BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Ketahanan Pangan - Analisis pengaruh stok beras, luas areal panen padi, produktivitas lahan, jumlah konsumsi beras dan harga beras terhadap ketahanan pangan provinsi sumatera utara dengan metode regresi data panel.

BAB 2 LANDASAN TEORI

  2.1 Pengertian Ketahanan Pangan

  Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak, diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang dipergunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman. Menurut Undang-undang RI Nomor 7 tahun 1996 definisi ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

  FAO (Food and Agriculture Organization) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif. Secara umum ketahanan pagan adalah adanya jaminan bahwa kebutuhan pangan dan gizi setiap penduduk adalah sebagai syarat utama dalam mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan yang tercukupi.

  2.2 Konsep Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas berbagai subsistem.

  Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut.

  1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan dapat dilihat dari jumlah stok-stok pangan yang dapat disimpan setiap tahun, dalam hal ini pangan dispesifikkan sebagai beras. Selain itu bisa juga dilihat dari jumlah produksi pangan misalnya beras, serta hal lain yang dapat mempengaruhi produksi pangan, seperti luas lahan serta produktivitas lahan.

  2. Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk.

  3. Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Pemerintah harus bisa mengontrol agar harga pangan masih terjangkau untuk setiap individu dalam mengaksesnya, karena kecukupan ketersediaan pangan akan dirasa percuma jika masyarakat tidak punya daya beli yang cukup untuk mengakses pangan. Oleh karena itu faktor harga pangan menjadi sangat vital perannya dalam upaya mencukupi kebutuhan konsumsi pangan.

  Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ketiga subsistem tersebut. Pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan, yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Keberhasilan pembangunan masing-masing subsistem tersebut perlu didukung oleh faktor ekonomi, teknologi dan sosial budaya.yang pada akhirnya akan berdampak pada status gizi.

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan

  Menurut Alie Sadikin dan Panggih (2008) dan Hasman Hasyim (2007), faktor- faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan adalah : a.

  Stok Beras Jumlah beras yang dapat disimpan setiap tahun dapat menjadi salah satu indikator ketahanan pangan. Semakin banyak beras yang dapat disimpan oleh suatu daerah, maka ketahanan pangan di daerah tersebut semakin baik. Menurut Bulog, tersedianya kebutuhan beras minimal untuk 3 bulan ke depan disuatu daerah, menjadi indikasi bahwa daerah tersebut dikatakan tahan pangan. Beras yang dapat disimpan berasal dari surplus produksi dalam negeri maupun impor dari negara lain.

  Kondisi stok beras di Sumatera utara pada tahun 2007 – 2011 mengalami peningkatan setiap tahunnya seiring meningkatnya produktivitas padi. Hal ini merupakan prestasi dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan di Sumatera Utara. Penigkatan ini berasal dari hasil produksi lokal dan impor dari daerah lain.

  b.

  Luas Areal Panen Padi Pertanian adalah sektor terbesar dalam hampir setiap ekonomi negara berkembang. Sektor ini menyediakan pangan bagi sebagian besar penduduknya, memberikan lapangan kerja bagi hampir seluruh angkatan kerja yang ada, menghasilkan bahan mentah, bahan baku atau penolong bagi industri dan menjadi sumber terbesar penerimaan devisa (Silitonga, 1996). Luas lahan pertanian akan mempengaruhi skala usaha, dan pada akhirnya skala usaha ini akan mempengaruhi efisien atau tidaknya suatu usaha pertanian. Sering dijumpai makin luas areal panen yang dipakai untuk pertanian akan semakin tidak efisien lahan tersebut. Sebaliknya luasan areal panen yang sempit, upaya pengusaha terhadap penggunaan faktor produksi semakin baik, penggunaan tenaga kerja yang tercukupi dan tersedianya modal yang tidak terlalu besar sehingga usaha pertanian yang seperti ini sering lebih efisien. Meskipun demikian luas areal panen yang terlalu kecil cenderung menghasilkan usaha yang tidak efisien (Soekartawati, 1993).

  Peningkatan luas areal panen padi secara tidak langsung akan meningkatkan produksi padi. Semakin besar luas areal panen padi maka produksi padi akan semakin besar. Kondisi luas areal panen padi Provinsi Sumatera Utara tahun 2007

  • – 2011 tidak stabil. Kondisi ini terlihat dari naik turunnya luas panen setiap tahun. Pada tahun 2007 luas areal panen padi Sumatera Utara 750.232 ha. Tahun 2008 menurun menjadi 748.540 dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 768.407. Pada tahun 2010 dan 2011 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2009. Kondisi tersebut diakibatkan oleh adanya alih fungsi lahan dan bencana alam. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini mengakibatkan luas areal panen berkurang sehingga produksi berkurang. Rata- rata pertumbuhan luas areal panen padi di Sumatera Utara sebesar 0,26% per tahun.

  c.

  Produktivitas Lahan Padi Keahlian ataupun wawasan tentang pertanian menjadi faktor yang sangat mempengaruhi produktifitas suatu lahan. Dapat dikatakan semakin berpendidikan petani-petani di suatu wilayah maka keberhasilan produksi akan semakin meningkat. Pengetahuan tentang bagaimana pemilihan bibit, pemupukan, irigasi dan perawatan terhadap hama akan meningkatkan produktifitas suatu lahan. Menigkatnya produktivitas lahan akan meningkatkan produksi panen padi.

  Produktivitas lahan padi di Sumatera Utara pada tahun 2007

  • – 2011 mengalami penigkatan setiap tahun. Rata-rata pertumbuhan produktivitas lahan padi Sumatera Utara sebesar 2,28% per tahun. Hal ini merupakan prestasi dalam upaya penigkatan produksi padi Sumatera Utara.
d.

  Jumlah Konsumsi Beras per Kapita Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sedang menerapkan diversifikasi pangan yang diharapkan dapat mengurangi jumlah konsumsi beras.

  Ketergantungan yang sangat besar terhadap beras telah menggusur budaya makan pangan lokal yang beragam dan sudah teruji sejarah dan berlangsung berabad- abad. Saat ini 95 persen perut penduduk indonesia sangat tergantung pada makanan yang bernama nasi, sumbangan beras terhadap energi dan protein masih sangat tinggi, yaitu lebih dari 55%. Ketergantungan tersebut membuat upaya diversifikasi pangan menjadi mandeg.

  Sumatera Utara sebagai salah satu daerah yang berperan untuk menjaga ketahanan pangan beras nasional, saat ini masih mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dari produksi sendiri. Meski demikian, saat ini pemerintah sedang berusaha untuk mengurangi jumlah konsumsi beras per kapita dengan diversifikasi pangan. Kultur yang melekat pada masyarakat Sumatera Utara, belum dikatakan makan jika belum makan nasi, menjadi kendala yang sulit dihadapi pemerintah Sumatera Utara dalam menerapkan program diversifikasi pangan. Jumlah konsumsi beras masyarakat Sumatera Utara adalah 136, 85 kg/ kap/ thn.

  e.

  Harga Beras Dalam upaya meningkatkan produktivitas, pemerintah membuat kebijakan terhadap harga beras yaitu Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan tersebut bertujuan agar petani padi merima harga gabah yang layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitas. Penetapan HPP berdasarkan pertimbangan agar petani dapat menerima marjin keuntungan minimal 28% dari harga yang diterima.

  Harga beras di Indonesia sangat mudah berfluktuasi tergantung kondisi pasar. Saat panen raya tiba, biasanya harga beras anjlok akibat over produksi. Sementara jika terjadi gagal panen, harga beras akan melambung karena permintaan beras melebihi kemampuan penawarannya. Kondisi harga beras di Sumatera Utara tahun 2007 – 2011 mengalami kenaikan setiap tahunnya. f.

  Curah Hujan Pertanian, terutama pertanian pangan merupakan sektor yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim, khususnya yang mengakibatkan musim kering berkepanjangan, mengingat petani Indonesia masih sangat mengandalkan pada pertanian sawah yang berarti sangat memerlukan air yang tidak sedikit. Dampak langsung dari pemanasan global terhadap pertanian di Indonesia adalah penurunan produktivitas dan tingkat produksi sebagai akibat terganggunya siklus air karena perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim yang mengakibatkan pergeseran waktu, musim, dan pola tanam.

2.4 Regresi Data Panel

  Data panel merupakan gabungan dari data cross section dan data time series, sehingga jumlah pengamatan menjadi sangat banyak. Hal ini bisa merupakan keuntungan tetapi model yang menggunakan data ini menjadi lebih kompleks (parameternya banyak). Oleh karena itu diperlukan teknik tersendiri dalam mengatasi model yang menggunakan data panel.

  Penggunaan data panel dalam regresi memiliki beberapa keuntungan (Baltagi 2005), diantaranya : 1.

  Dengan menggabungkan data time series dan cross-section, panel menyediakan data yang lebih banyak dan informasi yang lebih lengkap serta bervariasi. Dengan demikian akan dihasilkan degrees of freedom (derajat kebebasan) yang lebih besar dan mampu meningkatkan presisi dari estimasi yang dilakukan.

  2. Data panel dapat mengakomodasi tingkat heterogenitas individu-individu yang tidak diobservasi namun dapat mempengaruhi hasil dari pemodelan

  (individual heterogeneity)

  . Hal ini tidak dapat dilakukan data time series maupun cross section sehingga dapat menyebabkan hasil yang diperoleh melalui kedua data ini menjadi bias.

  3. Data panel dapat digunakan untuk mempelajari kedinamisan data. Artinya dapat digunakan untuk memperoleh informasi bagaimana kondisi individu- individu pada waktu tertentu dibandingkan pada kondisinya pada waktu yang lainnya.

  4. ditangkap oleh data cross-section murni maupun data time series murni.

  5. Data panel memungkinkan untuk membangun dan menguji model yang bersifat lebih rumit dibandingkan data cross section murni maupun data time

  series murni.

6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit observasi terlalu banyak.

2.5 Model Data Panel

  Ada tiga teknik untuk mengestimasi model regresi data panel (Nachrowi 2006), yaitu: 1)

  Common Effect Model (CEM) adalah metode regresi yang mengestimasi data panel dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Metode ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu sehingga diasumsikan bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Model ini hanya mengkombinasikan data time series dan cross section dalam bentuk pool, mengestimasinya dengan menggunakan pendekatan kuadrat terkecil (pooled

  least square) . Persamaan metode ini dapat ditulis sebagi berikut:

  Dengan: : Variabel terikat untuk individu ke- i pada waktu ke- t : Variabel bebas untuk individu ke- i pada waktu ke- t i : Unit cross-section sebanyak N t : Unit time-series sebanyak T

  : error term/ gangguan : intercept : slope

  Fixed Effect Model (FEM) adalah metode regresi yang mengestimasi data panel dengan menambahkan variabel dummy. Model ini mengasumsikan bahwa terdapat efek yang berbeda antar individu. Perbedaan itu dapat diakomodasi melalui perbedaan pada intersepnya. Oleh karena itu dalam model fixed effect, setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi dengan menggunakan teknik variabel dummy yang dapat ditulis sebagai berikut:

  Dengan : dan variabel dummy yang didefenisikan sebagai berikut: = 1; untuk individu i; i = 1, 2, ..., N

  = 0; lainnya = 1; untuk periode t; t = 1, 2, ..., T

  = 0; lainnya Teknik seperti diatas dinamakan Least Square Dummy Variabel (LSDV).

  Selain diterapakan untuk efek tiap individu, LSDV ini juga dapat mengakomodasi efek waktu yang bersifat sismetik. Hal ini dapat dilakukan melalui penambahan variabel dummy waktu didalam model. 3)

  Random Effect Model (REM) adalah metode regresi yang mengestimasi data panel dengan menghitung error dari model regresi dengan metode Generalized

  Least Square

  (GLS). Berbeda dengan fixed effect model, efek spesifikasi dari masing-masing individu diperlakukan sebagai bagian dari komponen error yang bersifat acak dan tidak berkorelasi dengan variabel penjelas yang teramati. Model ini sering disebut juga dengan Error Component Model (ECM). Persamaan random effect dapat ditulis sebagai berikut:

  ; Dengan:

  = Komponen error cross-section = Komponen error time-series

  = Komponen error gabungan Adapun asusmsi yang digunakan untuk komponen error tersebut adalah:

  ) )

  Karena itu, metode OLS tidak bisa digunakan untuk mendapatkan estimator yang efisien bagi model random effect. Metode yang tepat untuk mengestimasi

  

random effect adalah Generalized Least Square (GLS) dengan asumsi

homokedastik dan tidak ada cross-sectional.

2.6 Pemilihan Model

  Ada perbedaan mendasar untuk menentukan pilihan antara FEM (Fixed

  

Effects Model ) dan ECM (Error Component Model) (Nachrowi 2006), antara lain

  sebagai berikut: 1)

  Jika T (jumlah data time series) besar dan N (jumlah unit cross-section) kecil, perbedaan antara FEM dan ECM adalah sangat tipis. Oleh karena itu, dapat dilakukan penghitungan secara konvensional. Pada keadaan ini, FEM mungkin lebih disukai. 2)

  Ketika N besar dan T kecil, estimasi diperoleh dengan dua metode dapat berbeda secara signifikan. Jika kita sangat yakin dan percaya bahwa individu, ataupun unit cross-section sampel kita adalah tidak acak, maka FEM lebih cocok digunakan. Jika unit cross-section sampel adalah random/ acak, maka ECM lebih cocok digunakan. 3)

  Komponen error individu dan satu atau lebih regresor berkorelasi, estimator yang berasal dari ECM adalah bias, sedangkan yang berasal dari FEM adalah unbiased. 4)

  Jika N besar dan T kecil, serta jika asumsi untuk ECM terpenuhi, maka estimator ECM lebih efisien dibanding estimator FEM Dalam penelitian ini metode yang paling sesuai digunakan adalah Metode

  

Fixed Effect dengan menggunakan cross section dummy variabel (dummy

  wilayah) kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Utara. Dummy wilayah yang digunakan sebanyak 25 kabupaten/ kota dari 33 kabupaten/ kota yang ada di Sumatera Utara saat ini. Hal ini dikarenakan sebagian besar data yang ada di 8 kabupaten/ kota lainnya, yaitu Kab. Padang Lawas, Kab. Padang Lawas Utara, Kab. Labuhan Batu Selatan, Kab. Labuhan Batu Utara, Kab. Nias Utara, Kab. Nias Barat, Kab. Gunung Sitoli dan Kota Sibolga, belum lengkap untuk digunakan sebagai data dalam penelitian ini. Terdapat 7 kabupaten/ kota yang baru mengalami pemekaran yaitu, Kab. Padang Lawas, Kab. Padang Lawas Utara, Kab. Labuhan Batu Selatan, Kab. Labuhan Batu Utara, Kab. Nias Utara, Kab. Nias Barat, dan Kab. Gunung Sitoli sehingga kabupaten/ kota tersebut belum memiliki data produksi beras, stok beras, luas panen padi, rata-rata produksi beras, harga beras dan jumlah konsumsi beras untuk tahun 2007-2009. Sedangkan Kota Sibolga tidak memiliki data produksi beras, luas areal panen padi, dan rata- rata produksi padi.

  Alasan pemilihan metode Fixed Effect karena jumlah unit cross section (N = 25) lebih besar daripada jumlah unit time series (T = 5) dan unit cross section sample tidak bersifat acak. Persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Dengan :

  LRKB = rasio ketersediaan beras

  LSB = stok beras tiap kabupaten/ kota (ton) LLP = luas panen tiap kabupaten/ kota (hektare) LPR = produktivitas lahan (kuintal/ hektare) LHB = rata-rata harga beras tiap kabupaten/ kota (rupiah) LJKB = jumlah konsumsi beras tiap kabupaten/ kota per tahun (ton) D

  i

  = dummy variabel kabupaten/ kota i = unit cross section, yaitu kabutapen i di Sumatera Utara t = unit time series, yaitu tahun 2007 - 2011

  Adanya perbedaan dalam satuan dan besaran variabel bebas maka persamaan

regresi harus dibuat dengan model logaritma. Alasan pemilihan model logaritma

(Imam Ghozali, 2005) adalah sebagai berikut: 1.

  Menghindari adanya heteroskedastisitas 2.

  Mengetahui koefisien yang menunjukkan elastisitas 3. Mendekatkan skala data

2.7 Uji Statistik

  Uji statistik dilakukan untuk mengetahui bermakna atau tidaknya variabel atau model yang digunakan secara parsial maupun keseluruhan. Uji statistik yang dilakukan antara lain: a.

  Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t) Uji ini dilakukan untuk mengetahui signifikansi variabel bebas secara individu terhadap variabel terikatnya. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut :

  H : β i

  = 0 H

  1 : β i ≠ 0

  Kriteria uji yang digunakan adalah jika | t hitung | > t tabel (t

  α/2, n-k ), maka tolak H .

  Jumlah observasi dilambangkan dengan huruf n, dan huruf k melambangkan jumlah variabel (termasuk intercept). Jika tolak H maka terdapat pengaruh secara individu variabel bebas terhadap variabel terikatnya.

  2

  b. ) Koefisien Determinasi (R

2 Koefisisen Determinasi (R ) bertujuan untuk mengukur seberapa besar variasi

  

regressand (Y) dapat diterangkan oleh regressor (X). Dengan kata lain seberapa

  jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Menurut

2 Widarjono (2007) formula R adalah sebagai berikut:

  Jika garis regresi tepat pada semua data Y, maka ESS sama dengan TSS sehingga

2 R = 1, sedangkan jika garis regresi tepat pada nilai rata-rata Y maka ESS = 0

  2

  2

  2

  sehingga R =0. Nilai R berkisar antara nol dan satu. Nilai R yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel bebasnya dalam menjelaskan variasi variabel terikat sangat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel bebasnya memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel terikat.

  c.

  Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh semua variabel bebasnya terhadap variabel terikat. Selain itu uji F juga dapat dilakukan untuk mengetahui

  2 signifikansi koefisien determinasi R .

  Menurut Widarjono (2007) formula uji statistik F adalah sebagai berikut: Dengan :

  ESS = explained sum square RSS = residual sum square

2 R = koefisien determinasi

  n = jumlah pengamatan k = jumlah parameter yang diestimasi Sedangkan hipotesis dalam uji ini adalah :

  H = 0 : β

  1 = β 2 = ... = β k

  H 1 :

  1 2 k

  β ≠ β ≠ ... ≠ β ≠ 0 Jika F lebih besar dari F , maka H ditolak. Artinya variabel bebas tidak

  hitung tabel

  mempunyai pengaruh secara keseluruhan terhadap varibel terikat, demikian sebaliknya.

2.8 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

  Sebelum melakukan analisis data maka data diuji sesuai asumsi klasik untuk mendapatkan model regresi yang baik. Model regresi tersebut harus terbebas dari multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.

  a.

  Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah terdapat hubungan linear diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi.

  2 Tanda yang paling jelas dari multikolinearitas adalah ketika R sangat tinggi tetapi

  tidak satu pun koefisien regresi penting (signifikan) secara statistik atas dasar pengujian t yang konvensional (Damodar Gujarati 1995). Adanya multikolinearitas di dalam model regresi mengakibatkan model regresi yang diperoleh tidak valid karena taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan substansi sehingga dapat menyesatkan interpretasi.

  Pengujian multikolinearitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat Correlation Matrix antara variabel bebasnya. Data dikatakan teridentifikasi multikolinearitas apabila koefisien korelasi antar variabel bebas lebih dari atau sama dengan 0,8 (Gujarati, 2003).

  b.

  Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah terdapat korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti data time series) atau ruang (seperti data cross-section). Jika terjadi korelasi dinamakan ada masalah autokorelasi. Adanya autokorelasi diakibatkan oleh observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain (tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya) (Damodar Gujarati 1995). Dampak yang timbul akibat adanya autokorelasi, taksiran yang diperoleh dengan menggunakan OLS tidak baik dan interval kepercayaan menjadi lebar dan uji signifikansi kurang kuat. Akibatnya uji t dan uji F tidak dapat dilakukan atau hasilnya tidak akan baik.

  Dalam penelitian ini digunakan uji Durbin-Watson (Uji DW), yaitu dengan melihat nilai Durbin Watson pada regresi utama dengan ketentuan sebagai berikut (Algifari, 1997):

Tabel 2.1 Kriteria uji Durbin-Watson

  Nilai Durbin Watson Keterangan (1) (2)

  < 1,10 Ada autokorelasi 1,10 Tanpa kesimpulan

  • – 1,54 1,55 Tidak ada autokorelasi
  • – 2,46 2,47 – 2,90 Tanpa kesimpulan

  > 2,90 Ada autokorelasi c. Uji Heteroskedastisitas

  Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari gangguan satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Satu asumsi penting dari model regresi linear adalah bahwa gangguan yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoskedastik, yaitu semua gangguan mempunyai varians yang sama (Damodar Gujarati 1995). Dampak adanya heteroskedastisitas didalam model adalah besarnya variansi dari taksiran yang akan berpengaruh pada uji hipotesis yang dilakukan (uji t dan uji F) karena kedua uji tersebut menggunakan besaran variansi taksiran. Akibatnya, kedua uji hipotesi tersebut menjadi kurang akurat sehingga kesimpulan yang diambil dari persamaan regresi yang dibuat dapat menyesatkan.

  Dalam penelitian ini digunakan Uji Park untuk mendeteksi gejala heteroskedastisitas yang terjadi dalam model persamaan regresi. Metode uji Park

  2

  yaitu meregresikan nilai residual (Log(e )) dengan masing-masing variabel bebas,

  i

  dengan hipotesis sebagai berikut: H : ada gejala heteroskedastisitas H : tidak ada gejala heteroskedastisitas

1 H diterima bila t hitung > t tabel atau hitung < tabel . Artinya, terdapat

  heteroskedastisitas di dalam model. H diterima bila &lt; t &lt; t yang

  • –t tabel hitung tabel berarti tidak terdapat heteroskedastisitas di dalam model.