Fatwa Rokok dan Dilema Negara

Fatwa Rokok & Dilema Negara
FAJAR KURNIANTO
Masalah rokok masih terus menimbulkan kontroversi. PP Muhammadiyah baru-baru ini
mengeluarkan fatwa haram rokok, meski baru di tingkat majelis tarjih. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) tahun lalu mengeluarkan fatwa serupa untuk wanita hamil, anak-anak, dan anggota MUI
sendiri.
Di lingkaran PB Nahdlatul Ulama (NU), fatwa rokok sebatas makruh, tidak haram.
Bagaimana sesungguhnya relasi fatwa dan hukum negara (undang-undang)?
Sebuah fatwa tidak lahir di ruang kosong. Fatwa hadir untuk merespons pengaduan dan
masukan dari masyarakat. Fatwa sebenarnya sifatnya tidak jauh beda dengan opini. Namun,
fatwa adalah opini dari seseorang yang dianggap tokoh agama paling berpengaruh dan kompeten
mengenai hukum agama.
Selain itu tokoh tadi dianggap punya otoritas kuat karena kemampuan yang dimiliki
untuk menanggapi aduan masyarakat sebagai pegangan nantinya. Karena sifatnya yang sama
dengan opini, maka fatwa itu sifatnya personal/individual.
Oleh karena sifatnya personal, fatwa berbeda dengan hukum negara, meskipun fatwa juga
memiliki daya pengaruh seperti hukum negara. Jika fatwa sudut pandangnya kajian agama atau
teks-teks agama, hukum negara sudut pandangnya adalah kompilasi pertimbangan dari berbagai
aspek seperti sosiologis, psikologis, politis, geografis, budaya dan agama.
Oleh karena itu, ruang lingkup fatwa tidak seluas ruang lingkup hukum negara. Fatwa
lebih tertuju pada orang-orang yang punya ikatan keagamaan tertentu dengan sang pemberi

fatwa.
Saling menopang
Meski begitu, daya dorong fatwa terkadang melebihi daya dorong hukum negara,
meskipun fatwa tidak tertulis seperti hukum negara. Ini biasanya terjadi di negara-negara
teokrasi, atau negara yang masyarakat religiusnya cukup fanatik dengan tokoh sentral agama.
Di Indonesia, dengan kultur masyarakat religius dan tingkat fanatisme pada tokoh agama
cukup tinggi-fatwa dan hukum negara tidak bersaing secara dominatif. Justru, keduanya berperan

saling menopang. Terkadang malah fatwa mengisi hukum negara yang tak menyentuh, atau,
menyentuh tapi terkesan ragu-ragu dan tidak tegas.
Sebagai sesuatu yang sifatnya sama dengan opini, fatwa bisa menjadi kritik. Kritik
terhadap hukum negara yang tidak tegas. Atau hukum negara yang di atas kertas begitu tegas,
tetapi dalam pelaksanaannya memble. Bisa juga ada begitu banyak kepentingan politik, ekonomi,
kultur, budaya, dan seterusnya, yang bermain bahkan dominatif dan status quo.
Sebagai opini, fatwa juga tak kebal tanggapan dan kritik. Fatwa sendiri punya landasan
argumen yang tentu saja masih dapat diperdebatkan. Fatwa bukan sesuatu yang sakral, tetapi
menjadi diskursus ruang publik yang bisa diakses semua orang.
Dalam konteks Indonesia, beberapa ormas keagamaan (baca: Islam) memiliki bagianbagian pengeluar fatwa, seperti NU dan Muhammadiyah. Negara juga punya institusi pengeluar
fatwa agama bernama MUI. Ada MUI pusat, wilayah, dan cabang yang menyebar di daerahdaerah.
Semua lembaga, baik ormas maupun lembaga di bawah negara, berhak dan memang

mengemban tugas untuk memberi fatwa. Namun, fatwa itu, jika dikaitkan dengan negara,
statusnya sama dengan rekomendasi.
Rekomendasi bisa ditolak dan bisa diterima sampai menjadi hukum negara. Karena
rekomendatif, masyarakat tidak perlu euforia atau berdebar-debar takut ketika sebuah fatwa
belum benar-benar menjadi hukum negara.
Jika kita mencermati fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah, sebenarnya muaranya sama
yakni berupaya mengerem makin meluasnya rokok dikonsumsi orang. Fatwa makruh, bahkan
haram, secara psikologis diharapkan bisa mengerem peluasan konsumsi rokok.
Fatwa seperti ini jauh lebih baik daripada fatwa boleh atau bahkan halal. Sederhananya,
rokok difatwa haram saja masih banyak yang merokok. Apalagi dibolehkan atau bahkan
dihalalkan. Tidak terbayangkan jika fatwa yang keluar soal rokok adalah halal.
Sayangnya, Muhammadiyah sepertinya terlalu terburu-buru mengeluarkan fatwa haram
rokok tanpa melihat dampak dari fatwa tadi.
Jika rokok haram, maka aktivitas terkait dengan rokok juga haram seperti menjual,
membeli, mengantarkan, hingga mengumpulkan bahan-bahan untuk produksi, termasuk
pengadaan tembakau dan cengkih.

MUI dan NU agak lebih moderat. MUI hanya mengharamkan rokok untuk tiga jenis
orang, sedangkah NU hanya fatwa makruh. Fatwa MUI dan NU bisa jadi sejalan dengan yang
diinginkan pemerintah.

Dilematis
Paling tidak, pesan pemerintah agar MUI mengeluarkan fatwa rokok tidak membuat
kebeberadaan

perusahaan-perusahaan

rokok

menjadi

goyang,

sehingga

memengaruhi

perekonomian negara. Mengingat sudah menjadi rahasia umum bahwa pemasukan devisa negara
dari pajak dalam negeri perusahaan rokok cukup besar, bahkan sangat besar.
Sponsor event dan siaran langsung olahraga seperti sepak bola, tinju, bulu tangkis, bola
voli, dan seterusnya, juga banyak dari perusahaan rokok.

Di atas semua itu, masalah substansial yang sesungguhnya dari kontroversi fatwa rokok,
terletak pada fatwa yang sifatnya tidak mengikat, sehingga dianggap angin lalu atau badai sesaat
yang kemudian hilang.
Di sisi lain, negara masih riskan untuk membuat hukum negara yang total melarang
rokok, yang itu artinya pengharaman atas adanya perusahaan-perusahaan rokok. Pemerintah
hanya bisa memberi peringatan di bungkus-bungkus rokok. Peringatan sumbang dari pemerintah
tadi sering kali tidak pernah dibaca secara baik-baik oleh perokok. Peringatan itu sendiri menjadi
gambaran nyata dilematisnya negara menyikapi rokok.
*Artikel ini dimuat di koran Bisnis Indonesia, Rabu 24 Maret 2010