Hubungan Bilateral China dan Amerika Ser
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kebebasan individu dan kemerdekaan telah menjadi bagian dari Hak Asasi
Manusia (HAM). Penindasan, dalam bentuk apa pun, merupakan pelanggaran atas
nilai-nilai universal HAM. Kesadaran politik masyarakat dunia juga sudah
semakin mengglobal. Isu dan usaha penegakan HAM sudah tidak lagi bersifat
personal atau eksklusif tetapi menjadi perjuangan bersama, perjuangan
internasional dunia. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di dunia,
terlebih lagi pada wilayah konflik. Bukan hanya militer yang berjuang dan
menjadi korban, bahkan warga sipil, wanita, dan anak-anak, yang tidak berdosa
ikut menjadi korban nyawa.
Salah satunya adalah pelanggaran HAM oleh China terhadap masyarakat
Tibet. Tibet sebenarnya merupakan wilayah yang begitu indah dan banyak
diminati wisatawan, tetapi keberadaan peristiwa ini membuat Tibet kehilangan
keindahan tersebut. Daerah dengan suhu rendah itu justru memanas karena
pemberontakan yang berlangsung puluhan tahun.
Sperling Elliot, penulis buku “Tibet Since 1950’s: Silent, Prison, or Exile”,
memberikan pernyataan pada Komite Senat Hubungan Luar Negeri Asia Timur
dan Pasifik, ia menjelaskan bahwa Tibet telah lebih dari satu dekade, menjadi
tempat terjadinya pelanggaran HAM paling nyata dan mengerikan yang dilakukan
oleh China.1
1
Sperling Elliot. 2000. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tibet.
http://www.hrw.org/campaigns/China-99/tibet-test0613.htm (diakses pada tanggal 12 April 2016)
1
Human Rights Watch (HRW), sejak tahun 1987, telah memantau dan
melaporkan secara ekstensif pelanggaran yang terjadi di Tibet. Secara umum,
dengan adanya pendataan terhadap kasus ini, perhatian yang lebih besar
dilimpahkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk Tibet. Misalnya,
pelanggaran HAM Tibet telah dibahas signifikan dalam tinjauan tahunan
Departemen Luar Negeri Internasional.
AS yang terkenal dengan keterlibatannya dalam beberapa konflik internal
negara, dari konflik Israel-Palestina hingga Libya. Tindakan AS telah mendapat
respon pro dan kontra dari para pengamat dan masyarakat internasional. AS
terkesan senang mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk dalam
kasus pelanggaran HAM di Tibet.
Tanggal 18 November 1964, Dalai Lama mengirimkan surat pada Presiden
AS saat itu, Lyndon B. Johnson, isinya adalaha permintaan untuk membantu
perjuangan rakyat Tibet dan mengharapkan bantuannya dalam mengangkat isu
Tibet dalam perbincangan internasional, agar perjuangan Rakyat Tibet mendapat
perhatian dunia2. Johnson membalas surat tersebut dengan menyatakan kesediaan
AS untuk membantu Tibet.
Penulis telah membaca beberapa artikel, serta berita-berita mengenai
pertemuan Dalai Lama dengan para Presiden AS, seperti pertemuan 16 Oktober
2007 di Gedung Putih3 hingga beberapa pertemuan antara Presiden AS dengan
2
Nurani Soyomukti. 2009. Revolusi Tibet : Fakta, Intrik, Politik Kepentigan Tibet – China – Amerika
Serikat. Jogjakarta: Garasi. hal. 100
3
Voice of America. 2007. Presiden Bush Bertemu Dalai Lama di Gedung Putih
http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2007-10-16-voa5-85323027.html (diakses 12 April 2016)
2
Presiden China membahas khusus tentang Tibet. Misalnya pertemuan G.W.Bush
dengan Hu Jintao, 26 Maret 2008 di Washington4.
Pertemuan antara kepala negara tentu mengundang banyak pertanyaan,
apalagi dilakukan oleh kedua negara besar dan berlawanan dalam hal ideologi
pemerintahan. Apakah ini bentuk intervensi atau ada kepentingan khusus yang
menjadi tujuan dari kedua negara tersebut? Inilah alasan sehingga penulis tertarik
untuk mengangkat judul “Intervensi Amerika Serikat terhadap Pelanggaran Hak
Asasi Manusia di China Serta Dampaknya Terhadap Hubungan Bilateral Kedua
Negara (Studi Kasus : Tibet)”
B.
Rumusan Masalah
Dari masalah dan batasan tersebut di atas, penulis merumuskan permasalahan
dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a.
Bagaimana dampak intervensi AS dalam pelanggaran HAM di Tibet,
terhadap hubungan bilateral AS dengan China?
b.
Bagaimana strategi China dalam mengatasi intervensi AS terhadap
pelanggaran HAM di Tibet?
c.
Bagaimana prospek hubungan bilateral AS dan China dalam perspektif
HAM?
C.
Tujuan Penelitian
4
Msnbc. 2008. Bush express concern about Tibet to Chinese.
http://www.msnbc.msn.com/id/23813316/ns/world_news-asia_pacific/t/bush-expresses-concern-about-tibetchinese/#.Tq_U5dSlJRJ (diakses 12 April 2016)
3
Dari rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis menetapkan
tujuan dari penulisan adalah sebagai berikut :
1. untuk mengetahui dan menjelaskan dampak yang ditimbulkan dari
intervensi AS terhadap Hubungan Bilateral AS dengan China dalam kasus
pelanggaran HAM di Tibet, pada period kedua Pemerintahan Presiden
George W. Bush (2004-2008), ditinjau dari segi politik dan ekonomi.
2. untuk mengetahui strategi yang diterapkan Pemerintah China dalam
mengatasi intervensi AS dalam kasus pelanggaran HAM di Tibet, baik
secara bilateral maupun multilateral.
3. untuk mengetahui prospek Hubungan AS dan China dalam perspektif
HAM, pasca terjadinya kasus HAM di Tibet, dengan menganalisa peluang
dan tantangan yang dimiliki kedua negara.
Apabila tujuan tersebut dapat tercapai, maka penelitian ini :
1. diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan terutama dalam disiplin ilmu hubungan internasional,
khususnya dalam persperktif dan masalah HAM.
2. diharapkan dapat menjadi sumber informasi publik, kalangan penstudi
ilmu hubungan internasional khususnya dan semua kalangan secara
umum, serta sumber informasi bagi pemerintah, khususnya dalam
masalah HAM.
D.
Kerangka Pemikiran
4
Dalam
menjelaskan
menggunakan
makalah
konsep-konsep
ini,
yang
penulis
relevan
berusaha
dengan
materi
perkuliahan yaitu konsep-konsep dalam ilmu Ekonomi Politik
Internasional. Dalam hal ini, penulis menekankan pada konsepkonsep
dalam
perdagangan
internasional,
yaitu
kerangka
kerjasama ekonomi regional.
Kerjasama ekonomi regional merupakan hubungan kerjasama
antar negara yang sama-sama berada dalam satu wilayah
tertentu. Kerjasama ini membantu suatu negara dalam satu
kawasan dalam mempermudah proses impor dan ekspor barang
sesuai dengan kerjasama yang di bentuk.
E.
Metode Penelitian
Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Hal ini bertujuan untuk memudahkan penulis dalam menganalisis
Intervensi Amerika Serikat pada kasus pelanggaran HAM di Tibet.
Sifat tulisan ini adalah deskriptif analisis, penulis akan
memaparkan dan mendeskripsikan sejumlah fakta-fakta yang
berkaitan
dengan
pembahasan
makalah
dan
dijelaskan
mengunakan teori dalam hubungan Internasional.
Dalam penelitian ini penulis mengunakan sumber data yang
terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data
5
primer yang penulis gunakan hanyalah dokumen-dokumen dan
tanpa wawancara. Sedangkan data sekunder berasal dari sumber
kepustakaan, seperti; buku, jurnal, dan data dari situs-situs
internet yang dianggap relevan dengan permasalahan dalam
penelitian ini.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Bentuk Pelanggaran HAM China di Tibet
Peristiwa ini berawal saat jatuhnya Dinasti Qing tahun 1912, bersamaan
dengan itu, Dalai Lama ke-13, Pemimpin Spiritual Tibet, mendeklarasikan
kemerdekaan Tibet. Namun, kemerdekaan tersebut tidak bertahan lama karena
direbut oleh China pada masa Pemerintahan Mao Tse Dong tahun 1949. Militer
China melancarkan invasi ke Lasha, Ibu Kota Tibet. Tindakan China itu tidak
membuat Tibet menyerah begitu saja. Meski merasakan dampak kemajuan
ekonomi di wilayah mereka, pemberontakan tetap terjadi.
Pemberontakan terhadap Pemerintah China di wilayah Tibet terjadi pada 10
Maret 1959, tapi dihentikan oleh China dalam beberapa pekan, hingga memaksa
Dalai Lama untuk melarikan diri ke pengasingan, India. Keberlangsungan hidup
rakyat Tibet berada di bawah rezim Beijing. Sejak itu pula, dimulai pembatasan
beragama, penindasan, penyiksaan, pelecehan, dan segala bentuk pelanggaran
HAM oleh aparat militer China terhadap gerakan perlawanan Tibet. Ribuan jiwa
menjadi korban nyawa dalam berbagai serbuan, serangan, serta tindakan militer
lainnya bagi para pembangkang.
7
Demonstrasi para pemberontak itu kembali terjadi tahun 2008, meluas dalam
beberapa hari, sehingga menjadi kerusuhan di seluruh Tibet dan wilayah-wilayah
yang berdekatan dengan penduduk etnis Tibet.5 Sperling Elliot, penulis buku
“Tibet Since 1950’s: Silent, Prison, or Exile”, memberikan pernyataan pada
Komite Senat Hubungan Luar Negeri Asia Timur dan Pasifik, ia menjelaskan
bahwa Tibet telah lebih dari satu dekade, menjadi tempat terjadinya pelanggaran
HAM paling nyata dan mengerikan yang dilakukan oleh China.6
Human Rights Watch (HRW), sejak tahun 1987, telah memantau dan
melaporkan secara ekstensif pelanggaran yang terjadi di Tibet. Secara umum,
dengan adanya pendataan terhadap kasus ini, perhatian yang lebih besar
dilimpahkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk Tibet. Misalnya,
pelanggaran HAM Tibet telah dibahas signifikan dalam tinjauan tahunan
Departemen Luar Negeri Internasional.
Salah satu keprihatinan besar, yaitu pelanggaran kebebasan beragama dan
pelaksanaan ibadah oleh Pemerintah China. Kebijakan yang ditujukan untuk
menundukkan praktek keagamaan bukan hanya masalah propaganda dan
persuasi. Sebaliknya, kebijakan ini melanggar kebebasan individu Tibet untuk
mengekspresikan keyakinan agama mereka yang diterapkan melalui pemaksaan,
represi kekerasan, dan penjara. Salah satu yang terlihat adalah kampanye yang
sedang berlangsung berupa "pendidikan patriotik", yang bertujuan merusak dan
5
Seputar China. 2008. Aksi Free Tibet: China Didesak Perbaiki Kondisi HAM-nya.
http://tiongkokbaru.wordpress.com/2008/03/19/aksi-free-tibet-China-didesak-perbaiki-kondisi-ham-nya/
(diakses pada tanggal 17 Juni 2016)
6
Sperling Elliot. 2000. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tibet.
http://www.hrw.org/campaigns/China-99/tibet-test0613.htm (diakses pada tanggal 17 Juni 2016)
8
menghilangkan pengaruh Dalai Lama di Tibet. Selain itu, ada pula yang tertekan
oleh otoritas China, mereka adalah biara-biara dan menempatkan kuil di bawah
sekuler dalam rangka mengimplementasikan kontrol pemerintah yang lebih besar
dari agama Tibet.
Tashi Tsering, seorang warga Tibet ditangkap di Lhasa, Ibukota Tibet pada
bulan Agustus 1999, saat mencoba mengangkat bendera Tibet di sebuah lapangan
umum. Ia sempat dipukuli sebelum akhirnya dibawa pergi oleh petugas keamanan
umum. Pada bulan Maret 2000, dia dilaporkan telah bunuh diri di penjara sebulan
sebelumnya.
Pada bulan April 2000, laporan kematian terus bertambah. Sonam Rinchen,
seorang petani dari sebuah kota dekat Lhasa, dia telah ditangkap dengan dua
orang lainnya pada tahun 1992 saat membentangkan bendera Tibet selama protes
dan dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara.7
Sebuah studi oleh Tibet Information Network menunjukkan jumlah kematian
tahanan di penjara Drapchi Lhasa pada tahun 1998-1999 sekitar 1 dari 24
jiwa.8 Beberapa diantaranya dilaporkan sebagai kasus bunuh diri. Tindakan keras
Pemerintah China sudah termasuk upaya menutup negara itu dari dunia luar,
menutup akses keluar, juga kontrol atas media, termasuk media internet dan situs
yang digunakan untuk menampilkan rekaman gambar yang terjadi sebenarnya.
China saat ini tidak lagi sama dengan puluhan tahun lalu. China telah
memiliki perekonomian yang eksklusif, negara dengan penduduk padat ini telah
mendominasi pasar internasional. Keberhasilan ekonomi menjadikan negara
7
Free Tibet,2015 Call on China to Stop Torture in Tibet http://www.freetibet.org/about/torture (diakses pada
tanggal 18 Juni 2016)
8
9
matahari terbit sebagai negara besar, meskipun masih berada di bawah
pemerintahan komunis. Pemerintahan Hu Jintao yang berlangsung sejak Maret
2003 hingga saat ini, masih dianggap sebagai penentu masa depan Tibet,
eksistensi China di dunia internasional, dan juga hubungan antara China dan AS.
Sejarah menceritakan bahwa antara AS dan China merupakan dua kubu yang
sangat berbeda, liberalisme yang berkembang di AS, komunisme yang
dipertahankan China. Dahulu mungkin AS tidak khawatir dengan perbedaan
tersebut, namun perkembangan China sepuluh tahun belakangan ini cukup drastis,
sehingga membuat AS perlu mengamati lebih arah kepentingan nasional China.
B.
Bentuk Intervensi Amerika Serikat Terhadap Pelanggaran HAM
China di Tibet
Dalam kaitnaya dengan kasus pelanggaran HAM di Tibet, AS lebih
mengedepankan aspek intervensi terhadap kasus ini, karena dalam hal ini China
dianggap telah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM khususnya dalam
penanganan masalah teritorial bagian Tibet dengan melakukan tindakan militer
dan penangkapan terhadap aktivis keagaman yang dinilai melanggar komitmen
pemerintahan China.
Adapun upaya yang telah dilakukan AS yaitu mengintervensi China
melalui suatu kerangka kebijakan yaitu The Tibetan Policy Act of 2002 yang
secara umum mengarahkan eksekutif China untuk mengupayakan adanya dialog
antara pemerintahan China dengan Dalai lama dan wakil-wakilnya yang
menyangkut perbaikan hubungan antara kedua negara dan mengupayakan adanya
10
pembebasan tahanan politik dan agama Tibet di China, mendukung pembangunan
ekonomi, pelestarian budaya, kelestarian lingkungan, dan tujuan lainnya di Tibet,
dan melaksanakan kegiatan lain demi "dukungan dan aspirasi terhadap rakyat
Tibet untuk melindungi identitas mereka."9
Selain itu adanya peringatan terhadap pemerintah China atas indikasi
pelanggaran HAM melalui agenda perundingan antara pemerintah AS dan China
yang disampaikan melalui agenda a crackdown against demonstrations in Tibet
pada Maret 2008 pada Kongres relasi antara China-AS ke 110 di Beijing.
Adanya keikutsertaan AS dalam upaya perdamaian antara pemerintahan
China dengan Tibet merupakan upaya AS dalam memperluas pengaruhnya
terhadap geografis China dan dapat meningkatkan reputational power di tubuh
China itu sendiri melalui upaya-upaya perdamaian dan penyelesaian sengketa.
Secara umum hubungan politik antara AS dengan China dalam hal ini
mengalami eskalasi terutama terhadap isu Taiwan dan Tibetan namun atas
pertimbangan asspek strategis China sebagai mitra potensial AS di bidang
ekonomi, sosial, dan militer serta atas kepemilikan veto pada PBB, pemerintah AS
mengupayakan tetap menjaga hubungan strategis tersebut, ini ditunjukan melalui
Congress Research Service 2009, mengenai kelanjutan kerjasama yang disepakati
kedua negara10
C.
Dampak Intervensi Amerika Serikat terhadap Hubungan Bilateral
Amerika Serikat dengan China
9
Susan V.Lawrence dan Thomas Lum dalam CRS Report R41108, U.S.-China
Relations: Policy Issue.
10
Ewen MacAskill and Tania Branigan. 2009 “Obama Presses Hu Jintao on
Human Rights During White House Welcome,” Guardian.co.uk
11
Intervensi Pemerintah AS selalu membuat Pemerintah China bereaksi,
bahkan sesekali mengecam tindakan yang begitu berani dilakukan Pemerintah AS.
Namun, di sisi lain, hubungan bilateral keduanya dalam bidang ekonomi tetap
terus berjalan aktif dan mengalami perkembangan. Terbukti dengan terus
diadakannya Startegic Economic Dialogue (SED), yang merupakan salah satu
agenda turunan dari Kongres tahunan mereka. Dalam pertemuan yang
berlangsung, kedua negara bersepakat untuk terus menjalin kerja sama dalam
menjaga stabilitas ekonomi dunia, khususnya ekonomi kedua negara.
Fokus terhadap hasil SED pada Juni dan Desember 2008, pasca terjadinya
pemberontahan dan pelanggaran HAM di Tibet. Baik AS maupun China tetap
bersepakat untuk menguatkan dan menyelesaikan masalah ekonomi yang dihadapi
kedua negara, baik masalah ekonomi domestik maupun masalah ekonomi global.
Menganalisa dampak yang ditimbulkan dari intervensi AS terhadap
pelanggaran HAM di China, dari segi politik dan ekonomi, tidak begitu
mempengaruhi stabilitas hubungan bilateral kedua negara. Sejak diresmikannya
hubungan diplomatik mereka, 1 Januari 1979, hubungan tersebut justru
memperlihatkan kemajuan. Bagi kedua negara, kerjasama dalam HAM
merupakan masalah penting untuk diperhatikan, namun kepentingan dalam
kerjasama politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan masih lebih diutamakan.
Hal ini terkait kepentingan atas eksistensi kedua negara dalam menentukan arah
perekonomian dan perdagangan dunia.
12
Berbagai bentuk kebijakan AS yang dibuat untuk menanggapi kasus HAM
Tibet, secara khusus berdampak terhadap kondisi hubungan bilateral kedua
negara. Pentingnya China dalam ekonomi global, keamanan, lingkungan, dan halhal lainnya telah berkembang, baik Pemerintahan Bush dan Obama bertujuan
untuk menjalin kerjasama bilateral di berbagai bidang, sementara AS sangat tidak
setuju dengan Beijing pada banyak isu-isu HAM.11
Pasca peristiwa pemberontakan Tibet 2008 dan apa yang telah dilakukan
China untuk menghentikan pemberontakan tersebut, telah membuat AS
memberikan berbagai respon negatif. Salah satunya adalah keputusan AS untuk
memboikot Olimpiade Beijing 2008. Meskipun pada akhirnya Olimpiade tersebut
tetap diselenggarakan, bahkan Presiden Bush tetap menghadiri upacara
pembukaannya.
AS tidak dapat serta merta mengakhiri hubungan bilateralnya dengan
China akibat dari konflik ideologi yang mereka miliki atas HAM. AS mengakui
kepentingannya
atas
keberadaan
China
dalam
interaksi
dan
dinamika
internasional. Misalnya saja, hak veto yang dimiliki China di PBB. Pengambilan
keputusan PBB yang diakui banyak diarahkan dan terpengaruh oleh kebijakan
AS, dapat terhambat dengan kepemilikan hak veto tersebut.
D.
Prospek Hubungan AS dan China dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia
Hubungan AS dan China memiliki berbagai masalah kompleks, salah satunya
dalam pembahasan HAM. Mendapati perbedaan mendasar atas perspektif masing11
Ewen MacAskill and Tania Branigan. 2009 “Obama Presses Hu Jintao on Human Rights During White
House Welcome,” Guardian.co.uk, 19 Januari 2011; Helene Cooper and Mark Landler, “Obama Pushes Hu
on Rights but Stresses Ties to China,” New York Times.
13
masing tentang HAM, maka jelas akan terus berlangsung konflik ideologi di
antara kedua negara besar tersebut. Meminimalisir konflik yang ada, AS dan
China telah beberapa kali menggelar Dialog HAM.
Dialog antar keduanya pertama kali dilangsungkan pada 1990. Dialog tersebut
membahas masalah HAM yang terjadi dalam internal negara masing-masing, baik
AS maupun China. Kemudian memberikan masukan satu sama lain demi
berlangsungnya keamanan, khususnya dalam internal negara dan hubungan antar
kedua negara.
Dialog tersebut sempat dihentikan oleh pihak China pada tahun 2004 setelah
Pemerintahan Bush menjadi promotor resolusi PBB yang mengkritik rekaman
HAM China. Namun, pembicaraan kembali berlanjut diakhir periode kedua masa
pemerintahan Bush. Diselenggarakan di Beijing, 24-28 Mei 2008.
Selama lima hari dialog berlangsung, kedua belah pihak memberi pengarahan
satu sama lain pada kemajuan dalam bidang HAM, dan bertukar pandangan yang
luas dan mendalam tentang isu-isu seperti kebebasan berbicara, kebebasan
beragama, anti-diskriminasi rasial dan kerja sama mempromosikan HAM melalui
PBB.
Kedua belah pihak sepakat bahwa dialog yang jujur dan terus terang itu
konstruktif dan membantu meningkatkan saling pengertian dan mengurangi
perbedaan, kata siaran dari kementerian. Mereka juga setuju dialog adalah
kondusif bagi pembangunan berkelanjutan dan suara hubungan bilateral.12 Dialog
ke 14 tersebut, dipimpin oleh Department for International Organizations and
12
China-US Human Rights Dialogue in 2008. Sino-U.S Relations: Facts & Figure. http://www.china.org.cn/
world/china_us_facts_2011/2011-07/21/content_23039908.htm (diakses 18 Juni 2016)
14
Conferences of Chinese Foreign Ministry Wu Hailong dan US Assistant Secretary
of State for Democracy, Human Rights and Labor David Kramer.
Setelah AS berpindah pemerintahan ke tangan Barack Obama pasca pemilihan
umum November 2008, dialog HAM kembali diselenggarakan Mei 2010 di
Washington dan Mei 2011 di Beijing. Kedua dialog tersebut dipimpin oleh
Michael Ponser, Asisten Sekretaris Negara untuk Demokrasi, HAM, dan Tenaga
Kerja AS dan Jenderal Chen, Direktur Jenderal Departemen Organisasi
Internasional China. Pada pertemuan tahun 2010, topik yang dibahas mencakup
tahanan politik China, kebebasan beragama dan berpendapat, hak tenaga kerja,
aturan hukum, dan kondisi di Tibet dan Xinjiang.
Delegasi Cina juga mengunjungi Mahkamah Agung AS dan diberi penjelasan
singkat tentang cara-cara penanganan HAM di AS.13 Selama perundingan 2011,
Asisten Sekretaris Posner mengangkat keprihatinan mendalam Pemerintahan
Obama tentang tindakan keras China terhadap pembela hak asasi dan pengkritik
pemerintah. Diskusi tentang tindakan negatif China mengenai HAM dilaporkan
mendominasi pembicaraan, di mana pihak AS digambarkan sebagai yang "berani"
dan para pejabat China digambarkan sebagai “jujur dan terbuka”. Posner
menyatakan bahwa dialog tersebut, bagaimanapun juga, sebagai forum untuk
berdiskusi secara jujur, bukan untuk bernegosiasi.14
13
Foster Klug. 2010 “No Breakthroughs in U.S., China Human Rights Talks,” Associated Press, State
Department Special Briefing with Michael Posner, Assistant Secretary for Democracy, Human Rights and
Labor. Dalam Claire Apodaga dan Michael Stohl. United States Human Rights Policy and Foreign
Assistance. International Studies Quarterly. Vol.43.
14
Chris Buckley, 2011 “U.S. Ends Rights Talks With China ‘Deeply Concerned’,” Reuters. Assistant
Secretary of State for Democracy, Human Rights and Labor Michael Posner, U.S. Embassy Press
Availability, Beijing, China. Claire Apodaga dan Michael Stohl. United States Human Rights Policy and
Foreign Assistance. International Studies Quarterly. Vol.43.
15
Pada Mei 2010, Dialog HAM antara China dan AS kembali diadakan di
bawah Pemerintahan Obama. Selama dialog, kedua belah pihak diberi pengarahan
sama lain pada kemajuan baru dibuat dalam bidang HAM di negara masingmasing dan memiliki pertukaran mendalam pandangan mengenai isu-isu yang
menjadi perhatian bersama, termasuk kerja sama HAM di PBB, aturan hukum,
kebebasan berekspresi, hak buruh dan anti-rasisme, menurut siaran pers oleh
delegasi China.
Aksi aplikatif yang dilakukan China secara domestik, menambah kejelasan
mengenai perhatian mereka terhadap HAM semakin terarah mengikuti
pemahaman universal HAM. Pada Juli 2011, Presiden Obama bertemu dengan
Dalai Lama di Gedung Putih, meskipun ada respon keberatan dari Beijing.
Presiden Obama menekankan pentingnya HAM Tibet di China serta tradisi
mereka yang unik dalam hal agama, budaya, dan bahasa. Dia menekankan bahwa
Tibet adalah bagian dari China, memuji komitmen Dalai Lama ke antikekerasan
dan "Jalan Tengah"-nya pendekatan, dan mendorong dialog antara wakil-wakil
Dalai Lama dan Beijing, sementara juga menekankan pentingnya kerjasama ASChina.
Dengan demikian, peluang untuk memperbaiki hingga memperat hubungan
bilateral AS-China, terutama dalam perspektif HAM bergantung kepada
kepentingan nasional dan tujuan dari politik luar negeri mereka. Perbedaan
ideologi pemerintahan masih jadi penghambat harmonisasi perjalanan hubungan
kedua negara besar ini. Namun, inisiasi dan tanggapan baik dari masing-masing
negara dianggap mampu meminimalisir konflik di antara mereka.
16
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemberontakan terhadap Pemerintah China di wilayah Tibet terjadi pada 10
Maret 1959, tapi dihentikan oleh China dalam beberapa pekan, hingga memaksa
Dalai Lama untuk melarikan diri ke pengasingan, India. Keberlangsungan hidup
rakyat Tibet berada di bawah rezim Beijing. Sejak itu pula, dimulai pembatasan
beragama, penindasan, penyiksaan, pelecehan, dan segala bentuk pelanggaran
HAM oleh aparat militer China terhadap gerakan perlawanan Tibet. Ribuan jiwa
menjadi korban nyawa dalam berbagai serbuan, serangan, serta tindakan militer
lainnya bagi para pembangkang.
Human Rights Watch (HRW), sejak tahun 1987, telah memantau dan
melaporkan secara ekstensif pelanggaran yang terjadi di Tibet. Secara umum,
dengan adanya pendataan terhadap kasus ini, perhatian yang lebih besar
dilimpahkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk Tibet. Misalnya,
pelanggaran HAM Tibet telah dibahas signifikan dalam tinjauan tahunan
Departemen Luar Negeri Internasional.
Upaya Intervensi oleh Amerika pun terus dilakukan guna mengurangi
pelanggaran HAM di Tibet. Salah satunya melalui suatu kerangka kebijakan yaitu
The Tibetan Policy Act of 2002 yang secara umum mengarahkan eksekutif China
17
untuk mengupayakan adanya dialog antara pemerintahan China dengan Dalai
lama dan wakil-wakilnya yang menyangkut perbaikan hubungan antara kedua
negara dan mengupayakan adanya pembebasan tahanan politik dan agama Tibet
di China, mendukung pembangunan ekonomi, pelestarian budaya, kelestarian
lingkungan, dan tujuan lainnya di Tibet, dan melaksanakan kegiatan lain demi
"dukungan dan aspirasi terhadap rakyat Tibet untuk melindungi identitas mereka."
Namun demikian, Menganalisa dampak yang ditimbulkan dari intervensi
AS terhadap pelanggaran HAM di China, dari segi politik dan ekonomi, tidak
begitu mempengaruhi stabilitas hubungan bilateral kedua negara. Sejak
diresmikannya hubungan diplomatik mereka, 1 Januari 1979, hubungan tersebut
justru memperlihatkan kemajuan. Bagi kedua negara, kerjasama dalam HAM
merupakan masalah penting untuk diperhatikan, namun kepentingan dalam
kerjasama politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan masih lebih diutamakan.
Hal ini terkait kepentingan atas eksistensi kedua negara dalam menentukan arah
perekonomian dan perdagangan dunia.
AS tidak dapat serta merta mengakhiri hubungan bilateralnya dengan
China akibat dari konflik ideologi yang mereka miliki atas HAM. AS mengakui
kepentingannya
atas
keberadaan
China
dalam
interaksi
dan
dinamika
internasional. Misalnya saja, hak veto yang dimiliki China di PBB. Pengambilan
keputusan PBB yang diakui banyak diarahkan dan terpengaruh oleh kebijakan
AS, dapat terhambat dengan kepemilikan hak veto tersebut.
18
Daftar Pustaka
-
-
Sperling Elliot. 2000. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tibet.
http://www.hrw.org/campaigns/China-99/tibet-test0613.htm (diakses pada
tanggal 12 April 2016)
Nurani Soyomukti. 2009. Revolusi Tibet : Fakta, Intrik, Politik
Kepentigan Tibet – China – Amerika Serikat. Jogjakarta: Garasi. hal. 100
-
Voice of America. 2007. Presiden Bush Bertemu Dalai Lama di Gedung
Putih http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2007-10-16-voa585323027.html (diakses 12 April 2016)
-
Msnbc. 2008. Bush express concern about Tibet to Chinese.
http://www.msnbc.msn.com/id/23813316/ns/world_news-asia_pacific/t/
bush-expresses-concern-about-tibet-chinese/#.Tq_U5dSlJRJ (diakses 12
April 2016)
-
Seputar China. 2008. Aksi Free Tibet: China Didesak Perbaiki Kondisi
HAM-nya. http://tiongkokbaru.wordpress.com/2008/03/19/aksi-free-tibetChina-didesak-perbaiki-kondisi-ham-nya/ (diakses pada tanggal 17 Juni
2016)
-
Sperling Elliot. 2000. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tibet.
http://www.hrw.org/campaigns/China-99/tibet-test0613.htm (diakses pada
tanggal 17 Juni 2016)
-
Free Tibet,2015 Call on China to Stop Torture in Tibet
http://www.freetibet.org/about/torture (diakses pada tanggal 18 Juni 2016)
-
Susan V.Lawrence dan Thomas Lum dalam CRS Report R41108, U.S.China Relations: Policy Issue.
-
Ewen MacAskill and Tania Branigan. 2009 “Obama Presses Hu Jintao on
Human Rights During White House Welcome,” Guardian.co.uk
19
-
Ewen MacAskill and Tania Branigan. 2009 “Obama Presses Hu Jintao on
Human Rights During White House Welcome,” Guardian.co.uk, 19
Januari 2011; Helene Cooper and Mark Landler, “Obama Pushes Hu on
Rights but Stresses Ties to China,” New York Times. dalam Ibid.,
-
China-US Human Rights Dialogue in 2008. Sino-U.S Relations: Facts &
Figure.
http://www.china.org.cn/world/china_us_facts_2011/2011-07/21/content_
23039908.htm (diakses 18 Juni 2016)
-
Foster Klug. 2010 “No Breakthroughs in U.S., China Human Rights
Talks,” Associated Press, State Department Special Briefing with Michael
Posner, Assistant Secretary for Democracy, Human Rights and Labor.
Dalam Claire Apodaga dan Michael Stohl. United States Human Rights
Policy and Foreign Assistance. International Studies Quarterly. Vol.43.
-
Chris Buckley, 2011 “U.S. Ends Rights Talks With China ‘Deeply
Concerned’,” Reuters. Assistant Secretary of State for Democracy, Human
Rights and Labor Michael Posner, U.S. Embassy Press Availability,
Beijing, China. Claire Apodaga dan Michael Stohl. United States Human
Rights Policy and Foreign Assistance. International Studies Quarterly.
Vol.43.
20
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kebebasan individu dan kemerdekaan telah menjadi bagian dari Hak Asasi
Manusia (HAM). Penindasan, dalam bentuk apa pun, merupakan pelanggaran atas
nilai-nilai universal HAM. Kesadaran politik masyarakat dunia juga sudah
semakin mengglobal. Isu dan usaha penegakan HAM sudah tidak lagi bersifat
personal atau eksklusif tetapi menjadi perjuangan bersama, perjuangan
internasional dunia. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di dunia,
terlebih lagi pada wilayah konflik. Bukan hanya militer yang berjuang dan
menjadi korban, bahkan warga sipil, wanita, dan anak-anak, yang tidak berdosa
ikut menjadi korban nyawa.
Salah satunya adalah pelanggaran HAM oleh China terhadap masyarakat
Tibet. Tibet sebenarnya merupakan wilayah yang begitu indah dan banyak
diminati wisatawan, tetapi keberadaan peristiwa ini membuat Tibet kehilangan
keindahan tersebut. Daerah dengan suhu rendah itu justru memanas karena
pemberontakan yang berlangsung puluhan tahun.
Sperling Elliot, penulis buku “Tibet Since 1950’s: Silent, Prison, or Exile”,
memberikan pernyataan pada Komite Senat Hubungan Luar Negeri Asia Timur
dan Pasifik, ia menjelaskan bahwa Tibet telah lebih dari satu dekade, menjadi
tempat terjadinya pelanggaran HAM paling nyata dan mengerikan yang dilakukan
oleh China.1
1
Sperling Elliot. 2000. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tibet.
http://www.hrw.org/campaigns/China-99/tibet-test0613.htm (diakses pada tanggal 12 April 2016)
1
Human Rights Watch (HRW), sejak tahun 1987, telah memantau dan
melaporkan secara ekstensif pelanggaran yang terjadi di Tibet. Secara umum,
dengan adanya pendataan terhadap kasus ini, perhatian yang lebih besar
dilimpahkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk Tibet. Misalnya,
pelanggaran HAM Tibet telah dibahas signifikan dalam tinjauan tahunan
Departemen Luar Negeri Internasional.
AS yang terkenal dengan keterlibatannya dalam beberapa konflik internal
negara, dari konflik Israel-Palestina hingga Libya. Tindakan AS telah mendapat
respon pro dan kontra dari para pengamat dan masyarakat internasional. AS
terkesan senang mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk dalam
kasus pelanggaran HAM di Tibet.
Tanggal 18 November 1964, Dalai Lama mengirimkan surat pada Presiden
AS saat itu, Lyndon B. Johnson, isinya adalaha permintaan untuk membantu
perjuangan rakyat Tibet dan mengharapkan bantuannya dalam mengangkat isu
Tibet dalam perbincangan internasional, agar perjuangan Rakyat Tibet mendapat
perhatian dunia2. Johnson membalas surat tersebut dengan menyatakan kesediaan
AS untuk membantu Tibet.
Penulis telah membaca beberapa artikel, serta berita-berita mengenai
pertemuan Dalai Lama dengan para Presiden AS, seperti pertemuan 16 Oktober
2007 di Gedung Putih3 hingga beberapa pertemuan antara Presiden AS dengan
2
Nurani Soyomukti. 2009. Revolusi Tibet : Fakta, Intrik, Politik Kepentigan Tibet – China – Amerika
Serikat. Jogjakarta: Garasi. hal. 100
3
Voice of America. 2007. Presiden Bush Bertemu Dalai Lama di Gedung Putih
http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2007-10-16-voa5-85323027.html (diakses 12 April 2016)
2
Presiden China membahas khusus tentang Tibet. Misalnya pertemuan G.W.Bush
dengan Hu Jintao, 26 Maret 2008 di Washington4.
Pertemuan antara kepala negara tentu mengundang banyak pertanyaan,
apalagi dilakukan oleh kedua negara besar dan berlawanan dalam hal ideologi
pemerintahan. Apakah ini bentuk intervensi atau ada kepentingan khusus yang
menjadi tujuan dari kedua negara tersebut? Inilah alasan sehingga penulis tertarik
untuk mengangkat judul “Intervensi Amerika Serikat terhadap Pelanggaran Hak
Asasi Manusia di China Serta Dampaknya Terhadap Hubungan Bilateral Kedua
Negara (Studi Kasus : Tibet)”
B.
Rumusan Masalah
Dari masalah dan batasan tersebut di atas, penulis merumuskan permasalahan
dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a.
Bagaimana dampak intervensi AS dalam pelanggaran HAM di Tibet,
terhadap hubungan bilateral AS dengan China?
b.
Bagaimana strategi China dalam mengatasi intervensi AS terhadap
pelanggaran HAM di Tibet?
c.
Bagaimana prospek hubungan bilateral AS dan China dalam perspektif
HAM?
C.
Tujuan Penelitian
4
Msnbc. 2008. Bush express concern about Tibet to Chinese.
http://www.msnbc.msn.com/id/23813316/ns/world_news-asia_pacific/t/bush-expresses-concern-about-tibetchinese/#.Tq_U5dSlJRJ (diakses 12 April 2016)
3
Dari rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis menetapkan
tujuan dari penulisan adalah sebagai berikut :
1. untuk mengetahui dan menjelaskan dampak yang ditimbulkan dari
intervensi AS terhadap Hubungan Bilateral AS dengan China dalam kasus
pelanggaran HAM di Tibet, pada period kedua Pemerintahan Presiden
George W. Bush (2004-2008), ditinjau dari segi politik dan ekonomi.
2. untuk mengetahui strategi yang diterapkan Pemerintah China dalam
mengatasi intervensi AS dalam kasus pelanggaran HAM di Tibet, baik
secara bilateral maupun multilateral.
3. untuk mengetahui prospek Hubungan AS dan China dalam perspektif
HAM, pasca terjadinya kasus HAM di Tibet, dengan menganalisa peluang
dan tantangan yang dimiliki kedua negara.
Apabila tujuan tersebut dapat tercapai, maka penelitian ini :
1. diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan terutama dalam disiplin ilmu hubungan internasional,
khususnya dalam persperktif dan masalah HAM.
2. diharapkan dapat menjadi sumber informasi publik, kalangan penstudi
ilmu hubungan internasional khususnya dan semua kalangan secara
umum, serta sumber informasi bagi pemerintah, khususnya dalam
masalah HAM.
D.
Kerangka Pemikiran
4
Dalam
menjelaskan
menggunakan
makalah
konsep-konsep
ini,
yang
penulis
relevan
berusaha
dengan
materi
perkuliahan yaitu konsep-konsep dalam ilmu Ekonomi Politik
Internasional. Dalam hal ini, penulis menekankan pada konsepkonsep
dalam
perdagangan
internasional,
yaitu
kerangka
kerjasama ekonomi regional.
Kerjasama ekonomi regional merupakan hubungan kerjasama
antar negara yang sama-sama berada dalam satu wilayah
tertentu. Kerjasama ini membantu suatu negara dalam satu
kawasan dalam mempermudah proses impor dan ekspor barang
sesuai dengan kerjasama yang di bentuk.
E.
Metode Penelitian
Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Hal ini bertujuan untuk memudahkan penulis dalam menganalisis
Intervensi Amerika Serikat pada kasus pelanggaran HAM di Tibet.
Sifat tulisan ini adalah deskriptif analisis, penulis akan
memaparkan dan mendeskripsikan sejumlah fakta-fakta yang
berkaitan
dengan
pembahasan
makalah
dan
dijelaskan
mengunakan teori dalam hubungan Internasional.
Dalam penelitian ini penulis mengunakan sumber data yang
terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data
5
primer yang penulis gunakan hanyalah dokumen-dokumen dan
tanpa wawancara. Sedangkan data sekunder berasal dari sumber
kepustakaan, seperti; buku, jurnal, dan data dari situs-situs
internet yang dianggap relevan dengan permasalahan dalam
penelitian ini.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Bentuk Pelanggaran HAM China di Tibet
Peristiwa ini berawal saat jatuhnya Dinasti Qing tahun 1912, bersamaan
dengan itu, Dalai Lama ke-13, Pemimpin Spiritual Tibet, mendeklarasikan
kemerdekaan Tibet. Namun, kemerdekaan tersebut tidak bertahan lama karena
direbut oleh China pada masa Pemerintahan Mao Tse Dong tahun 1949. Militer
China melancarkan invasi ke Lasha, Ibu Kota Tibet. Tindakan China itu tidak
membuat Tibet menyerah begitu saja. Meski merasakan dampak kemajuan
ekonomi di wilayah mereka, pemberontakan tetap terjadi.
Pemberontakan terhadap Pemerintah China di wilayah Tibet terjadi pada 10
Maret 1959, tapi dihentikan oleh China dalam beberapa pekan, hingga memaksa
Dalai Lama untuk melarikan diri ke pengasingan, India. Keberlangsungan hidup
rakyat Tibet berada di bawah rezim Beijing. Sejak itu pula, dimulai pembatasan
beragama, penindasan, penyiksaan, pelecehan, dan segala bentuk pelanggaran
HAM oleh aparat militer China terhadap gerakan perlawanan Tibet. Ribuan jiwa
menjadi korban nyawa dalam berbagai serbuan, serangan, serta tindakan militer
lainnya bagi para pembangkang.
7
Demonstrasi para pemberontak itu kembali terjadi tahun 2008, meluas dalam
beberapa hari, sehingga menjadi kerusuhan di seluruh Tibet dan wilayah-wilayah
yang berdekatan dengan penduduk etnis Tibet.5 Sperling Elliot, penulis buku
“Tibet Since 1950’s: Silent, Prison, or Exile”, memberikan pernyataan pada
Komite Senat Hubungan Luar Negeri Asia Timur dan Pasifik, ia menjelaskan
bahwa Tibet telah lebih dari satu dekade, menjadi tempat terjadinya pelanggaran
HAM paling nyata dan mengerikan yang dilakukan oleh China.6
Human Rights Watch (HRW), sejak tahun 1987, telah memantau dan
melaporkan secara ekstensif pelanggaran yang terjadi di Tibet. Secara umum,
dengan adanya pendataan terhadap kasus ini, perhatian yang lebih besar
dilimpahkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk Tibet. Misalnya,
pelanggaran HAM Tibet telah dibahas signifikan dalam tinjauan tahunan
Departemen Luar Negeri Internasional.
Salah satu keprihatinan besar, yaitu pelanggaran kebebasan beragama dan
pelaksanaan ibadah oleh Pemerintah China. Kebijakan yang ditujukan untuk
menundukkan praktek keagamaan bukan hanya masalah propaganda dan
persuasi. Sebaliknya, kebijakan ini melanggar kebebasan individu Tibet untuk
mengekspresikan keyakinan agama mereka yang diterapkan melalui pemaksaan,
represi kekerasan, dan penjara. Salah satu yang terlihat adalah kampanye yang
sedang berlangsung berupa "pendidikan patriotik", yang bertujuan merusak dan
5
Seputar China. 2008. Aksi Free Tibet: China Didesak Perbaiki Kondisi HAM-nya.
http://tiongkokbaru.wordpress.com/2008/03/19/aksi-free-tibet-China-didesak-perbaiki-kondisi-ham-nya/
(diakses pada tanggal 17 Juni 2016)
6
Sperling Elliot. 2000. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tibet.
http://www.hrw.org/campaigns/China-99/tibet-test0613.htm (diakses pada tanggal 17 Juni 2016)
8
menghilangkan pengaruh Dalai Lama di Tibet. Selain itu, ada pula yang tertekan
oleh otoritas China, mereka adalah biara-biara dan menempatkan kuil di bawah
sekuler dalam rangka mengimplementasikan kontrol pemerintah yang lebih besar
dari agama Tibet.
Tashi Tsering, seorang warga Tibet ditangkap di Lhasa, Ibukota Tibet pada
bulan Agustus 1999, saat mencoba mengangkat bendera Tibet di sebuah lapangan
umum. Ia sempat dipukuli sebelum akhirnya dibawa pergi oleh petugas keamanan
umum. Pada bulan Maret 2000, dia dilaporkan telah bunuh diri di penjara sebulan
sebelumnya.
Pada bulan April 2000, laporan kematian terus bertambah. Sonam Rinchen,
seorang petani dari sebuah kota dekat Lhasa, dia telah ditangkap dengan dua
orang lainnya pada tahun 1992 saat membentangkan bendera Tibet selama protes
dan dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara.7
Sebuah studi oleh Tibet Information Network menunjukkan jumlah kematian
tahanan di penjara Drapchi Lhasa pada tahun 1998-1999 sekitar 1 dari 24
jiwa.8 Beberapa diantaranya dilaporkan sebagai kasus bunuh diri. Tindakan keras
Pemerintah China sudah termasuk upaya menutup negara itu dari dunia luar,
menutup akses keluar, juga kontrol atas media, termasuk media internet dan situs
yang digunakan untuk menampilkan rekaman gambar yang terjadi sebenarnya.
China saat ini tidak lagi sama dengan puluhan tahun lalu. China telah
memiliki perekonomian yang eksklusif, negara dengan penduduk padat ini telah
mendominasi pasar internasional. Keberhasilan ekonomi menjadikan negara
7
Free Tibet,2015 Call on China to Stop Torture in Tibet http://www.freetibet.org/about/torture (diakses pada
tanggal 18 Juni 2016)
8
9
matahari terbit sebagai negara besar, meskipun masih berada di bawah
pemerintahan komunis. Pemerintahan Hu Jintao yang berlangsung sejak Maret
2003 hingga saat ini, masih dianggap sebagai penentu masa depan Tibet,
eksistensi China di dunia internasional, dan juga hubungan antara China dan AS.
Sejarah menceritakan bahwa antara AS dan China merupakan dua kubu yang
sangat berbeda, liberalisme yang berkembang di AS, komunisme yang
dipertahankan China. Dahulu mungkin AS tidak khawatir dengan perbedaan
tersebut, namun perkembangan China sepuluh tahun belakangan ini cukup drastis,
sehingga membuat AS perlu mengamati lebih arah kepentingan nasional China.
B.
Bentuk Intervensi Amerika Serikat Terhadap Pelanggaran HAM
China di Tibet
Dalam kaitnaya dengan kasus pelanggaran HAM di Tibet, AS lebih
mengedepankan aspek intervensi terhadap kasus ini, karena dalam hal ini China
dianggap telah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM khususnya dalam
penanganan masalah teritorial bagian Tibet dengan melakukan tindakan militer
dan penangkapan terhadap aktivis keagaman yang dinilai melanggar komitmen
pemerintahan China.
Adapun upaya yang telah dilakukan AS yaitu mengintervensi China
melalui suatu kerangka kebijakan yaitu The Tibetan Policy Act of 2002 yang
secara umum mengarahkan eksekutif China untuk mengupayakan adanya dialog
antara pemerintahan China dengan Dalai lama dan wakil-wakilnya yang
menyangkut perbaikan hubungan antara kedua negara dan mengupayakan adanya
10
pembebasan tahanan politik dan agama Tibet di China, mendukung pembangunan
ekonomi, pelestarian budaya, kelestarian lingkungan, dan tujuan lainnya di Tibet,
dan melaksanakan kegiatan lain demi "dukungan dan aspirasi terhadap rakyat
Tibet untuk melindungi identitas mereka."9
Selain itu adanya peringatan terhadap pemerintah China atas indikasi
pelanggaran HAM melalui agenda perundingan antara pemerintah AS dan China
yang disampaikan melalui agenda a crackdown against demonstrations in Tibet
pada Maret 2008 pada Kongres relasi antara China-AS ke 110 di Beijing.
Adanya keikutsertaan AS dalam upaya perdamaian antara pemerintahan
China dengan Tibet merupakan upaya AS dalam memperluas pengaruhnya
terhadap geografis China dan dapat meningkatkan reputational power di tubuh
China itu sendiri melalui upaya-upaya perdamaian dan penyelesaian sengketa.
Secara umum hubungan politik antara AS dengan China dalam hal ini
mengalami eskalasi terutama terhadap isu Taiwan dan Tibetan namun atas
pertimbangan asspek strategis China sebagai mitra potensial AS di bidang
ekonomi, sosial, dan militer serta atas kepemilikan veto pada PBB, pemerintah AS
mengupayakan tetap menjaga hubungan strategis tersebut, ini ditunjukan melalui
Congress Research Service 2009, mengenai kelanjutan kerjasama yang disepakati
kedua negara10
C.
Dampak Intervensi Amerika Serikat terhadap Hubungan Bilateral
Amerika Serikat dengan China
9
Susan V.Lawrence dan Thomas Lum dalam CRS Report R41108, U.S.-China
Relations: Policy Issue.
10
Ewen MacAskill and Tania Branigan. 2009 “Obama Presses Hu Jintao on
Human Rights During White House Welcome,” Guardian.co.uk
11
Intervensi Pemerintah AS selalu membuat Pemerintah China bereaksi,
bahkan sesekali mengecam tindakan yang begitu berani dilakukan Pemerintah AS.
Namun, di sisi lain, hubungan bilateral keduanya dalam bidang ekonomi tetap
terus berjalan aktif dan mengalami perkembangan. Terbukti dengan terus
diadakannya Startegic Economic Dialogue (SED), yang merupakan salah satu
agenda turunan dari Kongres tahunan mereka. Dalam pertemuan yang
berlangsung, kedua negara bersepakat untuk terus menjalin kerja sama dalam
menjaga stabilitas ekonomi dunia, khususnya ekonomi kedua negara.
Fokus terhadap hasil SED pada Juni dan Desember 2008, pasca terjadinya
pemberontahan dan pelanggaran HAM di Tibet. Baik AS maupun China tetap
bersepakat untuk menguatkan dan menyelesaikan masalah ekonomi yang dihadapi
kedua negara, baik masalah ekonomi domestik maupun masalah ekonomi global.
Menganalisa dampak yang ditimbulkan dari intervensi AS terhadap
pelanggaran HAM di China, dari segi politik dan ekonomi, tidak begitu
mempengaruhi stabilitas hubungan bilateral kedua negara. Sejak diresmikannya
hubungan diplomatik mereka, 1 Januari 1979, hubungan tersebut justru
memperlihatkan kemajuan. Bagi kedua negara, kerjasama dalam HAM
merupakan masalah penting untuk diperhatikan, namun kepentingan dalam
kerjasama politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan masih lebih diutamakan.
Hal ini terkait kepentingan atas eksistensi kedua negara dalam menentukan arah
perekonomian dan perdagangan dunia.
12
Berbagai bentuk kebijakan AS yang dibuat untuk menanggapi kasus HAM
Tibet, secara khusus berdampak terhadap kondisi hubungan bilateral kedua
negara. Pentingnya China dalam ekonomi global, keamanan, lingkungan, dan halhal lainnya telah berkembang, baik Pemerintahan Bush dan Obama bertujuan
untuk menjalin kerjasama bilateral di berbagai bidang, sementara AS sangat tidak
setuju dengan Beijing pada banyak isu-isu HAM.11
Pasca peristiwa pemberontakan Tibet 2008 dan apa yang telah dilakukan
China untuk menghentikan pemberontakan tersebut, telah membuat AS
memberikan berbagai respon negatif. Salah satunya adalah keputusan AS untuk
memboikot Olimpiade Beijing 2008. Meskipun pada akhirnya Olimpiade tersebut
tetap diselenggarakan, bahkan Presiden Bush tetap menghadiri upacara
pembukaannya.
AS tidak dapat serta merta mengakhiri hubungan bilateralnya dengan
China akibat dari konflik ideologi yang mereka miliki atas HAM. AS mengakui
kepentingannya
atas
keberadaan
China
dalam
interaksi
dan
dinamika
internasional. Misalnya saja, hak veto yang dimiliki China di PBB. Pengambilan
keputusan PBB yang diakui banyak diarahkan dan terpengaruh oleh kebijakan
AS, dapat terhambat dengan kepemilikan hak veto tersebut.
D.
Prospek Hubungan AS dan China dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia
Hubungan AS dan China memiliki berbagai masalah kompleks, salah satunya
dalam pembahasan HAM. Mendapati perbedaan mendasar atas perspektif masing11
Ewen MacAskill and Tania Branigan. 2009 “Obama Presses Hu Jintao on Human Rights During White
House Welcome,” Guardian.co.uk, 19 Januari 2011; Helene Cooper and Mark Landler, “Obama Pushes Hu
on Rights but Stresses Ties to China,” New York Times.
13
masing tentang HAM, maka jelas akan terus berlangsung konflik ideologi di
antara kedua negara besar tersebut. Meminimalisir konflik yang ada, AS dan
China telah beberapa kali menggelar Dialog HAM.
Dialog antar keduanya pertama kali dilangsungkan pada 1990. Dialog tersebut
membahas masalah HAM yang terjadi dalam internal negara masing-masing, baik
AS maupun China. Kemudian memberikan masukan satu sama lain demi
berlangsungnya keamanan, khususnya dalam internal negara dan hubungan antar
kedua negara.
Dialog tersebut sempat dihentikan oleh pihak China pada tahun 2004 setelah
Pemerintahan Bush menjadi promotor resolusi PBB yang mengkritik rekaman
HAM China. Namun, pembicaraan kembali berlanjut diakhir periode kedua masa
pemerintahan Bush. Diselenggarakan di Beijing, 24-28 Mei 2008.
Selama lima hari dialog berlangsung, kedua belah pihak memberi pengarahan
satu sama lain pada kemajuan dalam bidang HAM, dan bertukar pandangan yang
luas dan mendalam tentang isu-isu seperti kebebasan berbicara, kebebasan
beragama, anti-diskriminasi rasial dan kerja sama mempromosikan HAM melalui
PBB.
Kedua belah pihak sepakat bahwa dialog yang jujur dan terus terang itu
konstruktif dan membantu meningkatkan saling pengertian dan mengurangi
perbedaan, kata siaran dari kementerian. Mereka juga setuju dialog adalah
kondusif bagi pembangunan berkelanjutan dan suara hubungan bilateral.12 Dialog
ke 14 tersebut, dipimpin oleh Department for International Organizations and
12
China-US Human Rights Dialogue in 2008. Sino-U.S Relations: Facts & Figure. http://www.china.org.cn/
world/china_us_facts_2011/2011-07/21/content_23039908.htm (diakses 18 Juni 2016)
14
Conferences of Chinese Foreign Ministry Wu Hailong dan US Assistant Secretary
of State for Democracy, Human Rights and Labor David Kramer.
Setelah AS berpindah pemerintahan ke tangan Barack Obama pasca pemilihan
umum November 2008, dialog HAM kembali diselenggarakan Mei 2010 di
Washington dan Mei 2011 di Beijing. Kedua dialog tersebut dipimpin oleh
Michael Ponser, Asisten Sekretaris Negara untuk Demokrasi, HAM, dan Tenaga
Kerja AS dan Jenderal Chen, Direktur Jenderal Departemen Organisasi
Internasional China. Pada pertemuan tahun 2010, topik yang dibahas mencakup
tahanan politik China, kebebasan beragama dan berpendapat, hak tenaga kerja,
aturan hukum, dan kondisi di Tibet dan Xinjiang.
Delegasi Cina juga mengunjungi Mahkamah Agung AS dan diberi penjelasan
singkat tentang cara-cara penanganan HAM di AS.13 Selama perundingan 2011,
Asisten Sekretaris Posner mengangkat keprihatinan mendalam Pemerintahan
Obama tentang tindakan keras China terhadap pembela hak asasi dan pengkritik
pemerintah. Diskusi tentang tindakan negatif China mengenai HAM dilaporkan
mendominasi pembicaraan, di mana pihak AS digambarkan sebagai yang "berani"
dan para pejabat China digambarkan sebagai “jujur dan terbuka”. Posner
menyatakan bahwa dialog tersebut, bagaimanapun juga, sebagai forum untuk
berdiskusi secara jujur, bukan untuk bernegosiasi.14
13
Foster Klug. 2010 “No Breakthroughs in U.S., China Human Rights Talks,” Associated Press, State
Department Special Briefing with Michael Posner, Assistant Secretary for Democracy, Human Rights and
Labor. Dalam Claire Apodaga dan Michael Stohl. United States Human Rights Policy and Foreign
Assistance. International Studies Quarterly. Vol.43.
14
Chris Buckley, 2011 “U.S. Ends Rights Talks With China ‘Deeply Concerned’,” Reuters. Assistant
Secretary of State for Democracy, Human Rights and Labor Michael Posner, U.S. Embassy Press
Availability, Beijing, China. Claire Apodaga dan Michael Stohl. United States Human Rights Policy and
Foreign Assistance. International Studies Quarterly. Vol.43.
15
Pada Mei 2010, Dialog HAM antara China dan AS kembali diadakan di
bawah Pemerintahan Obama. Selama dialog, kedua belah pihak diberi pengarahan
sama lain pada kemajuan baru dibuat dalam bidang HAM di negara masingmasing dan memiliki pertukaran mendalam pandangan mengenai isu-isu yang
menjadi perhatian bersama, termasuk kerja sama HAM di PBB, aturan hukum,
kebebasan berekspresi, hak buruh dan anti-rasisme, menurut siaran pers oleh
delegasi China.
Aksi aplikatif yang dilakukan China secara domestik, menambah kejelasan
mengenai perhatian mereka terhadap HAM semakin terarah mengikuti
pemahaman universal HAM. Pada Juli 2011, Presiden Obama bertemu dengan
Dalai Lama di Gedung Putih, meskipun ada respon keberatan dari Beijing.
Presiden Obama menekankan pentingnya HAM Tibet di China serta tradisi
mereka yang unik dalam hal agama, budaya, dan bahasa. Dia menekankan bahwa
Tibet adalah bagian dari China, memuji komitmen Dalai Lama ke antikekerasan
dan "Jalan Tengah"-nya pendekatan, dan mendorong dialog antara wakil-wakil
Dalai Lama dan Beijing, sementara juga menekankan pentingnya kerjasama ASChina.
Dengan demikian, peluang untuk memperbaiki hingga memperat hubungan
bilateral AS-China, terutama dalam perspektif HAM bergantung kepada
kepentingan nasional dan tujuan dari politik luar negeri mereka. Perbedaan
ideologi pemerintahan masih jadi penghambat harmonisasi perjalanan hubungan
kedua negara besar ini. Namun, inisiasi dan tanggapan baik dari masing-masing
negara dianggap mampu meminimalisir konflik di antara mereka.
16
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemberontakan terhadap Pemerintah China di wilayah Tibet terjadi pada 10
Maret 1959, tapi dihentikan oleh China dalam beberapa pekan, hingga memaksa
Dalai Lama untuk melarikan diri ke pengasingan, India. Keberlangsungan hidup
rakyat Tibet berada di bawah rezim Beijing. Sejak itu pula, dimulai pembatasan
beragama, penindasan, penyiksaan, pelecehan, dan segala bentuk pelanggaran
HAM oleh aparat militer China terhadap gerakan perlawanan Tibet. Ribuan jiwa
menjadi korban nyawa dalam berbagai serbuan, serangan, serta tindakan militer
lainnya bagi para pembangkang.
Human Rights Watch (HRW), sejak tahun 1987, telah memantau dan
melaporkan secara ekstensif pelanggaran yang terjadi di Tibet. Secara umum,
dengan adanya pendataan terhadap kasus ini, perhatian yang lebih besar
dilimpahkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk Tibet. Misalnya,
pelanggaran HAM Tibet telah dibahas signifikan dalam tinjauan tahunan
Departemen Luar Negeri Internasional.
Upaya Intervensi oleh Amerika pun terus dilakukan guna mengurangi
pelanggaran HAM di Tibet. Salah satunya melalui suatu kerangka kebijakan yaitu
The Tibetan Policy Act of 2002 yang secara umum mengarahkan eksekutif China
17
untuk mengupayakan adanya dialog antara pemerintahan China dengan Dalai
lama dan wakil-wakilnya yang menyangkut perbaikan hubungan antara kedua
negara dan mengupayakan adanya pembebasan tahanan politik dan agama Tibet
di China, mendukung pembangunan ekonomi, pelestarian budaya, kelestarian
lingkungan, dan tujuan lainnya di Tibet, dan melaksanakan kegiatan lain demi
"dukungan dan aspirasi terhadap rakyat Tibet untuk melindungi identitas mereka."
Namun demikian, Menganalisa dampak yang ditimbulkan dari intervensi
AS terhadap pelanggaran HAM di China, dari segi politik dan ekonomi, tidak
begitu mempengaruhi stabilitas hubungan bilateral kedua negara. Sejak
diresmikannya hubungan diplomatik mereka, 1 Januari 1979, hubungan tersebut
justru memperlihatkan kemajuan. Bagi kedua negara, kerjasama dalam HAM
merupakan masalah penting untuk diperhatikan, namun kepentingan dalam
kerjasama politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan masih lebih diutamakan.
Hal ini terkait kepentingan atas eksistensi kedua negara dalam menentukan arah
perekonomian dan perdagangan dunia.
AS tidak dapat serta merta mengakhiri hubungan bilateralnya dengan
China akibat dari konflik ideologi yang mereka miliki atas HAM. AS mengakui
kepentingannya
atas
keberadaan
China
dalam
interaksi
dan
dinamika
internasional. Misalnya saja, hak veto yang dimiliki China di PBB. Pengambilan
keputusan PBB yang diakui banyak diarahkan dan terpengaruh oleh kebijakan
AS, dapat terhambat dengan kepemilikan hak veto tersebut.
18
Daftar Pustaka
-
-
Sperling Elliot. 2000. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tibet.
http://www.hrw.org/campaigns/China-99/tibet-test0613.htm (diakses pada
tanggal 12 April 2016)
Nurani Soyomukti. 2009. Revolusi Tibet : Fakta, Intrik, Politik
Kepentigan Tibet – China – Amerika Serikat. Jogjakarta: Garasi. hal. 100
-
Voice of America. 2007. Presiden Bush Bertemu Dalai Lama di Gedung
Putih http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2007-10-16-voa585323027.html (diakses 12 April 2016)
-
Msnbc. 2008. Bush express concern about Tibet to Chinese.
http://www.msnbc.msn.com/id/23813316/ns/world_news-asia_pacific/t/
bush-expresses-concern-about-tibet-chinese/#.Tq_U5dSlJRJ (diakses 12
April 2016)
-
Seputar China. 2008. Aksi Free Tibet: China Didesak Perbaiki Kondisi
HAM-nya. http://tiongkokbaru.wordpress.com/2008/03/19/aksi-free-tibetChina-didesak-perbaiki-kondisi-ham-nya/ (diakses pada tanggal 17 Juni
2016)
-
Sperling Elliot. 2000. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tibet.
http://www.hrw.org/campaigns/China-99/tibet-test0613.htm (diakses pada
tanggal 17 Juni 2016)
-
Free Tibet,2015 Call on China to Stop Torture in Tibet
http://www.freetibet.org/about/torture (diakses pada tanggal 18 Juni 2016)
-
Susan V.Lawrence dan Thomas Lum dalam CRS Report R41108, U.S.China Relations: Policy Issue.
-
Ewen MacAskill and Tania Branigan. 2009 “Obama Presses Hu Jintao on
Human Rights During White House Welcome,” Guardian.co.uk
19
-
Ewen MacAskill and Tania Branigan. 2009 “Obama Presses Hu Jintao on
Human Rights During White House Welcome,” Guardian.co.uk, 19
Januari 2011; Helene Cooper and Mark Landler, “Obama Pushes Hu on
Rights but Stresses Ties to China,” New York Times. dalam Ibid.,
-
China-US Human Rights Dialogue in 2008. Sino-U.S Relations: Facts &
Figure.
http://www.china.org.cn/world/china_us_facts_2011/2011-07/21/content_
23039908.htm (diakses 18 Juni 2016)
-
Foster Klug. 2010 “No Breakthroughs in U.S., China Human Rights
Talks,” Associated Press, State Department Special Briefing with Michael
Posner, Assistant Secretary for Democracy, Human Rights and Labor.
Dalam Claire Apodaga dan Michael Stohl. United States Human Rights
Policy and Foreign Assistance. International Studies Quarterly. Vol.43.
-
Chris Buckley, 2011 “U.S. Ends Rights Talks With China ‘Deeply
Concerned’,” Reuters. Assistant Secretary of State for Democracy, Human
Rights and Labor Michael Posner, U.S. Embassy Press Availability,
Beijing, China. Claire Apodaga dan Michael Stohl. United States Human
Rights Policy and Foreign Assistance. International Studies Quarterly.
Vol.43.
20