Pemahaman Desentralisasi dan Otonomi Dae
“”Pemahaman Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dalam sistem penyelenggaraan Pemerintahan negara yang menganut prinsip
pemencaran kekuasaan secara vertikal suatu negara dikenal beberapa azas. Hal ini
sejalan dengan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa
prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah digunakannya azas
Desentralisasi, Dekonsentrasi dan azas Tugas Pembantuan.
1.
Azas Desentralisasi
Pengertian Desentralisasi menurut Mustari ( 1999) adalah : Pelimpahan atau
penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari
institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/fungsionaris
bawahannya sehingga yang diserahi / dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu
berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu pula .
Sedangkan
menurut
Devas,
(1989),
Desentralisasi
adalah
“
Fungsi
Pemerintahan tertentu dengan kekuasaan mengambil keputusan tertentu yang
dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah yang mencakup lembaga perwakilan yang
dipilih “.
Selanjutnya Muslimin (dalam Mustari, 1999) menyatakan ada tiga macam
Desentralisasi yaitu :
“Desentralisasi politik, pengakuan adanya hak mengurus kepentingan rumah tangga
sendiri pada badan-badan politik di Daerah-Daerah yang dipilih oleh rakyat dalam
Daerah-Daerah tertentu, Desentralisasi fungsional sebagai pengakuan adanya hak
pada golongan-golongan mengurus satu macam atau golongan kepentingan dalam
masyarakat, baik serikat atau tidak pada suatu Daerah tertentu. Umpama subak di
bali ; dan Desentralisasi kebudayaan, yaitu mengakui adanya hak pada golongan
kecil,masyarakat menyelenggarakan kebudayaan sendiri ( mengatur pendidikan,
agama dan lain-lain)”.
Lebih lanjut Mustari, (1999) menambahkan bahwa “ Desentralisasi menurut
kepustakaan dikenal dua macam yaitu Desentralisasi jabatan (ambtelijke
desentralisatie ) dan Desentralisasi kenegaraan ( staatskundige desentralisatie ).
Dalam hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974
disebutkan di dalam pasal 1 huruf b, bahwa Desentralisasi adalah penyerahan urusan
Pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi
urusan rumah tangganya. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
pasal 1huruf e disebutkan bahwa, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara
kesatuan Republik Indonesia.
Dari pengertian diatas, maka secara umum dapat dijelaskan bahwa
Desentralisasi mengandung beberapa hal yaitu :
a.
Adanya pelimpahan wewenang, penyerahan urusan dari Pemerintah pusat.
b.
Adanya Daerah-Daerah yang menerima pelimpahan wewenang dari penyerahan
urusan.
c.
Daerah-Daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus dan
mengatur rumah tangganya sendiri.
d.
Kewenangan dari urusan yang dilimpahkan adalah kewenangan dari urusan rumah
tangga Daerah yang bersangkutan.
2. Azas Dekonsentrasi
Pengertian Dekonsentrasi menurut Devas adalah “ Administrasi Daerah dan
fungsi Pemerintahan di Daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah pusat “. Sedangkan
Mustari, ( 1999) mendefinisikan Dekonsentrasi sebagai “ Penyerahan wewenang dari
Pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya atau aparatnya di Daerah untuk
melaksanakan wewenang tertentu dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan
pusat di Daerah. Tanggung jawab pelaksanaan wewenang tersebut tetap ada pada
Pemerintah pusat “.
Di dalam Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974 pasal 1 hurur f, Dekonsentrasi
diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau
Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di Daerah.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 , Dekonsentrasi diartikan
sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah dan / atau perangkat pusat di Daerah.
Dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, pengertian yang ada
didalam ketentuan hukum positif inilah yang dianut. Kepala – kepala Daerah dianggap
sebagai pejabat pusat di Daerah, sehingga semakin kuat penyelenggaraan
Pemerintahan di Daerah dengan mempergunakan azas Dekonsentrasi, akan semakin
surut penyelenggaraan berdasarkan azas Desentralisasi, yang berakibat kedudukan
Pemerintah Daerah semakin lemah dalam hubungannya dengan Pemerintah Pusat.
Dari pengertian diatas, maka secara umum dapat dijelaskan bahwa
Dekonsentrasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a.
Adanya pelimpahan kewenangan dari Pemerintah pusat.
b.
Adanya organ bawahan dari Pemerintah pusat di Daerah yang menerima
pelimpahan tersebut.
c.
Sumber-sumber keuangan yang dilimpahkan tetap menjadi kewenangan
Pemerintah pusat.
3.
Azas Tugas Pembantuan ( Medebewind )
Definisi Tugas Pembantuan ( medebewind ) menurut Danuredjo (dalam
Mustari, 1999 ) adalah :
“Medebewind berarti menjalankan peraturan (undang-undang atau peraturan-peraturan
Pemerintah ) hak lain secara merdeka. Jadi Pemerintah pusat tidak mungkin
menentukan secara imperatif cara-cara untuk menyelenggarakan peraturan-peraturan
tadi, dengan kata lain medebewind berati membatu menjalankan tingkah laku taktis
daripada Pemerintah Pusat dengan kemungkinan untuk mengadakan peraturan yang
mengkhusukan peraturan pusat tadi, supaya ia sesuai dengan keadaan Daerah sendiri
“.
Pada hakekatnya Tugas Pembantuan itu merupakan kewajiban Daerah otonomi
untuk melaksanakan peraturan-peraturan dari instansi atasannya. Artinya penyerahan
hanya mengenai caranya menjalankan saja sedang prinsipnya ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat sendiri, sehingga Mustari ( 1999) berpendapat bahwa “ Tugas
Pembantuan sebenarnya masih merupakan azas Dekonsentrasi “.
Dalam Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974 pasal 1 huruf d, Tugas
Pembantuan diartikan sebagai tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
Pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Daerah
tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang
menugaskannya.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1 huruf g,
dinyatakan bahwa :
“Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan desa dan
dari Daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan
sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewjiban melaporkan
pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan”.
Setelah mengetahui azas-azas yang digunakan dalam penyelenggaraan
Pemerintah di Daerah, kemudian bila dikaitkan dengan penyelenggaraan otonomi
Daerah dengan titik berat pada Kabupaten/Kota, maka pelaksanaannya hanya
didasarkan pada satu azas saja yaitu azas Desentralisasi. Hal ini sejalan dengan
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :
Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi Daerah pada
masa lampau yang menganur prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
dengan penekanan hak, maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan
otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada azas
Desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab .
Konsep Otonomi Daerah
Dalam
sistem
penyelenggaraan
Pemerintahan
negara,
dikenal
istilah
Desentralisasi yang membagi kewenangan kepada Pemerintah Daerah bawahan dalam
bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan adanya model
Pemerintahan Daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraan.
Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara Pemerintah Pusat disatu pihak,
dan Pemerintah Daerah dilain pihak.
Pengertian Desentralisasi dan otonomi Daerah mempunyai tempat masingmasing . Istilah otonomi lebih cenderung pada political aspect , sedangkan
Desentralisasi lebih cendrung pada administrative aspect . Namun jika dilihat dari
konteks Power of Sharing, dalam prakteknya, kedua istilah tersebut mempunyai
keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Artinya, jika berbicara mengenai
otonomi Daerah ,
pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah seberapa besar
wewenang untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang telah diberikan
sebagai wewenang dalam menyelenggarakan rumah tangga Daerah, demikian pula
sebaliknya.
Kewenangan otonomi Daerah di dalam suatu negara kesatuan, tidak dapat
diartikan adanya kebebasan penuh dari suatu Daerah untuk menjalankan hak dan
fungsi
otonominya,
tanpa
mempertimbangkan
kepentingan
nasional
secara
keseluruhan, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk memberikan otonomi yang
luas kepada Daerah.
Perbedaan kepentingan antara kebebasan berotonomi dan mempertahankan
persatuan dan kesatuan bangsa, selalu merupakan ajang konflik kepentingan yang
sering berlarut-larut. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam meninjau perspektif
yang ada, sehingga masalah otonomi Daerah yang bertumpu kepada tinjauan
perspektif yang berbeda ini, menjadi dilema yang tak kunjung selesai.
Sebenarnya, pemberian otonomi kepada Daerah dalam Negara Kesatuan,
esensinya telah terakomodasi dalam pasal 18 undang-undang dasar 1945 yang intinya
menurut Kaho ( 1988) dinyatakan bahwa :
“…membagi Daerah Indonesia atas Daerah besar ( propinsi ) dan Daerah propinsi akan
dibagi dalam Daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat “ Otonom “ ( streek en locale
rechsgemeenschappen ) dengan bentuk badan perwakilan rakyat, atau hanya berupa “
Daerah administrasi “ saja. Daerah besar dan kecil yang diberikan kewenangan
otonomi Daerah seberapa luas apapun bukan merupakan “ Negara “ ( “state “ ),
melainkan Daerah yang tidak terpisahkan dari dan dibentuk dalam kerangka “ Negara
Kesatuan “ . Corak Daerah besar dan kecil tersebut diatur dalam suatu UndangUndang” .
Inti persoalannya, seberapa jauh keleluasan otonomi Daerah dapat diberikan
kepada Daerah. Sehingga Daerah tersebut dapat berfungsi sebagai Daerah Otonom
yang mandiri berdasarkan azas demokrasi dan kedaulatan rakyat, tanpa menggangu
stabilitas nasional dan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, “
… bagaimana mencari titik keseimbangan antara kehendak politik “ centrifugal “ yang
melahirkan Desentralisasi , dan yang lebih berorientasi kepada posisi “ Centripetal “
yang menelorkan corak sentralisasi ( Mustari , 1999 ).
Sulit memecahkan masalah tersebut, karena hal itu akan sangat dipengaruhi
oleh konfigurasi politik pada suatu masa tertentu. Dan hampir bisa dipastikan, bahwa
setiap mencari titik keseimbangan antara kehendak politik “ centrifugal “ yang
melahirkan Desentralisasi, dan yang lebih berorientasi kepada posisi “ centripetal “ yang
menelorkan corak sentralisasi .
Penekanan
yang
mendahulukan
kepentingan
lokal
akan
melahirkan
Pemerintahan yang bercorak desentralistik, sedangkan yang lebih mengutamakan
stabilitas nasional, akan menimbulkan Pemerintahan yang sentralistik.
Sehubungan dengan hal tersebut Rust, (dalam Rasyid, 1999) menyatakan
bahwa :
Suatu kenyataan , pendapat umum dibanyak negara mengakui bahwa : : Pemerintahan
yang sentralistik semakin kurang populer, karena ketidak mampuannya untuk
memahami secara tepat nilai-nilai Daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya ,
warga masyarakat akan lebih aman dan tentram dengan badan Pemerintahan lokal
yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis .
Dalam memberikan keleluasaan otonomi kepada Daerah dinyatakan oleh W.
Buckelman (dalam Rasyid, 1999) bahwa:
… diakuinya pula tidak akan menimbulkan “ disintegrasi “, dan tidak akan menurunkan
derajad – kewibawaan Pemerintah nasional malah sebaliknya kan menimbulkan respek
Daerah terhadap Pemerintah pusat karena itu ada sebuah slogan yang sering
dilancarkan : “ … as much autonomy as possible, as much central power as necessary
“
Walaupun
pelaksanaan
otonomi
Daerah
terlihat
sederhana,
namun
mengandung pengertian yang cukup rumit, karena di dalamnya tersimpul makna
pendemokrasian dalam arti pendewasaan politik rakyat
Daerah, pemberdayaan
masyarakat, dan sekaligus bermakna mensejahterahkan rakyat yang berkeadilan.
Sebab bagaimanapun juga tuntutan pemerataan, tuntutan keadilan yang sering
dilancarkan, baik menyangkut bidang ekonomi maupun politis, pada akhirnya akan
menjadi relatif dan dilematis apabila tergantung kepada tinjauan perspektif yang
berbeda. Misalnya pemerataan pembangunan ekonomi ditinjau dari perspektif nasional
sudah dipandang cukup merata, tetapi perspektif Daerah meninjaunya lain, yang
menganggap bahwa hasil dari sumber-sumber kekayaan Daerah yang ditarik ke pusat,
jauh tidak seimbang dengan hasil yang dikembalikan kepada Daerah. Hasil bumi dan
kekayaan alam di Daerah tidak dinikmati oleh Daerah yang bersangkutan. Mereka
hanya mendapatkan
beberapa persen saja dari seluruh kekayaan alamnya.
Sedangkan sebagian besar ditarik ke pusat, itupun tidak jelas untuk apa dan
sebagainya.
Dilandasi dari pemikiran diatas, serta demi menunjang kerangka berpikir dalam
memberikan kajian dan pendekatan teoritis terhadap pelaksanaan otonomi daerah serta
hubungannya dengan kemandirian keuangan daerah, maka dipandang perlu dilakukan
pemahaman terhadap pemberdayaan daerah dan masyarakat.
Istilah pemberdayaan ( empowerment ), memiliki perspektif yang luas, hal ini
ditunjukkan oleh Pearse dan stiefel ( Rochman, 2000) yang mengatakan bahwa
“menghormati kebhinnekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi, kekuatan dan peningkatan
kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif”. Dalam bentuk yang
lain Kartasasmita (dalam Rochman, 2000) menyatakan bahwa, “ Pemberdayaan
masyarakat merupakan suatu proses perubahan struktural yang harus muncul dari
masyarakat, dilakukan oleh masyarakat dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan
masyarakat,
dengan
kata
lain
memberdayakan
adalah
memampukan
dan
memandirikan masyarakat”.
Dalam perspektif lingkungan Prijono mengatakan bahwa, “ Pemberdayaan
mengacu pada pengamatan akses terhadap sumber daya alami dan pengelolaannya
secara berkelanjutan ( Rochman, 2000 ).
Dari kajian-kajian teori diatas, dapat diberikan suatu konklusi sementara, bahwa
kunci dari perubahan struktur masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat adalah
peningkatan kemampuan atau kemandirian masyarakat, yang muncul dari masyarakat
oleh masyarakat serta untuk dinikmati masyarakat sebagai manifestasi dari
pelaksanaan Otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Pemahaman pemberdayaan khususnya di bidang politik, bila ditinjau dari
perspektif pusat, pengaturan tentang jabatan-jabatan politik di Daerah sudah dianggap
cukup longgar, namun sebaliknya Daerah masih menganggap intervensi pusat terlalu
jauh sehingga menghambat pelaksanaan otonomi daerah dan pengembangan
demokrasi .
Perbedaan perspektif ini semakin tajam dan mengarah kepada kecemburuan
Daerah, akibatnya timbul tuntutan-tuntutan atau gugatan Daerah, terutama setelah
beralihnya Pemerintahan Orde Baru kepada Pemerintahan Orde Reformasi, yang
apabila terus berlarut-larut tidak mustahil akan menjurus kepada disintegrasi bangsa.
Atas dasar itulah diundangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-undang Nomor 05 Tahun 1974 . Dengan
undang-undang ini bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Pengertian Otonomi Daerah menurut Amrah Muslimin (1960) berarti “
Pemerintah sendiri ( Zelfregering), ( auto = sendiri, nomes = Pemerintahan ) “. Jadi
dalam hal ini otonomi memiliki makna kemandirian, seperti yang dikemukakan oleh
Manan (dalam Mustari, 1999) yang menyatakan Otonomi sebagai berikut :
Kebebasan dan kemandirian ( Vrijheid dan zelfstandigheid ) satuan Pemerintah lebih
rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan Pemerintahan. Urusan
Pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau
merupakan urusan rumah tangga satuan Pemerintahan yang lebih rendah tersebut.
Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi .
Kebebasan dan kemandirian yang dimaksud bukanlah kemerdekaan
(onafhankelijkheid independency), akan tetapi berada dalam ikatan kesatuan yang lebih
besar. Artinya otonomi sekedar sub sistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Bila
ditinjau dari sudut pandang teori bentuk negara, otonomi adalah fenomena negara
kesatuan ( unitary state ). Dengan kata lain negara kesatuan merupakan landas batas
dari pengertian dan isi otonomi. Akan tetapi adapula yang berpandangan lain bahwa
otonomi bukan kekhasan dalam negara kesatuan, juga bisa dianut oleh negara serikat
(federal state).
Hal ini selaras dengan pandangan Muslimin (dalam Mustari, 1960) yang
menyatakan “ Pengertian otonomi tidak semata-mata inheren pada negara kesatuan,
tetapi otonomi dalam arti umum dan dogmatik juga terdapat dalam negara serikat,
dimana otonomi itu lebih luas dari negara kesatuan “ . Selanjutnya Syarifudin (dalam
Mustari , 1999 ) menyatakan bahwa “ Seluas-luasnya otonomi bukan berarti mandiri
secara penuh dalam segala-galanya “.
Jika dikaji secara empiris Zuriah , (1988)menyatakan bahwa :
Bentuk negara kesatuan ( unitary state ) cendrung tidak memberikan ruang yang cukup
bagi otonomi, sedangkan bentuk federasi akan memberikan otonomi penuh pada
masing-masing negara bagian atau propinsi untuk mengelola, mengatur dan
membenahi wilayahnya, karena masing-masing negara bagian atau propinsi memiliki
peraturan dan perundang-undangan sendiri.
Untuk
memahami
hal
tersebut,
dapat
ditinjau
dari
model
yang
menggambarkan, bagaimana hubungan pusat dan Daerah dilakukan. Hal ini
mengandung pengertian bahwa, negara harus dapat menyelesaikan hal-hal yang
berkenaan antara berbagai tingkatan Pemerintahan yang berbeda.
Terdapat tiga model bagaimana hubungan antara Pemerintah pusat dan
Daerah dilakukan :
a.
Sistem Negara Kesatuan, yaitu hubungan Pemerintah pusat danDaerah dibangun
dengan cara memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pusat ( highly
centralized ).
b.
Sistem Konfederal, yaitu hubungan Pemerintah pusat dan Daerah dibangun dengan
cara memberikan kewenangan yang besar kepada Daerah ( highly decentralized ),
yang mana Pemerintahan pusat memiliki kewenangan yang sangat terbatas.
c.
Sistem federal, yaitu hubungan Pemerintah pusat dan Daerah dibangun didasarkan
pada pembagian antara pusat dan Daerah. ( Nurjaman, 1998)
Faktor-faktor yang mendukung Otonomi Daerah
Esensi Otonomi Daerah adalah berkembangnya Daerah dengan kemandirian
yang mampu mengatur dan menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan, sesuai dengan konsep-konsep otonomi yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab. Faktor-faktor yang mendukung otonomi Daerah antara lain :
a.
Sumber Daya Manusia;
b.
Kemampuan Keuangan Daerah;
c.
Sarana dan Prasarana;
d.
Organisasi dan Manajemen.
Hal ini sesuai dengan Kaho (1988) yang menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan otonomi Daerah adalah :
(1)
Manusia pelaksananya harus baik ;
(2)
Keuangan harus cukup dan baik ;
(3)
Peralatannya harus cukup dan baik ;
(4)
Organisasi dan Manajemen harus baik.
Sedangkan kriteria keberhasilan Daerah Otonom untuk mengurus rumah
tangganya sendiri menurut Samsi (dalam Daminazar, 2000), yaitu :
a.
Kemampuan Struktur organisasinya, yaitu Pemerintah Daerah menampung segala
aktifitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggungjawabnya. Jumlah unit-unit
beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan pembagian tugas, wewenang dan
tanggungjawab yang cukup jelas;
b.
Kemampuan aparatur Pemerintah, yaitu aparatur Pemerintah Daerah mampu
menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah, keahlian,
moral disiplin dan kejujuran serta saling menunjang tercapainya tujuan;
c.
Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat, dengan struktur organisasi dan
kelincahan aparatur Pemerintah tetap dituntut agar rakyat mau berperan serta dalam
kegiatan pembangunan;
Kemampuan keuangan Daerah, semua kegiatan untuk mencapai tujuan pasti
membutuhkan biaya. Sehingga Pemerintah Daerah perlu memikirkan biaya untuk
semua kegiatan sebagai pelaksanaan pengaturan rumah tangganya. Hal ini
memerlukan sumber-sumber pendapatan Daerah atau sebagian mendapat subsidi dari
Pemerintah atasannya.
Dalam sistem penyelenggaraan Pemerintahan negara yang menganut prinsip
pemencaran kekuasaan secara vertikal suatu negara dikenal beberapa azas. Hal ini
sejalan dengan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa
prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah digunakannya azas
Desentralisasi, Dekonsentrasi dan azas Tugas Pembantuan.
1.
Azas Desentralisasi
Pengertian Desentralisasi menurut Mustari ( 1999) adalah : Pelimpahan atau
penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari
institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/fungsionaris
bawahannya sehingga yang diserahi / dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu
berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu pula .
Sedangkan
menurut
Devas,
(1989),
Desentralisasi
adalah
“
Fungsi
Pemerintahan tertentu dengan kekuasaan mengambil keputusan tertentu yang
dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah yang mencakup lembaga perwakilan yang
dipilih “.
Selanjutnya Muslimin (dalam Mustari, 1999) menyatakan ada tiga macam
Desentralisasi yaitu :
“Desentralisasi politik, pengakuan adanya hak mengurus kepentingan rumah tangga
sendiri pada badan-badan politik di Daerah-Daerah yang dipilih oleh rakyat dalam
Daerah-Daerah tertentu, Desentralisasi fungsional sebagai pengakuan adanya hak
pada golongan-golongan mengurus satu macam atau golongan kepentingan dalam
masyarakat, baik serikat atau tidak pada suatu Daerah tertentu. Umpama subak di
bali ; dan Desentralisasi kebudayaan, yaitu mengakui adanya hak pada golongan
kecil,masyarakat menyelenggarakan kebudayaan sendiri ( mengatur pendidikan,
agama dan lain-lain)”.
Lebih lanjut Mustari, (1999) menambahkan bahwa “ Desentralisasi menurut
kepustakaan dikenal dua macam yaitu Desentralisasi jabatan (ambtelijke
desentralisatie ) dan Desentralisasi kenegaraan ( staatskundige desentralisatie ).
Dalam hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974
disebutkan di dalam pasal 1 huruf b, bahwa Desentralisasi adalah penyerahan urusan
Pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi
urusan rumah tangganya. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
pasal 1huruf e disebutkan bahwa, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara
kesatuan Republik Indonesia.
Dari pengertian diatas, maka secara umum dapat dijelaskan bahwa
Desentralisasi mengandung beberapa hal yaitu :
a.
Adanya pelimpahan wewenang, penyerahan urusan dari Pemerintah pusat.
b.
Adanya Daerah-Daerah yang menerima pelimpahan wewenang dari penyerahan
urusan.
c.
Daerah-Daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus dan
mengatur rumah tangganya sendiri.
d.
Kewenangan dari urusan yang dilimpahkan adalah kewenangan dari urusan rumah
tangga Daerah yang bersangkutan.
2. Azas Dekonsentrasi
Pengertian Dekonsentrasi menurut Devas adalah “ Administrasi Daerah dan
fungsi Pemerintahan di Daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah pusat “. Sedangkan
Mustari, ( 1999) mendefinisikan Dekonsentrasi sebagai “ Penyerahan wewenang dari
Pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya atau aparatnya di Daerah untuk
melaksanakan wewenang tertentu dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan
pusat di Daerah. Tanggung jawab pelaksanaan wewenang tersebut tetap ada pada
Pemerintah pusat “.
Di dalam Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974 pasal 1 hurur f, Dekonsentrasi
diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau
Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di Daerah.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 , Dekonsentrasi diartikan
sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah dan / atau perangkat pusat di Daerah.
Dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, pengertian yang ada
didalam ketentuan hukum positif inilah yang dianut. Kepala – kepala Daerah dianggap
sebagai pejabat pusat di Daerah, sehingga semakin kuat penyelenggaraan
Pemerintahan di Daerah dengan mempergunakan azas Dekonsentrasi, akan semakin
surut penyelenggaraan berdasarkan azas Desentralisasi, yang berakibat kedudukan
Pemerintah Daerah semakin lemah dalam hubungannya dengan Pemerintah Pusat.
Dari pengertian diatas, maka secara umum dapat dijelaskan bahwa
Dekonsentrasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a.
Adanya pelimpahan kewenangan dari Pemerintah pusat.
b.
Adanya organ bawahan dari Pemerintah pusat di Daerah yang menerima
pelimpahan tersebut.
c.
Sumber-sumber keuangan yang dilimpahkan tetap menjadi kewenangan
Pemerintah pusat.
3.
Azas Tugas Pembantuan ( Medebewind )
Definisi Tugas Pembantuan ( medebewind ) menurut Danuredjo (dalam
Mustari, 1999 ) adalah :
“Medebewind berarti menjalankan peraturan (undang-undang atau peraturan-peraturan
Pemerintah ) hak lain secara merdeka. Jadi Pemerintah pusat tidak mungkin
menentukan secara imperatif cara-cara untuk menyelenggarakan peraturan-peraturan
tadi, dengan kata lain medebewind berati membatu menjalankan tingkah laku taktis
daripada Pemerintah Pusat dengan kemungkinan untuk mengadakan peraturan yang
mengkhusukan peraturan pusat tadi, supaya ia sesuai dengan keadaan Daerah sendiri
“.
Pada hakekatnya Tugas Pembantuan itu merupakan kewajiban Daerah otonomi
untuk melaksanakan peraturan-peraturan dari instansi atasannya. Artinya penyerahan
hanya mengenai caranya menjalankan saja sedang prinsipnya ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat sendiri, sehingga Mustari ( 1999) berpendapat bahwa “ Tugas
Pembantuan sebenarnya masih merupakan azas Dekonsentrasi “.
Dalam Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974 pasal 1 huruf d, Tugas
Pembantuan diartikan sebagai tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
Pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Daerah
tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang
menugaskannya.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1 huruf g,
dinyatakan bahwa :
“Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan desa dan
dari Daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan
sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewjiban melaporkan
pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan”.
Setelah mengetahui azas-azas yang digunakan dalam penyelenggaraan
Pemerintah di Daerah, kemudian bila dikaitkan dengan penyelenggaraan otonomi
Daerah dengan titik berat pada Kabupaten/Kota, maka pelaksanaannya hanya
didasarkan pada satu azas saja yaitu azas Desentralisasi. Hal ini sejalan dengan
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :
Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi Daerah pada
masa lampau yang menganur prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
dengan penekanan hak, maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan
otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada azas
Desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab .
Konsep Otonomi Daerah
Dalam
sistem
penyelenggaraan
Pemerintahan
negara,
dikenal
istilah
Desentralisasi yang membagi kewenangan kepada Pemerintah Daerah bawahan dalam
bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan adanya model
Pemerintahan Daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraan.
Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara Pemerintah Pusat disatu pihak,
dan Pemerintah Daerah dilain pihak.
Pengertian Desentralisasi dan otonomi Daerah mempunyai tempat masingmasing . Istilah otonomi lebih cenderung pada political aspect , sedangkan
Desentralisasi lebih cendrung pada administrative aspect . Namun jika dilihat dari
konteks Power of Sharing, dalam prakteknya, kedua istilah tersebut mempunyai
keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Artinya, jika berbicara mengenai
otonomi Daerah ,
pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah seberapa besar
wewenang untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang telah diberikan
sebagai wewenang dalam menyelenggarakan rumah tangga Daerah, demikian pula
sebaliknya.
Kewenangan otonomi Daerah di dalam suatu negara kesatuan, tidak dapat
diartikan adanya kebebasan penuh dari suatu Daerah untuk menjalankan hak dan
fungsi
otonominya,
tanpa
mempertimbangkan
kepentingan
nasional
secara
keseluruhan, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk memberikan otonomi yang
luas kepada Daerah.
Perbedaan kepentingan antara kebebasan berotonomi dan mempertahankan
persatuan dan kesatuan bangsa, selalu merupakan ajang konflik kepentingan yang
sering berlarut-larut. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam meninjau perspektif
yang ada, sehingga masalah otonomi Daerah yang bertumpu kepada tinjauan
perspektif yang berbeda ini, menjadi dilema yang tak kunjung selesai.
Sebenarnya, pemberian otonomi kepada Daerah dalam Negara Kesatuan,
esensinya telah terakomodasi dalam pasal 18 undang-undang dasar 1945 yang intinya
menurut Kaho ( 1988) dinyatakan bahwa :
“…membagi Daerah Indonesia atas Daerah besar ( propinsi ) dan Daerah propinsi akan
dibagi dalam Daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat “ Otonom “ ( streek en locale
rechsgemeenschappen ) dengan bentuk badan perwakilan rakyat, atau hanya berupa “
Daerah administrasi “ saja. Daerah besar dan kecil yang diberikan kewenangan
otonomi Daerah seberapa luas apapun bukan merupakan “ Negara “ ( “state “ ),
melainkan Daerah yang tidak terpisahkan dari dan dibentuk dalam kerangka “ Negara
Kesatuan “ . Corak Daerah besar dan kecil tersebut diatur dalam suatu UndangUndang” .
Inti persoalannya, seberapa jauh keleluasan otonomi Daerah dapat diberikan
kepada Daerah. Sehingga Daerah tersebut dapat berfungsi sebagai Daerah Otonom
yang mandiri berdasarkan azas demokrasi dan kedaulatan rakyat, tanpa menggangu
stabilitas nasional dan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, “
… bagaimana mencari titik keseimbangan antara kehendak politik “ centrifugal “ yang
melahirkan Desentralisasi , dan yang lebih berorientasi kepada posisi “ Centripetal “
yang menelorkan corak sentralisasi ( Mustari , 1999 ).
Sulit memecahkan masalah tersebut, karena hal itu akan sangat dipengaruhi
oleh konfigurasi politik pada suatu masa tertentu. Dan hampir bisa dipastikan, bahwa
setiap mencari titik keseimbangan antara kehendak politik “ centrifugal “ yang
melahirkan Desentralisasi, dan yang lebih berorientasi kepada posisi “ centripetal “ yang
menelorkan corak sentralisasi .
Penekanan
yang
mendahulukan
kepentingan
lokal
akan
melahirkan
Pemerintahan yang bercorak desentralistik, sedangkan yang lebih mengutamakan
stabilitas nasional, akan menimbulkan Pemerintahan yang sentralistik.
Sehubungan dengan hal tersebut Rust, (dalam Rasyid, 1999) menyatakan
bahwa :
Suatu kenyataan , pendapat umum dibanyak negara mengakui bahwa : : Pemerintahan
yang sentralistik semakin kurang populer, karena ketidak mampuannya untuk
memahami secara tepat nilai-nilai Daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya ,
warga masyarakat akan lebih aman dan tentram dengan badan Pemerintahan lokal
yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis .
Dalam memberikan keleluasaan otonomi kepada Daerah dinyatakan oleh W.
Buckelman (dalam Rasyid, 1999) bahwa:
… diakuinya pula tidak akan menimbulkan “ disintegrasi “, dan tidak akan menurunkan
derajad – kewibawaan Pemerintah nasional malah sebaliknya kan menimbulkan respek
Daerah terhadap Pemerintah pusat karena itu ada sebuah slogan yang sering
dilancarkan : “ … as much autonomy as possible, as much central power as necessary
“
Walaupun
pelaksanaan
otonomi
Daerah
terlihat
sederhana,
namun
mengandung pengertian yang cukup rumit, karena di dalamnya tersimpul makna
pendemokrasian dalam arti pendewasaan politik rakyat
Daerah, pemberdayaan
masyarakat, dan sekaligus bermakna mensejahterahkan rakyat yang berkeadilan.
Sebab bagaimanapun juga tuntutan pemerataan, tuntutan keadilan yang sering
dilancarkan, baik menyangkut bidang ekonomi maupun politis, pada akhirnya akan
menjadi relatif dan dilematis apabila tergantung kepada tinjauan perspektif yang
berbeda. Misalnya pemerataan pembangunan ekonomi ditinjau dari perspektif nasional
sudah dipandang cukup merata, tetapi perspektif Daerah meninjaunya lain, yang
menganggap bahwa hasil dari sumber-sumber kekayaan Daerah yang ditarik ke pusat,
jauh tidak seimbang dengan hasil yang dikembalikan kepada Daerah. Hasil bumi dan
kekayaan alam di Daerah tidak dinikmati oleh Daerah yang bersangkutan. Mereka
hanya mendapatkan
beberapa persen saja dari seluruh kekayaan alamnya.
Sedangkan sebagian besar ditarik ke pusat, itupun tidak jelas untuk apa dan
sebagainya.
Dilandasi dari pemikiran diatas, serta demi menunjang kerangka berpikir dalam
memberikan kajian dan pendekatan teoritis terhadap pelaksanaan otonomi daerah serta
hubungannya dengan kemandirian keuangan daerah, maka dipandang perlu dilakukan
pemahaman terhadap pemberdayaan daerah dan masyarakat.
Istilah pemberdayaan ( empowerment ), memiliki perspektif yang luas, hal ini
ditunjukkan oleh Pearse dan stiefel ( Rochman, 2000) yang mengatakan bahwa
“menghormati kebhinnekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi, kekuatan dan peningkatan
kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif”. Dalam bentuk yang
lain Kartasasmita (dalam Rochman, 2000) menyatakan bahwa, “ Pemberdayaan
masyarakat merupakan suatu proses perubahan struktural yang harus muncul dari
masyarakat, dilakukan oleh masyarakat dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan
masyarakat,
dengan
kata
lain
memberdayakan
adalah
memampukan
dan
memandirikan masyarakat”.
Dalam perspektif lingkungan Prijono mengatakan bahwa, “ Pemberdayaan
mengacu pada pengamatan akses terhadap sumber daya alami dan pengelolaannya
secara berkelanjutan ( Rochman, 2000 ).
Dari kajian-kajian teori diatas, dapat diberikan suatu konklusi sementara, bahwa
kunci dari perubahan struktur masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat adalah
peningkatan kemampuan atau kemandirian masyarakat, yang muncul dari masyarakat
oleh masyarakat serta untuk dinikmati masyarakat sebagai manifestasi dari
pelaksanaan Otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Pemahaman pemberdayaan khususnya di bidang politik, bila ditinjau dari
perspektif pusat, pengaturan tentang jabatan-jabatan politik di Daerah sudah dianggap
cukup longgar, namun sebaliknya Daerah masih menganggap intervensi pusat terlalu
jauh sehingga menghambat pelaksanaan otonomi daerah dan pengembangan
demokrasi .
Perbedaan perspektif ini semakin tajam dan mengarah kepada kecemburuan
Daerah, akibatnya timbul tuntutan-tuntutan atau gugatan Daerah, terutama setelah
beralihnya Pemerintahan Orde Baru kepada Pemerintahan Orde Reformasi, yang
apabila terus berlarut-larut tidak mustahil akan menjurus kepada disintegrasi bangsa.
Atas dasar itulah diundangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-undang Nomor 05 Tahun 1974 . Dengan
undang-undang ini bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Pengertian Otonomi Daerah menurut Amrah Muslimin (1960) berarti “
Pemerintah sendiri ( Zelfregering), ( auto = sendiri, nomes = Pemerintahan ) “. Jadi
dalam hal ini otonomi memiliki makna kemandirian, seperti yang dikemukakan oleh
Manan (dalam Mustari, 1999) yang menyatakan Otonomi sebagai berikut :
Kebebasan dan kemandirian ( Vrijheid dan zelfstandigheid ) satuan Pemerintah lebih
rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan Pemerintahan. Urusan
Pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau
merupakan urusan rumah tangga satuan Pemerintahan yang lebih rendah tersebut.
Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi .
Kebebasan dan kemandirian yang dimaksud bukanlah kemerdekaan
(onafhankelijkheid independency), akan tetapi berada dalam ikatan kesatuan yang lebih
besar. Artinya otonomi sekedar sub sistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Bila
ditinjau dari sudut pandang teori bentuk negara, otonomi adalah fenomena negara
kesatuan ( unitary state ). Dengan kata lain negara kesatuan merupakan landas batas
dari pengertian dan isi otonomi. Akan tetapi adapula yang berpandangan lain bahwa
otonomi bukan kekhasan dalam negara kesatuan, juga bisa dianut oleh negara serikat
(federal state).
Hal ini selaras dengan pandangan Muslimin (dalam Mustari, 1960) yang
menyatakan “ Pengertian otonomi tidak semata-mata inheren pada negara kesatuan,
tetapi otonomi dalam arti umum dan dogmatik juga terdapat dalam negara serikat,
dimana otonomi itu lebih luas dari negara kesatuan “ . Selanjutnya Syarifudin (dalam
Mustari , 1999 ) menyatakan bahwa “ Seluas-luasnya otonomi bukan berarti mandiri
secara penuh dalam segala-galanya “.
Jika dikaji secara empiris Zuriah , (1988)menyatakan bahwa :
Bentuk negara kesatuan ( unitary state ) cendrung tidak memberikan ruang yang cukup
bagi otonomi, sedangkan bentuk federasi akan memberikan otonomi penuh pada
masing-masing negara bagian atau propinsi untuk mengelola, mengatur dan
membenahi wilayahnya, karena masing-masing negara bagian atau propinsi memiliki
peraturan dan perundang-undangan sendiri.
Untuk
memahami
hal
tersebut,
dapat
ditinjau
dari
model
yang
menggambarkan, bagaimana hubungan pusat dan Daerah dilakukan. Hal ini
mengandung pengertian bahwa, negara harus dapat menyelesaikan hal-hal yang
berkenaan antara berbagai tingkatan Pemerintahan yang berbeda.
Terdapat tiga model bagaimana hubungan antara Pemerintah pusat dan
Daerah dilakukan :
a.
Sistem Negara Kesatuan, yaitu hubungan Pemerintah pusat danDaerah dibangun
dengan cara memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pusat ( highly
centralized ).
b.
Sistem Konfederal, yaitu hubungan Pemerintah pusat dan Daerah dibangun dengan
cara memberikan kewenangan yang besar kepada Daerah ( highly decentralized ),
yang mana Pemerintahan pusat memiliki kewenangan yang sangat terbatas.
c.
Sistem federal, yaitu hubungan Pemerintah pusat dan Daerah dibangun didasarkan
pada pembagian antara pusat dan Daerah. ( Nurjaman, 1998)
Faktor-faktor yang mendukung Otonomi Daerah
Esensi Otonomi Daerah adalah berkembangnya Daerah dengan kemandirian
yang mampu mengatur dan menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan, sesuai dengan konsep-konsep otonomi yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab. Faktor-faktor yang mendukung otonomi Daerah antara lain :
a.
Sumber Daya Manusia;
b.
Kemampuan Keuangan Daerah;
c.
Sarana dan Prasarana;
d.
Organisasi dan Manajemen.
Hal ini sesuai dengan Kaho (1988) yang menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan otonomi Daerah adalah :
(1)
Manusia pelaksananya harus baik ;
(2)
Keuangan harus cukup dan baik ;
(3)
Peralatannya harus cukup dan baik ;
(4)
Organisasi dan Manajemen harus baik.
Sedangkan kriteria keberhasilan Daerah Otonom untuk mengurus rumah
tangganya sendiri menurut Samsi (dalam Daminazar, 2000), yaitu :
a.
Kemampuan Struktur organisasinya, yaitu Pemerintah Daerah menampung segala
aktifitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggungjawabnya. Jumlah unit-unit
beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan pembagian tugas, wewenang dan
tanggungjawab yang cukup jelas;
b.
Kemampuan aparatur Pemerintah, yaitu aparatur Pemerintah Daerah mampu
menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah, keahlian,
moral disiplin dan kejujuran serta saling menunjang tercapainya tujuan;
c.
Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat, dengan struktur organisasi dan
kelincahan aparatur Pemerintah tetap dituntut agar rakyat mau berperan serta dalam
kegiatan pembangunan;
Kemampuan keuangan Daerah, semua kegiatan untuk mencapai tujuan pasti
membutuhkan biaya. Sehingga Pemerintah Daerah perlu memikirkan biaya untuk
semua kegiatan sebagai pelaksanaan pengaturan rumah tangganya. Hal ini
memerlukan sumber-sumber pendapatan Daerah atau sebagian mendapat subsidi dari
Pemerintah atasannya.