Transmigrasi sebagai dan Rekayasa Demografi
Transmigrasi sebagai Rekayasa Demografi pada Era Orde Baru :
Implikasi Terhadap Konflik Sampit, Kalimantan Tengah
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pada era Orde Baru volume migrasi penduduk mengalami peningkatan yang cukup
besar dengan arah yang semakin beragam, tidak hanya ke Jawa tetapi juga ke berbagai
tempat di luar Jawa yang menjanjikan adanya lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.
Secara tidak langsung, perbaikan infrastruktur seperti pembuatan jalan penambahan sarana
dan alat transportasi (bis, kapal laut, kapal udara, kereta api) sangat berpengaruh terhadap
meningkatnya kemudahan untuk melakukan perpindahan (Tirtosudarmo, 2007 : 5).
Pada masa pemerintahan Orde Baru terjadi sebuah proses rekayasa sosial (social
engineering) yang berskala raksasa yang dimaksud untuk mengubah masyarakat dari
semula bersifat “tradisional” menjadi “modern”, yang semula di dominasi oleh ekonomi
pertanian menjadi ekonomi industri yang semula berpendapatan rendah menjadi
berpendapatan tinggi, dan seterusnya. Agen utama dari upaya rekayasa sosial yang
bernama “Pembangunan Nasional” ini adalah negara (state) – yang pelaksananya adalah
pemerintah (government) beserta aparatur birokrasinya mulai dari pusat hingga daerah.
Berkaitan dengan pembangunan daerah, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
“Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah” dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang
“Pemerintahan Desa” adalah dua buah undang-undang yang mencerminkan secara jelas
bagaimana pembangunan ekonomi dan pengembangan masyarakat dikendalikan dan
diarahkan semasa Orde Baru (Tirtosudarmo, 2007 : 6-7). Demografi masyarakat Indonesia
diatur oleh Kebijakan Transmigrasi. Dalam hal ini pemerintah pusat melaksanakan
pembangunan secara sentralistik, Masyarakat di dorong untuk beralih dari sektor
agrikultur ke sektor industri, sebab sektor agrikultur di anggap tradisional dan kurang
produktif.
Menurut Data Biro Pusat Statistik, 1982, 1991, 1998 dan 2001 persebaran penduduk
Indonesia tidak merata. Sekitar 60 persen penduduk Indonesia berdomisili di Pulau Jawa
yang luas wilayahnya sekitar 6,9 persen dari luas wilayah seluruh daratan Indonesia.
Persebaran penduduk yang tidak merata menimbulkan beberapa masalah, salah satunya
kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi di Pulau Jawa disebabkan oleh terlalu padatnya
penduduk sehingga angkatan kerja sulit mendapatkan pekerjaan, sedangkan di luar Jawa
disebabkan oleh kekurangan penduduk untuk mengelola sumber daya alam. (Mantra, 2007
: 200). Oleh karena itu Kementrian Sosial melaksanakan Kebijakan Transmigrasi yaitu
memindahkan penduduk dari Jawa ke luar Jawa, dengan tujuan mengatasi kemiskinan di
Jawa (Mantra, 2007 : 202).
2. Rumusan Masalah
Transmigrasi berimplikasi pada kehidupan masyarakat baik bagi pendatang dan
penduduk lokal. Salah satu implikasinya adalah dalam aspek sosiokultural, contohnya
konflik. Pada bulan Februari tahun 2001, Kalimantan diguncang konflik kekerasan antara
penduduk “lokal” dan “pendatang” dari Madura. Konflik yang menelan ratusan korban
jiwa dan ribuan penduduk yang terpaksa mengungsi – terutama dari Kota Sampit dan
Palangka Raya – diwacanakan sebagai konflik etnik (Tirtosudarmo, 2007 : 169-170).
Dalam sejarah masyarakat dan masalah etnisitas di Kalimantan Tengah, sebenarnya
hubungan antaretnis berlangsung dengan baik. Etnik yang satu dengan etnik lain terjadi
pembauran yang wajar dan saling menghargai. Bahkan perkawinan antaretnik pun sudah
biasa dijumpai dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah. Akan tetapi, khusus
hubungan antara etnik Dayak dengan Madura ada kecenderungan memperlihatkan sesuatu
yang lain yang berbeda dibandingkan dengan hubungan antara etnik Dayak dengan etniketnik lainnya. Dengan kata lain, antara kedua etnik (Dayak-Madura) menyimpan stereotip
etnik/ budaya yang justru cenderung saling merenggangkan hubungan sosial antara
keduanya (Ruslikan, 2001 : 2-3).
Meskipun sudah terlaksana dalam jangka waktu yang lama, transmigrasi pun masih
menuai berbagai permasalahan, salah satunya adalah Perang Sampit yang terjadi di
Kalimantan Tengah. Hal tersebut mencerminkan terdapat kesulitan baik dari penduduk
suatu wilayah dengan pendatang untuk melebur dan konsensus yang sulit terwujud. Dan
program ini cenderung di paksakan dan tidak di pantau secara berkelanjutan oleh
pemerintah.
Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara lebih
mendalam mengenai dampak dari Program Transmigrasi dalam kaitannya dengan konflik
yang terjadi di berbagai wilayah. Namun fokus dalam tulisan ini pada permasalahan yang
terjadi di Kota Sampit dan Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
II. PEMBAHASAN
1. Migrasi
Migrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah satu ke daerah yang lain.
merupakan pmasalahan dari perbedaan pertumbuhan ekonomi. Sebagai akibat dari
konsentrasi kegiatan-kegiatan ekonomi (industri dan jasa) di daerah perkotaan maka
terjadi peningkatan migrasi desa-kota. Sektor informal perkotaan telah menjadi pilihan
pekerjaan yang jelas bagi para imigran yang tidak memiliki keahlian dan kemampuan.
Sektor informal ini telah memainkan peran penting dalam penyediaan lapangan kerja
(Tjiptoherijanto, 1997 : 65).
2. Transmigrasi
Transmigrasi adalah sarana pengembangan (means of development) yang berupa
perpindahan tenaga kerja (manpower) dari satu daerah ke daerah lain untuk menetap.
(Hasil Perumusan Seminar Transmigrasi 1970). Berdasarkan Undang-Undang No. 15
Tahun 1997 tujuan transmigrasi disebut sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
transmigran dan masyarakat sekitarnya, meningkatkan dan meratakan pembangunan
daerah, serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Sejarah Transmigrasi : Mulai dari Kolonisasi hingga Migrasi era Orde Baru
Gejala kelebihan penduduk di Pulau Jawa dan Madura, dan kekurangan penduduk di
luar Pulau Jawa telah disadari oleh pemerintah Hindia Belanda, dan kesadaran tersebut
dipengaruhi oleh tulisan C. Th. Van Deventer yang berjudul Een Ereschuld Oe Gids yang
terbit pada tahun 1899. Tulisan tersebut membeberkan kemiskinan di Pulau Jawa serta
kaitannya dengan Cultur Stelsel dan pelaksanaan kerja paksa oleh pemerintah Belanda.
Dalam tulisan itu Van Deventer menghimbau agar pemerintah Belanda melakukan upayaupaya yang dapat membantu memperbaiki kehidupan rakyat di Pulau Jawa (Mantra dan
Nasrudin Harapan dalam Mantra, 2007 : 201). Oleh karena itu pemerintah kolonial
tergugah untuk menyiapkan satu program yang dapat membantu memperbaiki kehidupan
rakyat jajahan. Program-program tersebut merupakan bagian dari politik balas budi yang
meliputi : irigasi, edukasi dan kolonisasi. Khusus untuk program kolonisasi ini,
pemerintah Hindia Belanda menugaskan H. G. Heyting, seorang asisten residen untuk
mempelajari kemungkinan pemindahan beberapa penduduk Pulau Jawa ke daerah-daerah
lain yang jarang penduduknya, yang dianggap potensial bagi pengembangan usaha
pertanian. Program kolonisasi dimulai tahun 1905 dengan mengirimkan sejumlah 155 KK
(815 jiwa) dari daerah Kabupaten Karanganyar, Kebumen dan Purworejo (waktu itu
termasuk daerah Karesidenan Kedu, Jawa Tengah) ke Gedong Tataan, sekitar 25 km barat
Tanjung Karang. Daerah inilah merupakan kolonisasi yang pertama. Pada tahun 1922
sebuah pemukiman yang lebih besar yang diberi nama Wonosobo didirikan di dekat Kota
Agung Lampung Selatan. Di samping itu didirikan pula beberapa pemukiman besar dekat
Sikadana di Lampung Tengah, sedangkan pemukiman-pemukiman yang lebih kecil
didirikan di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan dan Sulawesi. Pada akhir 1941 telah
ada 173.959 orang yang tinggal dalam proyek-proyek kolonisasi di Lampung (termasuk
orang yang dilahirkan di desa-desa baru ini), dan telah ada lebih dari 56.000 orang di
proyek kolonisasi di daerah lain (Pelzer dalam Mantra, 2007 : 201-202).
Pada tahun 1950 setelah terbentuk Negara Kesatuan Kementrian Sosial mulai
melakukan pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa dengan program transmigrasi.
Berdasarkan World Bank 1998 pada periode tahun 1971-1980, sekitar 65% transmigran
umum menuju Sumatra Selatan dan Lampung. Pada periode tersebut memang Sumatra
merupakan daerah utama bagi pengiriman transmigrasi. Kemudian pada periode tersebut
sebesar 32,2% dikirim ke Sulawesi (terutama Sulawesi Tengah) dan Kalimantan (terutama
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur). Sedangkan untuk Provinsi Maluku dan Irian
Jatya (Papua) persentasenya hanya 0,005% dan 1,4%. Sesudah tahun 1980 transmigran
umum terutama diarahkan Indonesia bagian Timur. Provinsi yang dijadikan daerah
pemukiman transmigrasi dewasa ini dalah : Daerah Istimewa Aceh, Sumatra Utara,
Sumatra Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Persentase transmigran yang menuju
Sumatra menurun, sedangkan yang menuju ke Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya
meningkat (Mantra, 2007 : 202-206).
Menurut Emile Durkheim pada suatu wilayah dimana angka kepadatan penduduknya
tinggi akibat dari tingginya laju penduduk, akan timbul persaingan di antara penduduk
untuk dapat bertahan hidup. Agar dapat memenangkan persaingan setiap orang berusaha
meningkatkan pendidikan dan keterampilan, dan mengambil spesialisasi tertentu (Mantra,
2007 : 59), sehingga transmigrasi merupakan langkah untuk pemerataan penduduk dan
agar persaingan yang sehat yang terwujud bagi tiap individu.
4. Sejarah Mengenai Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah
Kalimantan Tengah adalah contoh sebuah provinsi yang proses kelahirannya
merupakan hasil tuntutan dan perjuangan politik para pemimpin Dayak (Ngaju) untuk
memiliki sebuah wilayah administrasi sendiri dalam sebuah negara-bangsa (nation-state)
yang berdasarkan civic nationalism. Semula Kalimantan Tengah merupakan bagian dari
Kalimantan Selatan. Oleh karena itu secara politik Kalimantan Tengah memiliki arti
tersendiri bagi orang Dayak. Keputusan Presiden Soekarno untuk menjadikan Kalimantan
Tengah sebagai provinsi tersendiri yang lepas dari Kalimantan Selatan pada tahun 1957
dan penunjukan Tjilik Riwut sebagai gubernur yang pertama memperlihatkan dengan jelas
konsepsi politik yang diberikan oleh Soekarno (dan pemerintah pusat) terhadap orang
Dayak untuk memiliki dan mengatur teritori politiknya sendiri. (Tirtosudarmo, 2007 : 172,
174)
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1930, di Central of Borneo termasuk di
dalamnya sebagian dari yang sekarang dikenal dengan Kalimantan Timur, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Selatan tercatat ada 619.402 penduduk. Dari sudut komposisi suku
bangsanya mayoritas (393.402 orang atau 69,49%) adalah orang Dayak. Kemudian
Kalimantan Tengah terbentuk dan memisahkan diri dari Kalimantan Selatan. Berdasarkan
Sensus Penduduk tahun 2000 proporsi penduduk Kalimantan Tengah adalah sebagai
berikut : Banjar (24,20%), Jawa (18,06%), Dayak (18,02%), Dayak Sampit (9,57%),
Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%) , Katingan (3,34%), Manyan (2,80%) (Ananta dkk,
2003 : 24 dalam Tirtosudarmo, 2007 : 173). Besarnya proporsi orang Banjar dan Jawa
diduga karena migrasi dan transmigrasi kedua kelompok etnis ini yang cukup besar ke
Kalimantan Tengah. Dominasi penduduk yang berasal dari luar Kalimantan Tengah
terutama orang Jawa dan Banjar membuktikan bahwa secara sosiodemografis orang
Dayak bukanlah kelompok mayoritas di Kalimantan Tengah. “Transisi sosiodemografis”
berlangsung secara perlahan-lahan. Kelompok bukan Dayak “diam-diam” telah menjadi
penduduk mayoritas di Kalimantan Tengah. Hal itu bisa diperkirakan berdampak sosial,
ekonomi, politik maupun kultural yang tidak kecil, khususnya bagi orang Dayak.
(Tirtosudarmo, 2007 : 175-176).
5. Suku Dayak yang Mulai Tergeser Lain dan Kaitannya dengan Konflik Sampit
Menurut Stephanus Djuweng (1996) dalam Tirtosudarmo (2007), kedekatan Orang
Dayak dengan tanahnya merupakan salah satu karakter budaya (cultural characteristic)
yang membedakan dengan kelompok-kelompok etnis pendatang, misalnya orang Madura,
Banjar, Melayu, Jawa dan Bugis. Tanah merupakan basis material masyarakat Dayak dan
terintegrasi dalam hukum adat mereka. Konsep tanah bagi Masyarakat Dayak disebut
dengan binua, manoa, benua termasuk di dalamnya seluruh isi yang terkandung dan
terkait dengan tanah yang dalam istilah modern dikenal dengan Sumber Daya Alam
(Tirtosudarmo, 2007 : 180-181).
Suku Dayak memiliki ciri-ciri budaya primordial. Dalam tata hidupnya suku itu
berorientasi pada dirinya sendiri (inward oriented). Mereka percaya bahwa di dalam
lingkungannya yang banyak hutan dan rawa yang menyulitkan hubungan dengan dunia di
luarnya ada dua macam masyarakat, yaitu masyarakat manusia hidup dan masyarakat rohroh manusia yang sudah meninggal. Kedua masyarakat itu saling berhubungan dalam
kehidupan sehari-hari. Hubungan itu dilakukan menurut adat yang kuat dan hidup, lagi
pula menggalang kesetiaan pada masyarakat hidup dan masyarakat roh yang tidak boleh
diganggu. Dalam rangka kebudayaan, kepercayaan, dan adat itu suku Dayak mempunyai
sikap ramah-tamah, penuh toleransi, dan tenggang rasa dalam hubungannya sesama
manusia. Tetapi kalau pihak lain yang melanggar adat, dan dengan sendirinya merusak
hubungan dengan masyarakat roh-roh leluhur mereka, maka mereka tidak segan-segan
untuk mengeluarkan mandaunya dan memotong kepala lawannya sebagai bukti kepada
roh-roh bahwa mereka membela kehormatan roh-roh itu. Hal serupa juga diungkapkan
dalam penelitian Ruslikan (1999), di mana masyarakat Dayak sangat menghargai tradisi
nenek moyang serta roh-roh leluhur. Sebaliknya, ciri-ciri suku Madura memiliki orientasi
kebudayaan keluar (out-ward oriented). Karena daerah asalnya, pulau Madura, kering dan
gersang maka kebudayaannya mengajarkan ketekunan dan keberanian untuk bertahan
hidup. Masyarakat Madura menganggap bahwa lahan hidup mereka itu tidak terbatas pada
pulau Madura saja, akan tetapi daerah-daerah di seberang lautan pun mereka anggap
pantas dijadikan sumber penghidupan. Mereka yang merantau sebagian karena terpaksa
sebab sumber penghidupannya yang benar- benar sempit, sedang sebagian lainnya adalah
yang berwatak dinamis, mandiri, serta berani meluaskan lingkungan hidupnya sampai di
seberang lautan. Orang-orang Madura yang berwatak demikian itulah yang berlayar
sampai ke Kalimantan Barat serta Kalimantan Tengah dan membentuk masyarakat
pendatang (Soemardjan dalam Ruslikan, 2001 : 6). Dari hal tersebut terlihat bahwa baik
Suku Dayak maupun Suku Madura memiliki perbedaan kebudayan dan paradigma.
Sejalan dengan temuan Suparlan, Soemardjan (2001) menyebutkan, dalam hubungan
antara suku lokal Dayak dan suku pendatang Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah tampaknya prasangka negatif dari suku Dayak terhadap suku Madura lebih
mendalam daripada prasangka yang positif, kalau pun ada. Lagi pula unsur budaya suku
Madura di bidang ekonomi yang lebih kuat ketimbang dalam kebudayaan suku Dayak
membawa suku Madura pada tingkat dominan di atas suku Dayak. Suku Dayak merasa
tidak senang di daerah asalnya sendiri didominasi oleh suku lain yang datang dari daerah
lain. Sementara pada pihak suku Madura berpendapat bahwa masyarakatnya memberi
sumbangan besar pada perkembangan ekonomi umum, baik di Kalimantan Barat maupun
di Kalimantan Tengah. Tanpa kegiatan ekonomi suku Madura, ekonomi di kedua daerah
itu tidak akan menjadi setinggi seperti sekarang. Warga etnik Madura yang minoritas di
tengah-tengah suku Dayak yang mayoritas dikenal sebagai pekerja keras sekaligus
memiliki tingkat kesetiaan ke dalam (kelompok) yang kuat dan terus berusaha menggalang
kekuatan sosial dalam identitas etnisnya yang kuat pula. Akan tetapi hal itu kurang
diimbangi dengan upaya melakukan akulturasi dengan suku Dayak, sehingga di mata
orang-orang Dayak orang-orang Madura lebih dilihat sebagai orang asing. Dalam konteks
demikian, jika kita bertanya mengapa suku Dayak bermusuhan dengan suku pendatang
yang Madura saja dan tidak suku pendatang lainnya? Menurut Soemardjan (2001), karena
suku-suku lain seperti Jawa, Bugis, Minangkabau, Batak, dan lain sebagainya pandai
berakulturasi dengan suku Dayak, sehingga mereka dapat bekerjasama atau setidaktidaknya berkoeksistensi dengan suku mayoritas itu. Suku Madura bersikap berbeda
dengan akibat konflik. Di antara kedua suku itu (Dayak-Madura) timbul suasana konflik
budaya. Semula bersifat laten (tertutup), tetapi lama-lama cukup kuat untuk meledak
menjadi konflik manifest (terbuka) yang diwujudkan dengan interaksi yang berisikan
permusuhan disertai kekerasan yang tak terkendalikan (Ruslikan, 2001 : 8).
Sinyalemen demikian di perkuat oleh studi (2000) di Sambas, Kalimantan Barat, yang
melihat bahwa orang-orang Madura yang sudah datang dan tinggal di Kalimantan Barat
sejak 1920 cenderung eksklusif. Dengan sangat jelas Suparlan menguraikan demikian :
Orang-orang Madura hidup mengelompok sesama mereka sendiri baik yang hidup dalam
sebuah komuniti berupa dusun yang terpisah sama sekali dari kehidupan orang-orang
Melayu atau orang-orang Dayak maupun yang hidup dalam komuniti-komuniti yang ke
semua warganya orang-orang Madura dalam desa Orang Melayu atau desa Orang Dayak.
Dalam keadaan demikian, komuniti Orang Madura hidup bertetangga dengan warga desa
Melayu atau Dayak setempat. Di daerah perkotaan, di kota Singkawang, misalnya, mereka
juga hidup mengelompok dalam lingkungan ketetanggaan yang kesemuanya orang-orang
Madura. Pusat sebuah komuniti Orang Madura adalah tempat ibadah mereka. Pada waktu
jumlah mereka itu sedikit maka pusat komunitinya adalah langgar atau mushalla. Bila
jumlah anggota komunitinya bertambah maka pusat komuniti tersebut adalah masjid, dan
biasanya dibarengi dengan pesantren. Langgar atau masjid dan pesantren adalah eksklusif
Madura. Di samping itu, ada kecenderungan orang-orang Dayak merasa bahwa orangorang Madura tidak menghargai harkat martabat mereka sebagai manusia dan sebagai
penduduk setempat, dan juga memandang sebelah mata adat-istiadat yang mereka junjung
tinggi sebagai pedoman etika dan moral dalam kehidupan mereka. Orang-orang Madura
telah memperoleh keuntungan secara berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah,
monopoli kegiatan-kegiatan ekonomi, jasa, dan bisnis, monopoli eksploitasi atas sumbersumber daya alam yang ada) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan
kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang Madura
tidak pernah merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat maupun secara umum
adalah salah dan secara hukum juga melanggar ketentuan hukum (Ruslikan, 2001 : 9).
Menurut Ruslikan (2001), Masyarakat Suku Dayak maupun Suku Madura sama-sama
memiliki karakterisktik kebudayaan yang spesifik dari daerah asalnya yang umumnya
masih dipegang dengan kuat. Sehingga seringkali satu dan lainnya mengalami benturan
yang memicu timbulnya konflik. Baik satu maupun lainnya merasa pihaknya yang benar
sebab berpatokan dengan adat istiadat masing-masing. Sedangkan mereka memiliki adat
istiadat berbeda bahkan bertolakbelakang. Transmigrasi seringkali tidak terpantau dengan
baik, hal tersebut dapat terlihat dari kurang mempertimbangkan latar belakang budaya
masyarakat pendatang dan penduduk lokal wilayah terkait tujuan transmigrasi. Padahal
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dan masing-masing
merupakan bagian dari etnis tertentu. Transmigrasi hanya menitikberatkan pada
perpindahan guna pemerataan distribusi penduduk.
III. KESIMPULAN
Jumlah penduduk Jawa yang mampu ditransmigrasikan sangat kecil bila
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Sebagai misal jumlah penduduk di Pulau Jawa
tahun 1905 sebesar 29.024.000 jiwa (Bremen 1971 dalam Mantra 2007), dan pada tahun 1940
jumlahnya meningkat menjadi 49.024.000 jiwa (Widodo, 1970 dalam Mantra 2007). Jadi
selama 35 tahun terjadi pertambahan penduduk sebesar 19.100.000 jiwa orang, sedang
jumlah penduduk yang mampu dipindahkan hanya sebesar 257.313. orang (1,3% dari jumlah
pertumbuhan penduduk). Untuk periode tahun 1961-1985, persentase penduduk yang dapat
dipindahkan dari Pulau Jawa dan Bali meningkat menjadi 8,2% dari jumlah pertumbuhan
penduduk di kedua pulau tersebut. Jadi walaupun terjadi peningkatan, tetapi persentase tetap
kecil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari segi sosiodemografis jumlah transmigran yang
berhasil dipindahkan tidak banyak berarti bagi daerah pengirim (Mantra, 2007 : 203-204).
Selain itu meski sudah berlangsung lama, transmigrasi masih menuai permasalahan yaitu
konflik antara pendatang dan penduduk lokal yang bermukim di daerah yang dijadikan
sebagai tujuan transmigrasi.
Menurut Soemardjan (2001), di mana ada dua atau beberapa suku hidup sebagai
tetangga dekat maka karena kebudayaannya yang berbeda selama hubungan antara mereka
itu tidak dapat dihindarkan tumbuhnya bibit-bibit konflik sosial atau konflik budaya. Hal
tersebut dapat terlihat dalam konflik Sampit antara Suku Dayak dan Madura. Masyarakat
kedua suku tersebut memiliki kebudayaan dan prinsip hidup yang berbeda. Sehingga secara
tidak langsung terjadi dominasi ekonomi oleh suku Dayak atas Suku Madura. Menurut
Soemardjan (2001), konflik tersebut sebenarnya merupakan ulangan dari konflik antara
kedua etnik itu yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di Kalimantan Barat (dalam Ruslikan
2001 : 4-5). Hal tersebut disebabkan oleh penyelesaian konflik yang tidak sampai akar.
Sehingga stereotipe negatif terus tumbuh dalam masyarakat dan berakibat pada renggangnya
hubungan masyarakat kedua suku terkait.
DAFTAR PUSTAKA
XTjiptoherijanto, P., 1997. Migrasi Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia. UI-Press,
Jakarta.
Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia Demografi-Politik Pasca-Soeharto. LIPI
Press Bekerja Sama Indonesia, Jakarta.
Mantra, Ida Bagoes. 2007. Demografi Umum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hasil Seminar Transmigrasi 1970. Arti dan Peranan Transmigrasi di Indonesia dalam
Pembangunan dan Hankamnas. Diterbitkan oleh PT Makarti Djaya.
Ruslikan. 2001. “Konflik Dayak-Madura di Kalimantan Tengah : Melacak Akar Masalah dan
Tawaran Solusi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, halaman 1 12. Universitas Airlangga, Surabaya.
Ruslikan., 1999. Sekolah di Masyarakat Pedalaman: Kajian Fenomenologi Pengadopsian
Sekolah di Kalangan Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah . Disertasi tidak dipublikasikan.
Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga.
Soemardjan, Selo., 2001. Konflik Antarsuku di Indonesia. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta.
Suparlan, Parsudi, “Kerusuhan Sambas,” Jurnal Polisi Indonesia, No 2, Tahun 2, AprilSeptember 2000.
Implikasi Terhadap Konflik Sampit, Kalimantan Tengah
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pada era Orde Baru volume migrasi penduduk mengalami peningkatan yang cukup
besar dengan arah yang semakin beragam, tidak hanya ke Jawa tetapi juga ke berbagai
tempat di luar Jawa yang menjanjikan adanya lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.
Secara tidak langsung, perbaikan infrastruktur seperti pembuatan jalan penambahan sarana
dan alat transportasi (bis, kapal laut, kapal udara, kereta api) sangat berpengaruh terhadap
meningkatnya kemudahan untuk melakukan perpindahan (Tirtosudarmo, 2007 : 5).
Pada masa pemerintahan Orde Baru terjadi sebuah proses rekayasa sosial (social
engineering) yang berskala raksasa yang dimaksud untuk mengubah masyarakat dari
semula bersifat “tradisional” menjadi “modern”, yang semula di dominasi oleh ekonomi
pertanian menjadi ekonomi industri yang semula berpendapatan rendah menjadi
berpendapatan tinggi, dan seterusnya. Agen utama dari upaya rekayasa sosial yang
bernama “Pembangunan Nasional” ini adalah negara (state) – yang pelaksananya adalah
pemerintah (government) beserta aparatur birokrasinya mulai dari pusat hingga daerah.
Berkaitan dengan pembangunan daerah, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
“Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah” dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang
“Pemerintahan Desa” adalah dua buah undang-undang yang mencerminkan secara jelas
bagaimana pembangunan ekonomi dan pengembangan masyarakat dikendalikan dan
diarahkan semasa Orde Baru (Tirtosudarmo, 2007 : 6-7). Demografi masyarakat Indonesia
diatur oleh Kebijakan Transmigrasi. Dalam hal ini pemerintah pusat melaksanakan
pembangunan secara sentralistik, Masyarakat di dorong untuk beralih dari sektor
agrikultur ke sektor industri, sebab sektor agrikultur di anggap tradisional dan kurang
produktif.
Menurut Data Biro Pusat Statistik, 1982, 1991, 1998 dan 2001 persebaran penduduk
Indonesia tidak merata. Sekitar 60 persen penduduk Indonesia berdomisili di Pulau Jawa
yang luas wilayahnya sekitar 6,9 persen dari luas wilayah seluruh daratan Indonesia.
Persebaran penduduk yang tidak merata menimbulkan beberapa masalah, salah satunya
kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi di Pulau Jawa disebabkan oleh terlalu padatnya
penduduk sehingga angkatan kerja sulit mendapatkan pekerjaan, sedangkan di luar Jawa
disebabkan oleh kekurangan penduduk untuk mengelola sumber daya alam. (Mantra, 2007
: 200). Oleh karena itu Kementrian Sosial melaksanakan Kebijakan Transmigrasi yaitu
memindahkan penduduk dari Jawa ke luar Jawa, dengan tujuan mengatasi kemiskinan di
Jawa (Mantra, 2007 : 202).
2. Rumusan Masalah
Transmigrasi berimplikasi pada kehidupan masyarakat baik bagi pendatang dan
penduduk lokal. Salah satu implikasinya adalah dalam aspek sosiokultural, contohnya
konflik. Pada bulan Februari tahun 2001, Kalimantan diguncang konflik kekerasan antara
penduduk “lokal” dan “pendatang” dari Madura. Konflik yang menelan ratusan korban
jiwa dan ribuan penduduk yang terpaksa mengungsi – terutama dari Kota Sampit dan
Palangka Raya – diwacanakan sebagai konflik etnik (Tirtosudarmo, 2007 : 169-170).
Dalam sejarah masyarakat dan masalah etnisitas di Kalimantan Tengah, sebenarnya
hubungan antaretnis berlangsung dengan baik. Etnik yang satu dengan etnik lain terjadi
pembauran yang wajar dan saling menghargai. Bahkan perkawinan antaretnik pun sudah
biasa dijumpai dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah. Akan tetapi, khusus
hubungan antara etnik Dayak dengan Madura ada kecenderungan memperlihatkan sesuatu
yang lain yang berbeda dibandingkan dengan hubungan antara etnik Dayak dengan etniketnik lainnya. Dengan kata lain, antara kedua etnik (Dayak-Madura) menyimpan stereotip
etnik/ budaya yang justru cenderung saling merenggangkan hubungan sosial antara
keduanya (Ruslikan, 2001 : 2-3).
Meskipun sudah terlaksana dalam jangka waktu yang lama, transmigrasi pun masih
menuai berbagai permasalahan, salah satunya adalah Perang Sampit yang terjadi di
Kalimantan Tengah. Hal tersebut mencerminkan terdapat kesulitan baik dari penduduk
suatu wilayah dengan pendatang untuk melebur dan konsensus yang sulit terwujud. Dan
program ini cenderung di paksakan dan tidak di pantau secara berkelanjutan oleh
pemerintah.
Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara lebih
mendalam mengenai dampak dari Program Transmigrasi dalam kaitannya dengan konflik
yang terjadi di berbagai wilayah. Namun fokus dalam tulisan ini pada permasalahan yang
terjadi di Kota Sampit dan Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
II. PEMBAHASAN
1. Migrasi
Migrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah satu ke daerah yang lain.
merupakan pmasalahan dari perbedaan pertumbuhan ekonomi. Sebagai akibat dari
konsentrasi kegiatan-kegiatan ekonomi (industri dan jasa) di daerah perkotaan maka
terjadi peningkatan migrasi desa-kota. Sektor informal perkotaan telah menjadi pilihan
pekerjaan yang jelas bagi para imigran yang tidak memiliki keahlian dan kemampuan.
Sektor informal ini telah memainkan peran penting dalam penyediaan lapangan kerja
(Tjiptoherijanto, 1997 : 65).
2. Transmigrasi
Transmigrasi adalah sarana pengembangan (means of development) yang berupa
perpindahan tenaga kerja (manpower) dari satu daerah ke daerah lain untuk menetap.
(Hasil Perumusan Seminar Transmigrasi 1970). Berdasarkan Undang-Undang No. 15
Tahun 1997 tujuan transmigrasi disebut sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
transmigran dan masyarakat sekitarnya, meningkatkan dan meratakan pembangunan
daerah, serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Sejarah Transmigrasi : Mulai dari Kolonisasi hingga Migrasi era Orde Baru
Gejala kelebihan penduduk di Pulau Jawa dan Madura, dan kekurangan penduduk di
luar Pulau Jawa telah disadari oleh pemerintah Hindia Belanda, dan kesadaran tersebut
dipengaruhi oleh tulisan C. Th. Van Deventer yang berjudul Een Ereschuld Oe Gids yang
terbit pada tahun 1899. Tulisan tersebut membeberkan kemiskinan di Pulau Jawa serta
kaitannya dengan Cultur Stelsel dan pelaksanaan kerja paksa oleh pemerintah Belanda.
Dalam tulisan itu Van Deventer menghimbau agar pemerintah Belanda melakukan upayaupaya yang dapat membantu memperbaiki kehidupan rakyat di Pulau Jawa (Mantra dan
Nasrudin Harapan dalam Mantra, 2007 : 201). Oleh karena itu pemerintah kolonial
tergugah untuk menyiapkan satu program yang dapat membantu memperbaiki kehidupan
rakyat jajahan. Program-program tersebut merupakan bagian dari politik balas budi yang
meliputi : irigasi, edukasi dan kolonisasi. Khusus untuk program kolonisasi ini,
pemerintah Hindia Belanda menugaskan H. G. Heyting, seorang asisten residen untuk
mempelajari kemungkinan pemindahan beberapa penduduk Pulau Jawa ke daerah-daerah
lain yang jarang penduduknya, yang dianggap potensial bagi pengembangan usaha
pertanian. Program kolonisasi dimulai tahun 1905 dengan mengirimkan sejumlah 155 KK
(815 jiwa) dari daerah Kabupaten Karanganyar, Kebumen dan Purworejo (waktu itu
termasuk daerah Karesidenan Kedu, Jawa Tengah) ke Gedong Tataan, sekitar 25 km barat
Tanjung Karang. Daerah inilah merupakan kolonisasi yang pertama. Pada tahun 1922
sebuah pemukiman yang lebih besar yang diberi nama Wonosobo didirikan di dekat Kota
Agung Lampung Selatan. Di samping itu didirikan pula beberapa pemukiman besar dekat
Sikadana di Lampung Tengah, sedangkan pemukiman-pemukiman yang lebih kecil
didirikan di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan dan Sulawesi. Pada akhir 1941 telah
ada 173.959 orang yang tinggal dalam proyek-proyek kolonisasi di Lampung (termasuk
orang yang dilahirkan di desa-desa baru ini), dan telah ada lebih dari 56.000 orang di
proyek kolonisasi di daerah lain (Pelzer dalam Mantra, 2007 : 201-202).
Pada tahun 1950 setelah terbentuk Negara Kesatuan Kementrian Sosial mulai
melakukan pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa dengan program transmigrasi.
Berdasarkan World Bank 1998 pada periode tahun 1971-1980, sekitar 65% transmigran
umum menuju Sumatra Selatan dan Lampung. Pada periode tersebut memang Sumatra
merupakan daerah utama bagi pengiriman transmigrasi. Kemudian pada periode tersebut
sebesar 32,2% dikirim ke Sulawesi (terutama Sulawesi Tengah) dan Kalimantan (terutama
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur). Sedangkan untuk Provinsi Maluku dan Irian
Jatya (Papua) persentasenya hanya 0,005% dan 1,4%. Sesudah tahun 1980 transmigran
umum terutama diarahkan Indonesia bagian Timur. Provinsi yang dijadikan daerah
pemukiman transmigrasi dewasa ini dalah : Daerah Istimewa Aceh, Sumatra Utara,
Sumatra Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Persentase transmigran yang menuju
Sumatra menurun, sedangkan yang menuju ke Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya
meningkat (Mantra, 2007 : 202-206).
Menurut Emile Durkheim pada suatu wilayah dimana angka kepadatan penduduknya
tinggi akibat dari tingginya laju penduduk, akan timbul persaingan di antara penduduk
untuk dapat bertahan hidup. Agar dapat memenangkan persaingan setiap orang berusaha
meningkatkan pendidikan dan keterampilan, dan mengambil spesialisasi tertentu (Mantra,
2007 : 59), sehingga transmigrasi merupakan langkah untuk pemerataan penduduk dan
agar persaingan yang sehat yang terwujud bagi tiap individu.
4. Sejarah Mengenai Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah
Kalimantan Tengah adalah contoh sebuah provinsi yang proses kelahirannya
merupakan hasil tuntutan dan perjuangan politik para pemimpin Dayak (Ngaju) untuk
memiliki sebuah wilayah administrasi sendiri dalam sebuah negara-bangsa (nation-state)
yang berdasarkan civic nationalism. Semula Kalimantan Tengah merupakan bagian dari
Kalimantan Selatan. Oleh karena itu secara politik Kalimantan Tengah memiliki arti
tersendiri bagi orang Dayak. Keputusan Presiden Soekarno untuk menjadikan Kalimantan
Tengah sebagai provinsi tersendiri yang lepas dari Kalimantan Selatan pada tahun 1957
dan penunjukan Tjilik Riwut sebagai gubernur yang pertama memperlihatkan dengan jelas
konsepsi politik yang diberikan oleh Soekarno (dan pemerintah pusat) terhadap orang
Dayak untuk memiliki dan mengatur teritori politiknya sendiri. (Tirtosudarmo, 2007 : 172,
174)
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1930, di Central of Borneo termasuk di
dalamnya sebagian dari yang sekarang dikenal dengan Kalimantan Timur, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Selatan tercatat ada 619.402 penduduk. Dari sudut komposisi suku
bangsanya mayoritas (393.402 orang atau 69,49%) adalah orang Dayak. Kemudian
Kalimantan Tengah terbentuk dan memisahkan diri dari Kalimantan Selatan. Berdasarkan
Sensus Penduduk tahun 2000 proporsi penduduk Kalimantan Tengah adalah sebagai
berikut : Banjar (24,20%), Jawa (18,06%), Dayak (18,02%), Dayak Sampit (9,57%),
Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%) , Katingan (3,34%), Manyan (2,80%) (Ananta dkk,
2003 : 24 dalam Tirtosudarmo, 2007 : 173). Besarnya proporsi orang Banjar dan Jawa
diduga karena migrasi dan transmigrasi kedua kelompok etnis ini yang cukup besar ke
Kalimantan Tengah. Dominasi penduduk yang berasal dari luar Kalimantan Tengah
terutama orang Jawa dan Banjar membuktikan bahwa secara sosiodemografis orang
Dayak bukanlah kelompok mayoritas di Kalimantan Tengah. “Transisi sosiodemografis”
berlangsung secara perlahan-lahan. Kelompok bukan Dayak “diam-diam” telah menjadi
penduduk mayoritas di Kalimantan Tengah. Hal itu bisa diperkirakan berdampak sosial,
ekonomi, politik maupun kultural yang tidak kecil, khususnya bagi orang Dayak.
(Tirtosudarmo, 2007 : 175-176).
5. Suku Dayak yang Mulai Tergeser Lain dan Kaitannya dengan Konflik Sampit
Menurut Stephanus Djuweng (1996) dalam Tirtosudarmo (2007), kedekatan Orang
Dayak dengan tanahnya merupakan salah satu karakter budaya (cultural characteristic)
yang membedakan dengan kelompok-kelompok etnis pendatang, misalnya orang Madura,
Banjar, Melayu, Jawa dan Bugis. Tanah merupakan basis material masyarakat Dayak dan
terintegrasi dalam hukum adat mereka. Konsep tanah bagi Masyarakat Dayak disebut
dengan binua, manoa, benua termasuk di dalamnya seluruh isi yang terkandung dan
terkait dengan tanah yang dalam istilah modern dikenal dengan Sumber Daya Alam
(Tirtosudarmo, 2007 : 180-181).
Suku Dayak memiliki ciri-ciri budaya primordial. Dalam tata hidupnya suku itu
berorientasi pada dirinya sendiri (inward oriented). Mereka percaya bahwa di dalam
lingkungannya yang banyak hutan dan rawa yang menyulitkan hubungan dengan dunia di
luarnya ada dua macam masyarakat, yaitu masyarakat manusia hidup dan masyarakat rohroh manusia yang sudah meninggal. Kedua masyarakat itu saling berhubungan dalam
kehidupan sehari-hari. Hubungan itu dilakukan menurut adat yang kuat dan hidup, lagi
pula menggalang kesetiaan pada masyarakat hidup dan masyarakat roh yang tidak boleh
diganggu. Dalam rangka kebudayaan, kepercayaan, dan adat itu suku Dayak mempunyai
sikap ramah-tamah, penuh toleransi, dan tenggang rasa dalam hubungannya sesama
manusia. Tetapi kalau pihak lain yang melanggar adat, dan dengan sendirinya merusak
hubungan dengan masyarakat roh-roh leluhur mereka, maka mereka tidak segan-segan
untuk mengeluarkan mandaunya dan memotong kepala lawannya sebagai bukti kepada
roh-roh bahwa mereka membela kehormatan roh-roh itu. Hal serupa juga diungkapkan
dalam penelitian Ruslikan (1999), di mana masyarakat Dayak sangat menghargai tradisi
nenek moyang serta roh-roh leluhur. Sebaliknya, ciri-ciri suku Madura memiliki orientasi
kebudayaan keluar (out-ward oriented). Karena daerah asalnya, pulau Madura, kering dan
gersang maka kebudayaannya mengajarkan ketekunan dan keberanian untuk bertahan
hidup. Masyarakat Madura menganggap bahwa lahan hidup mereka itu tidak terbatas pada
pulau Madura saja, akan tetapi daerah-daerah di seberang lautan pun mereka anggap
pantas dijadikan sumber penghidupan. Mereka yang merantau sebagian karena terpaksa
sebab sumber penghidupannya yang benar- benar sempit, sedang sebagian lainnya adalah
yang berwatak dinamis, mandiri, serta berani meluaskan lingkungan hidupnya sampai di
seberang lautan. Orang-orang Madura yang berwatak demikian itulah yang berlayar
sampai ke Kalimantan Barat serta Kalimantan Tengah dan membentuk masyarakat
pendatang (Soemardjan dalam Ruslikan, 2001 : 6). Dari hal tersebut terlihat bahwa baik
Suku Dayak maupun Suku Madura memiliki perbedaan kebudayan dan paradigma.
Sejalan dengan temuan Suparlan, Soemardjan (2001) menyebutkan, dalam hubungan
antara suku lokal Dayak dan suku pendatang Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah tampaknya prasangka negatif dari suku Dayak terhadap suku Madura lebih
mendalam daripada prasangka yang positif, kalau pun ada. Lagi pula unsur budaya suku
Madura di bidang ekonomi yang lebih kuat ketimbang dalam kebudayaan suku Dayak
membawa suku Madura pada tingkat dominan di atas suku Dayak. Suku Dayak merasa
tidak senang di daerah asalnya sendiri didominasi oleh suku lain yang datang dari daerah
lain. Sementara pada pihak suku Madura berpendapat bahwa masyarakatnya memberi
sumbangan besar pada perkembangan ekonomi umum, baik di Kalimantan Barat maupun
di Kalimantan Tengah. Tanpa kegiatan ekonomi suku Madura, ekonomi di kedua daerah
itu tidak akan menjadi setinggi seperti sekarang. Warga etnik Madura yang minoritas di
tengah-tengah suku Dayak yang mayoritas dikenal sebagai pekerja keras sekaligus
memiliki tingkat kesetiaan ke dalam (kelompok) yang kuat dan terus berusaha menggalang
kekuatan sosial dalam identitas etnisnya yang kuat pula. Akan tetapi hal itu kurang
diimbangi dengan upaya melakukan akulturasi dengan suku Dayak, sehingga di mata
orang-orang Dayak orang-orang Madura lebih dilihat sebagai orang asing. Dalam konteks
demikian, jika kita bertanya mengapa suku Dayak bermusuhan dengan suku pendatang
yang Madura saja dan tidak suku pendatang lainnya? Menurut Soemardjan (2001), karena
suku-suku lain seperti Jawa, Bugis, Minangkabau, Batak, dan lain sebagainya pandai
berakulturasi dengan suku Dayak, sehingga mereka dapat bekerjasama atau setidaktidaknya berkoeksistensi dengan suku mayoritas itu. Suku Madura bersikap berbeda
dengan akibat konflik. Di antara kedua suku itu (Dayak-Madura) timbul suasana konflik
budaya. Semula bersifat laten (tertutup), tetapi lama-lama cukup kuat untuk meledak
menjadi konflik manifest (terbuka) yang diwujudkan dengan interaksi yang berisikan
permusuhan disertai kekerasan yang tak terkendalikan (Ruslikan, 2001 : 8).
Sinyalemen demikian di perkuat oleh studi (2000) di Sambas, Kalimantan Barat, yang
melihat bahwa orang-orang Madura yang sudah datang dan tinggal di Kalimantan Barat
sejak 1920 cenderung eksklusif. Dengan sangat jelas Suparlan menguraikan demikian :
Orang-orang Madura hidup mengelompok sesama mereka sendiri baik yang hidup dalam
sebuah komuniti berupa dusun yang terpisah sama sekali dari kehidupan orang-orang
Melayu atau orang-orang Dayak maupun yang hidup dalam komuniti-komuniti yang ke
semua warganya orang-orang Madura dalam desa Orang Melayu atau desa Orang Dayak.
Dalam keadaan demikian, komuniti Orang Madura hidup bertetangga dengan warga desa
Melayu atau Dayak setempat. Di daerah perkotaan, di kota Singkawang, misalnya, mereka
juga hidup mengelompok dalam lingkungan ketetanggaan yang kesemuanya orang-orang
Madura. Pusat sebuah komuniti Orang Madura adalah tempat ibadah mereka. Pada waktu
jumlah mereka itu sedikit maka pusat komunitinya adalah langgar atau mushalla. Bila
jumlah anggota komunitinya bertambah maka pusat komuniti tersebut adalah masjid, dan
biasanya dibarengi dengan pesantren. Langgar atau masjid dan pesantren adalah eksklusif
Madura. Di samping itu, ada kecenderungan orang-orang Dayak merasa bahwa orangorang Madura tidak menghargai harkat martabat mereka sebagai manusia dan sebagai
penduduk setempat, dan juga memandang sebelah mata adat-istiadat yang mereka junjung
tinggi sebagai pedoman etika dan moral dalam kehidupan mereka. Orang-orang Madura
telah memperoleh keuntungan secara berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah,
monopoli kegiatan-kegiatan ekonomi, jasa, dan bisnis, monopoli eksploitasi atas sumbersumber daya alam yang ada) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan
kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang Madura
tidak pernah merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat maupun secara umum
adalah salah dan secara hukum juga melanggar ketentuan hukum (Ruslikan, 2001 : 9).
Menurut Ruslikan (2001), Masyarakat Suku Dayak maupun Suku Madura sama-sama
memiliki karakterisktik kebudayaan yang spesifik dari daerah asalnya yang umumnya
masih dipegang dengan kuat. Sehingga seringkali satu dan lainnya mengalami benturan
yang memicu timbulnya konflik. Baik satu maupun lainnya merasa pihaknya yang benar
sebab berpatokan dengan adat istiadat masing-masing. Sedangkan mereka memiliki adat
istiadat berbeda bahkan bertolakbelakang. Transmigrasi seringkali tidak terpantau dengan
baik, hal tersebut dapat terlihat dari kurang mempertimbangkan latar belakang budaya
masyarakat pendatang dan penduduk lokal wilayah terkait tujuan transmigrasi. Padahal
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dan masing-masing
merupakan bagian dari etnis tertentu. Transmigrasi hanya menitikberatkan pada
perpindahan guna pemerataan distribusi penduduk.
III. KESIMPULAN
Jumlah penduduk Jawa yang mampu ditransmigrasikan sangat kecil bila
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Sebagai misal jumlah penduduk di Pulau Jawa
tahun 1905 sebesar 29.024.000 jiwa (Bremen 1971 dalam Mantra 2007), dan pada tahun 1940
jumlahnya meningkat menjadi 49.024.000 jiwa (Widodo, 1970 dalam Mantra 2007). Jadi
selama 35 tahun terjadi pertambahan penduduk sebesar 19.100.000 jiwa orang, sedang
jumlah penduduk yang mampu dipindahkan hanya sebesar 257.313. orang (1,3% dari jumlah
pertumbuhan penduduk). Untuk periode tahun 1961-1985, persentase penduduk yang dapat
dipindahkan dari Pulau Jawa dan Bali meningkat menjadi 8,2% dari jumlah pertumbuhan
penduduk di kedua pulau tersebut. Jadi walaupun terjadi peningkatan, tetapi persentase tetap
kecil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari segi sosiodemografis jumlah transmigran yang
berhasil dipindahkan tidak banyak berarti bagi daerah pengirim (Mantra, 2007 : 203-204).
Selain itu meski sudah berlangsung lama, transmigrasi masih menuai permasalahan yaitu
konflik antara pendatang dan penduduk lokal yang bermukim di daerah yang dijadikan
sebagai tujuan transmigrasi.
Menurut Soemardjan (2001), di mana ada dua atau beberapa suku hidup sebagai
tetangga dekat maka karena kebudayaannya yang berbeda selama hubungan antara mereka
itu tidak dapat dihindarkan tumbuhnya bibit-bibit konflik sosial atau konflik budaya. Hal
tersebut dapat terlihat dalam konflik Sampit antara Suku Dayak dan Madura. Masyarakat
kedua suku tersebut memiliki kebudayaan dan prinsip hidup yang berbeda. Sehingga secara
tidak langsung terjadi dominasi ekonomi oleh suku Dayak atas Suku Madura. Menurut
Soemardjan (2001), konflik tersebut sebenarnya merupakan ulangan dari konflik antara
kedua etnik itu yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di Kalimantan Barat (dalam Ruslikan
2001 : 4-5). Hal tersebut disebabkan oleh penyelesaian konflik yang tidak sampai akar.
Sehingga stereotipe negatif terus tumbuh dalam masyarakat dan berakibat pada renggangnya
hubungan masyarakat kedua suku terkait.
DAFTAR PUSTAKA
XTjiptoherijanto, P., 1997. Migrasi Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia. UI-Press,
Jakarta.
Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia Demografi-Politik Pasca-Soeharto. LIPI
Press Bekerja Sama Indonesia, Jakarta.
Mantra, Ida Bagoes. 2007. Demografi Umum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hasil Seminar Transmigrasi 1970. Arti dan Peranan Transmigrasi di Indonesia dalam
Pembangunan dan Hankamnas. Diterbitkan oleh PT Makarti Djaya.
Ruslikan. 2001. “Konflik Dayak-Madura di Kalimantan Tengah : Melacak Akar Masalah dan
Tawaran Solusi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, halaman 1 12. Universitas Airlangga, Surabaya.
Ruslikan., 1999. Sekolah di Masyarakat Pedalaman: Kajian Fenomenologi Pengadopsian
Sekolah di Kalangan Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah . Disertasi tidak dipublikasikan.
Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga.
Soemardjan, Selo., 2001. Konflik Antarsuku di Indonesia. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta.
Suparlan, Parsudi, “Kerusuhan Sambas,” Jurnal Polisi Indonesia, No 2, Tahun 2, AprilSeptember 2000.