MANUSIA MENURUT ILMU TASAWUF AKHLAK TASA

MANUSIA MENURUT ILMU TASAWUF (AKHLAK TASAWUF)

A.

Kejadian Manusia

Allah swt. menciptakan alam semesta dan makhluk-makhluk yang beraneka ragam ini tidak
sekaligus, melainkan melalui tahapan-tahapn selama enam periode seperti firman-Nya dalam alQur’an surah al-A’raf ayat 54 :
Artinya : “ Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang
yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah
hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-A’raaf : 54)
Literatur-literatur ke-Islaman tidak pernah membahas dan menjelaskan secara rinci
urutan atau periodisasi penciptaan makhluk Allah, sehingga tidak diketahui jenis makhluk apa
yang diciptakan Allah pada periode pertama, jenis makhluk apa yang diciptakan pada periode
kedua, jenis makhluk apa yang diciptakan pada periode ketiga, jenis makhluk apa yang
diciptakan pada periode keempat, dan periode kelima. Tetapi semua ilmuan muslim mengatakan
bahwa manusia dalam tatanan kronologis penciptaan merupakan makhluk ciptaan yang paling
bungsu (ciptaan terakhir), setelah terciptanya makhluk-mahkluk laindi sekitarnya.
Menurut urutannya, ciptaan awal Allah swt. sebelum manusia adalah alam semesta dan

segala isinya termasuk udara, tanah dan air. Di atas media ini (secara logika) baru dapat hidup
tumbuh-tumbuhan. Sesudah itu barulah dimungkinkan hidupnya hewan. Jadi penciptaan generasi
makhluk tersebut, secara logika tidak mungkin serentak. Sebab setiap makhluk ciptaan itu saling
memerlukan antar sesamanya. Masing- masing tidak mungkin hidup secara terpisah sendirisendiri. Manusia sebagai generasi makhluk yang paling akhir memerlukan dukungan ketiga
makhluk generasi sebelumnya, yaitu 1) udara, air dan tanah; 2) tumbuh-tumbuhan; 3) hewan.
Dikalangan sufi secara tidak tertulis diajawakan bahwa makhluk pertama yang diciptakan
Allah adalah alam nur, kemudian pada masa kedua diciptakan alam arwah, pada masa ketiga
diciptakan alam malakut, pada masa keempat diciptakan alam jabarut, pada masa kelima
diciptakan alam mitsal, dan pada ,asa terakhir (yaitu masa keenam) diciptakan alam insan (alam
manusia).
Sebagai makhluk yang paling bungsu, manusia merupakan ciptaan dan karya Allah swt.
yang paling istimewa dan penuh rahasia. Manusia merupakan sstu-satunya makhluk Allah yang
eprbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan sebagai pencipta alam
semesta. Keistimewaan dan kerahasiaan manusia disbanding seluruh makhluk-makhluk lain
adalah kejadiannya yang terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi jasmani dan rohani.

1.

Dimensi Jasmaniah Manusia dan Kebutuhannya.


Menurut al-Qur’an, penciptaan tubuh Adam sebagai manusia pertama adalah dari tanah
langsung. Seperti dijelaskan dalam surah Ali-Imraan ayat 59:
Artinya : “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam.
Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang
manusia), Maka jadilah Dia.” (Q.S. Ali-Imraan : 59)
Jika jasmani Adam sebagai manusia pertama diciptakan langsung dari tanah, tetapi
keturunannya (manusia; generasi berikutnya) tidak lagi diciptakan langsung dari tanah, melinkan
dari saripati tanah seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an :
Artinya : “12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. 13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). 14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (Q.S. al-Mukminuun :
12-14)
Demikianlah asal kejadian (proses penciptaan) jasmani manusia itu, diciptakan Allah
swt. dari tanah atau saripati tanah yang kemudian dalam kehidupannya mengalami pertumbuhan
dan perkembangan yang selanjutnya mengalami penuaan dan pada gilirannya mengalami
kematian (kembali ke tanah). Karena tercipta dari tanah yang bersifat benda materi, jasmani
manusia adalah sesuatu yang dapat dilihat, diraba, terikat serta tunduk atau terpengaruh dengan

sifat-sifat alam materi, kebutuhan jasmani itu adalah sesuatu yang bersifat materi seperti: makan,
minum, pakaian, dan lain sebagainya.

2.

Dimensi Rohaniah Manusia dan Kebutuhannya.

Sekalipun proses penciptaan jasmani manusia sudah sempurna, namun pada saat roh belum
ditiupkan ke dalamnya, jasmani manusia itu belum merupakan makhluk hidup. Jasmani tersebut
menjadi manusia setelah roh ditiupkan Allah kepadanya.
Dengan demikian hakikat manusia adalah roh yang ditiupkan Allah, yang roh ini ternyata lebih
mulai dari para malaikat, iblis, jin dan sekalian mahkluk ciptaan Allah, karena setelah roh
ditiupkan Allah ke dalam jasad, para malaikat diperintahkan untuk hormat/sujud kepada
manusia. Disinilah kekeliruan iblis dalam memandang manusia dari satu aspek jasmaniah yang
tercipta dari saripati tanah, tidak memandang manusia dari aspek hakikat yaitu roh atau An-Nafs.

Akibat dari kekeliruan tersebut, iblis merasa bahwa dirinya jauh lebih mulia dari manusia yang
diciptakan dari tanah sedangkan dirinya diciptakan dari api, sehingga iblis enggan dan ingkar
(kufur) terhadap perintah Allah swt. yang memerintahkan mereka untuk bersujud kepada
manusia. Seperti firman Allah swt:

Artinya : “28. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam
yang diberi bentuk, 29. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup
kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. 30. Maka
bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama-sama 31. kecuali iblis. ia enggan ikut besamasama (malaikat) yang sujud itu, 32. Allah berfirman: "Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut
sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?", 33. berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan
sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal)
dari lumpur hitam yang diberi bentuk".” (Q.S. al-Hijr : 28-33)
Dan juga Allah swt. berfirman :
Artinya : “dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (Q.S. al-Baqarah : 34)
Kaum sufi berpendapat bahwa roh manusia itu diciptakan Allah dari nur yang paling
dekat dengan zat Allah yang disebut dengan istilah “Asrori nurihi” (rahasia nur-Nya), sehingga
seperti dikatakan oleh Haidar Putra Daulay, bahwa : “Ruh manusia tidak terpisah dengan Tuhan,
ia ibarat matahari dengan cahayanya”. Hubungan antara Allah dengan roh manusia tidak
terpisahkan. “Hubungan antar keduanya bisa terganggu apabila roh manusia dipengaruhi oleh
tarikan material yang ada pada diri manusia”, yaitu tarikan (hawa) dari jasad/jasmaniah yang
selalu tunduk pada sifat-sifat alam materi.
Roh itu sebelum ditiupkan ke dalam jasad manusia, dihidupkan di suatu alam (alam

ghaib) yang oelh ulama sufi disebut “alam arwah”. Di dalam arwah ini para roh manusia
senantiasa bertasbih mensucikan dan memuliakan Allah swt., karena para arwah tersebut dapat
menyaksikan Zat Allah dengan semua kesempurnaan-Nya. Di manakah alam arwah itu berada?
Manusia tidak akan dapat mengetahuinya, karena alam arwah ini adalah merupakan kekuasaan
Allah secara mutlak sehingga disebut dengan “alam al-Mulk” atau alam yang hanya Allah
mengetahuinya sehingga disebut dengan istilah “alam amar Rob” (alam urusan Allah), seperti
yang ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Israa’ ayat 85 :
Artinya : “dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".” (Q.S. al-Israa’ : 85)
Kaum sufi berpendapat bahwa roh manusia yang tercipta dari alam nur, memiliki kebutuhan
yang berbeda dengan jasmani. Jika kebutuhan jasmani adalah sesuatu yang bersifat materi, maka

kebutuhan rohani manusia adalah bertasbih dan berzikir. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi,
maka rohani manusia akan mengalami kegelisahan dan apabila terpenuhi maka rohani manusia
akan menjadi tentram seperti ditegaskan dalam surah ar-Ra’du ayat 28 :
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. arRa’d : 28)
B.

Hubungan Fungsional Antara Rohani dan Jasmani Manusia


Imam al-Ghazali sebagai seorang hujjatul islam dalam berbagai karyanya seperti dikutip oleh Dr.
M. Yasir Nasution mengatakan bahwa yang menjadi hakikat manusia itu adalah rohnya. Tubuh
atau jasad bukanlah hakikat manusia, karena tubuh adalah sesuatu yang terus berubah-ubah dan
tubuh atau jasad tidak membedakan manusia dari makhluk lain seperti tumbuhan dan hewan.
Yang dimaksud dengan hakekat disini adalah sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu
identitas esensial membedakannya dari yang lainnya.
Setelah roh berada/bersama jasad manusia Allah memanggil/ menyebutnya dengan nama
“An-Nafs”. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surat Asy-Syams
ayat 7-8 :
Artinya : “7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Q.S. asy-Syams : 7-8)
Panggilan atau sebutan lain terhadap roh yang sudah ditiupkan ke dalam jasad/ jasmani tersebut
adalah “qalb”, seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 10 yang berbunyi :
Artinya : “dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka
siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah : 10)
Sebagaimana nama lain dari An-Nafs, maka Al-Qalb juga merupakan nama dari roh yang
merupakan hakikat manusia itu sendiri, seperti dijelaskan dalam hadits Rasulullah yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim : “Ingatlah dalam tubuh manusia ada segumpsl darah, apabila
baik maka akan baiklah seluruh tubuh, dan apabila rusak maka rusaklah seluruhnya, itulah dia

hati.”
Mengenai hubungan antara roh dan jasmani manusia, kaum sufi mengajarkan bahwa jasmani
adalah merupakan tempat bagi jiwa ketika berada di dunia, dalam kapasitasnya sebagai tempat
bagi jiwa, hubungan atau fungsi jasmani bagi jiwa selama berada di kehidupan dunia ini adalah
sebagai berikut :
1)

Jasmani Merupakan Kendaraan Bagi An-Nafs

Hubungan An-Nafs dengan jasmani adalah seperti pangendara dengan kenderaannya dalm
menuju suatu tujuan. Pangendara adalah An-Nafs dan kenderaannya adalah jasmaniah. Jadi
bukan sebaliknya. Kehidupan duniawi bagi An-Nafs adalah bersifat sementara dan sebentar saja.
Kehidupan dunia hanyalah persinggahan yang menentukan bagi An-Nafs. Bagikan seorang
musafir dalam menuju akhirnya yaitu kehidpan akhirat.
Sebelum hidup di dunia, An-Nafs ( roh ) sudah hidup dialam arwah. Dari alam arwah
diperjalankan (ditiupkan) ke alam kandungan ibu, selanjutnya dikeluarkan kea lam dunia dan
kelak akan diperjalankan lagi ke alam berikutnya yang merupakan tujuan akhir perjalanan
tersebut yaitu alam akhirat. Selama hidup di dunia An-Nafs diberikan kendaraan oleh Allah,
itulah dia jasmani. Manusia dalam mencapai tujuan akhirnya (kehidupan akhirat) terlebih dahulu
mengalami kematian (perpisahan antara unsure jasmani dengan An-Nafs). Dengan kematian

itulah An-Nafs memasuki pintu gerbang kehidupan akhir, sedangkan jasmani kembali ke asal
kejadiannya semula yaitu tanah.
Sebagai kendaraan bagi An-Nafs dalam perjalanannya, jasmani harus mendapat pehatian,
pemeliharaan atau perawatan dengan baik. Jika kendaraan rusak atau tidak sehat maka An-Nafs
akan mengalami gangguan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengendara. Karena itulah
dalam islam ditekankan perlunya menjaga kesehatan tubuh atau kebahagiaan duni. Seperti
dijlaskan dalam surat Al-Qashash ayat 77 yang berbunyi :
Artinya : “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.” (Q.S. al-Qashash : 77)
2)

Jasmani Merupakan Alat Bagi An-Nafs

Selain berfungsi sebagai kendaraan, fungsi kedua jasmani bagi An-Nafs adalah sebagai alat,
sehingga dalam hal ini hubungan an- nafs dengan jasmani adalah bagaikan pengguna alat (AnNafs) dengan alat yang digunakan (jasmani). Dalam fungsinya sebagai alat, jasmani memiliki 3
peran terhadap An-Nafs. Ketiga peran tersebut adalah sebagai berikut:
a.

Alat untuk menerima kenikmatan hidup di dunia bagi An-Nafs, seperti menerima
kenikmatan pemandangan yang indah yang di terima melalui indra mata, menerima kenikmatan
suara yang merdu melalui alat indra pendengaran dan lain sebagainya.
b.
Alat untuk menerima ujian dan cobaan berupa penderitaan hidup di dunia bagi An-Nafs ,
seperti rasa lapar, dan haus akibat kurangnya makanan yang diterima indra mulut, derita rasa
sakit akibat luka yang terjadi pada indra jasmaniah, atau perut masuk angin, mata masuk pasir
dan lain sebagainya. Dalam hal ini yang menderita adalah An-Nafs, tetapi alat menerima
penderitaan tersebut adalah indra jasmaniah.

c.
Alat bagi An-Nafs dalam melakasanakan fungsi kesaksian dan penghambaan diri kepada
Zat Penciptanya.
Sebagai sesuatu yang diciptakan dari Nur Allah, An-Nafs bersifat lembut ( tidak kasar ),
juga memiliki kecederungan untuk selalu dapat berhubungan dengan sumber kejadiannya
sekalipun dia sudah berada di alam fisika (alam materi). Selain itu,an – Nafs memiliki sifat
menghambakan diri dengan penuh ketaatan dan kepada Tuhan kepada Allah sebagai zat
pencipta-Nya. An–Nafs juga memiliki sifat untuk selalu mewujudkan rasa kesaksiannya tentang
adanya Allah sebagai pencipta, yang memberikan kehidupan,yang memberikan pendengaran,
pengelihatan, kemampuan berfikir, berkata–kata, yang memelihara dan memenuhi kebutuhan

dari segala kenikmatan hidup serta rezeki yang tiada terhingga dalam kehidupan inilah fitrah
kejadian an–Nafs (jiwa) seperti dijelaskan dalam al–Qur’an surat Ar–Rum ayat 30 yang berbunyi
:
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (Q.S. ar-Ruum : 30)
Alat yang harus digunakan oleh an-Nafs (jiwa) dalam mewujudkan atau melaksanakan fitrah
bertuhan selama di dunia ini adalah organ jasmaniah, seperti untuk komunikasi dengan Allah
atau beribadah, seperti melaksanakan salat, puasa,membayar zakat, menunaikan haji, berdo’a,
bersyukur dan amal–amal saleh lainnya.
Karena itu, demi lancarnya pelaksanaan fitrah bertuhan bagi an–Nafs, organ tubuh /
jasmaniah harus dijaga pertumbuhan dan perkembangannya, organ jasmani harus dipelihara
kesehatannya. Sebab apabila anggota jasmaninyah mengalami gangguan kesehatan, maka hal itu
akan mengganggu kelancaran pelaksanaan fitrah bertuhan bagi an–Nafs.
a.

Jasmani merupakan ujian bagi an–Nafs

Kalau an–Nafs memiliki fitrah bertuhan atau bersifat Ilahiyat (ketuhanan) hingga ia
selalu ingin (rindu) untuk dapat berkomunikasi langsung dengan Allah yang ghaib. Sebaliknya

jasmani yang diciptakan dari tanah atau saripati tanah yang bersifat materi memiliki
kecenderungan untuk terikat tunduk dan tergantung pada benda–benda alam. Jasmani juga
memiliki sifat seperti makhluk alam materi lainnya seperti : sifat tanah (jumudat), sifat tumbuhan
(nafsul nabatat), dan lebih dari itu jasmani juga memiliki sifat kehewanan (nafsul hayawaniyat).
Karena itu, an–Nafs sebagai hakikat manusia yang seharusnya mengendalikan organ
jasmani sebagai kenderaan dan alat untuk mengaktualisasikan fitrah Ilahiyatnya, justru
dihadapkan pada tarikan sifat – sifat materi kebendaan yang ada pada jasmani tersebut, sehingga
jasmani justru menjadi tantangan dan ujian bagi an-Nafs dalam perjalanan hidupnya di dunia.
Dalam posisi seperti ini, an-Nafs yang pada dasarnya cenderung kepada nilai–nilai ketuhanan
(Ilahiyat), justru akan lupa pada tuhan, alergi mendengar nama Tuhan dan benci bila mendengar
seruan dan ajaran Tuhan. Tetapi apabila an-Nafs mampu mengeluarkan dirinya dari tarikan hawa
ini secara bertahap melalui latihan dan upaya pencerahan kerohanian maka pada giliriannya an-

Nafs itu dapat kembali seperti posisi kejadiannya semula yang tercipta dari NurNya Allah.
Seiring dengan tingkat ketaklukan an-nafs dan kemampuannya melepaskan diri dari tarikan
hawa jasmani yang bersifat materi keduniawian tersebut, maka umumnya ulama membagi annafs itu ke dalam tiga golongan yaitu : nafs amarah, nafs lawwamah dan nafs muthmainnah.
Tetapi para kaum sufi mengelompokkannya ke dalam tujuh tingkatan yaitu : 1) Nafs al Amarah
Bissu’i, 2) nafs al salwalah, 3) nafs al lawwamah, 4) nafs al Malhamah, 5) nafs al Mutmainnah,
6) nafs al Roidhiah, dan 7) nafs al Mardhiyah.
1)

Nafs al Amarah Bissu’i

Nafs al-Amarah, maksudnya adalah an-Nafs yang mempunyai kecenderungan terhadap
tipe kejasmanian , selalu menyuruh kepada kelezatan syahwat, selalu menarik hati agar
menghadap ke arah bawah dimana arah bawah itu merupakan sarang keburukan dan sumber dari
prilaku tercela. Nafs inilah yang tunduk dan taat kepada godaan- godaan syaitan. Hal ini sejalan
dengan firman Allah dalam al-quran surat Yusuf ayat 53 :
Artinya : “dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Q.S. Yusuf : 53
An-nafs yang pada dasarnya memiliki sifat ilahiyat (ketuhanan) , apabila berada dalam
tarikan yang terdalam dari sifat jasmaniah justru akan menjadi pencipta hal-hal yang bersifat
material keduniawinyan secara berlebihan (hubbud dunya) , sehinnga lahirlah sifat-sifat seperti :
mencintai lawan jenis secara berlebihan (hubbud maal) dan mencintai pangkat, status dan jabatan
secara berlebihan pula (hubbud jah), jelasnya lahirlah sifat berlebihan terhadap tiga “ TA”
( Wanita, harta dan tahta ).
Akibat kecintaan berlebihan terhadap hal-hal di atas sudah terjadi, maka akan mendorong
manusia itu untuk melakukan kejahatan-kejahatan (amara bissu’i). Kecintaan kepada lawan jenis
berlebihan, akan membuat seseorang mengumbar nafsu seksnya, penyimpangan seksual.
Semangat hidup hedonis melanda keperibadiannya. Dan seterusnya apabila seseorang dihinggapi
penyakit cinta pangkat dan jabatan berlebihan, akan membuat seseorang menjadi sangat
ambisius. Keambisiusannya itulah membuat dia berbuat apa saja untuk memperoleh
pangkat/jabatan tersebut.
2)

Nafs al-Syalwalah

Nama lain dari an-Nafs apabila berada dalam tarikan terkuat/terdalam dari sifat-sifat
jasmaniah adalah an-Nafsas-syalwalah. Artinya adalah diri yang merasa bangga apabila sudah
selesai (berhasil) melakukan prerbuatan jahat, bangga apabila berhasil menipu atau merampok
atau membodohi orang lain, merasa bangga menjadi seorang preman, merasa bangga menjadi
seorang pecandu narkoba dan lain sebagainya.
3)

Nafs al-Lawwamah

Nafs al-Lawwamah adalah jiwa yang disinari oleh cahaya hati, disamping juga masih
memperhatikan keburukan. Setiap kali jiwa al-Lawwamah berbuat keburukan sebagai akibat dari
kegelapan hatinya, maka saat itu juga ia meminta ampun dan bertaubat. Nafs al-Lawwamah ini
kadang-kadang melahirkan kejahatan dan kadang-kadang kebaikan.
4)

Nafs Al-Malhamah

An-Nafsul Malhamah artinya adalah jiwa yang sudah memperoleh ilham, ajaran atau
ilmu tentang mana jalan kehidupan yang baik (taqwa) dan jalan kehidupan kejahatan atau dosa
(fujur). Terserah jiwa memilih jalan yang mana, atau dengan kata lain jiwa bisa kembali pada anNafsal-amara bissu’i atau an-Nafsal-syalwalah.
5)

Nafs Al-Mutmainnah

Nafs ini adalah jiwa yang telah disinari oleh cahaya hati sehingga mampu menghilangkan
sifat-sifat tercela dan akhirnya dia berperilaku terpuji dan sebagai hasilnya akan merasakan
kententraman.
6)

Nafs al-Rodhiyah

Sebagai kelanjutan dari jiwa dan hati yang tentram karena mengingat Allah swt, maka
jiwa manusia akan semakin terdorong untuk lebih ikhlas melaksanakan perintah-perintah Allah
dan menjauhi larangan-laranganNya, lebih ikhlas dan ridha menerima semua ketentuan allah swt,
selalu berprasangka baik terhadap apa yang datang darinya. Keadaan jiwa yang seperti ini
disebut dengan Nafs al-Rodhiyah.
7)

Nafs al-Mardhiyyah

Terhadap jiwa yang yang selalu ingat kepada Allah swt, berprasangka baik terhadap segala
ketentuan dan taqdir Allah, ikhlas melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi laranganNya, tidak riya melainkan beribadah hanya ingin memperoleh ridho-Nya, maka jiwa seperti ini
sesuai dengan janji Allah swt. bahwa dia kan meridhionya. Jiwa yang diridhoi Allah itulah yang
disebut dengan an-Nafsal-Mardiyah. (sesuai dengan Q.S. al-Fajr : 27-28)
C.
1.

Tujuan Penciptaan Manusia Sebagai Makhluk yang Paling Sempurna.
Manusia Sebagai Saksi Allah

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gununggunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia…” (Q.S. al-Ahzab : 72)
Ayat diatas dengan jelas menerangkan bahwa fungsi manusia dalam kehidupannya di

dunia ini adalah sebagai pemegang amanah dari Allah. Isi dari amanah tersebut adalah bahwa
manusia adalah sebagai saksi yang harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah (tauhid) sebagai
Rabbul ‘Alamin (pencipta, pengatur, dan pemelihara alam semesta dengan segala isinya) atau
tuhid Rububiyyah. Manusia harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah segala Ilah (Tuhan) yang
harus disucikan (tasbih), dipuji (tahmid), dibersihkan dari kesamaan dengan makhluk (tahlil) dan
dibesarkan namanya (takbir) baik di hati, di lidah maupun dalam perbuatan atau tauhid
Uluhiyyah. Dan juga harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah sebagai ma’bud (Zat yang harus
disembah) atau tauhid Ubudiyyah.
Fungsi amanah sebagai saksi ini kelak akan dipertanggungjawabkan manusia di akhirat.
Allah berfirman :
Artinya : “dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.”
2.

Manusia Sebagai Khalifah Allah

Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui."” (Q.S. al-Baqarah : 30)
Yang dimaksud dengan khalifah oleh kaum Sufi dalam ayat tersebut adalah manusia
(Adam), sedangkan khalifah itu dalam konteks ini diartikan sebagai pengganti Allah dalam
melaksanakan perintah-Nya kepada manusia dan alam semesta. Sebagai khalifah manusia
dengan potensi yang diberikan Allah kepadanya berkewajiban memkamurkan dengan cara
memelihara dan melestarikannya. Manusia juga wajib mengolah dan merekayasa alam semesta
agar bermanfaat bagi kemashlahatan manusia dan makhluk lainnya. Wajib juga memelihara
keseimbangan ekosistem lingkungan dan alam. Dan tidak boleh melakukan pengrusakan
terhadap alam, pengrusakan terhadap alam merupakan tindakan yang menyimpang dari khalifah.
Sekalipun memiliki kelebihan dan kesempurnaan, manusia adalah sama dengan makhlukmakhluk lain seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan, Allah berfirman :
Artinya : “dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun
dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Q.S. al-An’am : 38)
Manusia juga adalah hamba Allah, tujuan penciptaannya tidak lain adalah untuk
mengabdi kepada-Nya (sesuai dengan Q.S. adz-Dzariyat : 56)
Manusia dalam funsi kekhalifahannya di muka bumi, aktivitasnya bukanlah “bebas nilai”.

Manusia dengan segala perbuatannya harus bertanggung jawab kepada Allah sebagai
Penciptanya dan untuk itu manusia dengan segala perbuatannya akan dievaluasi seperti terdapat
dalam firman Allah :
Artinya : “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (Q.S. al-Mulk : 2)
Dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas tugas kekhalifahan, inilah yang
dimaksud hadits Rasul yang berbunyi : “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, karena itu kamu akan
dimintai pertanggung jawaban mengenai kepemimpinan kamu.”
3.

Manusia Sebagai Hamba

Artinya : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat : 56)
Menghambakan diri (beribadah) kepada Allah, sekalipun tata cara dan waktu
pelaksanaannya ditentukan oleh Allah, pada hakikatnya bukanlah kewajiban atau beban bagi
manusia. Penghambaan ini (peribadatan) tersebut pada hakikatnya adalah fitrah yang menjadi
kebutuhan an-Nafs (hakikat diri manusia itu sendiri). Menurut ajaran Islam, setiap aktivitas
(selain ibadah mahdah) akan menjadi penghambaan diri kepada Allah (bernilai ibadah bagi
Allah) apabila aktivitas tersebut : dilaksanakan dengan ikhlas (murni) karena Allah dan untuk
mrmperoleh ridho Allah, bukan untuk mengharapkan yang lain-lain; dan dilaksanakan dengan
benar sesuai dengan syari’at Allah yang dibawa oleh Rasulullah. Upaya pemhambaan didri sperti
ini dalam syari’at dinamakan denga ibadah ghairu mahdah.
D.

Arti Kehidupan Dunia Bagi Sufi

Kehidupan dunia hanya sementara. Manusia akan mengalami mati dan apabila ajal kematian
datang manusia tidak dapat menundanya walau satu detikpun. Firman Allah :
Artinya : “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila telah datang waktunya mereka
tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. alA’raaf : 34)
Hidup di dunia hanya sementara, yang lebih abadi hanyalah kehidupan di akhirat. Firman
Allah :
Artinya : “sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Selain dunia ini berfungsi sebagai sarana untuk mangabdi pD Allah swt, ternyata dunia
ini dengan alam materinya bagi kaum sufi berfungsi juga sebagai ujian bagi manusia. Jiwa

manusia diberi potensi untuk takwa mengigat Allah dan potensi menentang Allah (sesuai Q.S.
Asy-Syams : 7-10)
Ketertarikan hati manusia kepada dunia membuatnya menjadi lalai akan fungsi dan
tugasnya sebagai hamba Allah yang cebderung menjadikan dunia sebagai tujuan hidup. Padahal
kehidupan dunia tidak lain hanyalah sebuah permainan perhiasan yang penuh dengan tipu daya.
Firman Allah :
Artinya : “dan Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. dan
Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Q.S. alAnkabut : 64)
Allah mengingatkan manusia dengan firman-Nya :
Artinya : “1. demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. al-‘Ashr : 1-3)
Berhati-hatilah manusia supaya jangan tertipu oleh godaan syaitan, yang selalu
memperdayakan manusia dari segala segi. Firman Allah :
Artinya : “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari
itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong
bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali
kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan
kamu dalam (mentaati) Allah.” (Q.S. Luqman : 33)
Untuk obat penangkis penyakit gila-gilaan (segala gila), hanyalah iman dan takwa kepada
Allah. Apabila dua macam ini bersemayam dalam diri manusia, menjadi perhiasan hidupnya
yang disertai dengan budi pekerti yang murni, insya Allah manusia akan terhindar dari godaan
syetan.
Manusia masih dalam perjalanan, dan yang dituju adalah kampong halaman yang kekal,
yaitu kampong akhirat. Maka tiap-tiap tahun yang telah dilalui olehnya laksana satu
pemberhentian. Tiap bulan yang telah lewat, adalah selaku istirahat dan tiap pecan yang
dilewatinya selaku suatu kampung yang ditemuinya dalam perjalanannya, setiap hari selaku
suatau hal yang ditempuhnya dan setiap detik yang dinafaskannya selaku setiap langkah yang
dijalani dan setiap nafas yang dihembuskannya akan mendekatkan dirinya ke pintu akhirat.

Dokumen yang terkait

AKIBAT HUKUM PENOLAKAN WARISAN OLEH AHLI WARIS MENURUT KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA

7 73 16

ALOKASI WAKTU KYAI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DI YAYASAN KYAI SYARIFUDDIN LUMAJANG (Working Hours of Moeslem Foundation Head In Improving The Quality Of Human Resources In Kyai Syarifuddin Foundation Lumajang)

1 46 7

HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA MAHASISWA S1–KEPERAWATAN DI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

9 108 28

ANALISIS TENTANG STATUS HUKUM MACAM- MACAM HARTA PERKAWINAN DALAM KAITANNYA DENGAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ADAT JAWA

3 28 18

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI PEMASARAN TERPADU DENGAN ASOSIASI MEREK PADA KONSUMEN MINUMAN ISOTONIK POCARI SWEAT (STUDI PADA MAHASISWA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS JEMBER)

0 32 19

KAJIAN YURIDIS PENGAWASAN OLEH PANWASLU TERHADAP PELAKSANAAN PEMILUKADA DI KOTA MOJOKERTO MENURUT PERATURAN BAWASLU NO 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

1 68 95

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PADA SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI SUMATERA SELATAN

3 52 68

MAKALAH PENGANTAR ILMU EKONOMI

4 72 23

SISTEM INVENTORY JURUSAN ILMU KOMPUTER di UNIVERSITAS LAMPUNG

2 26 45