rumit.8

Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke- 18, ditandai dengan tulisan Madame de Stael (Albrecht, dkk., eds., 1970: ix; Laurenson dan Swingewood, 1972: 25-27) yang berjudul De la literature cin sideree dans ses rapports avec les institutions sociales (1800). Meskipun demikian, buku teks pertama baru terbit tahun 1970, berjudul The Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Albrecht, dkk.9

Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran. Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang justru merupakan asal-usulnya. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat, memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.10

Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Burhan mengutip pendapat Wellek dan Warren dalam Teori Pengkajian Fiksi membahas hubungan antara sastra dan masyarakat. Sastra lahir sebagai proses kreativitas manusia yang bersumber dari kehidupan masyarakat (manusia) tempat ia itu dilahirkan. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi (peniruan). Sastra merupakan suatu luapan emosi yang spontan dari hal yang dilihat dan

8

Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 1 9

Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 331

10

Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 332


(17)

dirasakan oleh sastrawan dalam lingkungan kehidupan yang kemudian dituangkannya dalam karya sastra.11

”Sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan

kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan sosial yang memengaruhi pengarang [...] dan harus mengabaikan sudut pandang yang subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya

yang independen dan berdiri sendiri” 12

Karya sastra itu lahir melalui imajinasi pengarang dengan gambaran atau realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Pengarang merupakan anggota masyarakat sehingga dia ikut merasakan dan mengalami akibat dari kejadian-kejadian yang timbul di dalam masyarakat. Oleh karena itu, ide-ide yang diekspresikan dalam karyanya tidak dapat dipisahkan dari situasi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, hal-hal yang dilihat, dialami, dan dirasakan oleh pengarang dalam lingkungannya termasuk lingkungan sosialnya. Dirumuskan sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah karya sastra.

Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat. Ia terikat status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Jadi tak apa, jika kita membicarakan masalah

11

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press.2000), hlm. 6-7

12


(18)

timbal-balik antara ketiga unsur tersebut. Karena sejatinya karya sastra yang telah dijelaskan sebelumnya, diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Boleh dikatakan sastra muncul berdampingan dengan lembaga sosial tertentu. Dalam masyarakat primitif, misalnya, kita sulit memisahkan sastra dari upacara keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-hari, dan permainan. Dalam membaca novel atau sajak, kita masih bisa mendapatkan kenikmatan seperti yang didapatkan dari permainan. Kita pun mungkin bisa merasa lega sehabis mengikuti upacara keagamaan. Dan apabila kita mampu memahami pesan yang terselubung di dalam karya sastra, batin kita lebih tetap dalam menghadapi pekerjaan sehari-hari. Lebih jauh lagi, sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.13

Menurut Ian Watt dalam eseinya yang berjudul ‖Literature and Society‖ tentang hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, secara keseluruhan adalah sebagai berikut: pertama, konteks sosial pengarang. Ini hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaintannya dengan masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Maksudnya sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan masyarakat. Dan ketiga, fungsi sosial sastra, yaitu sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.14

Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, berupa hasil karya sastra dengan masyarakat.

13

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 1-2

14

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 3-4


(19)

B. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ’novel’ berarti karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Sebutan novel dalam bahasa Inggris yang masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti

’sebuah barang baru kecil’, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Abrams, 1981: 119)

Dalam novel tercakup pengertian roman; sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya roman waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia waktu itu pada umumnya berorientasi Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan roman. Istilah ini juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa. Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris. Di Inggris dan Amerika istilah yang dikenal adalah novel, tidak dikenal atau tidak menggunakan istilah roman, betapapun menyangkut karya-karya besar. Karya Tolstoi, Perang dan Damai, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga disebut novel walaupun di Rusia dinamai roman.15

Unsur-unsur yang membangun sebuah novel secara garis besar dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Struktur luar (ekstrinsik) dan (2) Struktur dalam (intrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya: faktor sosial-ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Sedangkan struktur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut, seperti: tema, tokoh, alur, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.16

15

Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 32 16


(20)

C. Hakikat Nilai Sosial

Setiap masyarakat sebagai sebuah kehidupan bersama tentulah memiliki berbagai aturan atau kesepakatan yang luhur untuk mengatur berlangsungnya kehidupan bersama. Kehidupan bersama tentu juga memiliki sesuatu yang dijunjung tinggi, dihormati, serta ditaati oleh seluruh anggota masyarakatnya. Di sisi lain, ada juga sesuatu yang dilarang untuk dilakukan dan harus dijauhi oleh anggota masyarakat. Sesuatu tersebut secara umum disebut sebagai nilai sosial.

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu terdapat perbedaan tata nilai antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.

1. Nilai dan Sosial

Nilai menurut Horton dan Hunt (1987) adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.17

Kata ’nilai’ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.

Kata ’nilai’ diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas untuk mempunyai nilai. Maka sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau berguna dalam kehidupan manusia. Sedangkan kata ’sosial’ memiliki arti berkenaan dengan masyarakat. Jadi, nilai sosial merupakan hal-hal bersifat

17

J. Dwi Narwoko, dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua, (Jakarta: Media Group, 2004), hlm. 55


(21)

penting dan berguna bagi kemanusiaan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat.

2. Pengertian Nilai Sosial

Berikut ini definisi nilai sosial menurut pendapat para ahli: a. Alvin L. Bertrand

Nilai adalah suatu kesadaran yang disertai emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu objek, gagasan, atau orang.

b. Robin Williams

Nilai sosial adalah hal yang menyangkut kesejahteraan bersama melalui konsensus yang efektif di antara mereka, sehingga nilai-nilai sosial dijunjung tinggi oleh banyak orang.

c. Kimball Young

Nilai sosial adalah asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa yang penting dalam masyarakat.

d. Clyde Kluckhohn

Dalam bukunya ' Culture and Behavior ', Kluckhohn menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nilai bukanlah keinginan, tetapi apa yang diinginkan. Artinya nilai bukan hanya diharapkan, tetapi diusahakan sebagai suatu yang pantas dan benar bagi diri sendiri dan orang lain. e. Woods

Nilai sosial adalah petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.


(22)

f. Koentjaraningrat

Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

g. Green

Kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek. Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.18

3. Ciri Nilai Sosial

Beberapa ciri nilai sosial di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Nilai sosial merupakan konstruksi masyarakat sebagai hasil interaksi antaranggota masyarakat

b. Nilai sosial disebarkan di antara anggota masyarakat (bukan bawaan lahir) c. Nilai sosial terbentuk melalui sosialisasi (proses belajar yang berlangsung

sejak dari masa kanak-kanak dalam keluarga)

d. Nilai sosial merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan sosial manusia

e. Nilai sosial dapat memengaruhi pengembangan diri sosial dalam masyarakat, baik positif maupun negatif

18Anonim, ”Nilai Sosial” di dalam

http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial (diunduh pada Jumat, 1 April 2011 pkl 21:24 WIB)


(23)

f. Nilai sosial memiliki pengaruh yang berbeda pada antaranggota masyarakat

g. Nilai sosial bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain

h. Nilai sosial cenderung berkaitan satu sama lain dan membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam suatu masyarakat.19

4. Macam-macam Nilai Sosial

Ada beberapa macam nilai sosial dalam masyarakat yang berfungsi sebagai sarana pengendalian dalam kehidupan bersama. Seseorang dianggap patuh atau menyimpang dari tatanan sosial, nilai tersebut sebagai tolok ukurnya. Nilai-nilai tersebut sebagai nilai yang bersifat umum berlaku pada hampir semua masyarakat. Adapun nilai-nilai yang dimaksud, antara lain sebagai berikut:

1. Etika

Etika menjadi tolok ukur untuk menganggap tingkah laku atau perbuatan seseorang dianggap baik atau menyimpang. Etika adalah suatu nilai tentang baik atau buruk yang terkait dengan perilaku seseorang dalam kehidupan bersama. Misalnya, dalam berbicara, sopan atau tidakkah seseorang dalam bertutur kata. Jika seseorang berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa mereka akan menggunakan kromo madyo atau kromo inggil kepada orang yang lebih dihormati, misalnya: ‖Punopo bapak sampun dhahar?‖ (Apakah Bapak sudah makan?)

2. Moral

Nilai sosial yang terkait dengan moral adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan jiwa, hati, dan perasaan seseorang dalam melakukan tindakan. Nilai moral menjadi tolok ukur untuk menganggap perilaku seseorang, bertentangan dengan hati nurani atau tidak. Misalnya, mencuri, tidak jujur, dan ingkar janji merupakan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan moral. Tindakan pemerkosaan, melakukan kebohongan, dan memfitnah adalah tindakan yang tidak bermoral.

19


(24)

3. Agama

Nilai sosial terkait dengan nilai agama adalah tindakan-tindakan sosial yang terkait dengan tuntunan ajaran agama yang ada. Apakah seseorang menjalankan kewajiban agama secara benar dan baik ataukah ia tidak menjalankan kewajiban keagamaannya secara baik.

4. Hukum

Nilai hukum sangat terkait dengan perundang-undangan yang berlaku. Hukum biasanya memiliki kepastian tentang nilai-nilai yang diatur di dalamnya dan sanksi yang diberikan terhadap pelanggarnya. Nilai hukum terkait dengan hak asasi manusia atau terkait dengan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan akan masuk dalam hukum pidana. Pelanggarnya secara otomatis dilaporkan oleh pihak kepolisian untuk diadili.20

D. Hakikat Pembelajaran Sastra

Secara umum tujuan pembelajaran matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu: (1) agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi

20


(25)

kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.

Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Dalam Kurikulum 2004 kecakapan hidup ini disebut sebagai Standar Kompetensi Lintas Kurikulum. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan menjadi lima jenis. Kelima jenis kecakapan itu adalah:

1. kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan personal; 2. kecakapan berpikir rasional (thinking skill);

3. kecakapan sosial (social skill);

4. kecakapan akademik (academic skill); 5. kecakapan vokasional (vocasional skill).21

Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta. Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat, bukan dengan cara teknik akademis melisankan melalui tulisan sastra.22 Perbedaan sastrawan dengan orang lain terletak pada kepekaan sastrawan yang dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang lain. Sastra selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca.

Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah sewajarnya bila tujuan pembelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada siswa. Sastra dapat mempengaruhi daya emosi, imajinasi, kreativitas, dan intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal.

21

Dr. Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra (Jakarta: 2008), hlm. 171-173 22


(26)

Karya sastra sangat bermanfaat bagi pembaca apabila ia bersedia mengapresiasikannya. Apresiasi mengandung arti memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai. Obyek apresiasi lain, mengalami sendiri atau dari membaca buku. Salah satu buku yang juga memuat pengetahuan adalah novel.

Karya sastra yang berbentuk novel, memuat kisah-kisah tentang kehidupan yang disampaikan dengan menggunakan bahasa secara halus yang bersifat imajinatif oleh pengarang. Oleh karena itu, pembaca pun mesti menggunakan pikiran kritis dan kepekaan perasaannya untuk karya sastra. Pemahaman sensitif lebih mengacu pada aspek afektif kemampuan seseorang daripada aspek kognitif.

Menurut Oemarjati mengapresiasikan sastra berarti menanggapi sastra dengan kemampuan afektif yang di satu pihak peka terhadap nilai-nilai yang dikandung karya yang bersangkutan baik yang tersurat maupun tersirat dalam kerangka tematik yang mendasarinya. Di lain pihak kepekaan tanggapan tersebut berupaya memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalan. Dengan demikian pembelajaran sastra di sekolah dilakukan dengan metode yang tepat mengacu pada kemampuan afektif siswa, sehingga menjadi apresiatif.23

23

Boen, S. Oemarjati, ―Pembinaan Apresiasi Sastra Dalam Proses Belajar Mengajar,‖, dalam Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa: Pembahasan Pengajaran, ed., Bambang Kaswanti Purwa (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 58


(27)

BAB III

PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER

A. Penulis Novel Bukan Pasar Malam

1. Biografi Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer yang oleh semua adiknya dipanggil Mas Moek, adalah nama kepengarangan yang kini menjadi standar bagi dia. Perjalanan dari nama Pramoedyo ke nama Pramoedya Ananta Toer, tidak sangsi lagi, merupakan sejarah panjang pergulatan pemikiran dan perenungan. Tidak heran, Mas Moek merasa perlu menuliskannya dalam satu uraian panjang berjudul

―Memoar−Hikajat Sebuah Nama‖ di tahun 1962.

Paling tidak ada sembilan nama yang pernah digunakannya, sebelum akhirnya ia mantap menggunakan nama Pramoedya Ananta Toer. Itu dapat dilacak dari berbagai tulisan yang dimuat dalam májala dan suratkabar pada zamannya, yaitu:

a. Pramoedya Tr., dalam ―115 Boeah Wasiat Madjapahit‖, penerjemah (Sadar, No. 5 Th. II, 10 Januari 1947)

b. Ananta Toer, dalam Lode Zielens: ―Bunda untuk apa kami dilahirkan‖, penerjemah (Sadar, No. 5 Th. II, 13 Juni1947)

c. M. Pramoedya Toer, dalam ―Hoeroef‖ (Sadar, No. 5 Th. II, 10 Januari 1947)

d. Pr. Toer, dalam ―Kalau Mang Karta di Djakarta‖ (Sadar, Mei 1947),

“ORI di Djakarta” (J. 23-5-1947, Sadar 1947)

e. Pr. A. Toer, dalam ‖Dajachajal, ketekunan, keperwiraan dan ilmu‖ (J. 11-XI-1952, Pemuda, No. 1 Th. IV, Januari 1954)

f. Pramoedya Toer, dalam ‖Bingkisan: Untuk adikku R.‖ (Sadar, No.6 Th. II, 13 Juni 1947)

g. Pram Ananta Toer, dalam ‖Keluarga Mbah Rono Djangkung‖ (sumber tak jelas)

h. Pramudya Ananta Tur, dalam ‖Lemari Buku‖ (Mimbar Indonesia, [1951],

”Keadaan sosial para pengarang Indonesia” (Star Weekly, No. 576, 12


(28)

i. Pramudya Ananta Toer, dalam ”Kalil siopas kantor”, ”Yang tinggal dan yang pergi (Gelanggang, April 1955), dan akhirnya

j. Pramoedya Ananta Toer, dalam ”Anak Tumpahdarah” (sumber tak jelas).24

Pramoedya Ananta Toer lahir di tengah-tengah keluarga guru yang gandrung akan kemerdekaan. Mamuk adalah nama kecil dari Pramoedya Ananta Toer, ayahnya bernama Imam Mastoer, ia dilahirkan pada hari Jumat, tanggal 6

Februari 1962. Nama Pramoedya sendiri memiliki makna “yang paling pertama

dalam peperangan”, makna dari nama tersebut sesuai dengan suasana waktu itu

pada zaman penjajahan. Ibunya pernah menerangkan bahwa para yang berarti

’yang terutama’ atau ’paling pertama’, sedangkan moedya berarti ’peperangan’, jelas yang paling pertama dalam peperangan.25

Ayahnya bernama Mastoer adalah seorang guru. Selain itu ayahnya juga seorang tokoh Politik (PNI) cabang Blora yang juga mampu menulis. Hal ini banyak berpengaruh terhadap Pram. Apalagi ia pernah bersekolah di sekolah yang berpaham kebangsaan. Paham kebangsaannya itu tumbuh dan berkembang saat Belanda ingin memulihkan kekuasaannya di Indonesia. Pram bergabung dengan kaum nasionalis, dengan bekerja di radio dan menerbitkan majalah berbahasa Indonesia. Pada saat itulah ia mulai menulis cerita. Tulisannya yang pertama adalah cerita pendek berjudul Kemana di majalah Pancaraya tahun 1947. Selanjutnya namanya mencuat melalui novel Kranji-Bekasi Jatuh pada tahun 1947. Pram mengaku menulis sejak duduk di kelas 4 sekolah dasar (SD), satu di antaranya pernah dikirimkan ke penerbit Tan Koen Swie, Kediri, tetapi ditolak.

Anak sulung ini pernah menempuh pendidikan di Radio Volkschool Surabaya (1940), Taman Dewasa/Taman Siswa (1942-1943), Sekolah stenografi (1944-1945), dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945). Pernah menjadi juru tik di Kantor Berita Jepang Domei (1942-1945), Letnan dua dalam Resimen 6 Divisi

24

Koesalah Soebagyo Toer, Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. viii

25Koesalah Soebagyo Toer, “Pengantar Koesalah Soebagyo Toer” di dalam Menggelinding


(29)

Siliwangi (1946), Redaktur Balai Pustaka (1950-1951), Pimpinan ”Literary & Features Agency Duta” (1951-1954), Redaktur bagian penerbitan ”The Voice of Free Indonesia” (1954), anggota Pimpinan Pusat Lekra (1958), Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasjkent, Uni Soviet

(1958), Anggota Dewan Komite Perdamaian Indonesia (1959), redaktur ”Lentera”

(1962-1965). Dosen Fakultas Sastra Universitas Res Republika, Jakarta (sekarang Universitas Trisakti), dan dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, Jakarta.

Pada saat di Penjara Bukit Duri, tahanan dilarang untuk menulis, Pram mencari cara untuk tetap bisa menulis, yaitu memakai arang yang diruncingkan. Ia menulis sambil jongkok di atas kaleng margarin, dengan alas sepotong papan, bermeja ambin beton yang biasa digunakannya untuk tempat tidur. Ia pun tetap menulis di kala malam, sambil tengkurap di ambin tempat tidurnya dengan penerangan pelita. 26Di Pulau Buru pun ia mendapat pelarangan yang sama. Namun, ia tetap mengatur untuk menulis. Tubuh Pram memang terpenjara. Namun tidak menghalangi pikirannya yang terus bergolak. Bahkan di Pulau Buru lah empat buku novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang merupakan karya terbesar Pram Tetralogi Pulau Buru. (The Quartet Buru). Proses penciptaan buku tersebut itu pun sangat luar biasa. Pram khawatir tidak mungkin bisa keluar dari Buru hidup-hidup dan menyelesaikan empat bukunya itu. Lalu ia memutuskan untuk mengarang empat novel tersebut di dalam kepalanya, dan menceritakannya secara lisan kepada rekan-rekannya sesama tahanan politik di Pulau Buru.

Pada tahun 1960an ia ditahan kembali oleh pemerintahan Orde Baru rezim Soeharto karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan (Juli 1969-16 Agustus 1969), dan akhirnya di Pulau Buru selama sepuluh tahun (Agustus 1969-12 November 1979). Penjara, penderitaan, penyiksaan, penghinaan tidak

membuat Pramoedya Ananta Toer “mati”. Kreativitasnya bergolak dan semuanya

itu dibalasnya dengan karya-karya besar yang mampu menembus dunia. Dari

26

Pramoedya Ananta Toer. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan Dari Pulau Buru, Jakarta: Lentera. hlm. 70


(30)

penjara inilah karya-karyanya dikenal sampai ke luar negeri. Pramoedya Ananta Toer memang ditakdirkan untuk menulis. Bahkan di penjara di mana ada larangan untuk menulis, Pram menggunakan segala cara untuk bisa menulis.

Kehidupan pengarang yang satu ini tak lepas dari kontroversi. Ketika Pramoedya mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay Award tahun 1995 diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat protes ke Yayasan Ramon Magsaysay. Mereka merasa penghargaan tersebut tidak pantas diberikan kepada Pramoedya, karena Pram pernah dituding sebagai jubir Lekra yang paling galak, menghantam, menggasak, membantai, dan mengganyang di masa Demokrasi Terpimpin.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsanya meralat pemberitaan tersebut. Katanya bukan menuntut pencabutan, namun mengingatkan siapa Pramoedya itu. Katanya banyak orang tidak mengetahui reputasi gelap Pram dulu. Maka dari itu pemberian Ramon Magsaysay dikatakan sebagi suatu kecerobohan. Di lain pihak, Mochtar Lubis mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan kepadanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Begitu pula dengan HB. Jassin.27

Pengarang yang bersahabat dengan penjara ini merupakan penulis yang produktif. Terbukti ia telah menulis lebih dari 40 karya seperti: novel, cerita pendek, drama, sejarah, kritik sastra dan lebih dari 400 essai dalam surat kabar. Pram seorang humanis, sebagaimana ia sangat mengagumi Multatuli. Ia seorang nasionalis, sangat cinta kepada kemanusiaan dan kepada bangsanya. Oleh karena itu, karya-karyanya selalu membela kemanusiaan, tentang penderitaan anak-anak bangsa karena penjajahan. Dari kecintaannya kepada kemanusiaan inilah lahir sejumlah karya Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi hingga Tetralogi Bumi Manusia. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadarkan diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa ia ke RS. St. Carolus. Ia didiagnosis menderita radang

27

Astuti Ananta Toer (editor), dalam buku Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Jakarta: Lentera Dipantara. 2009. hlm.4-5


(31)

paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, ia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu, 29 April sekitar pukul 19.00 WIB begitu sampai di rumahnya. Kondisinya menjadi jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00 WIB. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Ia juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Ia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00 WIB.

Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00 WIB. Para tentangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00 WIB mereka mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, ia sempat

mengerang ”Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang.” katanya. Akhirnya pada tanggal 30 April 2006 pukul 08.55 WIB, Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Jenazahnya dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu dishalatkan. Setelah itu dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

B. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer

Pram tidak memberatkan simpatinya pada suatu –isme, kecuali pada

humanitas. Misalnya dalam ”Dia yang Menyerah” hidup sekali Pram melukiskan jiwa revolusioner pemuda merah, komplit dengan istilah-istilah feodal, borjuis, kapitalis, imperalis dan sebagainya. Sangat realistis sekali lukisan-lukisannya tentang kekejaman yang mendirikan bulu roma dari kedua belah pihak.


(32)

Pram mengaku bahwa Idrus adalah sastrawan yang pertama dikaguminya.28 Ia

bahkan menganggap Idrus adalah ”guru besarnya”. Menurutnya, Idrus adalah

seorang stylist yang belum tertandingi. Tulisan Idrus, katanya, ”tidak ada satu kata yang lebih, dan tidak ada satu kata yang kurang. Ia juga mengagumi Steinbeck, pengarang Amerika. Ia belajar cara menulis plastis, agar tulisan itu memunculkan gambaran seperti film dibenak pembaca. Pram belajar dari William Saroyan cara membuat tulisan agar menimbulkan perasaan haru, dengan menggunakan elemen-elemen yang paling sederhana dalam pertemuan antar manusia. Ia juga belajar dari Maxim Gorki. Menurutnya, Gorki kalau menulis bagai memegang tiang rumah, kemudian mengguncangkannya sehingga semua berubah dan bergerak. Pengarang yang dikagumi Pram yang banyak memberinya inspirasi tentang kemanusiaan adalah Multatuli. Multatuli mendirikan kemanusiaan dengan mengorbankan segala-galanya. Bahkan Pram sering

mengutip ucapan Multatuli, ”It is the duty of human beings to become human”. (kewajiban manusia adalah menjadi manusia).29 Intinya Pram banyak menyuguhkan gugatan terhadap kemiskinan, kebodohan, perbudakan dan pelacuran karena kemiskinan dalam karyanya.

Dua perempuan, dua pahlawan. Ibu dan neneknya dari sosok dua perempuan inilah Pram banyak mendapat inspirasi dalam setiap tulisan-tulisannya. Karena pengaruh perempuan dalam kesehariannya itulah yang menarik Pram untuk menampilkan sosok perempuan di titik pusat karya-karyanya, sebagai barisan Srikandi yang bertarung dengan kekuatan sejarah.

Berbeda dengan hal di atas, novel Bukan Pasar Malam yang dibuat oleh Pram lebih memperhatikan tokoh ayah. Dilukiskan tokoh ayah seorang guru dan nasionalis jatuh sakit lantaran kekecewaannya terhadap pemerintahan yang ada pada saat itu.

28

Hasanuddin WS, Prof. Dr., M. Hum. (Pemimpin Redaksi) Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Titian Ilmu. 2004. hlm. 740-744

29Max Lane. Esei “Man of Letters and Revolution Pramoedya Ananta Toer, Novelist, 1925

-2006” Editor: Astuti Ananta Toer dalam buku 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa., (Jakarta: Lentera Dipantara, 2009), hlm.74


(33)

Cerita dalam novel ini berlangsung di Jakarta dan Blora. Pram sendiri mengaku dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir yang ditulis Kees Snoek, menyebutkan Bukan Pasar Malam sebagai novel otobiografisnya.

“Sebenarnya itu hanya tentang apa yang saya alami sendiri di masa muda dan di

masa perjuangan kemerdekaan”.30 Ia menulis novel ini pada tahun 1950an, di saat Pram berusia 25 tahun.

C. Psikologi Pramoedya Ananta Toer

Pada masa perang kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara oleh Belanda di Jakarta pada tahun 1948 dan 1949. Pada tahun 1950an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya yang berjudul Korupsi.

Buku Korupsi yang terbit pada 1954 mengakibatkan hubungannya dengan pemerintahan Soekarno tidak baik. Karyanya Korupsi merupakan friksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Di masa itu pula ia mempelajari masalah penyiksaan terhadap Tionghoa di Indonesia, dan pada saat yang sama Pram berhubungan erat dengan para penulis di China. Ia kemudian menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia dalam buku Hoakiau di Indonesia. Karena buku tersebut, ia dipenjara oleh Orde Lama selama satu tahun. Kemudian dibebaskan karena desakan internasional.

30

den Boef, August Hans dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: Komunitas Bambu. 2008). hlm: 29


(34)

D. Tinjauan terhadap Novel Bukan Pasar Malam

Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih nyata mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya.

Pada tahun 1951 Balai Pustaka menerbitkan novel Bukan Pasar Malam, dari tahun tersebut dapat dipastikan bahwa Pramoedya menulis novel ini sebelum tahun 1951, atau tepatnya menurut A. Teeuw pada saat sesudah Pramoedya melakukan perjalanan ke Blora dalam bulan Mei 195031. Itu artinya, bahwa novel ini ditulis setelah lima tahun Indonesia merdeka. Tentunya saja, kondisi atau situasi sosial dan ekonomi masyarakat waktu itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi dan tergambar dalam karya itu. Novel ini terinspirasi dari kehidupan Pram yang memang lahir di Blora dan hubungan batinnya dengan sang ayah.

Novel ini menceritakan pengalaman seorang anak yang pulang kampung untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit dan diceritakan dengan sudut pandang orang pertama, yang hanya disebut dengan Aku,. Dimulai dengan persiapan perjalanan ke Blora. Aku harus mencari uang untuk perjalanan itu, dan ketika naik sepeda mengelilingi Jakarta, ia memikirkan tentang kemiskinan, kekayaan, kemerdekaan, dan demokrasi yang meragu-ragukan pada awal 1950 di Jakarta.

Bab pertama merupakan ancang-ancang pada tema utama, yaitu kematian sang ayah, ayah yang juga merupakan korban ketaksamarataan di antara manusia yang dihasilkan oleh revolusi, dengan kata lain revolusi sosial yang gagal. Penghayatan Aku dalam Bukan Pasar Malam perjalanan itu sangat lama, sama sekali tidak

31

A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997). hlm. 112-113


(35)

menggairahkan, sebaliknya suram-muram, terutama sebab keterasingan dengan isteri yang baru dikawininya sudah mulai tampak emosi yang dialaminya ketika kereta api berjalan lewat daerah Jawa Barat tempat si Aku ikut berperang tidak dapat dibagikannya dengan isterinya, demikian pula ketika mereka mendekati daerah Blora isterinya tidak dapat ikut merasakan emosi kenang-kenangan masa mudanya. Lain daripada itu rasa berdosanya terhadap ayahnya menjadi ganjalan emosional. Ketika mereka tiba di Blora tidak ada yang menjemputnya, dan dalam perjalanan naik dokar ke rumah tak seorang pun keluarga atau kenalan kelihatan.

Mulai bab keempat, cerita makin berpusat pada penyakit sang ayah, masa lampaunya, dan hubungannya dengan si Aku, walaupun sekaligus yang belakangan ini (dan bersama dengan dia pembaca) mendengar banyak cerita dari anggota keluarga lain tentang segala apa yang terjadi selama tahun-tahun belakangan. Namun cerita ini kurang hebat emosinya, antara lain karena jarak waktu antara yang diceritakan dengan penceritaannya. Yang dominan ialah penghayatan oleh pencerita tentang kematian sang ayah yang tak dapat tidak akan

datang bahwa maut ’bukan pasar malam’. Bukan keramaian yang dialami

bersama-sama, melainkan pengalaman yang ngeri, yang mendatangi setiap manusia dalam keadaan mutlak.32

Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasar malam... Seorang-seorang datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana... (Toer, 2007: 5)

Menurut Romo Mangunwijaya, inilah novel Pram yang paling menonjol dan paling disukainya. Sebabnya sederhana karena belum tersentuh oleh tangan-tangan politik penulisnya. Novel ini pun sangat manis dan liris karena ia mengangkat hal ihwal sehari-hari dan jauh dari tema besar bergebyar-gebyar. Ini adalah novel biografis penulisnya di hari-hari jelang ayahnya wafat di Blora. Ia mampu menyajikan dialog-dialog yang menyentuh. Juga tentang renungan soal hakikat hidup dan kematian manusia yang bukan seperti pasar malam.

32

A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997), hlm: 118-119


(36)

BAB IV

ANALISIS NILAI SOSIAL NOVEL

BUKAN PASAR MALAM

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

A. Gambaran Sosial Masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam

Potret masyarakat yang secara khusus ingin digambarkan oleh Bukan Pasar Malam yaitu kelas-kelas yang tercipta dalam masyarakat. Kesenjangan sosial begitu terlihat sebagai akibat adanya kelas di masyarakat. Berbagai alasan timbul melatarbelakangi hal tersebut mulai dari ekonomi, hingga sistem pemerintahan.

―Kadang-kadang kereta kami berpacu dengan mobil, dan kami

memperhatikan tamasya itu dengan hati gemas. Debu yang ditiupkan oleh mobil debu yang bercampur dengan berbagai macam tahi kuda, tahi manusia, reaknya, ludahnya mengepul menghinggapi kulit kami. Kadang-kadang kami dapati anak-anak kecil bersorak-sorak sambil mengulurkan topinya mengemis. Dan keadaan ini berlaku sejak jalan kereta api dibuka dan kereta api meluncur sejak di atas relnya. Bila orang melempar-lemparkan sisa-sisa

makanan, mereka berebutan. Tapi ini tidak penting betul kuceritakan.‖

(Toer, 2007 :20).

Barangkali kesenjangan sosial yang tergambar di atas dilatarbelakangi perbedaan dalam masalah ekonomi si kaya dan si miskin. Gambaran paradoks tercermin ketika kaum kaya dapat menikmati segala fasilitas, kaum miskin hanya bisa mendapatkan sisanya. Ini jelas merupakan sebuah ironi bagi sebuah bangsa yang menyebut salah satu dasar negaranya adalah keadilan sosial bagi seluruh warga negaranya. Tokoh Aku sudah geram dengan keberadaan semua ini. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin, juga bedanya rakyat dengan pejabat.

Pejabat yang dimaksud adalah seorang presiden dan kroni-kroninya. Dalam alur kisahnya tokoh Aku menyamakan presiden dengan seorang raja yang bisa mendapatkan segala kemudahan dan semua yang diinginkannya.

―Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku

meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu mandi dalam cahaya lampu listrik. Entah beberapa pluh ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam sangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit lima kilowatt. Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal


(37)

Untuk cuplikan di atas, latar belakang pemerintahan dalam hal ini kekuasaan, termasuk di dalamnya ekonomi menjadi penyebab terjadinya kesenjangan sosial. Secara tegas tokoh Aku merasakan adanya kesewenangan seorang presiden dalam mendapatkan listrik yang seharusnya menjadi milik semua rakyat.

―Ya, Mas,‖ kata adikku dengan suara yang tidak bertujuan. Kemudian ia

meneruskan ceritanya, Kemudian ayah terlampau banyak bekerja untuk Republik. Dan waktu kita merdeka, ayah jatuh sakit. Tiga bulan dirawat di rumah sakit. Tapi ayah masih juga banyak bekerja. Akhirnya terasa juga olehnya bahwa kesehatannya tak mengizinkan, dan sebuah demi sebuah jabatannya dalam pergerakan politik dan sosial dilepaskan. Tapi kesehatannya yang dulu tak kembali. Ayah jatuh sakit lagi hingga kini. Dokter bilang sakit paru-paru. Dan waktu kutanyakan ke sana-sini, barangkali ayah bisa ditempatkan di sebuah sanatorium- ya, Mas, pertanyaan itu tinggal jadi dengung belaka. Tak ada setangkup pun mulut yang berani menjawab. Kalau ada orang menjawab, jawabannya hanya begini; ongkos di sanatorium mahal sekarang. Dan kalau tidak begitu jawabannya ialah, sanatorium? Sanatorium sudah penuh oleh pedagang. Kalau engkau jadi pegawai, kalau bukan pegawai tinggi, jangan sekali-kali berani mengharapkan mendapat tempat di

sanatorium.‖ (Toer, 2007: 64)

Setahun kemudian melayang surat dari Blora. Pamannya memberi kabar buruk padanya. Isi surat itu menyatakan ayahnya sedang sakit TBC, dirawat di rumah sakit. Dalam pikiran Aku hanyalah bagaimana caranya mengumpulkan uang untuk membayar rumah sakit. Hal ini sangat berbeda dengan cerita para pejabat, Jenderal pada saat itu. Mereka dapat hidup enak, malah mereka sibuk mengumpulkan harta benda untuk kepentingan pribadi mereka. Di kala mereka sakit, mereka mendapat pelayanan kesehatan yang sangat baik dari rumah sakit tanpa harus memikirkan biaya rumah sakit maupun lain-lain yang begitu mencekik rakyat kecil.

Jika ayah jadi wakil rakyat, atau jadi koordinator, ayah akan jadi pegawai tinggi. Dan kalau ayah jadi pegawai tinggi barangkali bisa mendapat tempat di sanatorium. Tapi dalam kenyataannya, ayah hanya seorang guru yang sangat tidak diperhatikan kesejahteraannya.

Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu mandi dalam cahaya lampu listrik. Entah beberapa ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam persangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit lima kilowatt.


(38)

Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat tilpun dan istana mendapat tambahan.

Presiden memang orang praktis tidak seperti mereka yang memperjuangkan hidupnya di pinggir jalan berhari-harian. Kalau engkau bukan presiden, dan juga bukan menteri, dan engkau ingin dapat tambahan listrik tigapuluh atau limapuluh watt, engkau harus berani menyogok dua atau tigaratus rupiah. Ini sungguh tidak praktis. Dan kalau isi istana itu mau berangkat ke A atau ke B, semua sudah sedia pesawat udaranya, mobilnya, rokoknya dan uangnya. Dan untuk di Blora ini, aku harus pergi mengelilingi Jakarta dulu dan mendapatkan hutang. Sungguh tidak praktis kehidupan seperti itu.

Dan kalau engkau jadi presiden, dan ibumu sakit atau ambillah bapakmu atau ambillah salah seorang dari keluargamu yang terdekat, besok atau lusa sudah bisa datang menengok. Dan sekiranya engkau pegawai kecil yang bergaji cukup hanya untuk bernafas saja, minta perlop untuk pergi pun susah. Karena, sep-sep kecil itu merasa benar kalau dia bisa memberi larangan sesuatu pada pegawainya. (Toer, 2007: 9-10)

Sungguh malang nasib rakyat kecil pada masa itu, bahkan sampai saat ini pun hal itu tetap terjadi. Jika kita tak punya uang, barang yang sangat kita inginkan pasti hanya bisa dilihat tapi tak bisa dibeli. Berhutang pun merupakan suatu cara yang harus dipilih untuk menyambung hidup.

―Pagi-pagi itu kereta pertama telah meluncur di atas relnya dari stasiun Gambir. Gundukan tanah merah yang tinggi, yang selalu kulihat di zaman Jepang dulu bila aku bepergian ke Blora juga, kini tinggal seperempatnya. Diendapkan oleh hujan. Dicangkuli. Diseret oleh air hujan. Tiba-tiba saja terasa ngeri olehku melihat gundukan tanah merah di stasiun Jatinegara itu. Bukankah hidup manusia ini tiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan tanah merah itu?‖ (Toer, 2007: 12)

Kutipan di atas memang benar adanya. Kehidupan rakyat kecil selalu dirampas kebahagiaannya oleh pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Tokoh ayahpun begitu, waktu bersama keluarganya dirampas oleh para komunis, dengan memenjarakannya di berbagai tempat. Bagaimana perasaan anak mereka jikalau sosok ayah yang seharusnya menjadi panutan tetapi direbut dari kebahagiaan keluarga.

Kemudian, keadaaan kota Blora sangatlah memprihatinkan bahkan air di kota itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng di kota ini tak boleh diharapkan. Barangkali air mandi inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian ledeng dengan teratur,


(39)

bening dan baik. Di sini, orang-orang berjalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak. Dengan begitu, masyarakat secara sendirinya telah membuat kelas sosial di dalamnya. Seperti yang membedakan si miskin dan si kaya. Kelas sosial pun terjadi dengan warga desa dengan warga kota baik dari segi ekonomi, fasilitas, kemampuan, citra, pendidikan, dll yang tercermin dalam cuplikan dibawah ini:

Air di kota kami yang kecil itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng disini tak boleh diharapkan. Barangkali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air ledeng dengan teratur, bening, dan baik. Di sini, orang berjalan-jalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak.

(Toer, 2007 :42).

Di samping itu, orang Blora pada zaman itu sangat mempercayai hal-hal mistik. Mereka menghubung-hubungkan suatu kejadian dengan keadaan rumah mereka masing-masing.

―Ya, Gus, rumahmu itu aku juga yang mendirikan dulu. Waktu itu engkau baru bisa tengkurap. Duapuluh lima tahun yang lalu! Dan selama itu, rumahmu itu belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Duapuluh lima tahun! Itu tidak sebentar dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Cobalah lihat rumah-rumah tembok yang didirikan sesudah rumahmu, semua itu sudah roboh, bongkar, dan sobek-sobek. Rumahmu itu sangat kuat. Sekarang suaranya jadi ketua-tuaan, ―Kalau bisa, Gus, kalau bisa, harap rumahmu itu engkau perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan engkau sudah terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua dulu: Apabila rumah itu

rusak, yang menempatinya pun akan rusak.…

―Kuharap ayahmu lekas sembuh oleh kedatanganmu itu. Dan lagi, dan lagi,

orang tua-tua bilang, engkau masih ingat bukan? Masih ingat apa yang kukatakan tadi? Apabila rumahnya rusak ….‖ (Toer, 2007: 44)

Kemudian, pamannya Agus mengajak Agus pergi menemui guru dukun, untuk menyembuhkan sang ayah. Karena mereka telah kehabisan akal dan kesabaran.

―Ini bukan usada, ini hanya syarat saja. Tuan boleh merendamnya di air

minum ayah Tuan. Tapi aku sendiri tak bisa berkata apa-apa.

Kami bertiga menunduk seperti takut berpandang-pandangan satu sama lain. Kemudian aku lihat paman mengambil dupa itu dan dimasukan ke dalam sakunya. Percakapan hanya dengan lambat saja bisa hidup kembali. Kemudian terdengar guru dukun itu bercerita.‖ (Toer, 2007: 51)


(40)

Hal yang dianggap mereka mistik dan sangat dipercayai oleh mereka tak menghasilkan apa-apa. Syarat-syarat yang telah dianjurkan oleh guru dukun itu tak mempan untuk menyembuhkan penyakit ayah. Memilih dukun sebagai alternatif penyembuhan Ayah, merupakan bentuk ketidakmampuan manusia untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.

Kepedulian masyarakat terhadap pendidikan sangatlah kurang. Anak-anak mereka punya cita-cita yang tinggi akan tetapi tidak ada yang mempedulikan nasib guru di masa yang akan datang. Siapa yang akan mengajar cucu mereka jika tak ada yang mengajar mereka.

Karena itu waktu aku bertanya pada murid-murid yang akan meninggalkan bangku sekolah. Siapakah yang akan meneruskan ke sekolah guru? Di antara murid-murid yang limapuluh orang itu Cuma tiga orang yang mengacungkan jarinya. Selain itu, semua mau meneruskan ke sekolah menengah. Alangkah sedihku waktu itu. Dan berkata aku pada mereka. Kalu di antara limapuluh orang Cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak jadi jenderal, adakah akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate? Tak ada yang menjawab di antara mereka. Kemudian ku nasihati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskanlah cita-citamu untuk menjadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah kurban-kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat, membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa. Dan mereka yang tiga orang itu bilang dengan sungguh-sungguh, kami bercita-cita jadi guru walau bagaimanapun juga sukarnya. Dan aku angguk-anggukkan kepalaku kepada tiga orang itu. (Toer, 2007: 54-55)

Kesejahteraan guru setelah merdeka sangat tidak diperhatikan oleh pemerintah. Nampak sekali bahwa kemauan dan keinginan ayah tambah berubah-ubah. Pagi itu seorang juru rawat yang semalam kena dinas jaga malam datang ke rumah kami dan menyerahkan selembar kwitansi, minta voorschot gaji untuk bulan Maret. Bulan itu adalah bulan Mei. Kwitansi itu dari ayah. Aku tak mengerti mengapa voorschot untuk bulan Maret yang dimintanya. Dan di kala hal ini kutanyakan pada paman, ia mengatakan: Sejak kita merdeka, guru belum lagi dibayar. Hampir setengah tahun ini.

Ironi sekali nasib guru pada pascakemerdekaan, begitu pun adanya sekarang.

Kebanyakan masyarakat kita menjadikan profesi guru sebagai ’alternatif’.


(1)

1978 Adopted Member of the Nederlands Center of PEN International (sewaktu masih di Pulau Buru), Honorary Member of the Japan Center of PEN International (sewaktu masih di Pulau Buru)

1982 Honorary Life Member of the International PEN Australia Center, Australia. Honorary Member of the PEN Center Swedia.

1987 Honorary Member of the PEN American Center, Amerika Serikat. 1988 Freedom-to-Write Award dari PEN American Center, Amerika

Serikat.

1989 Anggota Deutschsweizeriches PEN, Zentrum, Switzerland. Anugerah The Fund for Free Expression, New York, Amerika Serikat.

1992 International PEN English Center Award, Great Britain.

1995 Wertheim Award ―for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people (dari The Wertheim Foundation, Leiden, Belanda).

Ramon Magsaysay Award, ―for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognition of his illuminating with brilliant stories the historical awakening, and modern experience of the Indonesian people‖. (dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina).

1996 UNESCO Madanjeet Singh Prize, ―in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence‖ (dari UNESCO, Paris, Perancis).

1999 Doctor of humane Letters, ―in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom‖ (dari University of Michigan, Madison, Amerika Serikat).

Chanceller’s Distinguished Honor Award. ―for his outstanding literary archievements and for his contributions to etnic tolerance and global understanding‖ (dari University California, Berkeley,


(2)

Amerika Serikat. International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland.

2000 New York Foundation for Arts Award, New York, Amerika Serikat. Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.

2004 The Norwegian Authors Union, Centenario Pablo Neruda Republica de Chile.

4. Studi Mengenai Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer telah menulis berbagai karya sastra, seperti: novel, cerpen, essei, dan sebagainya. Meskipun karya sastranya banyak ditentang oleh pemerintah pada zamannya. Kini, kita telah dapat dengan bebas menikmati hasil karya sastrawan yang dituding sebagai penganut paham komunis ini. Pecinta sastra telah banyak juga mengulas hasil karya Pramoedya dalam bentuk artikel, studi akademis, maupun buku. Berikut beberapa studi akademis dan buku tentang karya Pramoedya:

1963 Rangkuti, Bahrum. Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya. 1967 Jassin, H.B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei

II (khususnya pada bab ―Pramoedya Ananta Toer Pengarang Keluarga Gerilya‖).

1981 Scherer, Savitri Prastiti. From Culture to Politics: The Writings of Pramoedya Ananta Toer, 1950-1965 (disertasi; Canberra)

1997 Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer.

1999 Kurniawan, Eka. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.

2000 Mrazek, Rudolf. Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Baru.

Sebenarnya masih banyak tulisan tentang karya Pramoedya selain yang penulis sebutkan di atas. Pembaca dapat melihat berbagai artikel tentang Pramoedya dan karyanya dalam buku Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa.


(3)

BIOGRAFI PENULIS

MEGA FIYANI lahir di Tangerang, 1989. Menuntaskan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Sekolah Islam Al-hasanah. Kemudian, ia menuntut ilmu di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Yadika 3 Karang Tengah. Setelah itu, ia melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Akhir di SMA Negeri 3 Tangerang. Ia meneruskan sekolahnya di Perguruan Tinggi Islam Negeri, yaitu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, masuk pada tahun angkatan 2007. Ia mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

Mahasiswa yang gemar dengan kebudayaan dan kesenian tradisional Indonesia ini pernah menjabat sebagai Ketua Koordinator Seni Karawitan POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah) selama 3 tahun. Saat ini ia aktif sebagai Tutor Bahasa Inggris-Indonesia untuk Sekolah Dasar di daerah Bintaro. Selain itu, ia juga bekerja menjadi front liner di South Java Entertaiment.

Dalam hidupnya berprinsip Ora et Labora bahwa bekerja tanpa berdoa bagaikan tubuh tanpa jiwa, karena sebagaimana makanan untuk tubuh, berdoa adalah makanan bagi jiwa. Dengan berdoa dan bekerja yang selalu berjalan beriringan serta saling meresapi, harmoni antara tubuh, pikiran, dan jiwa akan terwujud.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979

_____________________. Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2004

den Boef, August Hans dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Komunitas Bambu. 2008

Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005 Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994

Hasanuddin WS, Prof. Dr., M. Hum (Editor). Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Titian Ilmu. 2004

Ikram, Achadiati, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra dan Aksara, Jakarta: Rajawali Pers. 2009

Lane, Max. Esei Man of Letters and Revolution Pramoedya Ananta Toer, Novelist, 1925-2006 Toer, Astuti Ananta (editor) dalam buku Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Jakarta: Lentera Dipantara. 2009

Narwoko, Dwi J., dan Bagong Sujanto. Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua, Jakarta:Media Group. 2004


(5)

Nurgiyantoro, B. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. 2000

Purwo, Bambang Kaswanti. Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa Pembaharuan Pengajaran, Yogyakarta: Kanisius. 1991

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Poststruktualisme: Perspektif Wacana Naratif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004

Semi, Atar. Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya. 1988

Sugono, Dandi (Pimpinan Redaksi). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Soeroso, M. S, Andreas. Sosiologi I, Jakarta: Yudhistira. 2006

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT. Grasindo: 2008

Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997

Toer, Koesalah Soebagyo. Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, Jakarta: PT. Gramedia. 2006

Toer, Pramoedya Ananta. Bukan Pasar Malam, Jakarta: Lentera Dipantara. 2003 ____________________. Menggelinding I, Jakarta: Lentera Dipantara. 2004


(6)

Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Edisi I, Bandung: UPI Press. 2006

Yoesof, M. dkk. Susastra 5, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007

Anonim. “Nilai Sosial” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial (diunduh pada tanggal 1 April pukul 21:24 WIB