BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Proyek - Analisis Perbandingan Teknik Pemesanan (Lotting) Material Pekerjaan Beton Metode Lot For Lot (LFL) Dengan Economic Order Quantity (EOQ)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Manajemen Proyek

  Defenisi dari manajemen proyek adalah semua perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan koordinasi suatu proyek dari awal (gagasan) sampai selesainya proyek untuk menjamin bahwa proyek dilaksanakan tepat waktu, tepat biaya dan tepat mutu (Ervianto, 2004).

  Manajemen sebagai ilmu mengelola suatu kegiatan yang skalanya dapat bersifat kecil atau bahkan sangat besar, mempunyai ukuran tersendiri terhadap hasil akhir.

  Dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar manajemen yang sama oleh individu atau organisasi yang berbeda, hasil akhir proses manajemen dapat berbeda satu sama lain.

  Ini karena ada perbedaan-perbedaan budaya, pengalaman, lingkungan, kondisi sosial, tingkat ekonomi, karakter sumber daya manusia serta kemampuan untuk menguasai prinsip-prinsip dasar manajemen (Husen, 2009).

  Dalam manajemen proyek, yang perlu dipertimbangkan agar output proyek sesuai dengan sasaran dan tujuan yang direncanakan adalah mengidentifikasi berbagai masalah yang mungkin timbul ketika proyek dilaksanakan (Husen,2009).

  Beberapa aspek yang dapat diidentifikasikan dan menjadi masalah dalam manajemen proyek serta membutuhkan penanganan yang cermat menurut Husen (2009) adalah sebagai berikut: 1.

  Aspek Keuangan Masalah ini berkaitan dengan pembelanjaan dan pembiayaan proyek. Biasanya berasal dari modal sendiri dan/atau pinjaman dari bank atau investor dalam jangka pendek atau jangka panjang. Pembiayaan proyek menjadi sangat krusial bila proyek berskala besar dengan tingkat kompleksitas yang rumit, yang membutuhkan analisis keungan yang cermat dan terencana.

  2. Aspek Anggaran Biaya Masalah ini berkaitan dengan perencanaan dan pengendalian biaya selama proyek berlangsung. Perencanaan yang matang dan terperinci akan memudahkan proses pengendalian biaya, sehingga biaya yang dikeluarkan sesuai dengan anggaran yang direncanakan. Jika sebaliknya, akan terjadi peningkatan biaya yang besar dan merugikan bila proses perencanaannya salah.

  3. Aspek Manajemen Sumber Daya Manusia Masalah ini berkaitan dengan kebutuhan dan alokasi SDM selama proyek berlangsung yang berfluktuaktif. Agar tidak menimbulkan masalah yang kompleks, perencanaan SDM didasarkan atas organisasi proyek yang dibentuk sebelumnya dengan menggunakan langkah-langkah, proses staffing SDM, deskripsi kerja, perhitungan beban kerja, deskripsi wewenang dan tanggung jawab SDM serta penjelasan tentang sasaran dan tujuan proyek.

  4. Aspek Manajemen Produksi Masalah ini berkaitan dengan hasil akhir dari proyek, hasil akhir proyek negatif bila proses perencanaan dan pengendaliannya tidak baik. Agar hal ini tidak terjadi, maka dilakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produktivitas SDM, meningkatkan efisiensi proses produksi dan kerja, menigkatkan kualitas produksi melalui jaminan mutu dan pengendalian mutu.

  5. Aspek Harga Masalah ini timbul karena kondisi eksternal dalam hal persaingan harga, yang dapat merugikan perusahaan karena produk yang dihasilkan membutuhkan biaya produksi yang tinggi dan kalah bersaing dengan produk lain.

  6. Aspek Efektivitas dan Efisiensi Masalah ini dapat merugikan bila fungsi produk yang dihasilkan tidak terpenuhi/tidak efektif atau dapat juga terjadi bila faktor efisiensi tidak dipenuhi, sehingga usaha produksi membutuhkan biaya yang besar.

  7. Aspek Pemasaran Masalah ini timbul berkaitan dengan perkembangan faktor eksternal sehubungan dengan persaingan harga, strategi promosi, mutu produk serta analisis pasar yang salah terhadap produksi yang dihasilkan.

  8. Aspek Mutu Masalah ini berkaitan dengan kualitas produk akhir yang nantinya dapat meningkatkan daya saing serta memberikan kepuasaan bagi pelanggan.

  9. Aspek Waktu Masalah waktu dapat menimbulkan kerugian biaya bila terlambat dari yang direncanakan serta akan menguntungkan bila dapat dipercepat.

2.2. Manajemen Sumber Daya

  Husen (2009) menjelaskan perencanaan sumber daya yang matang dan cermat sesuai kebutuhan logis proyek akan membantu pencapaian sasaran dan tujuan proyek secara maksimal, dengan tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi. Kebutuhan sumber daya pada tiap-tiap proyek tidak selalu sama, bergantung pada skala, lokasi, serta tingkat keunikan masing-masing proyek. Namum demikian, perencanaan sumber daya dapat dihitung dengan pendekatan matematis yang memberikan hasil optimal dibandingkan hanya dengan perkiraan pengalaman saja, yang tingkat efektivitas dan efisiensinya rendah. Pendekatan yang matematis menghasilkan tingkat penyimpangan yang minimal serta perkiraan yang mendekati kondisi sebenarnya.

  Perencanaan yang akurat akan memberikan informasi-informasi penting dalam pengelolaan proyek sehingga kualitas sumber daya, jumlah serta biaya yang harus dikeluarkan dapat diidentifikasi dan diukur besaranya dengan konsekuensi- konsekuensi logis yang berlaku dalam proyek.

  Perencanaan sumber daya dengan metode yang benar dan evaluasi yang kontinu akan memberikan tingkat efektivitas dan efisiensi tinggi, sehingga hasil yang dicapai memuaskan pemilik proyek serta stakeholder proyek.

2.2.1. Manajemen Sumber Daya Manusia

  Sumber daya manusia yang ada pada suatu proyek dapat dikategorikan sebagai tenaga kerja tetap dan tenaga kerja tidak tetap. Pembagian kategori ini dimaksudkan agar efisiensi perusahaan dalam mengelola sumber daya dapat maksimal dengan beban ekonomis yang memadai (Husen,2009).

  Dalam mengatur alokasi jumlah tenaga kerja sepanjang durasi proyek diusahakan agar fluktuasinya tidak terlalu berlebihan dan cenderung berbentuk kurva distribusi normal. Pada awal proyek, jumlah tenaga kerja sedikit, kemudian sesuai dengan jumlah volume pekerjaan, jumlahnya naik signifikan dan turun menjelang akhir proyek. Harus dipertimbangkan pula kebutuhan maksimal per hari/per minggu atau per bulan agar persediaan tenaga kerja tidak melampaui kemampuan perusahaan (Husen,2009).

2.2.2. Manajemen Sumber Daya Peralatan

  Dalam penentuan alokasi sumber daya peralatan yang akan digunakan dalam suatu proyek, kondisi daerah kerja serta kondisi peralatan perlu diidentifikasi terlebih dahulu. Tujuannya agar tingkat kebutuhan pemakaian dapat direncanakan secara efektif dan efisien. Beberapa yang perlu diidentifikasi menurut Husen (2009) adalah:

  1. Medan kerja, identifikasi ini untuk menentukan kondisi medan kerja dari tingkat mudah, sedang, atau berat.

  2. Cuaca, identifikasi ini perlu dilakukan khususnya pada proyek dengan lahan terbuka.

  3. Mobilisasi peralatan ke lokasi proyek perlu direncanakan dengan detail, khususnya untuk peralatan-peralatan berat.

  4. Komunikasi yang memadai antar operator peralatan dengan pengendali kerja harus terjalin baik.

  5. Fungsi peralatan harus sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan untuk menghindari tingkat pemakaian yang tidak efektif dan efisien.

  6. Kondisis peralatan harus laik pakai agar pekerjaan tidak tertunda karena peralatan rusak.

  Seperti alokasi penggunaan tenaga kerja, alokasi penggunaan peralatan disesuaikan dengan kebutuhan disepanjang durasi proyek dengan pertimbangan- pertimbangan logis dari awal hingga akhir proyek.

2.2.3. Manajemen Sumber Daya Material

  Hampir sama halnya dengan pengelolaan peralatan, material harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar kebutuhannya mencukupi pada waktu dan tempat yang diinginkan (Husen,2009).

  Untuk menjamin manajemen bahan yang benar, setiap proses berikut ini harus benar-benar dilaksanakan secara efektif. Kegagalan dalam menjalankan suatu proses atau lebih akan menyebabkan kegagalan menyeluruh dari manajemen material dan akan menghasilkan sebuah proyek konstruksi yang mahal. Adapun proses dalam manajemen bahan menurut Ervianto (2004) adalah sebagai berikut: • Pemilihan bahan.

  • Pemilihan pemasok bahan.
  • Pembelian bahan.
  • Pengiriman bahan.
  • Penerimaan bahan.
  • Penyimpanan bahan.
  • Pengeluaran bahan.
  • Menjaga tingkat persediaan.

  Perencanaan terhadap material dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pekerjaan penggunaan material menjadi efisien dan efektif dan tidak terjadi masalah akibat tidak tersedianya material pada saat dibutuhkan. Dalam pelaksanaan proyek, penggunaan material diawasi dengan ketat baik kualitas maupun kuantitasnya, sesuai dengan spesifikasi dan kebutuhan yang telah ditetapkan. Informasi yang dibutuhkan dalam perencanaan material adalah menurut Husen (2009) sebagai berikut:

  • Kualitas material yang dibutuhkan: menggunakan tipe tertentu dengan mutu harus sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam spesifikasi proyek.
  • Spesifikasi teknis material: merupakan dokumentasi persyaratan teknis material yang direncanakan dan menjadi acuan untuk memenuhi kebutuhan material.
  • Lingkup penawaran yang diajukan oleh beberapa pemasok: dengan memilih harga yang paling murah dengan kualitas terbaik.
  • Waktu pengiriman (delivery): menyesuaikan dengan schedule pemakaian material, biasanya beberapa material dikirim sebelum pekerjaan dimulai.
  • Pajak penjualan material: menjadi beban bagi pemilik proyek yang telah dihitung dalam harga satuan material atau dalam harga proyek secara keseluruhan.
  • Termin dan kondisi pembayaran kepada logistik material yang dilakukan: harus disesuaikan dengan cashflow proyek agar likuiditas keungan proyek tetap aman.
  • Pemasok material adalah rekanan terpilih yang telah bekerja sama dengan baik dan memberikan pelayanan yang memuaskan pada proyek-proyek sebelumnya.
  • Gudang penimbunan material harus cukup untuk menampung material yang siap dipakai, karena itu kapasitas dan lalu lintasnya harus diperhitungkan.
  • Harga material saat penawaran lelang dapat naik sewaktu-waktu pada tahap pelaksanaan proyek, karena itu perhitungan eskalasi harga harus dimasukkan dalam komponen harga satuan.
  • Jadwal penggunaan material harus sesuai antara kebutuhan proyek dengan dengan waktu pengiriman material dari pemasok. Oleh karena itu, penggunaan subschedule material untuk setiap item pekerjaan mutlak dilakukan agar tidak mempengaruhi ketersediaan material dalam proyek.

  Agar alur pemakaian material tersebut sesuai dengan jadwal kebutuhan di- lapangan, maka perlu dibuat schedule penggunaan material. Schedule ini disesuaikan dengan master schedule.

  Agar lebih jelas, berikut ini diberikan suatu diagram alir prosedur penggunaan material yang dikendalikan oleh bagian logistik, dibantu oleh bagian teknis, untuk memastikan bahwa material yang dibeli dan dipakai sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan.

  Bagian Teknis

  Konfirmasi Spesifikasi dan Harga Permintaan Material

  Survei Pelaksana/

  Bagian Harga

  Supervisi Logistik

  Pasar Lapangan

  

Dokumentasi

  Pembayaran &

  Material

  Penentuan Jadwal Gudang

  Pemasok Penyimpanan

  Material Pengiriman Material

  Pengiriman Material ke Lapangan

  Material

Gambar 2.1. Alur Distribusi Penggunaan Material

  (Sumber: Husen. 2009. Manajemen Proyek, Perencanaan, Penjadwalan dan Pengendalian Proyek ).

2.2.4. Manajemen Sumber Daya Modal/Keuangan

  Keuangan proyek perlu dikelola dengan hati-hati agar pada akhir proyek, proyeksi keuntungan yang telah direncanakan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Aliran kas masuk dan kas keluar terlapor dengan benar dan teliti sehingga setiap laporan berkalanya dapat memberikan informasi yang akurat dan dapat diaudit dengan tingkat kewajaran yang baik, serta menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan berikutnya (Husen,2009).

2.3. Persediaan

  Persediaan didefenisikan sebagai barang yang disimpan untuk digunakan atau dijual pada periode mendatang. Persediaan dapat berbentuk bahan baku yang disimpan untuk diproses, komponen yang diproses, barang dalam proses pada proses manufaktur, dan barang jadi yang disimpan untuk dijual. Persediaan memegang peran agar perusahaan dapat berjalan dengan baik (Kusuma, 2009).

  Bisa dikatakan tidak ada perusahaan yang beroperasi tanpa persediaan, meskipun sebenar nya persediaan hanyalah suatu sumber dana yang menganggur, karena sebelum persediaan digunakan berarti dana yang terikat didalamnya tidak dapat digunakan untuk keperluaan yang lain (Herjanto,1999).

  Sistem pengendalian persediaan dapat didefenisikan sebagai serangkaian kebijakan pengendalian untuk menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga, kapan pesanan untuk menambah persediaan harus dilakukan dan berapa besar pesanan harus diadakan. Sistem ini menentukan dan menjamin tersediannya persediaan yang tepat dalam kuantitas dan waktu yang tepat (Herjanto,1999).

  Mengendalikan persediaan yang tepat bukan bukan hal yang mudah. Apabila jumlah pesediaan terlalu besar mengakibatkan timbulnya dana menganggur yang besar (yang tertanam dalam persediaan), meningkatnya biaya penyimpanan dan risiko kerusakan barang yang lebih besar. Namun, jika persediaan terlalu sedikit mengakibatkan risiko terjadinya kekurangan persediaan (stock-out) karena sering kali barang/bahan tidak dapat didatangkan secara mendadak dan sebesar yang dibutuhkan, yang menyebabkan terhentinya proses produksi, tertundanya keuntungan, bahkan hilangnya pelanggan (Herjanto, 1999).

2.4. Fungsi Persediaan

  Fungsi utama persediaan yaitu sebagai penyangga, penghubung antar proses produksi dan distribusi untuk memperoleh efisiensi. Fungsi lain persediaan yaitu sebagai stabilisator harga terhadap fluktuasi permintaan (Rosnani Ginting, 2007).

  Sedangkan menurut Herjanto (1999) Beberapa fungsi penting yang dikandung oleh persediaan dalam memenuhi kebutuhan perusahaan, sebagai berikut:

  1. Menghilangkan risiko keterlambatan pengiriman bahan baku atau barang yang dibutuhkan perusahaan.

  2. Menghilangkan risiko jika material yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan.

  3. Menghilangkan risiko terhadap kenaikan harga barang atau inflasi.

  4. Untuk menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman sehingga perusahaan tidak akan kesulitan jika bahan itu tidak tersedia di pasaran.

  5. Mendapatkan keuntungan dari pembeliaan berdasarkan potongan kuantitas (quantity discount).

  6. Memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan tersedianya barang yang diperlukan.

2.5. Biaya Persediaan

  Tujuan dari manajemen persediaan adalah memiliki persediaan dalam jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat dan dengan biaya yang rendah. Karena itu, kebanyakan model-model persediaan menjadikan biaya sebagai parameter dalam mengambil keputusan. Biaya dalam sistem persediaan secara umum dapat diklasifikasikan (Rosnani Ginting, 2007) sebagai berikut:

  2.5.1. Biaya Pembelian ( Purchasing Cost)

  Biaya pembelian (purchase cost) dari suatu item adalah harga pembelian setiap unit item jika item tersebut berasal dari sumber-sumber eksternal, atau biaya produksi per unit item tersebut berasal dari internal perusahaan atau diproduksi sendiri oleh perusahaan. Biaya pembelian ini bisa bervariasi untuk berbagai ukuran pemesanan bila pemasok menawarkan potongan harga untuk ukuran pemesanan yang lebih besar. Dalam kebanyakan teori persediaan, komponen biaya pembelian tidak dimasukkan ke dalam total biaya pembelian untuk periode tertentu (misalnya satu tahun) konstan dan hal ini tidak akan mempengaruhi jawaban optimal tentang berapa banyak barang yang harus dipesan.

  2.5.2. Biaya Pengadaan ( Procurement Cost)

  Biaya pengadaan dibedakan atas dua jenis yaitu biaya pemesanan (ordering

  

cost ) bila barang yang diperlukan diperoleh dari pihak luar (supplier) dan biaya

  pembuatan (setup cost) bila barang diperoleh dengan memproduksi sendiri. Biaya pemesanan adalah semua pengeluaran yang timbul untuk mendatangkan barang dari luar. Biaya ini pada umumnya meliputi:

  • Pemrosesan pesanan
  • Biaya ekspedisi

  • Biaya telpon dan keperluan komunikasi lainnya
  • Pengeluaran surat menyurat, foto kopi dan perlengkapan administrasi lainnya
  • Biaya pengepakan dan penimbangan
  • Biaya pemeriksaan (inspeksi) penerimaan
  • Biaya pengirimin ke gudang

  Sedangkan biaya pembuatan (setup cost) adalah semua pengeluaran yang ditimbulkan untuk persiapan memproduksi barang.

2.5.3. Biaya Penyimpanan ( Carrying Cost)

  Dalam pemabahasan ini ongkos simpan dinyatakan dalam bentuk persentase dari nilai barang. Secara umum ongkos simpan diasumsikan tetap untuk jumlah kapasitas penyimpanan tertentu, dan dibagi sama rata untuk tiap unit item barang yang disimpan (Kusuma, 2009).

  Biaya penyimpanan (holding cost) merupakan biaya yang timbul akibat disimpannya suatu item. Biaya-biaya yang termasuk sebagai biaya penyimpanan menurut Rosnani Ginting (2007) adalah: 1.

  Biaya memiliki persediaan (biaya modal) 2. Biaya gudang 3. Biaya kerusakan dan penyusutan 4. Biaya kadaluarsa 5. Biaya asuransi 6. Biaya administrasi dan pemindahan.

2.6. Material Requirement Planning (MRP)

  Menurut Ervianto (2004) perencanaan pengadaan material dalam proyek konstruksi tercermin dari penyusunan bar-chart yang dibentuk berdasarkan network

  

planning dari seluruh kegiatan proyek konstruksi. Penyusunan bar-chart tersebut

  tidak hanya sekedar menarik garis saja, tetapi lebih mempertimbangkan penggunaan sumber daya secara optimal.

  Salah satu metode yang mungkin dapat dimanfaatkan dalam perencanaan pengadaan bahan adalah Material Requirement Planning atau sering disebut dengan MRP. Konsep ini muncul pertama kali pada industri manufaktur dengan karakteristik setiap periode kegiatan merupakan proses pengulangan (repetitive) (Ervianto, 2004).

  Perencanaan kebutuhan material adalah suatu konsep dalam manajemen produksi yang membahas cara yang tepat dalam perencanaan kebutuhan barang dalam proses produksi, sehingga barang yang dibutuhkan dapat tersedia sesuai dengan yang direncanakan (Herjanto, 1999).

  Kebutuhan material dalam menunjang pelaksanaan kegiatan di lokasi pekerjaan/proyek dapat diidentifikasi dengan cara melakukan perhitungan berdasarkan master schedule. Penjadwalan proyek yang biasa digunakan adalah menggambarkan bar-chart dari setiap kegiatannya. Panjang pendek dari bar-chart tersebut menggambarkan durasi dari kegiatan tersebut akan dilaksanakan (Ervianto, 2004).

  Jika diambil sebuah bar-chart dari sebuah kegiatan, maka informasi yang dapat digali dari bar-chart tersebut adalah banyaknya pekerjaan yang akan terlibat di dalam kegiatan tersebut serta jumlah dan jenis material yang dibutuhkan (Ervianto, 2004).

  MRP sangat bermanfaat bagi perencanaan kebutuhan material untuk komponen yang jumlah kebutuhannya dipengaruhi oleh komponen lain. sistem MRP mengendalikan agar komponen yang diperlukan untuk kelancaran produksi dapat tersedia sesuai dengan yang dibutuhkan (Herjanto,1999).

  MRP memberikan peningkatan efisiensi karena jumlah persediaan, waktu pengiriman barang dapat direncanakan dengan lebih baik, karena ada keterpaduan dalam kegiatan yang didasarkan pada jadwal induk (Herjanto, 1999).

2.6.1. Kemampuan MRP

  Menurut Rosnani Ginting (2007) ada 4 kemampuan yang menjadi ciri utama dari sistem MRP yaitu:

  1. Mampu menentukan kebutuhan pada saat yang tepat.

  Maksudnya adalah menentukan secara tepat “kapan” suatu pekerjaan harus diselesaikan atau “kapan” material harus tersedia untuk memenuhi permintaan atas produksi akhir yang sudah direncanakan pada jadwal induk produksi.

  2. Membentuk kebutuhan minimal untuk setiap item.

  Dengan diketahuinya kebutuhan akan produksi jadi, MRP dapat menentukan secara tepat sistem penjadwalan (berdasarkan prioritas) untuk memenuhi semua kebutuhan minimal setiap item komponen 3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan

  Maksudnya adalah memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan terhadap pesanan harus dilakukan

  4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan.

2.6.2. Input Sistem MRP

  Didalam prosesnya MRP membututuhkan beberapa masukan yang nantinya setelah melalui proses akan diperoleh informasi yang diinginkan sebagai keluaran.

  Adapun masukan-masukan tersebut menurut Herjanto (1999) adalah: 1.

  Jadwal Induk Produksi (JIP) JIP adalah suatu jadwal yang menunjukkan jumlah produk yang akan dibuat dalam tiap-tiap periode dengan tujuan untuk mengetahui kapasitas perusahaan

  .

  dalam merencanakan produksi serta menyusun budget 2. Catatan status persediaan (inventory record)

  Catatan status persediaan menggambarkan status semua item yang ada dalam persediaan. Catatan ini terdiri dari data-data setiap jenis barang persediaan, dimana setiap jenis barang persediaan tersebut nantinya akan dibutuhkan untuk menentukan jumlah kebutuhan bersih.

3. Daftar material / struktur produk (bill of material)

  Struktur produk adalah merupakan suatu daftar barang atau material yang diperlukan bagi perakitan, pencampuran, atau pembuatan produk akhir dan menunjukkan berapa banyak setiap komponen dari bagian produk akan diperlukan. Struktur produk dapat digambarkan sebagai sebuah pohon dengan cabang-cabang seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Struktur Produk (Sumber: Herjanto. 1999. Manajemen Produksi dan Operasi).Gambar 2.2. di atas menunjukkan contoh struktur produk yang artinya : produk

  A merupakan produk akhir (level 0) terbentuk dari 2 sub-rakitan B dan 3 sub- rakitan C (level 1). Setiap sub-rakitan B terdiri dari 2 bagian D dan 3 bagian E (level 2). Demikian juga pada sub-rakitan C terdiri dari 1 bagian E, dan 2 bagian F (level 2). Dengan demikian permintaan untuk B, C, D, E dan F tergantung atas permintaan untuk A. Angka dalam kurung menunjukkan jumlah unit komponen yang bersangkutan. Struktur produk seperti gambar di atas memiliki tiga tingkatan yaitu 0, 1 dan 2. Produk yang berada di atas merupakan produk akhir dari produk yang di bawahnya, sedangkan yang di bawahnya merupakan . komponen

2.6.3. Output Sistem MRP

  Output dari sistem MRP menurut Kusuma (2009) adalah informasi yang dapat digunakan untuk melakukan pengendalian produksi. Keluaran pertama merupakan rencana pemesanan yang disusun berasarkan waktu ancang dari setiap komponen/item. Dengan adanya rencana pemesanan, maka kebutuhan bahan pada tingkat yang lebih rendah dapat diketahui. Selain itu proyeksi kebutuhan kapasitas juga akan diketahui, yang selanjutnya akan memberi revisi atas perencanaan kapasitas pada perencanaan sebelumnya. Output rencana kebutuhan bahan lainnya ialah: 1.

  Memberikan catatan pesanan penjadwalan yang harus dilakukan/direncanakan baik dari pabrik maupun dari pemasok.

  2. Memberikan indikasi penjadwalan ulang.

  3. Memberikan indikasi pembatalan pesanan.

  4. Memberikan indikasi keadaan persediaan.

2.6.4. Proses Pengolahan MRP

  Adapun langkah-langkah mendasar pada proses pengolahan MRP menurut kusuma (2009) adalah sebagai berikut:

1. Netting

  Netting ialah proses perhitungan untuk menetapkan jumlah kebutuhan bersih

  yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaan persediaan (yang ada adalam persediaan dan yang sedang dipesan).

  Masukkan yang diperlukan dalam proses perhitungan kebutuhan bersih ini adalah:

  • Kebutuhan kotor (yaitu jumlah produk akhir yang akan dikonsumsi) untuk tiap periode selama periode perencanaan.
  • Rencana penerimaan dari subkontraktor selama periode perencanaan.
  • Tingkat persediaan yang dimiliki pada awal periode perencanaan.

  2. Lotting

  Lotting ialah proses untuk menentukan besarnya pesanan yang optimal untuk masing-masing item produk berdasarkan hasil perhitungan kebuhan bersih.

  Proses lotting erat hubunganya dengan penentuan jumlah komponen/item yang harus dipesan/disediakan. Penggunaan dan pemilihan teknik yang tepat sangat mempengaruhi keefektifan rencana kebutuhan bahan. Ukuran lot berarti jumlah item yang harus dipesan/dibuat, dikaitkan dengan besarnya ongkos-ongkos persediaan, seperti ongkos pengadaan barang (ongkos

  set up ), ongkos simpan, biaya modal, serta harga barang itu sendiri. Hingga kini telah banyak dikembangkan teknik-teknik penetapan ukuran lot oleh para ahli.

  Teknik-teknik tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:

  • Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas tak terbatas, misalnya

  EOQ, jumlah pesanan tetap, pesanan dengan periode tetap, algoritma Silver- Meal, algoritma Wagner-Whitin, EPQ, lot for lot, dan lain sebagainya.

  • Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas terbatas.
  • Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas tak terbatas.
  • Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas terbatas.

  3. Offsetting Proses ini ditujukan untuk menentukan saat yang tepat guna melakukan rencana pemesanan dalam upaya memenuhi tingkat kebutuhan bersih. Rencana pemesanan dilakukan pada saat material dibutuhkan dikurangi dengan waktu ancang.

4. Explosion

  Proses explosion adalah proses perhitungan kebutuhan kotor item yang berada ditingkat lebih bawah, didasarkan atas rencana pemesanan yang telah disusun pada proses offsetting. Dalam proses explosion ini data struktur produk dan bill of material memegang peran penting karena menentukan arah explosion.

2.6.5. Teknik Penentuan Ukuran Lot (Lot Sizing)

  Metode yang dapat digunakan dalam menentukan ukuran pemesanan diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Lot For Lot (LFL)

  Metode ini menurut Rosnani Ginting (2007) merupakan teknik lot sizing yang paling sederhana dan mudah dimengerti. Pemesanan dilakukan dengan pertimbangan minimasi ongkos simpan. Pada teknik ini, pemenuhan kebutuhan bersih dilaksanakan di setiap periode yang membutuhkannya, sedangkan ukuran besar kuantitas pemesanannya (lot size) adalah sama dengan jumlah kebutuhan bersih yang harus dipenuhi pada periode yang bersangkutan. Teknik ini biasanya digunakan untuk item-item yang mahal atau yang tingkat kontinuitas permintaanya tinggi.

  Karena jumlah yang dipesan hanya sebanyak kebutuhan yang diperlukan saja, secara otomatis persediaan di lapangan tidak dimiliki atau menjadi nol sebab jumlah material yang didatangkan sudah terpakai seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan pada periode waktu yang telah ditentukan sesuai jadwal pekerjaan. Biaya persediaan yang dikeluarkan hanya berupa biaya pemesanan saja, untuk biaya penyimpanan tidak dikeluarkan karena tidak memiliki persediaan. Dengan kondisi persediaan akhir nol pada metode ini terdapat risiko yang tinggi. Jika material yang sudah dipesan untuk periode kebutuhan berikutnya terlambat sampai di lokasi kerja/proyek, menyebabkan terhentinya kegiatan pekerjaan di proyek tersebut jika material berupa bahan baku (material konstruksi) yang memberikan efek lanjutan yaitu terlambatnya pencapaiaan kemajuaan pekerjaan, sehingga menghasilkan proyek dengan biaya produksi yang tinggi atau dapat memberikan kesan yang kurang baik terhadap pelanggan apabila material tersebut berupa bahan jadi. Untuk perusahaan yang menjual atau memproduksi barang-barang yang tidak tahan lama metode ini merupakan pilihan yang terbaik.

2. Economic Order Quantity (EOQ)

  Economic Order Quantity (EOQ)/ jumlah pesanan ekonomis, merupakan satu

  model yang sudah tua, diperkenalkan oleh F.W. Harris pada tahun 1914, tetapi paling banyak dikenal dalam teknik pengendalian persediaan. EOQ banyak digunakan sampai saat ini karena mudah penggunaannya, meskipun dalam penerapannya harus memperhatikan asumsi yang dipakai. Asumsi tersebut (Herjanto, 1999) sebagai berikut: • Barang yang dipesan dan disimpan hanya satu macam.

  • Kebutuhan/permintaan barang diketahui dan konstan.
  • Biaya pemesanan dan biaya penyimpanan diketahui dan konstan.
  • Barang yang dipesan diterima dalam satu batch.
  • Harga barang tetap dan tidak tergantung dari jumlah yang dibeli (tidak ada potongan kuantitas).
  • Waktu tenggang (lead time) diketahui dan konstan.

  Grafik persediaan dalam model ini berbentuk gigi gergaji, seperti dalam

gambar 2.3. Karena permintaan dianggap konstan, persediaan berkurang dalam jumlah yang sama dari waktu ke waktu (berkurang secara linier). Pada waktu tingkat persediaan mencapai nol, pesanan untuk batch yang baru tepat diterima, sehingga tingkat persediaan naik kembali sampai Q. nilai Q yang optimal/ekonomis dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan tabel dan grafik atau dengan menggunakan formula.

  Jumlah persediaan (unit)

  Q Tingkat persediaan

  Q/2 Rata-rata persediaan

  • Waktu

Gambar 2.3 . Grafik Persediaan dalam model EOQ (Sumber: Herjanto. 1999. Manajemen Produksi dan Operasi).

  Cara lain untuk memperoleh EOQ dengan pendekatan matematika yang dijelaskan oleh Herjanto (1999), dikenal dengan istilah cara formula. Dalam metode ini digunakan beberapa notasi sebagai berikut. D = jumlah kebutuhan barang (unit/tahun) S = biaya pemesanan (rupiah/pesanan) h = biaya penyimpanan (% terhadap nilai barang) C = harga barang (rupiah/unit) H = h x C = biaya penyimpanan (rupiah/unit/tahun) Q = jumlah pemesanan (unit/pesanan) F = frekuensi pemesanan (kali/tahun) T = jarak waktu antar pesanan (tahun, hari) TC = biaya total persediaan (rupiah/tahun) Biaya pemesanan per tahun:

  = frekuensi pesanan x biaya pesanan = ………………………………………………. (2.1)

  Biaya penyimpanan per tahun = persediaan rata-rata x biaya penyimpanan = ………………………………………………. (2.2)

2 Biaya total per tahun

  = biaya pemesanan + biaya penyimpanan

  • =

2 EOQ terjadi jika biaya pemesanan = biaya penyimpanan, maka:

  Pers. 2.1 = pers. 2.2 =

  2

  2

  2DS = HQ

  2

  2 Q =

  2 Q* = �

  Q* adalah EOQ, yaitu jumlah pemesanan yang memberikan biaya total persediaan terendah.

  Penetapan ukuran lot dengan metode EOQ menerapkan prinsip jumlah pemesanan tetap sepanjang periode pemenuhan kebutuhan/persediaan, dimana frekuensi pemesanan dan jumlah persediaan diminimalkan sehingga menghasilkan total biaya persediaan yang kecil (ekonomis/optimal).

2.6.6. Waktu Ancang ( Lead Time)

  Kusuma (2009) menjelaskan dalam kondisi aktual, pemenuhan kebutuhan seketika tidak mungkin dilakukan. selalu dibutuhkan waktu ancang untuk memenuhi permintaan. Waktu ancang adalah waktu yang diperlukan dari mulai pesanan dilakukan sampai bahan baku diterima dan siap untuk digunakan. Dalam konsep waktu ancang ini terkait pula saat pemesanan kembali. Saat pemesanan kembali adalah waktu dimana pemesanan dilakukan dengan mempertimbangkan waktu ancang sedemikian rupa sehingga pada saat tingkat persediaan mencapai nol maka persediaan baru diterima.